Suatu ketika, murid-murid YESUS mempertentangkan
tentang siapa yang terbesar
di antara mereka. Lalu TUHAN YESUS berkata: “Barangsiapa
hendak menjadi besar, maka hendaknya
dia menjadi
pelayanmu”
(Lukas 22:26). Lebih jauh IA berkata: “ANAK
MANUSIA datang bukan untuk dilayani,
tetapi
untuk melayani ……………..”
(Mat. 20:28)
Fakta
Konteks
“Melayani Jemaat itu tidak susah!
Asal dilakukan dengan hati,” demikian pernyataan seorang Pendeta yang pernah
melayani di beberapa Jemaat di Klasis Leti, Moa dan Lakor (Lemola).[ii]Ia
melanjutkan: “Pertama kali tiba di Jemaat Wakarleli di pulau Moa, beta (saya) ditolak. Warga Jemaat
menolak karena beta (saya) orang
Ambon, sekalipun dorang (mereka) su (sudah) tau (tahu) beta (saya)
punya bini (isteri) orang Tenggara
(Luang-Maluku Barat Daya-MBD).” Alasan penolakannya demikian karena sudah terbangun
pemahaman bahwa orang (Pendeta) Ambon itu tidak suka budaya setempat. Pemahaman
seperti ini menguat karena sebelumnya ada beberapa Pendeta asal Ambon yang
ditugaskan melayani di Jemaat Wakarleli tetapi hanya bertahan beberapa bulan
saja. Mereka meninggalkan Jemaat Wakaleli dan tidak pernah kembali lagi sewaktu
pergi ke pusat Klasis di Serwaru atau dengan alasan tertentu pergi meninggalkan
Jemaat.
Sewaktu datang kembali ke Jemaat
pada kali ke dua, Pendeta menolak tinggal di rumah seorang Majelis Jemaat yang
sudah disediakan Majelis Jemaat untuk menampung sementara Pendeta bersama
keluarganya. Sebab pastori Jemaat sudah kotor, lapuk, berdebu, sudah hampir
runtuh dan tidak layak dihuni lagi. Namun, Pendeta berkeras tinggal saja di
sana bersama isteri dan seorang putrinya yang masih balita. Dari pastori
pendeta mulai bergaul dengan anggota Jemaat dan anggota masyarakat. Strategi
mulai digencarkan dengan tekad : “Beta
(saya) mesti mendekati mereka dengan kasih.” Ditetapkan dua strategi untuk
mendekatkan dan mendaratkan pelayanan.
Pertama, konsolidasi
pelayanan. Dimulai dengan belajar mengenal hidup anggota Jemaat sambil menata
pelayanan unit, sektor, organisasi dan berupaya mengetahui partisipasi mereka
dalam ibadah-ibadah Jemaat. Dengan pola door to door approach-pendekatan dari
rumah ke rumah, konsolidasi tercapai setelah berlangsung selama satu setengah
bulan. “Pak, beta (saya) tiap hari masuk
keluar rumah mulai dari dapur, bukan masuk dari pintu depan.” Tujuannya supaya
mengetahui persis kehidupan mereka sehari-hari. Di dapur mereka yang apa
adanya, sederhana bahkan boleh dibilang kotor dan bau, beta (saya) cerita dengan mereka; cerita tentang kebunnya, sekolah
anaknya, persekutuan Jemaat, persekutuan masyarakat sampai pembangunan Gereja
yang sudah sangat lama terbengkalai dll.[iii]
“Beta (saya) pake (pakai) waktu 5-10 menit, diakhiri dengan doa, sebelum mereka
ke kebun.” Tanama andalan mereka di kebun adalah jagung, labu dan kasbi (singkong).
Kedua memulihkan kepercayaan. yang lahir dari
mendekati para orang tua, tua-tua adat, kepala desa, guru-guru dan tokoh
pemuda. Selain pelayanan ibadah Jemaat, tugas yang cukup berat adalah
penyelesaian pembangunan Gereja Baru yang sudah lama terbengkalai. Pendeta
menghimpun semua pihak bersama panitia pembanguna Gereja. Dua minggu kemudian
konsolidasi terwujud dan semua pihak termasuk anggota Jemaat bersemangat untuk
meneruskan pembangunan Gereja. Awal pekerjaan, semua pihak datang, namun
partisipasi kerja belum baik. Sebab tua-tua adat, pemerintah desa dan para
peimpin lainnya hanya komando dan bertindak mengawas (menonton kerja).
Kenyataan lain terlihat ketika Pendeta sendiri turun ambil sekop dan bawa
karung pergi menyekop pasir dan memikulnya sendiri ke tempat penampungan pasir.
Pekerjaan pada hari berikutnya, sudah makin baik. Semua pihak, kecil-besar,
tua-muda, guru-murid, pemimpin berbaur dengan warga biasa saling bantu bekerja.
Pendeta berkisah: “Pak, beta (saya)
ikut bekerja bukan untuk apa-apa, tetapi beta
(saya) su (sudah) biasa bekerja dan seng (tidak) suka perintah (memerintah) apalai
(apalagi) paksa (memaksa) dorang (mereka) bekerja. Deng (dengan) turun tangan bekerja,
anggota Jemaat bersama semua tokoh masyarakat ikut kerja (bekerja) baku bantu
(saling membantu).”
Seorang informan[iv]
menjelaskan: “Bapa, keberhasilan pembangunan Gereja sampai pengresmian-nya
adalah sebuah kemustahilan bagi seluruh warga Jemaat Wakarlely karena potensi
desa yang bisa menunjangnya sangat kecil, bahkan tidak ada.”Ia melanjutkan:
“Pendeta dengan pendekatannya bisa
merangkul anggota Jemaat dan masyarakat, karna ontua (beliau) dekati orang
tua-tua (tua-tua adat).” Pada kenyataannya, Pendeta menggerakan Panitia
Pembangunan se optimalnya; bersama keluarga Pendeta di desa Allang, di kota
Ambon dan keluarga isteri Pendeta dengan orang Luang di Saumlaki, Ambon dan di
pulau Seram. Kerja keras dengan menggerakkan daya pikir, kreativitas
menggerakan ikatan masyarakat adat, mengaktualkan komunikasi sosial dan doa
membuahkan hasil. Semua pihak, baik pemerintah, swasta, maupun pribadi-pribadi
yang dimintakan bantuannya dan tahu ada punya hubungan keluarga dan kerabat di
Jemaat /desa Wakarleli, semua membantu. Akhirnya, Gereja baru itu selesai dan
bisa diresmikan hanya dalam waktu kerja efektif selama tujuh bulan.
Prakarsa,
Kreativitas, Teladan Diri dan Doa adalah Modal Pelayanan Gereja
Kisah Pendeta H. H
di atas menunjukkan dan menguraikan banyak sendi pelayanan yang bisa menjadi
modal pembangunan pelayanan Gereja bagi seorang Pendeta. Dengan membuka diri,
kita dapat memahami bahwa prakarsa
tercetus sebagai dorongan dari dalam hati, apa yang mau dibuat untuk mengubah
dan meyakinkan warga Jemaat bahwa Pendeta datang dengan tekad mau melayani
mereka. Ia menyata dalam kreativitas
membangun kepercayaan warga Jemaat, menjalin hubungan dengan tua-tua masyarakat
dan menggerakkan potensi sosial, kultural, birokrasi dan pendidikan. Katakan
saja semua potensi yang ada di Jemaat atau desa Wakarleli dipacu menjadi
berdaya. Sebagai desa adat, satu potensi penting lainnya adalah posisi
strategis orang tua-tua dalam Jemaat /desa. Mereka adalah teladan dan perekat
etik moral sosial dalam masyarakat yang menjunjung tinggi adat lokal.[v]
Sewaktu Pendeta mampu menyatu dan mengikat keserasian hubungan hidup dengan
mereka, sesungguhnya kekuatan pendorong pelayanan dan pembangunan dalam Jemaat
sudah mendapat sendinya, bahkan sudah terhisab pada perekat dasarnya ialah
kebersamaan. Kebersaman yang sudah terbentuk menggairahkan Pendeta untuk
mendorong pelayanan menuju ke sasarannya termasuk pekerjaan pembangunan Gereja.
Terlihat jelas ketika para orang tua dalam desa ikut bersama, maka seluruh
anggota masyarakat, yang juga adalah anggota Jemaat, pasti ikut membaur bersama
dalam pekerjaan dimaksud.
Paparan di atas
menampilkan prakarsa menampakkan
keseriusan bentuk dan aksinya dalam kreativitas
diikuti dengan keteladanan diri
menjalin komunikasi sosial ke dalam dan ke luar membuahkan keberhasilan
pelayanan bagi sukacita dan damai sejahtera Jemaat. Keteladanan diri berbentuk menyekop pasir dan memikul pasir untuk
pembangunan Gereja. Demikian juga dengan
blusukan dengan masuk-keluar
dapur (rumah) untuk tahu persoalan nyata warga Jemaat. Terobosan bentuk
komunikasi “kecil’ dan sederhana seperti itu pada kenyataannya membuka ‘karat’
kekakuan hubungan pelayanan warisan paradigma sosial ‘Pendeta asal Ambon.’
Dengan aksi itu, ‘mur’ dan ‘baut’ pelayanan yang seakan sudah rusak dimakan
‘karat’ pemahaman pelayanan yang salah, kembali pulih; sudah di-‘oli’-kan atau
diminyaki, sehingga pasti kuat pautannya. Semua bentuk keteguhan sikap
pelayanan Pendeta itu dikuatkan dengan dasar doa mejadi ikatan penyatu, penghubung dan pendorong warga Jemaat
menemukan makna hidupnya sebagai persekutuan sosial dan persekutuan keselamatan
yang ada di konteknya. Singaktnya, Pendeta telah menggerakkan dan menghidupkan
sumberdaya jemaat, ia telah mewujudkan spiritualitas transformatif.[vi]
Sebab, masa depan Jemaat terbentuk dengan mengisis sejarah perubahan hidupnya
sendiri (Luk. 1:46-56; 4:18-19).[vii]
Catatan
Akhir:
[i] Interview
21 September 2013 dengan Pdt. H. H,
Ketua MJ GPM Piru di Piru. Informan sepakat agar namanya diberi inisial saja.
Ia pernah mengabdi di Jemaat GPM Lolotwara dan di Jemaat GPM Wakarleli, Klasis
Leti, Moa dan Lakor (Lemola).
[iii] Peletakan
dasar pembangunan Gereja Wakarleli 31 Oktober 1984. Pdt. H. H mulai melayani di
sana 2009, berarti Gereja sudah terbengkalai selama 25 tahun. Gereja diresmikan
16 Januari 2011.
[v] Lihat Gomar Gultom
(ed) : Pemberdayaan Masyarakat Versus
Hegemoni Negara, KSPPM, Parapat 2002, halaman 227
[vi] J. B. Banawiratma,
SJ: Spiritualitas Transformatif; Suatu
Pergumulan Ekimenis, Kanisius, Yogyakarta 1990, halaman 57
[vii] Eben Nuban Timo: Anak Matahari, Teologi Rakyat Bolelebo
Tentang Pembangunan, Ledalero. Maumere 2007, halaman 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar