KEBUDAYAAN
MALUKU
Oleh; DR. Nick Sedubun, M. Th
Tatap Muka
Ke-2
A.
Kebudayaan
1.
Bahasa Latin colere, bahasa Inggris culture.
= menciptakan,
2.
Bahasa Sansekerta : Budaya: Budi + daya
3.
Imbuhan ke dan an berarti
kebendaan ke - budaya (budi+daya) - an = hasil karya, cipta,
karsa, kreasi yang berguna bagi kemanusiaan.
B. Sifat
Kebudayaan
1.
Progresiv
2.
Kritis
3.
Apresiatif
C. Wujud
Kebudayaan
1.
Materi
2.
Ide
D. Pustaka
-
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentaliteit dan Pembangunan, ………., Jakarta ………
-
Astrid. S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Binacipta, Jakarta 1985
-
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, ……………….., Jakarta……
Kebudayaan
Pulau Buru
TM
ke-5
A.
Demografi
a.
Buru utara
i.
Daerah pantai
datar
ii.
Naik ke darat,
hutan bergunung
b.
Buru selatan
i.
Daerah pantai
datar dan bertebing
ii.
Naik ke darat,
hutan bergunung
c.
Ketinggian di
Rana
i.
Danau Rana
B.
Populasi
a.
Buru utara
i.
Sosial/suku
1.
Asli Buru,
minoritas
2.
Jawa,
tapol/transmigran
3.
Buton, terbanyak
4.
Sula/Sanana,
nomor dua
ii.
Birokrasi
1.
Sula/Sanana
2.
Buton
3.
Buru/Jawa
b.
Buru selatan
i.
Sosial/suku
1.
Buton
2.
Asli Buru
3.
Pendatang
a.
Ambon,
b.
Lease,
c.
Maluku Tenggara
ii.
Birokrasi
1.
Asli Buru
2.
Pendatang
C.
Matapencaharian
a.
Buru utara
i.
Asli : berkebun
ii.
Sula/Buton :
minyak kayu putih
iii.
Buton : tanaman
holtikultura : kopi, coklat, kopra/kelapa, ikan
iv.
Jawa : sawah
b.
Buru selatan
i.
Asli Buru : coklat,
kopi, berkebun
ii.
Buton : coklat,
kopi, kopra
D.
Makanan pokok di
Buru utara dan di Buru selatan adalah :
a.
Isi kebun :
keladi, petatas, kasbi, ubi,
b.
Sagu : papeda
c.
Beras : nasi bagi
eks tapol/transmigran Jawa
d.
Makanan khas Buru selatan : hotong
E.
Agama
a.
Buru utara
i.
Islam
ii.
Kristen Protestan
iii.
Katolik
iv.
Sidang Allah
b.
Buru selatan
i.
Islam
ii.
Kristen Protestan
iii.
Kristen Katolik
iv.
Pentakosta,
Sidang Allah
F.
Adat-budaya
a.
Buru utara
i.
Bahasa : Buru
ii.
Tari-tarian
1.
Sawat
2.
Cakalele
b.
Buru selatan
i.
Bahasa : Buru
ii.
Tari-tarian
1.
Sawat, pukul tifa
untuk menari Cakalele
2.
Cakalele
c.
Sejarah :
i.
Pulau Buru
disebut Bipolo, terdiri dari : bia + polon. Bia = papeda, polon = getah atau melekat. Bipolo berarti melekat seperti papeda.
ii.
Orang pertama
yang datang ke Buru, pulau ini masih becek seperti papeda, karena baru usai
banjir besar.
G.
Dll
Kearifan
Lokal Buru
Tatap Muka ke-6 ===========================================================================================================
A.
Beberapa bentuk
sistem nilai lokal
1.
Pengertian
2.
Sifat dan sumber
3.
Manfaat
B.
Sistem Nilai
Lokal di sebuah desa di Pulau Buru
2012 Laporan
Vikaris di Jemaat GPM Waenalut Klasis
Buru Selatan, Ambon, GPM, halaman 13 - 17
·
Adat Tafo Futan, melarang hidup perselingkuhan di antara orang yang sudah menikah
dengan isteri/suami atau sebaliknya, di antara orang yang sudah menikah dengan
bujangan dan di antara orang sesama bujang (lihat Kej. 20:14). Ada penetapan
denda dengan jumlah unag tertentu (Rp 7.000.000); ada “slau” yaitu lenso adat yang diikatkan pada kelamin pria yang
berselingkuh sebagai tanda ia tidak mengulanginya lagi. Bagaimana dengan perempuan
yang juga selingkuh ?
·
Adat Toho Wae; toho= turun dan wae = air. Dilakukan
kepada anak-anak 12 tahun ke atas (inisiasi remaja ke dewasa, {setelah di sunat
?}). Mereka dipimpin oleh seorang ‘Guru”
berendam di air sungai yang mengalir. Aliran air membawa sisa-sisa darah dan
kotoran hidup, sehingga hiduypnya ke masa depan akan baik. Sayang, ritus ini
dilaksanakansecara sembunyi dari Gereja.
·
Sihit atau
sasi adat
C.
Kearifan Lokal
Pulau Buru. Sistem Nilai Buru, Kearifan Lokal Buru
1.
Kearifan lokal
atau sistem nilai lokal kai-wait wali-dawen di pulau Buru berarti apa ?
Kai =adik, wait=kakak, wali=ipar dan dawen= konyado
2.
Hubungan hidup kai-wait wali-dawen
di pulau Buru mengartikan ikatan kekeluargaan itu berhisap pada tiga hal, yaitu
:
a.
Silsilah : garis keturunan
b.
Asal usul :
·
Tempat
·
Peristiwa
sejarahn
c.
Perkawinan .
Kai-wait = hubungan angkat sudara, untuk melindungi
hak masing-masing pihak. Tidak ada semacam hubungan persaudaraan di antara
kampong, semacam pela yang ada di Ambon, lease dan Maluku Tengah.
Hubungan Kai-wait ini menyangkut semua orang Buru yang
berasal dari satu asal negeri, satu silsilah atau asal hubungan perkawinan.
Kebudayaan
Maluku Tenggara
Tatap Muka ke- 7
A.
Demografi
1.
Kei Besar
a.
Daerah pantai
datar
b.
Ke darat
bergunung
2.
Kei Kecil
a.
Pantai landai
b.
Ke darat berbukit
B.
Populasi
1.
Kei .
a.
Campuran
Astronesia dan Polinesia
b.
Kulit hitam
gelap-terang
c.
Rambut keriting
2.
Banda Eli ,
pelarian dari Banda pada masa Gubernur Belanda J. P. Coen
a.
Kulit hitam
terang
b.
Rambut ikal lurus
C.
Matapencaharian
1.
Berkebun
a.
Singkong beracun
diolah menjadi enbal
b.
Hasil kebun :
kasbi, ubi, kumbili, petatas, keladi
2.
Kelapa : kopra
3.
Potensi sagu : kurang diolahj
4.
Hasil laut
a.
Mancing: ikan
b.
Perusahan ikan
c.
Lola, teripang
D.
Makanan Pokok
1.
Enbal
2.
Hasil kebun
3.
Beras raskin
E.
Agama
1.
Islam
2.
Katolik
3.
Protestan
4.
Kristen lainnya
F.
Adat-budaya
1.
Sistem nilai ain ni ain, atau
kearifan lokal Kei.
2.
Peribahasa dalam
bahasa Kei atau perumpamaan disebut ;
a.
Misil-masal, berarti perumpamaan.
b.
Sukat-sarang, berarti suatu pernyataan yang mengungkapkan tentang
kebenaran. Misalnya : karena batas tanah, sanak saudara rela mati.
c.
Liat-dalil (Renyaan 1974). Liat-dalil berarti kata-kata sinis. Misalnya : membicarakan
perilaku orang lain tetapi tidak secara langsung tertuju kepadanya atau seperti
‘pukul tiang kena tembok.’
3.
Perbendaharaan misil-masal, sukat-sarang dan liat-dalil akan
ditemukan dalam isi nasehat atau petuah yang disampaikan demi pembentukan sikap
hidup pribadi atau warga masyarakat umumnya.
4.
Bahasa :
a.
Kei (mayoritas)
b.
Banda Eli
(Bandaeli)
c.
Kur-Mangur
(penduduk Kur-Mangur)
5.
Tari-tarian
a.
Tari sawat, tari modern,
b.
Tari tanam padi atau hawae kokat. Di Kei, masyarakat menanam padi ladang dengan
sistem berpindah-pindah dan dilakukan secara tidak tetap, karena mereka
bergantung pada musim hujan. Ada pertanyaan menarik berkaitan dengan tarian
tanam padi yang sebenarnya menampilkan identitas masyarakat agraris, yang lebih
banyak ada di pulau Jawa. Nampaknya ada keterkaitannya dengan asal-usul orang
Kei yang berasal dari Jawa. Sementara selama ini disebutkan mereka berasal dari
Bali.
c.
Tari penyambutan tamu, yang juga sudah dimodifikasi.
d.
Tari-tarian tua, seperti :
i.
Tari sawat,
atau tari pergaulan ditarikan laki-laki dan perempuan;
ii.
Tari perang,
ditarikan oleh laki-laki yang menggambarkan keperkasaan dan kepahlawanan;
iii.
Tari sosoi - yerik
: tarian yang diiringi lagu dan pantun oleh perempuan. Tarian ini untuk minta
hujan ketika kemarau panjang, minta badai teduh, dan puji-pujian ketika sebuah
perang berakhir.
iv.
Meditasi atau dok
mol berarti diam merenung
selama laki-laki sedang pergi perang. Biasanya
meditasi dibuat oleh para perempuan desa selama kaum laki-laki ada di medan perang.
v.
Peralatan tarian adat : tifa, gong dan
seruling.
e.
Sementara
tarian-tarian tua lainnya, sudah hilang.
f.
Yang tinggal sekarang
hanya ‘generasi menjelang kubur’ saja yang mampu menarikan dan mengenalnya
dengan baik.
g.
Menurut penulis,
kehilangan pantun-pantun tua dan tarian-tarian tua menunjukkan bahwa masyarakat telah kehilangan kesantaian, rekreasi dan relaksasi desa,
yang penuh hikmat, ketenangan dan kesejukan hidup. Bentuk-bentuk hidup santai,
rekreasi dan relaksasi seperti itu mestinya berkaitan dengan identitas adatnya,
yang disimbolkan dalam menari, berpantun atau bercerita. Ketiga simbol adat ini
tidak asal jadi saja dilaksanakan. Sebab ia penuh makna, yang menghubungkan
hidupnya dengan sesamanya dan sekaligus hubungannya dengan roh leluhur. Dengan menari,
berpantun atau bercerita, sesungguhnya ia mencari untuk menemukan dan memiliki
lalu membaginya dalam sebuah harmoni berupa perburuan inspirasi, refleksi dan
praksis hidup.
h.
Karena itu,
simpul santai, rekreasi dan rileks, bahkan seluruh aktivitas hidupnya sebagai masyarakat
adat, tetap punya tujuan mendasar yaitu menemukan harmoni hidup yang semurninya (Subagya
1979:76, 97, 110).
5.
Hukum adat Larvul Ngabal
6.
Maren atau hamaren, bentuk kerjasama sosial desa.
7.
Yelim, pemberian kepada suatu kaul tertentu.
8.
Bukmam, sirih pinang untuk maksud adat tertentu.
9.
Strata sosial
a.
Mel-mel (atas, bangsawan)
i.
Mel-nangan, asli Kei yakni tuan tanah dijadikan ren-ren
ii.
Mel-roa, pendatang : Bali, Ternate, Arab, Jawa
b.
Ren-ren (tengah)
c.
Iriri (bawah, budak belian)
Hukum Adat
Larvul Ngabal dan Sistem Nilai ain ni ain
Tatap Muka ke-8
A.
Sistem nilai ain ni ain. Lengkapnya
ain ni ain, vuut
ain mehe ngifun, manut ain mehe tilor
1.
Pengertian
Ain = satu vuut = ikan manut = unggas/burung
Ni =
punya ain mehe = punya ain mehe = punya
Ain = satu ngifun = telur tilur = telur
Arti harafiahnya adalah
-
Ain ni ain berarti satu punya satu,
-
Vuut ain mehe ngifun berarti ikan punya telur,
-
Manut ain mehe tilor berarti unggas (juga) punya telur.
-
Artinya,
(orang Kei) yang satu memiliki (orang Kei) yang lain; seperti ikan punya (berasal
dari satu) telur (dan) seperti (juga) unggas punya (berasal
dari satu) telur.
-
Secara
luas sistem nilai ini mengartikan tentang hubungan hidup mereka yang saling memiliki, karena
mereka semua berasal dari satu sumber (telur dari satu ikan/unggas). Kata saling memiliki mengartikan bukan sebagai pemilikan
pribadi, ownership. Tetapi pemilikan persaudaraan, brotherhood, yang menekankan pada hubungan di
antara mereka. Hubungan hidup persaudaraan di antara mereka penting karena
mereka berasal dari satu sumber.
-
Orang
Kei adalah basudara karena mereka saling memiliki ; karena mereka berasal dari satu sumber, yaitu telur ikan
atau telur unggas.
2.
Sifat
a.
Universal
b.
Elitis
c.
Situasional
3.
Dengan sistem
nilai lokal
a.
Sistem nilai
lokal
I.
Ada banyak bentuk dengan isi
yang berbeda dan kaya, dari adat budaya lokal
II.
Berupa :
a)
Pantun
b)
Nyanyian
c)
Tarian
III.
Dipelihara dengan
baik
b.
Fungsinya;
mengatur, memberi sanksi, memuliakan
4.
Dengan kasta
a.
Tidak punya
hubungan sama sekali
b.
Banyak kali
menjadi komoditi politis
c.
Nampaknya, hanya
menampung kelompok aspirasi elit
B.
Hukum Adat Larvul
Ngabal
Dokumen Hukum Adat Larvul Ngabal
Sumber : Ohoitimur 1983
Tidak ada komentar:
Posting Komentar