Oleh: Pdt. DR.
Nicodemus Sedubun, M. Th, D. Th
Pengantar
Kekayaan konteks pelayanan Gereja di
wilayah pelayanan Gereja Protestan Maluku (GPM) bagaikan mutu manikam berbagai
bentuk kebudayaannya. Sampai saat ini GPM menanggapi medan konteks itu secara
berbeda.[1]
Sikap berbeda itu dapat disebut berstandar ganda terhadap kekayaan
bentuk-bentuk kebudayaan lokal. Nampaknya ia lahir dari polise pemahaman
pelayanan di konteksnya. Maksudnya, GPM menganut polise pemahaman sentralisasi
visi dan disentralisasi prakarsa dalam menata pelayanannya; di aras Sinode dan
Klasis, berpusat visi sentral pelayanan dan di aras Jemaat menyebar
disentralisasi prakarsa pelayanan. Konsep polise ini pun masih dapat didebatkan
sebab wacana dan praktek pelayanan GPM berbasis di Jemaat. Jemaat adalah
konteks prima GPM bervisi dan berprakarsa.
A.
Falsafah Hidup dan Kerifan Lokal Buru[2]
1.
Asal-usul nama pulau Buru
Dalam bahasa daerah, pulau Buru disebut bipolo, yang
berasal dari dua suku kata yaitu bia dan polon. Bia berarti papeda, sejenis makanan asli orang Buru (juga orang pulau
Ambon, pulau-pulau Lease, pulau Seram dan pulau Aru), yang terbuat dari endapan
pati remasan hasil pangkur isi batang sagu. Orang di luar Maluku, seperti orang
Jawa, menyebutnya bubur sagu. Bahan dasar endapat pati sagu disebut sagu manta (sagu
mentah, sagu yang masih mentah). Untuk membuat papeda, sagu mentah harus dilumatkan dalam air, disaring dan
diteduhkan selama beberapa menit sampai mengendap. Kemudian airnya dibuang dan
tinggal pati sagu. Untuk membuat papeda, sagu itu dicampur lagi dengan air lalu diaduk
sambil menjaga kekentalannya. Jangan terlalu diberi terlalu banyak air, nanti
adukannya encer. Jika terlalu encer, papeda yang dihasilkan juga encer dan tidak nyaman
memakannya. Sementara itu air panas sudah dididihkan. Larutan sagu kental tadi
terus diaduk supaya sagu jangan mengendap. Jika mengendap, papeda yang
dihasilkan akan berbiji gumpalan putih. Jadi ketika air panas mendidih hendak
di tuangkan ke dalam larutan sagu, larutannya harus terus diaduk. Setelah air
panas dituangkan ke dalam wadah larutan sagu, adukan dihentikan dan menunggu
beberapa detik sampai larutan yang semula berwarna putih-sagu berubah menjadi
kecoklatan lalu diaduk dengan semacam sendok besar yang terbuat dari kayu,
disebut aru-aru.
Polon,
artinya getah, atau perekat yang melekatkan. Konon ketika orang pertama datang
di pulau buru, waktu itu baru usai banjir besar yang membuat becek di
mana-mana. Tanah tempat berpijak berwarna kecoklatan seperti warna papeda dan kaki
orang yang menginjaknya melekat tertanam ke dalam tanah. Dari penuturan di
atas, sebutan bipolo menjadi falsafah atau pandangan tentang ikatan hidup
orang Buru adalah erat mengikat seperti papeda. Ketika dimakan, ia terasa sejuk, nyaman dan
menyatukan antara rasa, cipta dan kedamaian. Pulau Buru sering juga disebut
dengan istilah bumi bipolo.
2. Kearifan
lokal Buru.
Kerifan lokal Buru dikenal dengan sebutan kai-wait, wali dawen. Kai berarti adik dan wait berarti kakak. Wali berarti ipar dan dawen berati konyado.
Sebenarnya kata mejemuk wali-dawen mengandung satu arti saja, yaitu ipar.[3]
Karena sebutan lokal yang umum di pulau Ambon, pulau-pulau Lease, pulau Seram
dan pulau Buru untuk ipar adalah konyado. Sebutan konyado yang berarti ipar, sebenarnya berasal dari pulau-pulau Lease, khusunya
di pulau Saparua. Penyebarannya terjadi karena proses perkawinan penduduk antar
pulau di mana seorang ipar dari pulau Lease memanggil ipar-nya yang
bukan orang Lease konyado, sehingga mempengaruhi mereka saling memanggil ipar dengan konyado. Untuk
hubungan di antara ipar, baik ipar dari garis hubungan kandung seorang suami dengan
saudara-saudara isterinya dan juga dengan isteri atau suami dari
saudara-saudara kandungnya. Misalnya saudara-saudara laki-laki dan perempuan
dari isteri suami “A” akan memanggil saudara-saudara laki-laki dan perempuan
suami “A” sebagai ipar mereka dan sebaliknya.
Pemahaman hubungan hidup seperti di atas
dalam ikatan hubungan hidup orang Maluku disebut hidup orang bersaudara atau
hidup orang basudara. Jadi, hubungan orang
basudara Buru adalah seperti hubungan
hidup seorang adik dengan kakaknya. Seorang tokoh adat Buru yang juga tokoh
pemuda Buru,[4]
menjelaskan bahwa sebutan kai-wait, adik-kakak, bermula dari keretakan hubungan di
antara seorang adik dengan kakaknya menyangkut pemilikan tanah. Untuk menjaga
keutuhan hubungan di antara adik-kakak, hubungan itu diikat dengan janji bahwa
mereka adalah bersaudara dan berasal dari satu orangtua, ayah dan ibu, yang
menghendaki mereka hidup bersama dalam menikmati warisan tanah dari
orangtuanya. Hubungan itu berkembang melintasi perkawinan menjangkau ipar dan juga di
antara sesama ipar dengan ipar yang lain dalam satu hubungan asal kai-wait sebagai
adik-kakak.
Kearifan lokal kai-wait yang
menegaskan hubungan hidup orang buru yang seperti adik-kakak mengartikan ikatan
kekeluargaan itu terhisab dalam tiga ikatan, yaitu: pertama, silsilah. Hidup orang basudara Buru berkembang
menurut garis keturunan. Artinya, dari keturunan keluarga “X” semua
anak-anaknya terikat dalam hubungan hidup kai-wait sebagai adik-kakak. Kedua, asal-usul. Seorang informan[5]
mengatakan bahwa hubungan hidup kai-wait juga menyebar dalam awal mula orang
buru hidup di suatu tempat. Di kemudian hari mereka menyebar dan berdomisili di
suatu tempat baru. Ia melanjutkan bahwa ada juga pembentukan hubungan kai-wait itu
dalam sebuah peristiwa sejarah yang melandasi pengkuhan hubungan hidup di
antara mereka sebagai adik-kakak. Ketiga, bentukan hubungan hidup kai-wait yang lain terjadi karena perkawinan. Dari hubungan
perkawinan, misalnya “X” seorang laki-laki atau perempuan asli Buru dan kawin
dengan orang bukan Buru. Anak-anaknya dan orang tua serta saudara-saudara
kandung dari isteri atau suami bukan Buru juga masuk dalam ikatan hubungan kai-wait sebagai orang basudara
Buru.
B.
Beberapa Tradisi Adat Buru[6]
1.
Tradisi toho wae.
Secara harafiah toho wae berarti
masuk ke air atau berendam di air. Toho berarti turun, masuk atau berendam dan wae berarti air. Ritual
ini adalah sebuah inisiasi adat Buru, yang dilakukan kepada anak-anak berusia dua
belas tahun ke atas, atau anak-anak berusia remaja menjelang dewasa. Inisiasi
berpuncak pada sirkumsisi atau sunat adat Buru. Sebelum sunat, seorang “Guru” melakukan ritual
adat dengan doa adat dalam bahasa Buru. Setelah itu, ia melanjutkan tahapan
ritual yang berikutnya. Anak-anak yang hendak disunat, harus berendam di kali
yang airnya mengalir. Lamanya berendam tergantung dari “Guru” yang melaksanakan
ritual awal sampai proses sunat dan pengobatannya. Berendam di air yang
mengalir dipahami membawa sisa-sisa kotoran hidup atau membersihkan bagian
tubuh vital, kemaluan, sehingga hidupnya ke masa depan akan baik. Berendam juga
dipahami sebagai cara untuk melemaskan otot-otot kemaluan yang akan dipotong.
Seorang tokoh adat mengatakan bahwa sunat tidak hanya dikenakan kepada
anak-anak laki-laki, tetapi juga diterapkan kepada anak-anak perempuan.[7]
Sunat adat Buru memakai pisau tradisional berupa kulit bambu
tipis bagian luar. Bambu yang dipakai bukan sembarang bambu, tetapi bambu yang
oleh orang Maluku Tengah disebut loleba. Kulit luar bambu loleba dapat digunakan sebagai tali pengikat dan banyak kali
dipakai untuk menganyam atap. Bambu loleba juga dapat dipakai sebagai bahan dasar membuat
berbagai anyaman, seperti nyiru, ayakan, bakul, keranjang, topi, dan beberapa
barang tradisional lainnya. Caranya, kulit potongan luar bambu loleba dibelah
setipis mungkin dan hasilnya adalah kulit tipis yang yang sangat tajam, setajam
sembilu. Masyarakat Maluku Tengah menyebutnya hahesi. Ia di rendam di air mengalir sebelum fajar sekitar
jam 4 pagi. Saat mengambil loleba dan berjalan ke tempat merendam hahesi, harus
sendirian dan tidak boleh diketahui orang atau bertemu orang di jalan. Menurut
keyakinan masyarakat Buru, “kerahasiaan” itu merupakan syarat bagi
keberhasilan, kemanjuran dan kesucian ritual. Kesucian ritual berkait erat
dengan perjalanan hidup orang yang disunat. Biasanya jika orang itu tertimpa
banyak kegagalan misalnya saat mencari pekerjaan, sakit-sakitan dan kesialan
lainnya, kondisi negatif itu dihubungkan dengan kekhusukan selama melakukan
ritual toho wae. Jika malapetaka misalnya kekeringan, banjit atau
penyakit menimpa desa, maka biasanya penyebabnya juga adalah ketidak beresan
dalam melakukan ritual sunat.
Obat yang dipakai
setelah disunat adalah obat tradisional Buru, disebut barut. Obat ini
berupa kikisan bagian belakang pelepah enau yang menggantung ke arah tanah.
Enau ini oleh masyarakat lokal Buru disebut tanaman
paku-paku, yang daunnya tidak bisa dimakan
sebagai sayur. Sebab ada tanaman sejenis yang daunnya bisa dimasak sebagai
sayur. Tanpa campuran bahan lain, barut, direkatkan ke daerah luka bagian yang disunat sampai
sembuh.
Disebut sunat adat, sebab
ritual ini menjadi alat pemersatu ikatakan kekeluargaan masyarakat. Ia adalah
sebuah identitas bagi suku atau masyarakat asli Buru. Masyarakat asli Buru yang
mendiami pesisir pantai dan sudah berbaur dengan penduduk migran lain dari
Buton, Bugis, Makasar dan penduduk lain dari Maluku, ada yang masih
mempertahankan tradisi toho wae. Tetapi ada juga yang sudah meninggalkannya. Bagi
penduduk asli Buru yang memganut Islam, sunat
adat sudah diambilalih dengan
melakukan sunat agama secara Islam. Bagi penduduk asli Buru yang beragama
Kristen, toho wae ditanggapi dengan dua sikap; ada yang menerima
tradisi ini dan ada juga yang mengabaikannya saja. Di beberapa desa Protestan,
Pendeta di Jemaat itu melarang tradisi ini. Latar penolakkannya bahwa Tuhan
Yesus sudah disunat sekali untuk selamanya menggantikan kita, sehingga tradisi
yang ada bertentangan dengan iman Kristen. Dampak dari sikap menolak seperti
ini mengakibatkan masyarakat asli melaksanakan tradisi toho wae secara
diam-diam atau sembunyi-sembunyi.[8]
Selama beberapa hari sampai seminggu, anak-anak remaja menjelang dewasa di desa
mengungsi untuk mengikuti ritual tersebut. Setelah melewati masa penyembuhan,
baru mereka muncul lagi di desa.
Bagi masyarakat di
desa Protestan yang Pendeta di jemaat itu menerima tradisi toho wae, ritual itu
dapat dilaksanakan saja. Kepala adat, yang biasanya berperan sebagai “Guru,”
akan mengundang Pendeta untuk mendoakan ritual tersebut dengan harapan supaya
semua pelaksanaannya berjalan lancar. Di desa-desa seperti ini, peserta tradisi
toho wae
dengan mudah dapat dikenal. Anak-anak usia remaja menjelang dewasa yang memakai
kain sarung adalah mereka yang baru selesai melaksanakan ritual tersebut dan
sedang menjalani masa penyembuhannya.
Menurut informasi, tradisi toho wae sudah ada jauh sebelum Islam masuk di Buru. Ia sangat
kuat sekali dipertahankan oleh penduduk asli Buru yang tidak tersentuh oleh
Islam terutama di daerah pegunungan danau Rana. Sampai hari ini penduduk pada
desa-desa di sekitar danau Rana masih teguh melaksanakannya. Informasi lebih
jauh menyebutkan bahwa tradisi ini bukan sebuah ritual berkaitan dengan adat.
Artinya sunat adat Buru tidak berkaitan dengan praktek agama asli Buru. Ia
lebih menekankan pada sisi kesehatan dan kebersihan tubuh, baik laki-laki
maupun perempuan, yang dimulai sejak usia remaja sampai akil-balig. Toho wae, adalah
sunat untuk kesehatan dan dapat disebut juga sebagai cara mendapatkan
kenikmatan hubungan seks. Ada pandangan orang tertentu yang berpendapat bahwa
ketika bersetubuh dengan kelamin yang disunat, terasa lebih nyaman dan nikmat.
Bagi kebersihan tubuh, ada pendapat yang mengatakan bahwa orang yang tidak
disunat biasanya menyimpan kororan dibalik gulungan kulit kemaluannya. Kotoran
itu menimbulkan rasa tidak nyaman ketika berhubungan intim.
Sebuah kisah terjadi di tahun 2000, ketika Konflik sosial Kristen-Islam
masih pecah di Ambon. Selama itu jika ada seseorang yang tidak dikenal masuk di
lingkungan kelompoknya, entah Kristen atau Islam, maka orang itu akan
ditelusuri identitasnya secara cermat. Si yang tidak dikenal itu akan
ditanyakan informasi dan mencari bukti identitas dirinya, terutama agama yang
dianut. Jika lingkungan kelompok itu Kristen, maka orang yang mendatangi atau
masuk ke lingkungannya haruslah orang Kristen dan demikian juga dengan
lingkungan kelompok Islam. Kelompok Kristen menangkap seorang asing yang masuk
di lingkungannya. Setelah melewati beberapa tahap ‘pemeriksaan’ mereka
menanyakan dia dan membuktikan bahwa benar ia seorang Kristen. Ketika ia hendak
meninggalkan mereka tiba-tiba seorang pemuda yang agak ragu meminta agar mereka
memeriksa tanda fisik tubuhnya. Setelah diperiksa, mereka menemukan bahwa dia
seorang yang disunat. Semua orang di kelompok itu geram sebab menurut mereka ia
membohong. Namun, ia berkeras mengaku bahwa ia seorang Kristen. Anggota
kelompok dengan marah sambil memukul menyela: “Tapi (tetapi) ose (anda) sunat (disunat).” Kekerasan baru berhenti ketika seorang di
antara kelompok Kristen itu bertanya: “Ose (anda) orang mana (berasal dari mana)”? Ia menjawab: “Beta (saya) orang
Buru.” Anggota kelompok Kristen itu serentak menegur teman-temannya supaya
berhenti menyiksa dia dan menjelaskan bahwa semua laki-laki orang Buru itu disunat
termasuk dirinya. Kemudian ia dengan rela mempersilahkan teman-temannya
membuktikan sendiri dengan memeriksa diri fisiknya.
2.
Tradisi Tafo Futan
Adat tafo futan, adalah
tradisi melarang hidup perselingkuhan di
antara orang yang sudah menikah dengan isteri/suami atau sebaliknya, di antara
orang yang sudah menikah dengan bujangan dan di antara orang sesama bujang
(lihat Kej. 20:14). Ada penetapan denda dengan jumlah uang tertentu (Rp
7.000.000). selain itu, ada slau yaitu lenso adat yang diikatkan pada kelamin pria
yang berselingkuh sebagai tanda ia tidak mengulanginya lagi. Bagaimana dengan
perempuan yang juga menikmati selingkuh ? Tidak ada sanksi yang dikenakan
kepadanya. Selama ini dikehui bahwa bentuk sanksi atas kasus itu hanya
dikenakan kepada pihak laki-laki.
Menurut
norma adat Buru, laki-laki dewasa yang membuat pelanggaran seksual terhadap
perempuan lain, ia diberi sanksi dengan memakai slau. Laki-laki dewasa dimaksud adalah seorang bujang atau
pun seorang yang sudah menikah dan perempuan korban juga adalah seorang bujang
dewasa ataupun yang sudah menikah. Slau adalah lenso adat Buru biasanya disebut juga sebagai lenso kapala
(kepala), yang diikat sebagai destar di kepala. Lenso adat ini sebagai tanda persekutuan
adat dalam masyarakat adat Buru. Kepala adat bertugas meIetakkan slau dengan
mengikatkannya pada kemaluan laki-laki yang melakukan pelanggaran tersebut. Ikatan
slau membungkus
alat kelaminnya.
Ada yang bertanya: “Apakah benar
penerima sanksi adat itu taat mengenakan slau? Pertanyaan ini menarik sebab slau jauh
tersembunyi dalam bungkusan pakaiannya. Namun demikian, pada umumnya menurut
penuturan orang Buru, tokoh adat dan para orangtua di desa akan tahu pasti, ia
sedang memakainya atau melepaskannya. Selama ini belum dijumpai ada penerima
sanksi adat itu merlepaskannya. Sebab ada waktu tertentu ia “diperiksa.”
3.
Sihit atau Sasi Adat
Sihit dilaksakan
sama seperti yang ada di berbagai daerah di Maluku. Sebagai tanda larangan
adat, sihit
merupakan tanda perlindungan atas hak hidup seseorang atau sebuah desa dengan
petuanannya. Ada sihit yang ditangani oleh perangkat desa dengan ritual
adat. Dalam prakteknya ritual adat memakai bahasa adat, bahasa tua Buru dengan
mengangkat atau memakai simbol benda tertentu. Benda tanda biasanya berbeda
terkait lahan benda atau obyek yang akan di-sihit. Jika obyeknya adalah dusun kelapa dan meti, dipakai
tanda dari daun kelapa muda (janur). Jika obyek lain, dipakai tanda silang dengan bahan
bambu, kayu atau daun kayu.
Selain itu ada juga sihit yang dilakukan oleh Gereja. Ia di doakan di Ibadah
Minggu dengan membawa benda sebagai tanda sihit. Benda itu bisa berupa botol berisi air dengan ikatan
kain berwarna tertentu. Tanda itu dipancang di sekitar tempat larangan. Ada
juga yang menempatkannya di dekat arah jalan dengan maksud supaya mudah
diketahui.
----------nseb---------
[1] Belum tegas terlaksana respons para
Pelayan GPM melihat kekayaan bentuk dan isi kebudayaan yang ada di konteks
pelayanannya, baik pada aras Sinode, Klasis dan Jemaat. Misalnya, ada Pelayan
yang menerima praktek sunat yang umum ditemui di masyarakat Buru, tetapi ada
juga yang menolaknya. Yang menerima memahami bahwa prkatek itu adalah sebuah
penghargaan dan pelestarian ikatan moral masyarakat lokal, sedangkan yang
menolak melihat praktek itu adalah perbuatan kafir dan bertentangan dengan iman
Kristen. Menurutnya, Tuhan Yesus sudah disunat sekali untuk selamanya mewakili
orang beriman.
[2] Wawancara dengan tokoh masyarakat Buru
Bapak E. Hukunala, 8 Juli 2012.-
[3] Wawancara dengan Pdt. Hany Thenu, 10
Desember 2013
[4] Wawancara dengan Pdt. Vecky Lesbata, 14
November 2012.
[5] Wawancara dengan Bapak J. Lesnusa, 12
Dersember 2012
[6] Sanny Gloria Kainama; Laporan Vikaris di Jemaat GPM Waenalut Klasis Buru Selatan, GPM,
Ambon 2012, halaman 13 - 17
[7] Wawancara dengan Pdt. Jopy Teslatu, 4 Desember,
2013
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusBipolo ka???
BalasHapusBUAL BUPOLO
Bipolo ka???
BalasHapusBUAL BUPOLO
Bukan bipolo bual bupolo
BalasHapus