Oleh: Dr. Nicodemus Sedubun, M. Th
Abstrak
Konflik sosial
bernuansa SARA 1999-2005/6[2] adalah
sebuah peristiwa yang telah “mengharu-birukan” hubungan antara agama dan adat
di Maluku Tengah. Dampaknya terasa di masyarakat dalam bentuk pemisahan di antara
penganut agama, Islam dan Kristen. Sementara itu, masyarakat adat di Maluku
Tengah, Islam dan Kristen memahami kebersamaan hidup di antaranya sebagai orang
bersaudara atau dalam bahasa sehari-hari orang
basudara (orang bersaudara). Mereka diikat dalam tali persaudaraan pela. Sekalipun mereka hidup berjauhan
dari satu desa dengan desa lainnya, tetapi mereka tetap akan saling memberitahukan
sudara-nya tentang kegiatan-kegiatan
adat, seperti pelantikan raja atau kegiatan sosial keagamaan seperti pembangunan
sampai pengresmian Gereja atau Masjid. Dalam perayaan atau peringatan seperti
disebutkan di atas, maka desa sudara-nya
pasti datang.
Kehadiran agama Kristen
Protestan, yang kelembagaannya di desa-desa Protestan disebut Jemaat, menyata
dalam kehadiran Gereja dengan pelayanannya. Adat dengan nilai-nilai kekerabatan
dan tatalaku tradisonal yang secara luas berlaku di masyarakat Maluku Tengah
yang tersimpul dalam kearifan lokal pela,
menghubungkan masyarakat Islam-Kristen. Di dalamnya Gereja memainkan peran
profetisnya.
Hubungan Agama dan Adat di Maluku Tengah
Konflik Maluku 1999-2005/6 adalah
sebuah tragedi kemanusiaan paling buruk yang telah melanda masyarakat Islam dan
Kristen di sana. Sekali pun berat, penuh kekejaman dan sulit dilupakan begitu
saja. Peristiwa itu adalah sebuah evaluasi historis bagi hubungan Gereja dan adat
di satu pihak dan hubungan Islam-Kristen di lain pihak. Tragedi ini
menggambarkan antiklimaks dari keluhuran hubungan antara nilai-nilai agama dan adat
di Maluku, khusunya di Maluku Tengah.
Nilai itu ialah
persaudaraan, saling menghormati, saling membantu dan saling melindungi dalam
simpul kearifan lokal pela. Dari
kandungan nilai-nilai luhur itu, mestinya tidak terjadi permusuhan, peperangan
sampai saling berbunuhan, seperti yang terjadi hampir setiap hari selama konflik
pecah. Selama konflik bergelora, yang ada hanya dua pihak yaitu Kristen dan
Islam. Tidak ada dan tidak berlaku faham kekerabatan pela yang merupakan manifestasi dari hubungan-hubungan hidup orang basudara yang beda agama, ada
Kristen dan ada Islam
1.
Gereja dan Adat
Sebelum Konflik
Agama Kristen Protestan masuk di Maluku Tengah pada
tahun 1602, bersamaan dengan kedatangan bangsa Belanda ke Maluku. Ia
menggantikan agama Kristen Katolik yang pertama masuk di Maluku pada tahun
1512, yang dibawa oleh penjajah Portugis. Selama perjumpaan itu, ada sisi
negatif dan sisi positifnya. Sisi negatifnya adalah agama menempatkan adat
sebagai nilai yang lebih rendah dari ajaran agama Kristen Protestan.
Indikasinya nampak dalam penegasan bahwa semua pemahaman dan praktek adat
adalah kafir (Cooley 1987: 198-201). Simbol-simbol
adat yang ada di Jemaat, semuanya dimusnahkan. Sebab semuanya merupakan manifestasi
nilai-nilai kafir, berdosa, ajaran iblis dan menyesatkan. Baileo, tempat-tempat pamali,
patung-patung, bahasa asli dan nilai-nilai relasional serta pandangan hidup
masyarakat lokal, secara luas dimusnahkan.
Dogma dan Teologi Gereja Protestan pada waktu itu,
juga memberikan angin segar ke arah pemusnahan adat. Tuhan Allah itu jauh di
Sorga. Beliau adalah subyek dari karya Keselamatan dalam Putra-Nya, Tuhan Yesus
Kristus. Paham seperti ini menempatkan dunia mutlak sebagai obyek keselamatan.
Karena itu pengakuan bahwa dalam peristiwa-peristiwa penyataan karya Allah yang
banyak terjadi di dunia yang di dalamnya manusia berupaya memahami dan berjumpa
dengan-Nya supaya diselamatkan, adalah sebuah kemustahilan. Pemahaman Gereja
tentang kesucian Allah adalah sebuah keterpisahan mutlak dari dunia yang penuh
dengan dosa, sama seperti dalam perlakuannya terhadap adat dengan semua nilai
dan prakteknya. Bahasa asli dilupakan dan diganti dengan bahasa Belanda atau
bahasa Melayu-Indonesia. Padahal bahasa adalah media pelestarian adat dan
melaluinya ekspresi adat dalam upacara-upacara adat dilakukan. Dengan demikian,
bahasa daerah juga kafir dan menjadi lawan Gereja. Pendeta sebagai pendekar
terdepan Gereja di Jemaat, menjadi pahlawan pemusnahan terhadap adat. Akibatnya
di desa-desa Protestan di Maluku pada umumnya dan di Maluku Tengah pada
khsusnya, bahasa daerah telah hilang. Terutama bahasa adat, yang adalah bahasa tua atau bahasa tanah ketika kepala adat menyampaikan maksud upacara
tertentu kepada para leluhur. Saya menemukan hanya masih ada sedikit bahasa
daerah di tiga desa Protestan yaitu di Hulaliu dan di Aboru di pulau Haruku dan
di desa Alang di pulau Ambon.
Ada kaitan
pemahaman dan perlakuan di atas dengan menjadi penganut Kristen Protestan
setelah dibaptis dan menerima apa yang disebut pangkat sarani (Cooley 1987:
276-279). Gelar ini adalah sebuah ketinggian status sebagai anggota Jemaat
yang dipandang lebih tinggi dari anggota masyarakat yang belum dibaptis. Status
ini tidak hanya menyangkut pengakuan keanggotaannya dalam persekutuan Gereja
ketika seseorang itu dibaptis dan menjadi anggota Jemaat. Ia juga berkaitan
dengan pengakuan untung-ruginya ke masa depan. Sisi untungnya, berarti ia
diterima di kalangan ‘elite’ ekonomi dan di kalangan Gereja. Secara ekonomis, pangkat sarani menunjuk kepada akses
komunikasi dengan orang Belanda. Sebab menjadi Kristen Protestan pada waktu itu
adalah sama saja dengan telah memeluk “agama Belanda.” Orang pribumi seperti
itu disebut “Belanda hitam.” Selain itu dengan menganut agama Kristen
Protestan, maka seseorang itu berkesemptan untuk bersekolah di sekolah
Protestan, menguasai bahasa Belanda dan juga bahasa Melayu-Indonesia. Lebih
jauh lagi, ia dapat bekerja dan punya taraf hidup ekonomi yang lebih baik.
Dengan kemampuan bahasa, seseorang bisa bekerja di kora-kora (perahu-perahu) dagang Hongitochten-Belanda atau jadi mandor di gudang-gudang penampungan rempah-rempah
Belanda. Ruginya, ia dihilangkan atau kehilangan identitas sebagai warga
masyarakat adat. Ia tidak boleh lagi melakukan dan mempercayai hal-hal mengenai
adatnya dan mesti melupakan bahasa daerahnya. Sekaligus juga ia kehilangan atau
ditolak dari lingkungan karib dalam ikatan masya-rakat adat-nya, yang sering
disebut sebagai orang alifuru.
Cooley dan juga
Bartels tidak secara tegas menyingkapkan apa saja daya tarik ketika seseorang
mendapatkan status pangkat sarani. Diduga
bahwa perasaan gengsi dalam kesenangan hidup ekonomilah yang menjadi faktor
pendorongnya. Di lain pihak kondisi terkait langsung lainnya juga adalah rasa
rendah diri oleh masyarakat adat, yang belum menjadi Kristen. Penjajah Belanda
mengajarkan bahwa menguasai bahasa Belanda atau bahasa Melayu-Indonesia, adalah
lebih baik daripada hanya hidup dengan bahasa daerah. Penegasan seperti ini
tidak seluruhnya salah. Ada juga benarnya. Sebab pada satu pihak, kebutuhan
komunikasi antara Penjajah dan Gereja, baik di antara mereka sendiri maupun
juga dengan masyarakat, adalah dengan bahasa Belanda dan bahasa
Melayu-Indonesia. Tetapi di lain pihak, identitas adat lokal dan nilai-nilai
hubungan kekerabatannya menjadi hilang. Masyarakat lokal menjadi terpisah dalam
sebuah dunia perjumpaan budaya yang luas sebab mereka hanya menguasai bahasa
lokalnya dalam ber-komunikasi.
Sisi
positifnya adalah kemajuan di bidang pendidikan dan peningkatan kualitas hidup sebagai
anggota masyarakat. Ada dua subyek yang berperan di sini, yaitu melalui Gereja
dan melalui Sekolah-Sekolah Protestan. Melalui Gereja pengajaran dan perluasan
pemahaman intelektual adalah rangsangan tersendiri tentang luasnya pengetahuan
anggota Jemaat. Khotbah, Katekisasi, pengajaran agama di Sekolah Minggu (SM)
dan Tunas Pekabaran Injil (TPI), pengajaran dan pelayanan pastoral di tiap
organsasi Gerejawi, adalah materi yang sangat kaya dan mendasar bagi perluasan
pengetahuan anggota Jemaat. Demikian juga melalui sekolah-sekolah Protestan,
pada murid dididik dengan pendidikkan agama, ilmu pengetahuan umun dan bahasa.
Khusus untuk mata pelajaran bahasa, diajarkan bahasa Belanda dan bahasa Melayu
atau bahasa Indonesia seperti sekarang. Dengan kelebihan pendidikan dan
pengetahuan seperti ini, maka orang itu bisa memperbaiki hidupnya dengan
menjadi pegawai negeri atau pegawai pemerintah. Menguasai bahasa Belanda atau
bahasa Melayu-Indonesia yang juga erat kaitannya dengan menjadi orang Kristen
Protestan, maka hidup akan lebih baik dan luas hubungannya. Selain posisi status
sosialnya dalam masyarakat naik, demikian juga orientasi perjumpaan dan
perluasan hidup juga meluas. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menjadi
orang Kristen Protestan, yang berarti meninggalkan adat, maka hidup seorang
akan lebih baik.
2.
Gereja dan Adat
Selama Konflik
Ikatan
pela menggabung desa-desa berbeda agama,
ada desa Islam dan bercampur dengan desa Kristen. Selama Konflik ikatan pela dipahami sepihak menurut klaim
pihak-pihak yang bertikai sendiri-sendiri, ada dua kelompok yang bertikai saja,
yaitu kelompok Kristen dan kelompok Islam. Pemilahan menurut ikatan pela tidak berlaku. Karena itu ketika
ada penyerangan yang mengakibatkan korban, maka pihak yang dikorbankan akan
menyangkali adanya ikatan pela.
Kenyataan ini membuat ada pernyataan tegas yang menolaknya. Salah satu di
antaranya adalah pernyataan dari Pastor Longginus Farneubun (2003 : 61-70; cf 32-33) yang menyatakan bahwa ikatan pela telah hancur berantakan selama Konflik Maluku. Harus diakui bahwa
selama Konflik ikatan pela mengalami
goncangan. Kegoncangan itu memuncak dalam perang tak terhindarkan yang terjadi
di antara ikatan pela antara desa
Islam dan Kristen; seperti di antara desa Batu Merah (Islam) yang terletak di
pusat kota Ambon, dengan desa Passo (Kristen) yang terletak di pingiran kota.
Kekejaman dan pembantaian terjadi di mana-mana mengakibatkan selama Konflik
hanya dikenal kelompok Islam atau kelompok Kristen.
Jika
diamati, terlihat hubungan Gereja dan adat selama Konflik berlangsung berada dalam
pergumulan yang sama. Pergumulan itu ialah pertarungan mengenai pemahaman
tentang perlindungan dari Yang Maha Kuasa. Di dalam keyakinan iman Kristen,
perlindungan atas hidup diyakini mutlak berpusat pada keselamatan dari Tuhan
Allah. Keyakinan ini membuat perkumpulan doa dan ibadah-ibadah selalu penuh dan
khusuk. Sementara dalam pemahaman adat, perlindungan dan keselamatan berasal
dari penyertaan kuasa leluhur atau nene-moyang,
yang dalam bahasa asli disebut Upu Lanite
(Tuhan atas langit, upu = Tuhan, lanite = langit). Keyakinan kuasa
leluhur didemonsrasikan dalam perang dengan menunjukan kekuatan magis. Simbol
kekuatan dinampakan dalam tarian cakalele,[3]
membakar kemenyan, memberkati perkakas perang atau juga dalam bentuk menyumbur
tubuh sang ‘jawara’ oleh gurunya, sang kepala adat.
Indikasi
selama Konflik menunjukan bahwa tempat-tempat ibadah Kristen selalu penuh sesak
dengan anggota Jemaat. Persekutuan-persekutuan ibadah dan doa (disebut Ibadah
Posko, pos komando) selalu penuh sesak kebanjiran umat. Begitu juga dengan
persiapan bertahan dan berperang melawan kelompok penyerang harus dimulai
dengan doa. Isi doa hanya terpusat kepada Yang Maha Kuasa, Allah Tritunggal
Bapa, Putra dan Roh Kudus. Dalam bahasa sesehari orang di Ambon berdoa kepada
Tuhan disebut doa kepada Tete manis. Tete, berarti kakek atau seorang tua yang baik hati dan penolong. Lain halnya di
masyarakat adat, selain doa dengan bahasa tanah atau bahasa daerah yang sudah
sangat tua, tetapi ada juga demonstrasi kekuatan leluhur atau Upu Lanite yang sangat ditonjolkan. Upacara
dan doa-doa memanggil kuasa dari gunung dan tanjung, simbol kekuatan roh
leluhur-nenek-moyang, menggema. Tiup-tiup atau memberi tuah kepada perlengkapan perang seperti
: senapan rakitan, panah, parang dan bom dijumpai hampir di semua anggota
pasukan.
Semula
ada pendoa, entah Pendeta atau anggota Majelis Jemaat (Penatua atau Diaken)
yang memprotes perbuatan ini. Para pendoa itu menghendaki supaya mengalaskan
upaya menjaga perbatasan Jemaat dari kelompok penyerang hanya dengan dasar doa
kepada Tuhan, kepada Tete Manis saja.
Tapi harapan itu tidak mudah terwujud. Sebab ancaman dari kelompok penjaga
perbatasan yang sangat marah dan kejam, apalagi dengan berbagai senjata siap
perang di tangan membuat sikap para pendoa serba tidak menentu. Pada akhirnya,
doa kepada Tuhan dipanjatkan juga di atas senjata-senjata perang dengan
berbagai tanda, tali kain, ajimat dan
semua simbol kekuatan adat. Doa dalam suasana seperti ini semakin memberi
tempat dalam pandangan orang Ambon tentang penyertaan Tuhan; pertama Tuhan
Allah (Tritunggal : Bapa, Putra dan Roh Kudus) dan kedua adalah leluhur atau nenek-moyang. Teman-teman saya, Pendeta
dan Majelis Jemaat yang pernah berdoa dalam suasana seperti ini, dengan spontan
mengatakan bahwa mereka terus saja lansung berdoa. Sebab ancaman mati atau
hidup dipaksakan oleh pasukan yang sudah siap pergi untuk mempertahankan
perbatasan Jemaat atau pun pergi untuk berperang menghalau musuh penyerang. Kondisi
seperti di atas membuat para pendoa harus bertindak segera untuk berdoa di atas
semua ketidak setujuannya.
Patut
ditanyakan di sini : siapakah yang mendapat tempat, adat ataukah Gereja?!
Ataukah kedua-duanya. Ada pemahaman yang mengatakan “tokh sama saja”! Sebab,
bukankah dalam meyakini perlindungan dari Yang Maha Kuasa oleh orang Maluku
pada umumnya dan orang Ambon pada khususnya; Tuhan berada di posisi pertama dan
kedua adalah nenek-moyang atau
leluhur? Kenyataan yang terlihat pasti adalah ada ‘pertarungan’ dalam bentuk
demonstrasi kekuatan oleh anggota Jemaat yang sekaligus adalah anggota
masyarakat adat membaur dalam kemelut Konflik itu.
3. Gereja dan Adat Sesudah Konflik
Sesudah Konflik, terlihat bahwa pemahaman tentang
perlindungan Tuhan di antara agama dan adat mulai positif. Kondisi ini
ditunjukan dalam pemahaman masyarakat tentang ikatan pela yang mengalami pembaruan. Masyarakat mulai menunjukkan
kesadaran terhadap ikatan kekerabatannya itu. Kerinduan itu mulai menyata
ketika ada prakarsa pribadi-pribadi Kristen yang mencari jalan sendiri untuk
bertemu dengan saudaranya yang Muslim. Orang desa Batu Merah yang terletak di
pusat kota Ambon secara pribadi mulai bertemu dengan saudara pela-nya orang desa Passo yang terletak
di pinggir kota Ambon. Mereka berjumpa di pasar atau di terminal, bahkan ada
yang datang langsung ke desa Passo. Demikian juga sebaliknya pribadi-pribadi
warga Passo datang ke desa Batu Merah. Di tingkat pimpinan desa pun tampak
kemajuan. Ada kunjungan Raja Passo ke Batu Merah dan juga sebaliknya. Semuanya
ini menunjukan pulihnya kembali hubungan ikatan pela di antara kedua desa itu. Indikasi lain yang muncul dalam
bentuk yang lebih besar terlihat dari warga hubungan pela mulai saling mengunjungi antar desa dan diikuti dengan
partisipasi masyarakat dalam ikut membangun gedung gedung ibadah, seperti
Gereja di desa Kristen atau Masjid di desa Islam.
Dalam skala yang lebih luas, indikasinya memberi
harapan yang makin membaik. Terlihat selama tahun 2006 ada satu kali upacara panas pela antara desa Seith (Islam)
yang terletak di pulau Ambon, dengan saudara pela-nya desa Ulath (Kristen Protestan) di pulau Saparua. Di tahun
2007 ada paling sedikit tiga kali diadakan upacara yang sama. Dua kali terjadi
antara sesama desa Kristen, yaitu di bulan November antara desa Ihamahu di
pulau Saparua dengan desa Amahai di pulau Seram, dan desa Alang dengan desa
Latuhalat, keduanya terletak di pulau Ambon. Satu kali upacara panas pela terwujud di antara desa Tuhaha
(Kristen) dengan desa Kulur (Islam) di pulau Saparua. Peristiwa-peristiwa ini
patut disimak sebab dalam upacara panas
pela, berhimpun tokoh-tokoh adat dan seluruh acara seremonial dan ritual
hanya dalam warna adat. Tamu yang datang adalah pemimpin masyarakat dan warga adat
yang terikat dalam ikatan pela. Acara
itu juga diikuti oleh tokoh-tokoh agama, baik Islam maupun Kristen. Selama
acara upacara panas pela, jika
terpusat di desa Kristen, maka selalu diadakan ibadah syukur di Gereja. Begitu
juga ada shalat di Masjid, jika acara panas
pela terpusat di desa Islam.
Panas pela menjadi penting
diamati sebab di peristiwa ini bisa dilihat hubungan antara Gereja dan adat.
Setelah Konflik, dalam upacara panas pela
di desa-desa Kristen peran pimpinan agama mulai mendapat tempat penting jika
dibandingkan dengan kondisi sebelum Konflik. Peran itu ialah keterlibatannya
dalam berdoa memperkuat ikatan panas pela.
Biasanya peran penting ini menjadi tanggungjawab kepala adat dan Raja. Partsisipasi
Pendeta secara tidak langsung adalah dalam
bentuk ibadah di Gereja bersama para anggota Jemaat tuan rumah dan anggota
Jemaat tamu dari desa-desa se-pela
pada malam hari, setelah upacara panas pela
dilaksanakan di baileo.
Keterlibatan langsung peran Gereja dalam acara adat
seperti itu, perlu dilihat dalam hubungan dengan beberapa hal. Pertama, dalam upacara adat panas pela biasanya dihadiri oleh warga
desa-desa yang cukup banyak. Warga desa-desa yang datang bersekutu dalam ikatan
pela itu paling sedikit di antara
tiga desa. Desa tuan rumah menjadi membludak sementara desa-desa asal tamu
menjadi sepi dan kosong karena yang tinggal cuma orang-orang tua dan anak-anak
sekolah. Upacara ini tidak bisa dilaksanakan dalam sehari saja. Ia membutuhkan
waktu lama dan bisa sampai empat hari. Migrasi semusim sejumlah besar penduduk
selama beberapa hari ini mengartikan, jika sebuah acara panas pela di adakan, maka ia membutuhkan biaya ekonomi yang cukup
banyak. Kedua, dari acara-acara panas pela yang terjadi pasca Konflik,
diketahui bahwa sponsornya adalah pemerintah daerah. Pemerintah daerah
menegaskan bahwa pertimbangan pelaksanaannya berkaitan dengan menjaga hubungan
antar agama supaya membaik, setelah belajar dari Konflik Maluku. Artinya, tangan
pemerintah yang mengatur semua kegiatan panas
pela. Semua susunan acara, tujuan pelaksanaan dan sudah pasti yang
terpenting adalah pembiayaan-nya ditanggung oleh pemerintah. Selain peserta
tetapnya adalah warga dari desa-desa se-pela,
tetapi peserta undangan juga ditentutakn oleh pihak panitia bentukan
pemerintah. Termasuk juga para pemuka agama Islam dan Kristen seperti Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Uskup dan Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku
(GPM) juga Imam, Pastor dan Pendeta yang bertugas di desa-desa ikatan pela termaksud. Ketiga, dapat dipahami bahwa ada target dan ada juga pesan sponsor.
Pesan sponsor yang paling laku adalah pesta-pariwisata sesuai program
pemerintah daerah. Jadi, upacara yang dibuat adalah menjual gemerlap upacara panas pela demi suksesnya program
pemerintah supaya ada pemasukan dana dari pemerintah pusat dan ada pemusatan
perhatian dunia luar ke Maluku bahwa rekonsiliasi atas Konflik Maluku sudah
berhasil. Tegasnya upacara panas pela
itu merupakan sebuah pameran pemerintah bahwa Ambon atau Maluku sudah aman. Keempat, ada kegelisahan warga
masyarakat adat. Kegelisahan tidak kentara muncul dari benak orang-orang desa
pemilik ikatan adat itu sendiri. Sebab, upacara panas pela tidak terjadi dan lahir dari kesadaran mereka, warga
desa-desa yang terikat dalam persaudaraan pela,
para pemilik simpul persaudaraan adat sendiri. Warga adat ‘dipaksa’ untuk
melaksanakannya karena ada sponsor biaya dan tangan yang penuh kuasa.
Akibatnya, hakekat keluhuran nilai-nilai ikatan panas pela yang disimbolkan dalam upacara dengan ritus-ritus
sakralnya, hanya sekedar dilaksanakan saja; yang penting jadi, ‘mendingan’ ada
kesempatan dan ada uang.
Karena kegiatan adat dalam bentuk upacara panas pela itu diatur oleh tangan
pemerintah dan bukan oleh aparat pemerintahan adat di desa, maka kehadiran
Pendeta mesti dipahami sebagai sebuah ‘keterpaksaan’ dalam perjumpaannya dengan
adat. Hubungan Gereja dan adat yang terwujud di dalamnya hanyalah sebuah partisipasi
‘semu’ demi sopan-santun semata. ‘Keterpaksaan’ dimaksud adalah gambaran sikap
partisipasinya yang bukan lahir dari kerelaan atas permintaan kepala adat atau
Raja. Tetapi ia melakukannya karena sebuah perintah.[4]
Diskusi menyangkut sikap pak Pendeta ini pasti melahirkan banyak argumen
berdasarkan dari sudut mana ia ditelaah. Kondisi ini menampilkan dua pemahaman yaitu
dari sisi tanggungjawab misionernya dan dari sisi apresiasi adat-budaya Maluku
Tengah.
Dari tanggungjawab missioner apapun alasannya,
seorang Pendeta adalah seorang pemberita kasih Tuhan kepada siapa saja, di mana
saja dan kapan saja, ia berada. Ia wajib berdoa dan mengajarkan kebaikan Tuhan
yang sudah menyelamatkan manusia kepada orang-orang yang disenangi sampai
kepada musuh-musuhnya. Dengan demikian, maka doanya di acara upacara panas pela adalah demi menyuarakan dan
menyaksikan kasih Tuhan kepada semua orang yang hadir, baik itu petinggi
pemerintah maupun pemuka adat bersama semua warga masyarakat Islam-Kristen.
Motivasi dalam penghayatan atas tugas missioner ini akan membuat pak Pendeta
tidak boleh melihat kesempatan itu sebagai sebuah ‘paksaan’ oleh pihak mana
pun. Apalagi panggilan yang ‘terpaksa’ itu disebabkan oleh adanya daya tarik
tersendiri, yaitu tebalnya amplop berisi rupiah[5]
dari panitia pelaksana.
Dari apresiasi adat-budaya
di Maluku, jabatan sebagai seorang Pendeta sangat dihormati; bukan hanya oleh
anggota Jemaat Kristen Protestan saja, tetapi juga oleh masyarakat Islam.
Apresiasinya sedemikian mulia karena begitu banyak kesan baik yang ditinggalkan
selama kehadiran para Misionaris di waktu lampau. Kesan baik itu ditinggalkan
dari masa datangnya agama Katolik sampai masa agama Protestan. Bahwa kehadiran,
pengabdian dan partsisipasi hidup yang luar biasa telah mereka tunjukan dengan
tekunnya dalam hidup bersama-sama dengan orang-orang kecil, warga masyarakat adat
pada waktu dulu. Tokoh-tokoh Katolik terkenal misalnya Fransisks Xaverius (Wellem 1987:248-249; Van Den End 1973:166-168) dan para Pastornya.
Tercatat bahwa para Pastor di mana pun mereka melayani umatnya, sebuah syarat
tidak tertulis bahwa mereka harus menguasai bahasa setempat. Inisiatif ini
membawa keberhasilan mereka dengan pelayanan bagi umatnya (Muskens 1973:173). Seorang misionaris Protestan yang sangat dikenal
dan berhasil dalam misinya adalah Yoseph Kam (Enklaar 1975; Pattikayhattu
1984, Ngelow 1993: 23-24). Karena
keberhasilan pengabdiannya sehingga ia disebut Rasul Maluku.
Kondisi seperti digambarkan di upacara panas pela di atas menempatkan posisi
kepala adat dan Raja sebagai pelaksana adat adalah sama saja dengan Pendeta.
Hubungan keduanya berada dalam komando pemerintah. Pernyataan ini agak naïf, tetapi
kenyataan yang ada bahwa pasca Konflik, di hampir semua kegiatan pemerintah,
mereka : tokoh adat bersama tokoh agama, Pendeta, Pastor dan Imam, selalu
menjadi pendamping pemerintah. Lantas bagaimana kita bisa melihat hubungan di
antara keduanya ? Pertanyaan ini penting sebab pasca Konflik perjuangan
terberat adalah memulihkan trauma permusuhan di antara kedua komunitas dan
bagaimana memperjuangkan kesejahteraan hidup
bagi semua orang, baik selaku anggota Jemaat maupun sebagai anggota
masyarakat adat.
Upaya
pemulihan trauma dan membangun kesejahteraan hidup di pedesaan, bisa diatasi
dengan membangun kerja sama di antara Gereja dan pemerintah desa. Hal ini mudah
dijembatani sebab di desa hanya perlu pembangunan sarana yang menunjang
relokasi seperti perumahan dan penanaman kembali kebun dan ladang. Ikatan
kekerabatan hidup dan relasi sosial desa yang masih murni dan polos sangat
menunjang pencapaian upaya tersebut. Di kota, penanganannya sangat kompleks
sebab pembauran hidup masyarakat sangat tinggi. Upaya pemulihan trauma
dilakukan oleh Gereja dengan pendampingan pastoral dan upaya-upaya pemberdayaan
lainnya. Kesulitan besar dihadapi kedua belah pihak sebab Gereja bersama
pemerintah sangat bergantung dari bantuan pemerintah. Oleh karena itu
penanganan trauma dan mengejar hidup yang sejah-tera terasa sangat berat dan
lamban perkembangannya.
Jika ditelaah seluruh
uraian di atas, maka hubungan agama Kristen Protestan dan adat ada dalam tiga
pembatasan, yaitu : batas budaya, batas ekonomi dan batas keyakinan. Batas
budaya dan batas ekonomi berlatarbelakang pengaruh interaksi dari budaya luar.
Hubungan dalam batas budaya menunjukan kepada kita tentang pengaruh sikap, pola
pikir dan pandangan hidup orang Maluku Tengah dipengaruhi oleh perjumpaan
budaya dari kesultanan Ternate, dari Jawa, dan juga dari pengaruh penjajah
Portugis dan Belanda (Leirissa 1975 :
4-10). Hubungan dalam batas ekonomi memberi gambaran tentang pengaruh
perjumpaan dengan dua subyek, yaitu pengaruh perdagangan dan akibat positif
dari dunia pendidikan Protestan. Perjumpaan Gereja dengan adat dalam batas
ekonomi mencapai puncaknya dalam masa Hongitochten-Belanda. Monopoli
perdagangan selain melahirkan pembatasan perdagangan masyarakat adat-pribumi,
kesenangan hidup ekonomi dengan kelengkapannya membuat masyarakat senang dan
menjadi terhormat kalau menjadi kelasi kora-kora
dagang Hongitochten atau bekerja
sebagai mandor Belanda. Di bidang pendidikan, peran sekolah sekolah Protestan
melahirkan orang yang mampu berbahasa Belanda dan Melayu-Indonesia. Kemampuan
ini memungkinkan seseorang berpeluang mendapat pekerjaan dan mencapai tingkat kesenangan
hidup.
Perjumpaan
Gereja dan adat dalam batas keyakinan adalah sangat vital karena menyangkut
keyakinan terdalam dari pemahaman dan perilakunya. Sering terjadi konflik di
antara keduanya. Konflik secara “diam” saja dan bukan konflik terbuka atau
berhadap-hadapan. Karena satu pihak dipandang telah melintasi wilayah pelayanan
pihak lain. Misalnya dalam doa pelantikan se orang raja, yang sudah
dilaksanalkan di baileo, mengapa
mesti dibuat lagi di Gereja. Demikian juga dengan pelaksanaan sasi adat, mengapa mesti ada juga sasi Gereja. Demikian juga menyangkut
aspek kepercayaan akan perlindungan, penyertaan dan berkat Tuhan. Ketika
seseorang selamat dari pembunuhan di Konflik, ia disabet parang tapi tidak
terluka dan selamat sampai ke rumah. Dari sisi pandangan Kristen itu adalah
karena penyertaan Tuhan. Tetapi di pihak adat, itu bisa terjadi karena orang
itu telah datang menaikan kaulnya di baileo.
Ia dilindungi dengan kekuatan magis, kebal terhadap tebasan parang, karena
dilindungi oleh kuasa roh leluhurnya.
Percaya kepada Tete Manis dan Upu Lanite
Tete Manis adalah sebuah nama yang sangat dikenal
oleh masyarakat Maluku, baik orang Kristen dan juga orang Islam. Bagi orang
Kristen, sebutan ini menunjuk kepada Tuhan yang diimani di dalam Yesus Kristus,
Tuhan dan Juruselamat dunia. Biasanya orangtua mengenalkan kepada anak-anaknya
tentang Tuhan yang pengasih dengan nama Tete
Manis ketika anak-anaknya berperilaku baik : “Kalau nyong/nona (putraku/putriku terkasih) rajin ke Sekolah Minggu, maka
Tete Manis sayang. Tetapi kalau nyong nakal, nyong/nona akan menjadi teman Tete
Momo.” Ungkapan-ungkapan ini biasanya orangtua sampaikan sebagai nasehat
dan petunjuk ketika mendongeng atau menasehati anak-anaknya sebelum mereka
tidur. Ketika mereka mendengar nama Tete
Manis, maka itulah pribadi Tuhan Yesus yang diimaninya sebagai seorang anak
Kristen. Kata Tete berati kakek atau
seorang tua yang baik hati dan pemurah. Ia suka akan perbuatan-perbuatan yang
baik. Tetapi jika anak-anak nakal, maka ia menjadi teman seorang kakek yang
jahat dan biasa menghukum mereka, dialah Tete
Momo (Momo atau momok adalah gambaran orang tua atau
kakek yang menjadi momok atau pengganggu anak-anak).
Bagi masyarakat adat,
mereka tetap meyakini akan kuasa Upu
Lanite atau leluhur. Kuasa rohnya diyakini sebagai yang selalu hadir,
melindungi, menghukum, memberkati dan menyertai masyarakat adat di mana dan
kapan pun. Bagi warga masyarakat adat yang setia melakukan tuntutan adat dengan
baik, maka ia akan disertai, dilindungi dan diberkati. Roh leluhur tetap akan
menyertai-nya kemana pun ia pergi. Tetapi sebaliknya, jika tuntutan adat tidak
dipenuhi, atau dilawan, maka roh leluhur akan menghukumnya dengan kegagalan,
sakit, bahkan sampai mati. Bukti akan kebaikan roh leluhur yang memberkati dan
melindungi dan juga dengan kemurkaannya yang menghukum, sangat meyakinkan
masyarakat adat. Contoh bisa dilihat dari dua kasus berikut. Ada seorang Maluku
Tengah yang tinggal di Belanda.[6] Ia
berjanji untuk pulang ke desanya di pulau Seram untuk menyelesaikan pembayaran
harta kawinnya. Tetapi karena kesibukan pekerjaannya, ia lupa. Kesulitan dan
tantangan hidup melandanya, ia dan anak-anaknya menderita penyakit yang tidak
bisa disembuhkan oleh dokter. Beberapa waktu berselang baru ia ingat akan
janjinya. Setelah pulang dan menyelesaikan tuntutan adat di desanya, ajaib, ia
dan keluarganya sembuh dan pekerjaannya bisa pulih lagi seperti semula.
Kasus lain
menimpa seorang Pendeta yang tinggal di Lampung.[7] Ia
berjanji bahwa sebelum pensiun ia harus pulang ke desanya, Letwurung di Tepa,
pulau Babar Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD). Rencananya belum terpenuhi
setelah pensiun. Ia mulai sakit keras. Seorang anaknya yang Pendeta juga sakit
keras. Upaya lewat pergumulan doa dan perawatan dokter untuk kesembuhan atas
penyakit mereka, tidak berhasil. Keluarga ini lalu ingat janji pulang kampung.
Mereka memenuhinya dan kesembuhan diperoleh.
Karena bukti
atas kepenuhan janji tuntutan adat itu, orang yang percaya akan sanksi terhadap
pelanggaran adat, selalu mengaitkan hubungan kegagalan hidup, sakit, bahkan
kematian dengan perlunya memenuhi tuntutan adat (cf. Jensen 1963:296-303). Dengan sendirinya, mereka akan melirik ke
bentuk-bentuk ritus upacara adat sampai pemenuhan kaul atau janji adat yang mesti dipenuhi (Prins, 1973:13-14). Karena itu tidak heran jika si Pendeta dan si
orang dari Belanda itu harus pulang kampung sebab ia harus datang di pusat
siklus materialnya, ke dunia hierofani,
tempat pemenuhan penempatan diri, pusat janji, yang diyakininya akan memberikan
kepenuhan harapan, yakni buah kesembuhan baginya (Kirchberger & Prior 1996:298-300).
Kemudian,
bagaimana dengan pandangan agama Kristen tentangnya? Bagaimana tidak, sebab
kasus kesembuhan atas janji bayar harta dan pulang kampung itu sangat menantang
dan menohok keyakinan iman Kristen. Mengapa bisa demikian; perawatan dokter
tidak mempan, doa pendeta ditambah perawatan dokter juga tidak mempan, tapi
dengan memenuhi janji barulah kesembuhan didapat. Respons yang muncul pasti
bisa bersifat kontra, afirmasi atau peneguhan dan transformasi atau kontekstualisasi.
Sikap kontra melawan pemahaman dan
praktek adat telah lama mewarnai perjumpaan agama Kristen Protestan dengan adat
di Maluku Tengah. Konsekuensi sikap itu melahirkan banyak kehancuran
simbol-simbol adat. Patung-patung, mesbah-mesbah penyembahan, baileo dan berbagai benda keramat adat
telah dimusnahkan oleh Gereja. Sikap destruktif Gereja itu bertolak dari
pemahaman bahwa keyakinan akan kesembuhan dari kuat kuasa roh leluhur adalah
pandangan yang tidak bisa diterima. Orang Krisren, anggota Jemaat dan Pendeta
mesti meyakini imannya yang tak tergantikan. Memang kesulitan yang dihadapai
adalah menjawab bukti sebab akibat dari kesembuhan itu sendiri. Mengapa ketika
memenuhi kaul baru bisa sembuh,
sekalipun sudah berdoa dan mencari kesembuhan ke dokter ? Sayangnya banyak
orang belum dapat menerima bahwa kesembuhan itu bisa terwujud akibat dorongan
kekosongan kejiwaan. Secara sederhana patut ditanyakan, dapatkah seseorang
merasakan kekosongan jiwanya ketika ia belum memenuhi kaul-nya? Apalagi ia sementara sakit? Tokh jika ia sehat ia tidak
akan ingat akan kaul-nya. Pada
umumnya hanya ketika bencana menimpa baru evaluasi hidup muncul ke permukaan.
Di lain pihak harus diakui bahwa ada juga banyak mujisat kesembuhan yang
terjadi di atas doa dan perawatan dokter.
Sikap afirmasi (peneguhan) agama Kristen
Protestan terhadap nilai-nilai adat dapat diterima, misalnya dalam memaknakan
pembayaran mahar atau harta kawin
atau juga perkunjungan ke kubur orangtua kita. Di kalangan orang Kristen
Protestan telah lama muncul pandangan yang keras melihat kedua bentuk pemenuhan
tuntutan adat itu sebagai penyembahan kepada leluhur atau orang mati. Bagi
masyarakat timur, aspek hubungan kekerabatan masyarakat adat adalah sangat
kuat, sehingga jika ada seseorang dalam kekerabatan itu yang tidak taat
terhadap nilai-nilai adat nya, maka ia akan dikucilkan. Resiko ini akan
dialaminya jika ia tidak membayar mahar,
atau pulang kampung tanpa datang ke kubur orangtuanya, sekalipun itu dilakukan
sekedar melihat saja. Perubahan dan pergeseran pemahaman di kalangan Kristen Protestan
mulai melihat bahwa tradisi di atas itu bukanlah sebagai sebuah penyembahan
kepada leluhur tetapi sebuah penghormatan atas nilai adat yang dikandungnya.
Eben Nuban Timo
(2005) mengatakan bahwa dalam semua
peristiwa sejarah, budaya dan agama, di sana ada sidik jari Allah. Tuhan Allah
meninggalkan maksud khusus dibalik semua peristiwa hidup, entah senang atau pun
duka supaya manusia mencari jalan untuk melakukan kehendak-Nya demi kebaikan
hidupnya bersama orang lain ke masa depan. Maksudnya, membayar mahar harus dipenuhi bukan sebagai manifestasi
rasa takut atas ancaman Upu Lanite
atau leluhur. Tetapi dilakukan karena apresiasi atas sebuah nilai hubungan
hidup yang mengikat, baik di antara kedua suami isteri maupun juga di antara
kedua pihak keluarga orangtua mereka. Di dalamnya ada sebuah komitmen moral
yaitu menjaga keutuhan hidup keluarga. Demikian juga dengan perkunjungan ke
kuburan orangtua adalah sebuah apresiasi. Sebab, dari almarhum atau almarhumah
orangtua didapat banyak nilai-nlai hidup yang daripadanya si anak mampu
mencapai kehidupan yang ada dialaminya sekarang. Tuhan memberikan dan mewariskan
hikmat dan kebaikan yang mereka ajarkan sebagai warisan hikmat kepada anak-anaknya,
maka selayaknya mereka dihormati. Wujudnya adalah datang berkunjung ke kuburan
mereka.
Langkah transfomasi atau kontekstualisasi bisa
dilihat dalam contoh sasi dan
pemakaian bahasa daerah. Semula sasi
negeri, yang bermakna pelestarian potensi sumber alam, sepenuhnya dilakukan
menurut cara adat. Di dalamnya ada ritus upacara penyertaan roh leluhur untuk menjaga,
memberkati dan memberi sanksi kepada masyarakat jika terjadi pelanggaran atas sasi tersebut. Gereja mengambil alihnya
menjadi sasi Gereja karena kandungan
makna pelestarian yang penting bagi kesejahteraan manusia. Demikian juga dengan
pemakaian bahasa daerah. Dulu ia dipandanag sebagai yang kafir, dari roh
leluhur dan dimusuhi Gereja. Tetapi ketika seorang Pendeta berkhotbah dengan
memakai bahasa daerah atau sedikit-dikitnya menggunakan istilah atau faham
falsafi daerah, maka anggota jemaat merasa ‘kerasan’ mendengar dan
menikmatinya. Rasa dihormati dan hubungan akrab si pengkhotbah dengan anggota
Jemaatnya menjadi akrab ketika ia memakai apa yang ada di dalam Jemaatnya,
desanya sendiri. Sang Pendeta tidak semata-mata membawa “barang asing” seperti bahasa
dan nilai-nilai luar yang dipandang asing dan aneh ke dalam Jemaatnya. Rasa ‘kerasan’
muncul dibenak anggota Jemaat ketika Pendeta memakai simbol-simbol lokal
seperti di atas. Dengan pendekatan ini, memori anggota Jemaatnya dilahirkan
kembali. Apa yang menjadi milik kebanggaannya dan disenanginya yang tersembunyi
jauh dan dalam, kembali ditampilkan, identitasnya dimuliakan dan martabat
dirinya ditinggikan (Geertz 1992:50-53;
Kobong 1994:24-27). Di Maluku, atau
di Gereja Protestan Maluku, penghargaan atas bahasaa daerah belum sepenuhnya
dilaksanakan seperti Gereja Gereja di Jawa, Papua dan Batak. Bagaimana cara memperjuangkannya
demi pemberdayaan berteologi umat adalah sebuah upaya membaca, mengartikan dan
memanfaatkan secara tepat dan bermanfaat demi menghadirkan kasih Tuhan yang
menyelamatkan dunia. D. A. Carson & John D. Woodbridge (ed, 2002:3-17) mengatakan bahwa upaya
berteologi dengan memberi makna yang sejalan dengan konteks harus menempuh
interpretasi nilai-nilai budaya lokal yang diyakini relevan dan berperspektif
keselamatan.
Harmoni Dalam Pelayanan Adat Dan Gereja
Uraian di atas
menyiratkan bahwa akan muncul dua sikap dalam berteologi yaitu secara positif
dan juga secara negatif. Berteologi secara positif bukan dengan cara membangun
konflik di antara Gereja dengan adat. Tetapi menunjukkan apresiasi dan
solidaritas dalam pemaknaan nilai yang dikandung adat. Nilai adat mesti
dijunjung tinggi oleh warga masyarakat adat dan demikian juga oleh warga Gereja.
Dengan penempatan sikap dan perilaku seperti itu, maka hidup berdamai dengan
harmonis dan solider akan terwujud. Berteologi secara negatif membawa Gereja
melihat segala nilai adat adalah musuh, lawan, produk iblis dan harus
dimusnahkan. Dengan berlaku seperti itu, kita lalu menutup pintu kasih Allah
untuk melihat karya keselamatan-Nya yang ada dan juga mampu berkarya di
dalamnya. Ini bahaya besar sebagaimana yang diwariskan dalam “teologi lama”
yang bergelora memusnahkan adat.
Pertanyaan
muncul, adilkah kita ketika hanya mengklaim bahwa percaya kepada Tete Manis saja yang lebih benar, tinggi
dan agung ketimbang praktek ritus-ritus adat yang percaya kepada Upu Lanite atau leluhur ? Bukankah
sebelum datangnya agama samawi, Islam, Kristen Katolik dan Kristen Protestan,
kuasa yang dihormati dan diyakini melindung dan memberkati mereka yang disebut
kuasa tertinggi dan daripada-nya orang beragama berrefleksi dan menyebutnya
Tuhan Allah Yang Maha Kuasa? Saya menekankan tentang berlaku adil, berarti
hendak memberi ruang kepada agama Kristen dengan berita keselamatan dari Allah,
yang disuarakan dari Gereja kepada manusia. Di situ juga mesti ada ruang kepada
adat untuk melaksanakan ritus-ritusnya kepada manusia. Soal ruang bukan
semata-mata sebuah tuntutan sikap etis sosial, tetapi juga sebuah keharusan
misioner. Sebab tanpa adat, sebagai salah satu fakta sosiall budaya, dengan
ritus-ritusnya yang dipandang lawan oleh Gereja, maka ke manakah kita bisa
melihat karya keselamatan Allah? Bukan hanya melihat, tetapi juga dengan
melihat ritus dan upacara-upacara adat, maka seseorang akan mengagungkan karya
cipta Allah yang abadi dan daripadanya ia semakin menghargai sesama manusia dan
alam sekitarnya yang telah Tuhan ciptakan untuk diselamatkan. Dengan memberi
ruang berarti Gereja melestarikan identitas hakiki manusia dan sekaligus
mengenalkan karya kasih keselamatan Allah kepada dunia. Tidak memberi ruang
bagi adat, sama saja dengan Gereja menghambat karya keselamatan Allah.
Untuk itu
penghargaan dan pemeliharaan wilayah pelayanan di antara Gereja dan adat, akan
menciptakan rasa tentram, aman dan damai kepada manusia yang satu dengan dua
statusnya, yaitu sebagai anggota Jemaat dan sebagai anggota masyarakat. J.
Prins (1973:28-29) menegaskan, hendaknya
sikap Gereja kepada adat diberi batas dengan rapih; pagarnya jangan dibongkar
dan sebaiknya diberi jalan keluar-masuk yang dijaga dengan baik-baik supaya
hubungan di antara keduanya tetap harmonis.
Pustaka:
1. Adolf Jensen, Myth and Cult Among Primitive Peoples,
University of Chicago Press, Chicago 1963
2. Clifford Geertz,
Kebudayaan dan Agama, Kanisius,
Yogyakarta 1992
3. Darmanto Jatman,
Sekitar Masaalah Kebudayaan, Alumni,
Bandung 1986
4. Dieter Bartels, Guarding The Invisible Mountain :
Intervillage Alliance, Religious Syncretism and Ethnic Identity Among Ambonese
Christian and Moslem in The Moluccas (Tesis Ph. D), Cornel University, New
York 1977
5. D . A. Carson,
& John D. Woodbridge (Ed) God and
Culture, Momentm, Surabaya 2002
6. Eben Nuban Timo,
Sidik Jari Allah Dalam Budaya, Ledalero,
Maumere 2005.
7. Frank. L .
Cooley, Mimbar dan Takhta ; Hubungan
Lembaga-Lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta 1987
8. F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam
Sejarah Gereja, BPK-GM, Jakarta 1987
9. Georg
Kirchberger & John Mansford Prior (Ed), Iman dan Transformasi Budaya, Nusa Indah, Flores 1996
10. H. Enklaar, Joseph Kam; Rasul Maluku, BPK-GM,
Jakarta 1980
11. J. A.
Pattikayhattu, Guru Midras dan
Peranannya Dalam Masyarakat Pedesaan di Ambon-Uliase, P & K, Jakarta
1985
12. J. Prins, Pengaruh Kristen Terhadap Hukum Adat, Bharata,
Jakarta 1973
13. Longginus Farneubun,
Hancurnya Sebuah Kerukunan, Pengaruh
Interpretasi Teologi Terhadap Konflik Agama,
(Tesis), UKDW, Yogyakarta 2003
14. M. P. M.
Muskens. Pr, Sejarah Gereja Katolik
Indonesia (Jilid 4), Arnoldus, Ende-Flores 1973
15. Paul. F. Knitter,
Theologies of Religions, Maryknol, New
York 2002
16. Richard
Leirissa, Maluku Dalam Perjuangan
Nasional Indonesia, Lembaga Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia,
Jakarta 1975
17. Th Kobong, Iman dan Kebudayaan, BPK-GM, Jakarta
1994
18. Th. Van Den End,
Harta Dalam Bejana, Sejarah Gereja
Ringkas, BPK-GM, Jakarta 1973
19. Zakaria. J.
Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme :
Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan Nasional Indonesia
1900-1950, BPK, Jakarta 1993
----nseb----
[1] Sebutan Maluku Tengah yang
dimaksud adalah wilayah masyarakat adat dalam ikatan pela, yang meliputi wilayah pulau Ambon, pulau-pulau Lease dan pulau
Seram bagian depan.
[2] Saya menyebut batas Konflik
bernuansa SARA 1999-2005/6 bukan 1999-2005 karena tanggal 25 April 2006
bertepatan dengan HUT RMS ada kejadian penembakan yang seakan diatur rapi oleh
pihak tertentu. Dalam peristiwa keji pada hari itu di Waehaong ada beberapa
korban tergeletak di jalan. Mereka tertembak dan tewas di tempat. Nampaknya ada
penembak jitu yang sudah menempati posisinya, yang beraksi bertepatan dengan
kericuhan di depan Markas Kodam Pattimura oleh iring-iringan FKM-RMS, yang
menggotong seorang jenasah.
[3] Semacam tari perang orang alifuru, orang asli pulau Seram.
[4] Perlu dijelaskan bahwa setelah
Konflik, pimpinan Gereja Protestan Maluku (GPM), kelihatan sangat dekat-melekat
dengan pemerintah Propinsi, terutama dalam acara-acara panas pela. Kedekatan seperti ini tentu ada baiknya. Tetapi bukan harus hadir di banyak kegiatan
pemerintah, di mana pimpinan Gereja selalu ada seperti pendamping Pemerintah.
Karena ulah seperti ini, maka banyak mendapat kritik dari warga gereja. Sebab
dengan perilaku seperti itu, maka ia tidak bisa mengritik pemerintah. Seperti
sikap yang diambil ketika melaksanakan saja doa di acara panas pela karena sebuah ‘perintah.
[5] Imbalan ini biasa disediakan
oleh panitia penyelenggara upacara panas
pela.
[6] Saya bertemu dengannya di bulan
Desember 2001, dalam perjalanan dengan kapal penyeberangan Feri Hunimua-Liang.
[7] Kisah si Pendeta kepada saya
ketika saya selesai Wisudah S-2 dari universitas Kristen Duta Wacana-Yogyakarta
dan kami berkesempatan ke Lampung mengunjungi kaka ipar saya di sana 11
November 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar