Oleh: Pdt. Nicodemus Sedubun, M. Th
Pendahuluan
Untuk membantu memahami uraiannya, maka Laporan Buku ini
akan dikemukakan dengan sistematika seperti berikut :
- Pendahuluan
- Pela dan Agama Nunusaku
- Pela dalam Perspektif Ekonomi, Agama, Politik dan Hikmatnya
- Respons Penulis
Tentang Buku
Buku Guarding
The Invisible Mountain : Intervillage Alliances, Religion Syncretism And Ethnic
Identity Among Ambonese Christians And Moslems In The Moluccas (Thesis
Doctor of Philosophy) menampilkan sebuah upaya penelitian antropologis oleh
Dieter Bartels, tentang pela sebagi
lembaga adat di wilayah Maluku Tengah
pada tahun 1977. Selain itu ada juga seorang peneliti lainnya, Frank Cooley
menulis sebuah Culture Report, berjudul Ambonese
Adat : A General Description di tahun 1962. Dengan menyebutkan tahun 1962
dan tahun 1977 ini berarti dengan sengaja penulis hendak mengingatkan pembaca
bahwa kedua penelitian ini, dengan semua data tentang pela, adalah fakta kondisi sebelum terjadinya malapetaka dalam
sejarah kehidupan masyarakat adat di
Maluku yaitu Kerusuhan bernuansa SARA tahun 1999 – 2005. Baiklah kita telusuri saja apa yang ditemukan oleh kedua
peneliti ini.
Awal Hadirnya Pela (Bartels
: 34-55)
Bartels
menemukan bahwa pela mulai muncul
dari tradisi ikatan hidup masyarakat suku asli Alifuru di pedalaman pulau Seram. Jika seseorang hendak masuk
menjadi anggota suku, maka harus ada pertukaran darah di antara dia dengan suku
yang hendak dimasukinya, supaya menjadi satu ikatan. Darah kedua belah pihak
itu dicampur menjadi satu dan diminum sebagai tanda sumpah setia. Pandangan
mereka tentang hidup dan mati ada dalam sebuah hubungan sebab akibat.
Terkenal
dalam hidup mereka seorang pahlawan adat wanita bernama Rapie Hainuwela yang dipercaya lahir dari satu buah kelapa.
Kelahirannya membawa berlimpah-limpah kekayaan alam seperti gong dan barang-barang porselin (tembikar) bagi penduduk pedalaman Seram. Kemudian
ia dibunuh oleh orang-orang Alifuru
dalam sebuah upacara tarian-menari, tubuhnya dipotong menjadi beberapa bagian
dan ditanam. Dari bagian-bagian tubuhnya yang terkubur itu tumbuh akar
umbi-umbian, yang menjadi tanaman makanan yang sangat berguna bagi ketahanan
hidup orang Alifuru.
Kematiannya
adalah awal dari hidup baru dan menjadi periode di mana pembunuhan manusia
adalah dasar bagi kelanjutan kemakmuran hidup manusia dan semua
tumbuh-tumbuhannya. Kepala manusia mulai menjadi alat dari kekuatan yang
menjamin hidup makmur dan sejahtera. Ia menjadi dasar yang selalu harus
dipenuhi ketika orang Alifuru ingin
mencapai sesuatu bagi hidupnya. Hal ini nampak dalam tari-tarian tradisional
terkenal daerah Seram Maru-Maru atau Maku-Maku.[2]
Sejak
peristiwa pebunuhan Rapie Hainuwela, maka
upacara-upacara orang alifuru selalu
membutuhkan kepala manusia sebagai dasarnya. Ini mutlak diperlukan bagi
kelangsungan hidup dengan segala krisisnya : bencana alam, epidemi penyakit,
kegagalan berkebun dan berbagai bentuk kesukaran hidup lainnya. Mereka memahami
bahwa, kegagalan dan bencana yang menimpa mereka juga disebabkan oleh salah
satu kepala dari warganya yang sudah diambil oleh kelompok lain. Oleh karena
itu, balas dendam harus dilakukan
supaya kondisi hidup pulih. Akibatnya, perdamaian di antara para pemburu kepala
di kelompok-kelompok Alifuru di
pedalaman Seram, tidak pernah bisa permanent. Permusuhan di antara mereka
berlangsung terus-menerus. Untuk itu diperlukan sistem aliansi di antara mereka. Sistem ini bukan hanya untuk
perkara balas dendam, tetapi sangat
penting bagi sebuah pertahanan yang
menjamin kondisi hidup sehari-hari. Contohnya desa Lohi, yang berpindah ke tepi
kali/sungai Tala wilayah petuanan desa Hunitetu. Tempat tinggal mereka yang
baru ini kemudian hari dinamai desa Lohi-Tala,[3]
mereka menjalin persaudaraan dengan desa Hunitetu supaya terhindar dari
keganasan perburuan kepala.
Bartels
menemukan bahwa pela bukan hanya
sebagai sebuah sistem pertahanan,
dari serangan pemburu kepala dan serangan lainnya dari desa-desa yang tidak
punya hubungan persaudaraan dengan mereka. Tapi pela juga merupakan sebuah sistem
penyerangan untuk terhindar dari serangan pemburu kepala. Kepala yang
didapat dalam perburuan akan dibagikan kepada desa-desa peserta perburuan. Si
yang pulang ke kampungnya dengan membawa kepala dipandang sebagai pahlawan yang
ditandai dalam upacara mengikat kain pinggang merah, cidako, dan dipasang
gelang hitam oiale wakote,
Fungsi pela juga
untuk mengakhiri perang antardesa.
Biasanya peperangan antara dua desa atau lebih berpusat pada dua kapitan-nya saja, yang menjajal kehebatannya,
terutama kekuatannya magisnya. Warga kedua kelompok atau desa menonton. Kapitan yang menang dihormati, sedangkan
yang kalah segera mencari upaya bersekutu dengan desa yang kapitannya menang, lalu mereka menjalin ikatan pela. Contoh antara desa Makariki di teluk Elpaputih dengan desa
Saleman di daerah Taniwel.
Selain
ikatan pela ada juga ikatan sejenis
yang pribadi sifatnya, yang disebut hatipalane,
yaitu ikatan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dari desa berbeda. Tujuannya
untuk menyenangkan warga rekan pela laki-laki
yang datang berkunjung. Hubungan ini untuk berdagang dan teman menari maru-maru atau maku-maku. Jaringan hatipalane
bermanfaat untuk melengkapi sistem pela
dalam mempertahankan ikatan-ikatan personal yang menjamin keselamatan.
Ada hubungan
ikatan personal lain, yang disebut hasulie’elai,
yaitu ikatan antara dua orang untuk menjalin pertemanan. Keduanya bersumpah
bahwa mereka akan selalu membantu, baik dalam suasanan perang maupun dalam
suasana damai, bahkan maut sekali pun. Selain itu, dalam ikatan pela ada juga ikatan persekutuan suku atau marga atau fam. Misalnya
hubungan antara kapitan fam Wairisal dari desa Ameth dengan kapitan fam Manusama dari desa Abubu. Ada juga persahabatan seketika yang
menjadikan ikatan pela. Contoh kasus
Guru jemaat Mateus Purimahua dari desa Sahulaw dengan dua kapitan dari fam Saparuane bernama Walosane Ila dan Kasiale Ila. Ketika bertemu di hutan, Mateus merasa takut dan terancam
lalu berteriak dengan suara keras “wake” dan menyodorkan sisirh-pinag. Kedua
pihak memakannya bersama-sama dan membentuk ikatan pela.
Dalam ikatan
pela mula-mula, seorang kapitan punya kekuatan magis, memutuskan
permusuhan dengan jago perang pasukan musuh, dan berkuasa memutuskan apakah
bersekutu dengan musuh atau mengikat perdamaian. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa persekutuan pela
sebenarnya terbentuk dari ikatan
pribadi-pribadi pemimpin perangnya (kapitan)
yang kemudian diikuti oleh para pengikutnya
Pengertian dan Asal-Usul Pela (Bartels 1977 : 56-66)
Cooley menjelaskan bahwa pela adalah sebuah ikatan pertemanan atau persahabatan di antara
satu desa dengan beberapa desa, yang diikat oleh leluhr untuk mengemban tugas
yang suci dan khusus (Cooley 1962 : 71-72). Bartels menemukan bahwa ada banyak
sekali kata atau kata-kata yang berkaitan dengan pela. Di antaranya : pela
dalam dialek pribumi Maluku, yang berarti persekutuan,
perserikatan, liga dan persaudaraan. Di
sini, kata pela berarti persekutuan antara desa-desa pribumi. Pela dalam penger-tian ini menjadi cap
nama yang eksklusif sekali. Selain itu, ada juga beberapa pengertian lain. Pela
dalam bahasa asli Seram berarti harus
diakhiri, sudah pada akhirnya, misalnya
dalam bagian kalimat “Papelae tuae ……….” berarti “(Mari) minum sageru
(sejenis minuman beralkohol dari sadapan pohon enau atau kelapa) ……………… (sebab
semua perkara, kesukaran dan masaalah sudah diselesaikan)”.
Di pulau Nusalaut, ada kata pelania, berarti harus
diakhiri. Di desa Kailolo di pulau Haruku ada kata “pelaya” berarti “sudah”
atau “habis.” Di Amahai ketika
mengakhiri perseteruan di antara dua pihak yang bermusuhan biasa diakhiri
dengan bahasa daerah “sou-sou pelania”
artinya semua janji diakhiri. Di
Huamual, pela berarti “sudah’ atau “teman terpercaya.” Pengertian ini berkaitan dengan tujuan dari
sistem ikatan dalam persekutuan pela. Kata
pela atau pela-pela berarti “diakhiri”
berkaitan dengan upacara inisiasi kakehan,
dengan memberikan tato akhir kepada
seseorang setelah ia mengucapkan kata “pela,”
yang menandakan berakhirnya upacara penerimaan anggota baru dengan memberikan cincin dan cidako sebagai tanda ikatan persaudaraan. Pela-pela yang berkaitan erat dengan tato di kakehan, juga
sebanding dengan bel-bel atau bel-jan (Kei), balbela (Fordata-Tanimbar) atau kida
bela (Tanimbar). Semua contoh-contoh bahasa daerah di atas menekankan pada
fakta bahwa perseteruan atau peperangan telah berakhir.
Ada ahli (Stresemann
1923 : 417) yang mengatakan bahwa dasar bentuk pela berasal dari penyebaran
kata Melayu-Polinesis dari kata “bela”
yang berarti “teman” atau “ sahabat, yang banyak ditemukan di Maluku Tenggara,
Aru dan Maluku Tenggara Barat. Di pulau Wokam di kepulauan Aru, ada kata ”bela,” di Banda-Elat (Kei Besar) ada “belano,” kata bel untuk “tea bel” di
kepulauan Kei, di Tanimbar ada “bela”
untuk kata kombinasi “kida-bela,”
yang berarti “sahabat.” Menurut ahli lain (Drabe 1932 : 13 dan 43), kida-bela punya pengertian yang
sebanding sama dengan istilah pela.
Ia mengatakan bahwa pela dalam bahasa Paulohi
di pulau Seram, berarti “membatasi”
atau “merintangi,” yang sama artinya
dengan pela dalam bahasa tanah yang
dipakai oleh komunitas Muslim Ambon dan Lease. Di suku Naulu, dikenal “pena”
yang berarti “jangan” atau “dilarang,” yang berarti dilarangan untuk masuk ke daerah netral
dalam perang (batas tanah). Simbol tanda itu adalah matakau, yang dalam bahasa suku Seram, Wemale, disebut “wate.” Karena itu jika terjadi ancaman,
maka dengan menyuarakan atau berteriak “wake,”
“wate” atau “wake ou” berarti berarti “jangan
potong kepalaku” dan juga bisa berarti “menjauhlah”
atau “tetap (ada/berdiri) dibatas.”
Selain itu
ada juga larangan dalam pela, yang
berkaitan dengan pelestarian sumber alam yaitu sili (desa Ahiolo), siri
(desa Kamarian) di jazirah Tala. Di jazirah Sapalewa ada “tosi” atau “tasi” yang
berarti “bersumpah” yang sama dengan
istilah “sasi” atau “membuat kesepakatan.” Bagi orang Seram, sasi berarti memberikan waktu istirahat
tertentu bagi berburu hewan, memetik hasil hutan, dan mengolah hasil laut. Sasi berarti bersumpah yang erat kaitannya dengan “wake,’ “pela,” “inu wake,” “unu wape.” “Inu pela”
berarti “minum persaudaraan” yang
sesungguhnya menunjuk kepada minum dari sumpahan
matakau.
Dari
pengertian kata- atau kata-kata di atas, Bartels menyimpulkan bahwa ada
hubungan di antara pela sebagai nama ikatan persekutuan (tato sebagai tanda kakehan),
persaudaran dan berakhir. Sebab rekan pela
saling memperlakukan rekannya sebagai saudara. Tetapi maknanya adalah “tanda,” “tanda lengkap,” “tanda
larangan,” “penataan” dan “bersumpah.” Tentang asal-usulnya, pela berasal dari tiga daerah, yaitu : pertama yang asli dari orang Alifuru di pulau Seram. Ikatan pela ini bermula dari perburuan kepala
dan perang antar kelompok, suku atau desa. Suku atau desa yang terancam
keamanannya akan berupaya membentuk ikatan pela
dengan desa lain. Biasanya, desa atau desa-desa yang lemah akan bergabung
dengan desa yang lebih kuat untuk mendapatkan perlindungan keamanan. Pemimpin
perangnya disebut kapitan. Ia punya
kekuatan magis yang mampu mengalahkan lawan. Perang yang terjadi biasanya di antara dua kapitan, dengan memakai senjata tajam dan
kekuatan magisnya. Kapitan yang menang
menjadi pemimpin dan kelompoknya ditakuti. Kapitan
yang kalah, bersama kelompoknya akan berusaha untuk mencari perlindungan
kepadanya. Biasanya upaya mencari perlindungan ini berakhir dengan ikatan
sumpah pela, yang saling melindungi
dan membantu dalam situasi aman maupun perang. Syarat lainnya adalah tidak
boleh ada perkawinan di antara kedua kelompok dan keturunannya. Sumpah ikatan pela di antara kedua belah pihak
berpusat pada minum darah bersama. Biasanya darah seorang dari anggota kelompok
yang kalah diambil dan dicampur lalu diminum bersama, mulai dari kapitan-nya kemudian diikuti oleh
anggota kedua kelompok. Ikatan pela asli suku Alifuru di pedalaman pulau Seram ini tidak mengenal kanibalisme dan
balas dendam. Tentang waktunya pembentukannya tidak diketahui secara pasti.
Tapi sangat mungkin ia terbentuk jauh sebelum kedatangan pengaruh kekuasaan
dari kesultanan Ternate dan Tidore sebelum abad ke lima belas.
Kedua, pela dari ikatan
antara desa Hitu dengan Kerajaan Islam Ternate yang beragama Islam. Setelah
kehadirannya, ikatan pela ini
berkembang menjalin persaudaraan dengan desa-desa yang beragama non-Muslim di
pulau Ambon dan di pulau Seram. Orientasi ikatan pela ini lebih menekankan pada aspek ekonomi, khususnya perdagangan
cengkih.
Pembentukan pela ini di kemudian hari bersatu demi keamanan bersama melawan
penjajah. Inti yang menjadi dasar ikatan pela
mereka berpusat pada sumpah matakau, sebuah
sumpah yang dinyatakan di atas media mesiu dan kepala peluru yang di rendam
dalam air atau sageru (sari air nira
dari pohon enau atau kelapa) lalu mencelupkan semua senjata tajam dan moncong
senjata api, kemudian campuran itu diminum bersama sebagai tanda ikatan pela.
Ikatan pela
ini sangat kuat dengan kanibalisme dan upaya balas dendam, seperti yang
ditunjukan dalam beberapa desa dalam ikatan pela
di Leitimor. Waktu pembentukannya adalah pada masa kedatangan pertama
bangsa Eropah, Portugis di abad ke lima belas. Pela ini terbentuk pada masa setelah Sultan Zainulabidin, yang
berkuasa mulai sekitar tahun 1495. Penetapan waktu ini bisa diterima bertolak
dari pemakain kepala peluru, yang menyatakan bahwa senjata api dan pelurunya
baru dikenal pada masa penjajahan. Sebelumnya, orang Alifuru atau penduduk pribumi Maluku, khususnya penduduk di Maluku Tengah
: pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease, hanya mengenal senjata
tradisional seperti panah, anak panah, parang dan tombak.
Ketiga, ikatan pela dari satu keluarga yang datang dari
Papua. Mereka tinggal di desa Hatumete, Seram selatan. Keluarga ini punya lima
anak, tiga anak laki-laki : Temanole,
Simanole dan Silaloi; dan dua anak perempuan : Nyai Intan dan Nyai Mas.
Anak laki-laki yang tua, Temanole,
menetap di desa Tamilou, anak laki-laki kedua, Simanole, menetap di desa Sirisori dan anak laki-laki yang ketiga, Silaloi, menetap di desa Hutumuri. Kedua
anak perempuannya, seorang yang bernama Nyai
Intan, kawin dengan Bakarbessy di desa Wa’ai dan seorang saudaranya yang
lain bernama Nyai Mas, kawin dengan
Manuhutu di desa Haria. Kemudian, lima desa ini Tamilow, Siri-Sori, Hutumuri,
Wa’ai dan Haria menjadi satu ikatan pela-gandong.
Karena mereka adalah saudara se-gandong,
atau sekandung, maka tidak boleh ada kawin di antara keturunannya. Ikatan pela ini berpusat dalam janji setia
seorang saudara dengan saudara-saudara lainnya dengan melukai tangan dan
meminum darah bersama, lalu mengucapkan janji persaudaraan. Waktu pembentukan pela-gandong ini adalah pada masa
penjajahan Portugis, yaitu sekitar abad ke lima belas.
Tentang jenis pela, Bartels menyebut ada tiga jenis pela (Bartels 1977 : 181-190), yaitu pela keras atau pela batu karang, pela tempat
sirih (pela longgar) dan pela gandong. Di Ambon, pela keras juga disebut pela tuni (bahasa Ambon, tuni berarti keras). Berbeda dengan
Bartels, Cooley menyebut hanya ada dua jenis pela saja yaitu pela batu
karang dan pela tempat sirih
(Cooley 1962 : 72-74). Pela-gandong
dimasukannya ke dalam ikatan pela
keras, sebab di dalamnya
dilarang kawin di antara angota-anggotanya. Penulis lebih setuju memakai
pembagian menurut uraian Bartels, karena ia lebih rinci dan mudah dipahami.
Tiga jenis pela itu seperti berikut ini : pertama,
pela keras. Disebut demikian, karena
ikatannya yang sangat keras dengan dasar sumpah yang tidak boleh dilanggar.
Inti ikatannya ada pada minum darah bersama, yang mengikat mereka sebagai
saudara. Darah yang diambil berasal dari mengorbankan salah satu anggota
(terutama) kelompok yang kalah perang. Karena mereka telah menjadi bersaudara,
maka tidak boleh ada perkawinan di antara keturunannya. Masuk dalam ikatan pela ini adalah pela tumpah darah dan pela
batu karang. Pela tumpah darah
terbentuk dari perang antara dua belah pihak yang berakhir dan diikuti dengan
mengorbankan salah satu anggotanya. Darah korban anggota itu diminum oleh
pemimpin dan anggota kedua belah pihak dan ditegaskan dengan sumpah sebagai
saudara di antara keduanya. Pela batu
karang bermula dari bantuan material berupa bantuan ekonomi, tentara dan
peralatan perang. Kuatnya ikatan ini di samakan dengan batu karang, maka
dinamakan pela batu karang. Kedua, pela longgar, yang dasar ikatannya longgar. Ikatan pela ini juga disebut pela tempat sirih, sebab dari proses berjumpa dan ditandai dengan saling mengajukan sirih-pinang dan dimakan, lalu kedua
belah pihak sepakat untuk menjalin ikatan persaudaraan. Di ikatan pela ini, anggotanya boleh kawin dengan
desa pela-nya. Ketiga, pela-gandong, yang ikatan pela-nya terjadi karena ada hubungan bersaudara kandung, karena itu
dilarang kawin di antara keturunannya.
Pela dan Agama Nunusaku (Bartels 1977 : 278-323)
Sinkretisme Dalam Islam dan Kristen
Bartels menyebutkan bahwa ada hubungn pela dengan sistem kepercayaan
tradisional yang membentuk dasar bagi kehidupan sosial dan budaya masyarakat
Ambon, baik agama Islam maupun agama Kristen. Keduanya telah terbentuk cukup
lama dengan sentuhan dampak budaya lokal, yang disebutkan sebagi sinkretisme. Pengaruh ini merupakan
sebuah perkembangan yang menyata dalam hubungan pela di wilayah Maluku Tengah : pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau
Lease.
Terlihat bahwa tidak ada kesulitan
berarti dalam menyerap kedua agama itu. Memang ada konflik di antara agama baru
dengan sistem tradisional yang tidak secara serentak melumpuhkan keberadaan kuasa
supernatural yang diyakini ada dalam adat
dengan semua tata hukumnya. Tapi, ada
ketakutan dalam masyarakat jika adat
dilampaui, maka akan ada sanksi. Sebab, roh jahat juga sama ‘nyata’ dan
memiliki kuasa menghancurkan yang dapat menimpa masyarkat yang tidak setia
kepada tata adat.
Di sini unsur
tradisional dipahami dalam istilah-istilah Kristen dan Islam sebagai sistem
kepercayaan. Ia mempertahankan keutuhan gejala tradisonal dan mengatasi
masaalah konflik kepercayaan. Hal ini juga terjadi dalam kombinasi dua konsep
budaya yang berbeda yang harus ditafsirkan ulang sampai pada akhirnya akan
mendapatkan arti asli dalam konteks yang baru, yakni konteks hidup agama. Namun
selama unsur tradisional itu masih dipandang berguna, maka ia dipakai sebagai
sebuah nilai dalam konteks budaya baru, yaitu pusat keyakinan agama, Islam dan Kristen. Kedua agama ini berhasil menghancurkan
pandangan dunia budaya. Tapi ia tetap bagian dari budaya tradisonal dalam
berbagai bentuk. Sebagai contoh totemisme,
yang dipahami berisi larangan. Tetapi ia terus dijalani sekalipun yang
meyakininya tidak bisa menjelaskan makna dasarnya secara baik.
Selain totemisme, tetapi ada juga larangan atas makna budaya trasdisional
tertentu yang sampai sekarang masih tetap bisa lestari. Nilai-nilai dan makna
budaya tradisonal itu masih tetap ada sebab ia merujuk kembali kepada leluhur, nenek moyang. Ikatan keyakinan ini yang
tetap melembagakan adat tabo ini, dan
nampaknya ia terus hidup berkelanjutan. Salah satu contoh misalnya dalam tari cakalele, sebuah tari perang yang
dahsyat, yang menampilkan ritual konteks perang dan perburuan kepala.
Pengikisan arti terjadi dalam tari cakalele
sebab sekarang tidak ada lagi perburuan kepala dan perang antardesa. Tapi
lewat tarian itu, dengan ritual ke gunung menghadap leluhur, telah menyimpulkan
makna perang dan perburuan kepala tersebut. Sebab si yang menghadap leluhur,
mengekspresikan permohonan perkenaan mereka untuk pelaksanaan tarian tersebut.
Sekarang ini tarian cakalele makin
kehilangn kesakralannya, sebab ia telah menjadi sebuah media pertunjukan bagi
turis saja. Peserta penarinya bisa dengan mengundang turis atau siapa saja
hadirin pada acara tersebut. Ia lebih bermakna sukacita dan syukur dalam
kebersamaan. Ada juga upacara lain yang mengalami pengikisan arti, yaitu pengguntingan rambut, yang kemudian di
tanam di tanah. Orang yang melakukan upacara ini meyakini bahwa melaluinya, ia
tidak akan mudah sakit kepala.
Di masyarakat Muslim, ada keyakinan terhadap jin yang adalah roh jahat. Bagi yang
tidak meyakini bahwa ada roh jahat, maka selama itu juga ada transformasi roh.
Dalam agama Kristen, pemahman ini bisa disamakan dengan setan atau iblis. Transformasi lain adalah pada kepercayaan
tradisional terhadap upu lanite, tuhan
langit, yang menciptakan seluruh dunia melalui persesuaian dengan rekannya bumi
(tapele). Keyakinan atas perannya
mesti dihidupkan dalam pelaksanaan tuntutan adat.
Masyarakat Ambon menyamakan keberadan upu
lanite dengan Tuhan. Mitos penciptaan dalam cerita upu lanite di pandang ada kesamaan dengan cerita Penciptaan dunia
yang terdapat di dalam Alkitab dan Al-Qur’an. Keyakinan peran upu lanite yang berkaitan dengan
pelaksanaan adat dalam perang dan
perburuan kepala dalam hubungan dengan pemahaman agama Islam dan Kristen,
menghadirkan pemahaman tersendiri. Apapun pemahamannya, tapi agama tetap menolakannya.
Sekali pun demikian, tapi kelanjutan dan ketergantungan hidup bagi penganutnya,
terus berlangsung. Sebagai perbandingan ada pemahaman kontroversial pada zaman
Belanda bahwa untuk mendapatkan bangunan yang tahan berumur panjang, maka
diperlukan pendasarannya yang berupa kepala manusia yang ditanam di bawah
bangunan tersebut.
Upaya rasionalisasi agama terhadap nilai-nilai
adat berupa membawa kepercayaan, adat
dan lembaga adat ke dalam harmoni atau
kecocokan baru. Banyak kali terjadi ketidakcocokan dan konflik interes di agama
Islam dan Kristen. Upaya ini tanpa disengaja terjadi. Di Kristen pola ini
ditemukan dalam pemisahan “gereja” dan “negara” terutama mengenai kepemimpinan
politik yang legitimasinya banyak pada adat.
Sementara di gereja, legitimasi itu diakui dari Tuhan. Di lain pihak, di Islam,
tidak ada perbedaan antara agama dan politik yang memperkecil konflik antara
agama dan adat. Peran imam dan modin berjalin dengan struktur adat.
Dalam perjalanan waktu, upaya menjalin harmoni ini sama artinya degan agama adat atau adat yang di-Islamkan. Sebab dalam kepercayaan, ritual dan
kelembagaan Islam telah diberi arti adat
yang menghilangkan arti adat yang
sesungguhnya. Ini sebuah jalan pembribumian Islam. Pengikisan arti dalam
mencari harmoni juga terjadi dalam agama Kristen dengan apa yang disebut
sebagai ”Agama Ambon” yang melarang
orang luar ikut di dalamnya. Tercatat orang Cina Protestan di Ambon tidak
ber-gabung dengan gereja Ambon (GPM).
Dalam upaya mencari harmoni itu
terlihat bahwa dalam Islam, sinkretisme dilihat sebagai pertentangan ide dan
bukan pada orang. Di agama Kristen,
pertentangannya pada kekuatan adat
yang harus diubah dan disortir menjadi perubahan baru untuk menjadi keyakinan
dan melakukan perbuatan Kristen. Terlihat misalnya dalam perkawinan, yang masih
dilakukan secara adat tapi harus
ditambah dengan ibadah secara Kristen. Contoh lain adalah membayar mahar yang dipraktekan. Menurut
pemahaman orang Kristen Ambon, ketaatan itu sejajar juga dengan Perjanjian
Lama, Kejadian 24.
Upaya mencari harmoni yang akhirnya menjadi pemahaman
yang sinkretis juga terlihat dalam membenarkan keberadaan lembaga adat seperti dalam cerita membayar
kewajiban kepada kaisar. Orang Kristen Ambon menyamakan adat dengan Hukum dunia dan leluhur dengan kaisar. Dengan demikian
petugas adat dapat menghindari
hak-hak gereja yang menurut mereka tidak perlu dilakukan. Karena itu kita tidak
heran jika banyak kali Pendeta menganggap bahwa praktek adat itu ‘kafir.’ Padahal
ia tidak langsung menyentuh kegiatan gereja. Contohnya pelaksanaan Ibadah Tiga malam setelah seseorang
wafat. Peristiwa ini menurut adat
dilakukan supaya arwah si mati tenang pada tempatnya. Tapi ada pandangan
Kristen yang menyamakannya dengan tiga hari setelah kematian Tuhan Yesus dan
kebangkitan-Nya. Selain itu, dalam pelaksanaan acara-acara adat, biasanya Pendeta bertindak dalam menutup upacara adat dengan berdoa mohon kahadiran
berkat Tuhan atasnya. Ada raja yang mengeluh dan berkata “Untuk apa ada doa
Pendeta menutup upacara adat, sebab
bukankah pertemuan adat sudah ditutup
dengan cara adat sendiri ? Mungkin
masih kurang bumbu sehingga perlu ditambah garam” ? Di sini terlihat upaya
pengikisan adat yang terjadi menurut
penafsiran Kristen.
Akibat dari upaya-upaya seperti di
atas itu, terjadi ketegangan pemahaman antara adat dan kekristenan. Misalnya dalam upacara panas pela, ada yang melihatnya sebagai wadah yang efektif bagi
pelayanan Gereja. Tapi ada juga yang melihatnya sebagai wadah untuk membentengi
kemajuan perkembangan Islam. Tapi ada juga pemahaman yang mengatakan bahwa
lewat wadah ini, misi Kristen bisa lebih diperkenalkan. Memang pertentangan
terhebat antara pemahaman Kristen dan adat
terletak pada pemahaman tentang penyerahan diri. Di adat, penyerahan diri adalah kepada kekuatan roh leluhur, sedangkan
dalam pemahaman Kristen penyerahan diri itu hanya kepada Tuhan dan tidak boleh
kepada pihak lain. Akibat pertentangan ini, maka praktek adat selalu dilihat sebagai lawan dari praktek ibadah Kristen dank karena
itu ia harus dihancurkan. Demikian yang terjadi selama penjajahan. Ia merupakan
sebuah warisan pemahaman misi yang diteruskan juga oleh gereja. Contohnya,
dalam kasus pelanggaran perkawinan di antara warga se-pela. Dalam kasus ini, maka mereka pasti dihukum oleh kuasa
leluhur. Dalam pemahaman Kristen, di kasus ini leluhur tidak punya kuasa apa
pun. Sebab upu lanite, tuhan langit,
tidak pernah bersekutu dengan kuasa Tuhan. Tapi masyarakat tetap meyakini akan
hukuman yang terjadi akibat melanggar tuntutan adat, sebab mereka sering mendapat penglihatan dalam mimpi tentang
kehadiran leluhur. Jadi, orang Kristen tetap melayani dua tuan : Tuhan dan
leluhur. Menurut pemahaman ini, dengan melakukan kesetiaan seperti itu, maka
potensi hukuman dari leluhur dan juga dari Tuhan, bisa mudah dihindari.
Upaya menghadapi ketegangan di atas itu bisa juga dilihat
hubungannya dengan pemahaman bahwa pembentukan pela, yang didasarkan
dengan keterlibatan leluhur itu, juga terjadi menurut rencana Tuhan. Leluhur
bertindak menurut hikmah dari Tuhan, sebab dalam pengesahan pela, Tuhan dipanggil sebagai saksi atas
pengukuhan itu. Pemahaman seperti ini ada, baik di agama Islam maupun di agama
Kristen. Di desa-desa pela yang dalam
pemahamannya telah menolak campur tangan leluhur, dalam acara panas pela, ada juga yang meniup tahuri (kulit siput, simbol memanggil
roh leluhur). Menurut mereka kataatan seperti itu hanya perbuatan simbolis saja
untuk memenuhi adat. Tapi ada juga
yang mengatakan bahwa perlakuan seperti itu mesti dijalankan supaya menjaga
jangan ada ketegangan dengan Pendeta di Jemaat/desa itu. Terlihat di sini bahwa
pela telah ditafsir ulang menurut
makna Kristen. Begitu juga dengan kehebatan kapitan yang sudah disamakan dengan tanda mujisat di dalam Alkitab.
Bartels menegaskan bahwa Pemimpin gereja di Maluku juga kelihatannya terbuka
kepada upaya partisipasi kekristenan dalam kegiatan pela dan panas pela.
Seperti misalnya kegiatan panas pela
antara desa Ameth di pulau Nusalaut dengan desa Soahuku di pulau Seram, yang
dilaksanakan di dalam gereja Soahuku. Tata sumpah pela juga tidak dilakukan menurut tata adat dengan bahasa tua
(bahasa tanah), tapi cukup dengan doa yang meminta perkenaan Tuhan hadir untuk
memberkati ikatan pela mereka. Jadi,
dapat dikatakan bahwa di hampir semua desa Kristen, pela telah mengalami pengkristenan.
Uraian di atas menampilkan bahwa pola persaudaraan
Kristen di tengah masyarakat adat,
atau pela, tidak relevan dalam
wilayah politik. Sebaliknya bagi masyarakat Islam ikatan persau-daraannya
sangat kuat.
Agama Nunusaku : Inti dari Identitas Orang
Ambon
Cerita ini berpusat pada pembunuhan seorang gadis bernama
Hainuwele, tepatnya Rapie Hainuwele, seorang pahlawan budaya
perempuan, yang digambarkan sebagai pemberi barang-barang berharga, seperti
piring-piring Cina dan berbagai gong. Sesudah ia memberikan semua barang itu,
penduduk Nunusaku membunuhnya dan
dari tubuhnya tumbuh berbagai umbi akar : talas dan ubi, yang menjadi makanan pokok. Dewa kematian, Mulua Satene, yang hidup di
tengah-tengah masyarakat, marah dan memutuskan untuk menetap di gunung lain,
yang hanya bisa didatangi manusia ketika mereka sudah mati. Sebelum ia pergi,
ia membagi masyarakat ke dalam kelompok Patasiwa
dan Patalima.
Orang Ambon sering menyamakan mitos Nunusaku dengan Firdaus
(taman Eden) yang berpindah ke sana dan menjadi pusat semua manusia. Pohon
Beringin, tempat hinggap tiga ekor burung, dipandang sebagi mewakili Sem, Ham
dan Jafet, yang adalah bapak semua manusia. Gunung Nunusaku diyakini sama dengan gunung
Ararat, tempat kandasnya Bahtera Nuh.
Bahkan ada yang percaya bahwa di Nunusaku
pengadilan terakhir akan terjadi. Gunung yang hilang dan perlindungan payung
awan-awan dan pohon Beringin di Nunusaku,
diyakini sebagai asal usul orang Ambon-Lease dan juga mencakup kehadiran agama
Islam dan Kristen sebagai agama transenden, atau agama yang tidak kelihatan.
Agama yang tidak kelihatan ini disebut agama
Nunusaku, atau lebih tepat disebut agama
Ambon. Agama Nunusaku juga
disebut agama adat, yang disamakan
antara kepercayaan kepada leluhur dan kepercayaan kepada agama, baik Kristen
maupun Islam.
Pengertian dan sifat-sifat Agama Nunusaku
Agama Nunusaku adalah agama etnis yang mencakup keturunan, bahasa,
kebudayaan, roh leluhur, harta benda, tanah dan berbagai gejala di
lingkungannya. Agama Nunusaku tidak membatasi penganutnya dan karena itu ia
tidak mengklaim keberadaannya sebagai satu-satunya kebenaran. Tiap individu
punya perbedaan kepercayan, tapi itu tidak berarti jika ia tidak berkaitan
dengan pusat agama etnisnya. Karena itu, agama Nunusaku adalah agama hukum,
yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan. Perintah dan larangan itu
menentukan hubungan para penganutnya dengan tata kosmis (roh leluhur) dan
penganutnya dengan melaksanakan semua kewajiban kultisnya di dalam masyarakat.
Orang Ambon masih merupakan kelompok etnis yang terdiri
dari leluhur, Tuhan, roh, tanah dan alam secara umumnya. Agama masih menyerap
setiap aspek kehidupan, baik dalam hubungan dengan tuntutan adat maupun dengan tuntutan hidup sosial,
agama, ekonomi, dan lain-lain. Isi, makna dan akhir dari agama Nunusaku berpusat dalam masyarakat Ambon sendiri. Ia
berkaitan erat dengan kekhasan masyarakat Ambon dalam identitas, kelangsungan
hidup, kebaikan hidup dan harmoni dalam
agama Kristen dan Islam, menyangkut keseluruhan masyarkat dan kebudayaannya.
Akan tetapi perlu diingat bahwa Agama
Nunusaku itu “tidak kelihatan” seperti tempat suci Gunung Nunusaku, yang juga dipelihara dengan
teguh oleh agama Islam dan agama Kristen.
Pela Sebagai Pusat Kultis dan Kendaraan bagi Agama Nunusaku
Bagaiamana orang Kristen dan Islam
Ambon bisa menjaga keutuhan nilai dan identitas suci Agama Nunusaku, sebab ia tidak punya sturuktur, organisasi,
pemimpin dan tempat ibadah ?? Bahkan orang tidak sadar sedang dan selalu
mempraktekkannya. Kendaraan Agama
Nunusaku adalah pela. Pela juga adalah pusat kultis agama Ambon itu. Sebab pela adalah simbol kesatuan yang
menyatukan masyarakat dalam perbedaan-perbedaannya, agama Islam dan Kristen, ke
Nunusaku. Institusi pela membarui, mengisi dan memulihkan
hubungan persaudaraan yang terpusat ke Nunusaku. Keterpusatan ini terlihat misalnya dalam
kasus berikut : ketika tentara RMS Kristen melarang teman gerilyawannya supaya
jangan menghancurkan mesjid Hualoi, mereka bukan berpijak pada dasar ikatan pela-nya, tapi pada prinsip ikatan Agama Nunusaku. Begitu juga ketika pemuda Muslim Batumerah menolak
berperang melawan pela-nya, Passo,
mereka memandang tinggi persaudaraan melebihi ikatan agama. Ketika orang Islam
dan Kristen berdoa di gereja atau mesjid, mereka memperingati dan
mendemosntrasikan persatuan dan kebersamaannya di hadapan Tuhan. Semua itu
adalah kedalaman tindakan keagamaan, yang tercermin dalam Agama Nunusaku
Pela adalah pengikat terkuat yang menyatukan orang Muslim dan
orang Kristen. Ia adalah lembaga yang tetap menuntun dan menjadi aturan yang
menghubungkan kedua belah pihak itu. Sebab di dalamnya ide persaudaraan selalu
diuji. Dari sisi ekonomi, hubungan pela
denga membantu sesama agamanya, Islam dan Kristen, entah membangun gereja atau
mesjid, ini semua terjadi karena ada satu pernyataan kesepakatan di dalam
ikatan pela. Bukan karena ikatan
khusus yang ada di antaranya saja, seperti ikatan pemahaman yang sama dalam
pemahanan agama. Contoh lain yang lebih luas lagi, seperti berikut : Orang
Kristen Ambon di Belanda dan di Jakarta selalu setia mengirim bantuan sejumlah
uang kepada saudara pela Muslimnya di
Ambon, untuk membuktikan kelangsungan kesepakatan hidup mereka sebagai bagian
tak terpisahkan dengan masyarakat Ambon. Sekalipun mereka sudah masuk dalam
generasi ketiga dari orangtuanya, tapi perlakuan seperti itu dibuat untuk
menunjukan bahwa mereka masih tetap bagian dari masyarakat Ambon, masyarakat pela Ambon.
Dalam pelaksanaan Pela
dan upacra panas pela, disitu
sebenarnya muncul nilai-nili ikatan dan keterpusatan hidup kepada Agama Nunusaku. Di dalamnya nilai-nilai
keagamaan dan keper-cayaan kepada Agama
Nunusaku diperkuat kembali dan selalu dipelihara.
Pela
Dalam Perspektif
Agama, Ekonomi, Politik dan Hikmatnya
Hubungan Islam-Kristen (Bartels 1977 : 222-226)
Warga desa
Islam dan warga desa Kristen menyadari perbedaan mereka dalam hubungan agama,
tapi mereka menyadari juga bahwa ikatan pela
bisa menjadi jembatan untuk menghubung-kan mereka. Di dalamnya perbedaan dalam
melaksanakan keharusan agama dihormati, baik yang Kristen maupun yang Islam.
Terutama dalam upacara pembaruan pela,
di mana semua saudara pela harus
hadir. Hal yang dilarang seperti makan babi dan tari-tarian yang tidak ada di
desa Islam, mereka harus menyatakan hormatnya. Demikian juga orang Kristen
harus melakukannya tanpa harus menyinggung perasaan saudara Muslimnya. Di acara
yang berkaitan dengan kegiatan pela,
saudara Muslim bisa ikut tarian yang hanya ditunjukan sebagai tanda partisipasinya.
Dalam pentahbisan gereja dan mesjid, peluncuran arumbae baru, pengresmian baileu
baru, sunatan dan acara-acara keagamaan lainnya, partisipasi semua saudara pela harus hadir. Pada masa penjajahan
Belanda, anak-anak Islam tidak diperkenankan untuk mengikuti sekolah Belanda.
Untuk bisa ikut, maka mereka menjadi anak
piara di keluarga-keluarga Kristen, terutama yang punya hubungan pela, supaya mereka bisa mengikuti
pendidikan bemutu itu. Hanya saja keluarga bapak
piara-nya mesti menjaga makanan haram, babi.
Contoh hubungan pela dalam perbedaan agama ini
diceritakan dalam perang Republik Maluku Selatan. Waktu itu ada perintah dari
atas untuk memusnahkan mesjid desa Hualoi. Tentara yang dikirim ke desa Hualoi
adalah yang dari Bo’oi, Kariu dan Aboru. Ketika tiba di desa Hualoi dan mereka
mengatakan bahwa mesjid itu bukan hanya milik orang Hualoi. Tapi milik semua
warga desa yang terhisab dalam ikatan pela
mereka. Akhirnya mesjid desa Hualoi tidak dimusnahkan. Pasukan itu pulang tanpa
merusakan mesjid. Ada contoh lain lagi, seperti berikut : Beberapa tahun
berselang ada pertikaian antara mahasiswa Institut Teologia Protestan GPM
dengan siswa SMA Muhamdiyah, yang bangunan kampus dan sekolahnya berdampingan.
Waktu itu ada sedikit kobaran politik yang dimainkan elit Islam di kota Ambon.
Setelah mendengar ketegangan itu, warga desa Batumerah yang seluruhnya Muslim,
bersiap untuk menyerang mahasiswa Isntitut Teologia Protstan. Tapi raja Batu
Merah keluar dan menyapa orang banyak itu dan mengatakan bahwa jika mereka
hendak pergi menyerang, maka itu sama saja dengan pergi menyerang saudara pela mereka yang Kristen Protestan di
desa Passo. Akhirnya perlahan-lahan mereka bubar. Beberapa hari kemudian,
konflik antara mahasiswa dan siswa itu pun reda secara perlahan.
Bartels menjelaskan bahwa pela itu pluralis agama. Kondisi ini terutama ketika kedatangan
pertama pela dari Maluku Utara di
jasirah Leihitu di mana desa-desa anggotanya ada yang Islam, ada yang Kristen
dan ada yang masih Kafir (belum beragama, Bartels 1977 : 103-108w). Sejak awal
pembentukannya diketahui bahwa corak pluralis agama dalam pela adalah alami saja. Tapi dalam perkembanganya, corak pluralis
ini juga berguna untuk menghindari perpindahan agama, atau mualaf baru ke Islam, dan baptisan
baru ke Kristen.
Pela dalam perspektif ekonomi terbukti bahwa kebutuhan
ekonomi, terutama hidrat arang. Khususnya sagu yang banyak di pulau Seram,
bahan ini sangat membantu desa-desa se-pela
di pulau Ambon dan pulau-pulauLease. Kondisi ini menjadi penting ketika harga cengkih
jatuh pada masa Hongitochten dan
harga beras yang mahal. Kondisi seperti ini membuat masyarakat di pulau Ambon
dan pulau-pulau Lease pergi mengolah sagu di pulau Seram. Hasil olahan sagu
dibagi, sepertiganya untuk tuan pemilik dusun sagu atau sagu maanu dan dua pertiganya untuksi pengolah (Bartels 1977 :
140-142). Dalam hubungan dengan monopoli ekonomi oleh Hongitochten-Belanda, tercatat bahwa desa-desa pela pernah bersekutu dan berperang melawan kebijakan Belanda itu.
Dalam perspektif
politik, semula ikatan pela yang
pluralis (etnis, suku dan agama) itu bersatu dengan berbagai upaya menggalang
kekuatan untuk melawan penjajah, baik Portugis, maupun Belanda. Indikasi ini
dominan pada masa Hongitochten dengan
upaya monopoli perdagangan rempah-rempah cengkih dan pala. Perlawanan yang
terbesar adalah dalam perang Pattimura (Bartels 1977 : 134-139).[4]
Identitas pluralis agama yang adalah citra ikatan pela, di giring ke aras politik dan dimainkan dengan baik oleh
Belanda. Terbukti bahwa ada beberapa ikatan pela
yang semula melawan penjajah, kini berbalik memihak penjajah dengan alasan
penganutan agama yang sama, agam Kristen. Desa-desa Kristen dalam ikatan pela memihak Belanda, sedangkan
desa-desa Islam dalam ikatan pelanya, tetap memihak kesultanan Ternate (Bartels
1977 : 130-132). Dalam kenyataannya, orang-orang Ambon Kristen “dianakmas-kan”
oleh Belanda dengan masuk serdadu (KNIL) dan menjadi pegawai. Orang Islam
sangat sulit mendapat kesempatan ini.
(Tambahan penulis)
Politik pemecah-belah ini, nampaknya berjalan terus sebagai bom waktu bagi
kehidupan beragama dan ikatan pela di
Maluku Tengah: pulau Ambon, pulau Seram dan pulau-pulau Lease. Ada klaim
sepihak, yang sangat keras ketika Kerusuhan pecah di Ambon-Maluku, bahwa
Kristen itu asing, penjajah (Belanda-musuh Negara Kesatuan RI, identik dengan
separatis RMS), sedangkan Islam itu Nasionalis-pembela Negara Kesatuan RI.
Dikotomi ini kelihatan masih bergulir menjadi bola politik lokal sesaat di
Maluku.
Hikmat ikatan pela
terpusat pada isi sumpahnya yang memangil roh leluhur untuk datang melihat,
menyertai dan mengesahkan ikatan pela atau upcara panas pela itu Bartels 1977 :
230-236). Representasi leluhur ditandai dengan mengundang langit dan bumi atau bulan dan bintang menjadi saksi ikatan pela
atau upacara panas pela dilaksnakan.
Dengan pengesahan oleh rohleluhur yang diwakili oleh tokoh adat, atau raja atau seorang kapitan,
maka seluruh peserta upacara itu terikat di dalamnya. Mereka harus saling
menghormati, melindungi dan saling menolong dan sekaligus menjaga larangan yang
ada dalam ikatan pela. Minum darah
dan janji sumpah matakau hanyalah
media dalam inti upacara. Tapi yang terpenting, adalah isi sumpah dan kehadiran
roh leluhur.
Respons Penyunting
Ikatan hidup pela di antara penduduk desa-desa di Maluku
Tengah, tepatnya di pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease bermula dari
fakta interaksi hidup penduduk asli Alifuru
di pedalaman pulau Seram. Dari mereka pela
berkembang dan menyebar ke pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Dari uraian yang
dikemukakan Bartels dan ditambah dengan beberapa dari Cooley, ada beberapa
resume yang dapat dikemukakan, seperti berikut :
1.
Menurut
asal-usulnya, pela berasal dari tiga
daerah, yaitu :
o
Pela dari penduduk asli Alifuru
di pedalaman pulau Seram. Ikatan pela ini bermula dari perburuan kepala
yang mengakibatkan desa yang merasa terancam keamanannya akan berupaya
membentuk ikatan pela dengan desa
lain. Biasanya, desa yang lemah akan bergabung dengan desa yang lebih kuat.
Jalinan persaudaraan antardesa dalam ikatan pela
di kategori ini berorientas pada perburuan kepala dan perang.
o Pela dari Maluku
Utara. Pela ini terbentuk dari ikatan
antara desa Hitu dengan Kerajaan Ternate yang beragama Islam. Setelah
kehadirannya, ikatan pela ini
berkembang menjalin persaudaraan dengan desa-desa yang beragama non-Muslim di
pulau Ambon dan di pulau Seram. Orientasi ikatan pela di kategori ini menekankan pada aspek ekonomi. Aspek lain yang
tidak tegas kelihatan (diperlihatkan
oleh para peneliti) adalah aspek dawah Islam. Sebab di mana-mana kecenderungan
kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan yang bercirikan agama (Islam,
Kristen), selain menekankan aspek politik, selalu membawa misi mengagamakan
daerah jajahan atau daerah afiliasinya menurut agama yang dianut. Sekali pun
demikian harus diakui bahwa ada motivasi pembentukan pela dengan ikatan desa-desa campuran agama, Islam-Kristen, demi
keamanan bersama.
o
Pela dari Irian.
Ikatan pela ini bermula dari satu
keluarga yang menetap di Hatumete, di pulau Seram bagian selatan. Ia punya lima
anak, tiga laki-laki dan dua perempuan. Anak laki-laki yang tua menetap di
Tamilou, anak laki-laki kedua menetap di Sirisori dan anak laki-laki yang
ketiga menetap di Hutumuri. Kedua anak perempunnya, seorang kawin di desa Wa’ai
dan seorang lagi kawin di desa Haria. Ikatan pela saudara kandung, kakak-adik, ini di Ambon disebut pela-gandong, yang lebih dikenal dengan
sebutan gandong saja.
2.
Jenis pela ada tiga, yaitu :
o Pela keras. Inti ikatannya ada pada minum darah bersama, yang
mengikat mereka sebagai saudara. Karena mereka telah menjadi bersaudara, maka
tidak boleh ada perkawinan di antara keturunannya.
o
Pela longgar. Ikatan pela ini sering juga disebut pela tempat sirih. Disebut begitu sebab
dari proses berjumpa dan ditandai dengan saling mengajukan sirih-pinang dan dimakan, lalu kedua belah pihak sepakat untuk
menjalin ikatan persaudaraan. Di ikatan pela
ini, anggotanya boleh kawin dengan desa sepela-nya.
o
Pela-gandong, yang
ikatan pela-nya terbentuk karena ada
hubungan bersaudara kandung, karena itu dilarang kawin di antara keturunannya
3.
Pela menurut
aslinya, tidak berkembang menjadi bertambah jumlahnya, sebab tidak ada
perburuan kepala dan perang. Penganutan agama lewat kesusksesan misi dan dawah
mematikan perkembangan ikatan pela
tradisional Alifuru di pedalaman
pulau Seram.
4.
Pela mengandung
aspek sosial sekuriti dan pelestarian lingkungan. Secara politis, keamanan
kelompok adalah penting untuk menjalani kehidupan ke depan. Perkembangan pela bermula dari pentingnya rasa aman
dari kecurigaan terhadap pendatang orang asing, perburuan kepala dan
kepentingan ekonomi. Di bidang ekonomi, sasi
adalah bagian dari upaya keamanan dan kesejahteraan hidup angota-anggotanya
5.
Pela modern, atau pela di saman modern ini, yang mulai
kehilangan daya ikatnya sebab ia hanya menjadi arena unjuk ornamen dan goyang
badan saja. Terlihat jelas bahwa
revitalisasi pela bukan oleh ikatan internal anggota-anggotanya. Tapi ia
dimobilisasi secara eksternal dan elitis. Kepentingan ekonomi gengsi dan glamor
telah merampas ‘kepolosan’ ikatan pela yang mestinya apa adanya dan
merakyat. Di Maluku, pela menjadi
komoditas turisme dan menjadi kendaraan formalisme pemerintah. Dengan
sendirinya pesta biaya besar dan mahal akan berlangsung ketika satu iven panas pela harus diadakan. Pemilik dan
penikmat utama dan terdekatnya, masyarakat desa, bisa jadi hanya menonton
hakekat ikatan hidupnya berpameran.
6.
Ikatan pela terutama bermotivasi pada
kepentingan hidup, bukan langsung berlingkup pada manusia dan alam. Pertanyaan
ini penting menjadi wacana akademis teologis, sebab dewasa ini sangat terasa
mahalnya manfaat keselamatan universal seluruh ciptaan Tuhan. Sejarah mencatat
bahwa ketika manusia mengklaim dirinya sebagai sentral hidup, maka eksploitasi
dan penghancuran sumber hidup (sumber alam, potensi manusia dan
pandangan-pandangan hidup) yang berisi keselamatan itu goncang. Karena itu,
mencari makna hidup di dalam ikatan pela
dalam benturan perkembangan zaman adalah penting.
7.
Keberadaan pela sebelum 1999, tragedi kemanusiaan
di Maluku-Kerusuhan SARA, dan 1999 ke masa depan mau jadi apa? Masih eksisi
atau sudah lunglai terinjak oleh pesatnya kemajuan Iptek dan teknologi ?? Dan
masih banyak lagi pertanyaan tentang isi filosofinya bagi kehidupan pemiliknya,
masyarakat Maluku, dan penikmatnya, semua manusia, sekarang dan ke masa depan.
====nseb====
[1] Tulisan ini dibuat sebagai syarat Paper
Kerja untuk penyiapan kelanjutan Studi S-3 pada Universitas Kristen Duta
Wacana, Yogyakarta September 2008.
[2] Penulis mulai mengenal tarian Maku-Maku
atau Maru-Maru sewaktu masih menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Teologia GPM (STT
GPM) ketika kami melaksanakan kegiatan Turmat Mahasiswa (turun ke Jemaat) bulan
November – Desember 1979 di Klasis Telutih, di Kecamatan Tehoru dan Kecamatan
Werinama di Seram bagian selatan. Kegiatan ini biasanya kami lakukan di tiap
akhir tahun, sebagai bagian dari Program Pengenalan Jemaat Senat Mahasiswa
Sekolah Tinggi Teologia GPM Ambon untuk sedapatnya bisa melaksanakan Turmat ke
semua Klasi di GPM. Lebih dalam lagi penulis mengenal tarian ini ketika betugas
sebagai Pendeta di Jemaat GPM Kamal, Klasis Kairatu, Seram Barat dari tahun
1988 - 1997. Secara garis besar tarian ini berbentuk tarian antara
kelompok-kelompok terpisah kemudian melingkar bersambungan dengan pusatnya pada
api unggun yang menyala di tengah-tengah keramaian tarian itu. Padahal
sesungguhnya tarian itu di lakukan sebab ada sebuah sukacita bahwa kemakmuran
yang dihayati sebagai tanda kesuburan dan keberhasilan bagi kegiatan berburu di
hutan, ladang dan kebun sudah pasti terwujut hasilnya karena dasarnya sudah ada
di tengah-tengah sukacita itu, yaitu kepala manusia. Tarian ini disebut maku-maku bagi suku asli wemale dan maru-maru bagi suku asli Alune.
[3] Penulis keberatan dengan paparan Bartels
ini sebab desa yang ada di tepi kali Tala adalah desa Tala di sebelah timur
ibukota Kecamatan, Kairatu ; sedangkan desa Lohia-Tala (dari Lohi-Tala)
terletak di sebelah barat ditepi kali Nala. Bukan kali Tala. Rupanya Bartels berpegang
pada cerita warisan masyarakat saja, tanpa melihat peta yang sebenarnya.
[4] Penulis mendapat kesan bahwa Bartels
sangat berhati-hati dalam mengulas Perang Pattimura dan kurang tegas
menampilkan motivasi dan heroism perang itu. Sebab ada aspek persatuan warga
desa-desa di pulau-pulau Lease dan hebatnya pertahanan di pantai Waisisil, di
kota Saparua. Alasannya bisa dimengerti sebab aspek-aspek ini bukan kompetensi
beliau dengan penlitiannya.
Hobi Judi Ayam ? Dan Ingin Pasang Taruhan Sabung Ayam Pakai Linkaja ?
BalasHapusKlik Saj Link Disamping ini » http://bolavitaonline.over-blog.com/2019/09/taruhan-sabung-ayam-pakai-linkaja.html
Agen Linkaja88 Sudah berdiri sejak 2013 dibawah naungan Bolavita Sebagai Bandar pusat Judi Online Di Indonesia.
Aman & Terpercaya..
Selain menyediakan Judi Online menggunakan Linkaja, Linkaja88 juga menyediakan berbagai jenis transaksi judi online yang sangat lengkap. Antara Lain adalah Ovo, Gopay, Dana, Sakuku, Bank Jenius BTPN, Bank Kalbar, Bank BTN, Dan Semua Jenis Rekening Bank Lainnya di Indonesia.
Minimal Transaksi Deposit & Withdraw 50ribu.
Link Pendaftaran : http://bit.ly/daftarlinkaja
Link Layanan Live Chat (24 Jam Online) : https://bit.ly/2VD8fER
Link Layanan Whatsapp (24 Jam Online) : https://bit.ly/31SZvwy