Oleh:
Pdt. DR. Nick Sedubun, M. Th, D.Th
Pengantar
Tulisan ini berupaya memahami Pelayanan Gereja
Protestan Maluku (GPM) sebagai penugasan TUHAN bagi para Pelayan dan semua
anggota Jemaat-NYA yang tersebar luas di pulau-pulau, dari kota sampai ke
desa-desa dan dari berbagai perbedaan status sosial, budaya dan karunia yang
dimiliki. Pelayanan dimaksud berfokus pada kata kunci rumusan Subtema Persidangan
MPL Sinode GPM ke- 35/2013 di Taniwel tentang Mencerdaskan
Umat, lengkapnya; “Mencerdaskan Umat
untuk Bersama-sama Melakukan Tugas Pembaruan dalam Kehidupan Bergereja,
Bermasyarakat dan Berbangsa.”[1]
Muncul beberapa pertanyaan dari anggota Jemaat di sekitar subtema: “Siapa umat yang
dicerdaskan itu; apakah Pendeta (Pelayan) termasuk atau tidak di dalam upaya mencerdaskan;
bagaimana upaya nyata mencerdaskan, sehingga Pelayan dan umat sejalan” dan masih banyak
tanya lainnya.
Umat dengan “dwi-status”
Kata umat berasal dari
bahasa Arab ummah. Ia bermakna totalitas persebaran umat Islam atau
sebuah komunitas orang-orang beriman (ummatul mu'minin). Dalam Al-Qur’an, ungkapan kesatuan umat
(ummatul
wahidah) menunjuk kepada seluruh dunia
Islam; dikatakan: "Sesungguhnya umatmu ini
(agama tauhid) adalah umat (agama) yang satu, dan Aku adalah
Tuhanmu, maka
sembahlah Aku (QS
Al-Anbiya' [21]: 92).[2]
Dalam bahasa Arab, kata ummah juga berarti bangsa. Pengertian ini menyangkut
suku-suku Yahudi dan non-Muslim yang ada di Madinah yang terdapat dalam
Konstitusi Madinah 622 AD.[3]
Dalam bahasa Ibrani
modern, Ummah (אוּמָה) dijadikan
ke umat,
berarti bangsa. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata umat berarti: (1)
para penganut atau pengikut suatu agama,
atau (2) makhluk manusia.
Pemakaian
kata umat dalam
pemahaman pelayanan Gereja di GPM, seringkali disamakan dengan warga Gereja
atau anggota Jemaat. Kondisi ini akan tampak sangat dominan jika yang
menyampaikan pengarahan, pembinaan ataupun rencana pengembangan pelayanan,
disampaikan oleh seorang Ketua atau Pimpinan Gereja, baik di aras Sinode, Klasis
dan juga Jemaat. Dalam perspektif internal di sini para pemimpin (Pelayan)
Gereja di semua aras berada di luar atau menempati posisi “supra struktur” di
dalam Gereja atau Jemaat. “Supra struktur” dapat diartikan sebagai tidak berada
bersama warga Gereja atau berada di luar di sebuah posisi tingkat atas dari
warga Gereja, up hirarchi. Lain kondisinya jika Pimpinan Gereja itu
berbicara ke lingkungan eksternal, ia akan menyebut umat dalam perspektif yang berbeda. Umat
dimaksud terdiri dari ia sebagai
pemimpin Gereja bersama dengan warga Gereja atau anggota Jemaatnya. Dalam
kondisi ini, posisi pemimpin Gereja bersama-sama dengan umatnya menjadi satu
kesatuan.
Jika
ditelaah uraian tentang umat di atas, dapat kita pahami bahwa penyebutan atau pengertian
tentangya tidak hanya mengenai anggota suatu komunitas, warga Gereja atau
anggota Jemaat saja. Tetapi sangat terkait dengan kesatuan anggota dan
pemimpinnya. Itulah umat yang paripurna.
TUHAN YESUS, “Kepala Umat” dan Pendeta
(Pelayan) sebagai “kepala umat”
Anehkah jika ditegaskan bahwa TUHAN YESUS adalah
Kepala umat? Pasti
masing-masing pembaca akan menjawab ‘tidak.’ Sebab pemahaman kita langsung
mampu masuk ke dalam ingatan tentang TUHAN YESUS sebagai Kepala Gereja dan kita
warga Gereja atau anggota Jemaat adalah umat-NYA. Kita yang dimaksud pada masa pelayanan Gereja
mula-mula, adalah para presbiter (penatua), diaken (samas/et), doktor (pengajar) dan warga Gereja atau anggota Jemaat. Mereka
termasuk dalam kumpulan ini. Pada masa pelayanan Gereja sekarang, dikenal
pemimpin Gereja di aras Sinode, Klasis dan Jemaat dan warga Gereja atau anggota
Jemaat. Para pemimpin itu adalah para Pendeta yang selayaknya disebut Pelayan
atau Pelayan Jemaat dan jabatannya disebut pelayanan dalam Jemaat.[4]
Posisi ini menempatkan Pelayan dan warga Gereja atau anggota Jemaat berada
dalam satu kelompok sebagai umat TUHAN. Maksudnya, penyebutan posisi Tuhan Yesus
sebagai “Kepala Umat” menunjuk kepada otoritas-Nya atas para Pelayan Gereja dan
warga Gereja atau anggota Jemaat. Ungkapan lazimnya, Tuhan Yesus adalah Kepala
Gereja; Gereja milik Tuhan Yesus itu terdiri dari para Pelayan dan anggota
Jemaat.
Penataan pelayanan Gereja di GPM, memposisikan penanggungjawab
utama dan teratasnya, baik di aras Sinode, Klasis dan demikian juga Jemaat, adalah
seorang Pendeta. Di tingkat Jemaat, bentuk pelayanan ini memposisikannya
sebagai Ketua Majelis Jemaat. Perspektif seperti ini menempatkannya terpisah
dari warga Gereja atau anggota Jemaatnya. Ia mengawasi dan mengarahkan pelaksanaan
pelayanan bagi warga Gereja yang dilayaninya. Warga Gereja atau anggota Jemaat
berada pada posisi sebagai pelaksana yang mempraktekkan pelayanan. Jadi, dalam
penataan pelayanan, ia dapat disebut sebagai “kepala umat.” Karena ia
memimpin, mengatur dan memelihara warga Gereja atau anggota Jemaatnya.
Mencerdaskan
Umat bagi Pelayan dan Warga Gereja
Fokus
aktualisasi Subtema Persidangan MPL Sinode GPM ke-35/2013 di Taniwel yang sudah
dijabarkan ke dalam Program Pelayanan 2014 menegaskan pentingnya kebersamaan
dalam mendaratkan upaya mencerdaskan umat. Kebersamaan dimaksud meliputi para Pelayan
bersama warga Gereja atau anggota Jemaat. Itu berarti umat yang ‘digadang’
dalam misi Sutema MPL ke-35 adalah Pelayan (Pendeta) dan warga Gereja atau
anggota Jemaat. Keduanya mesti menjadi cerdas supaya mampu mewujudkan upaya-upaya nyata pembaruan
pelayanan Gereja. “Bahasa” Alkitab memahami orang cerdas sebagai orang yang berhikmat (Kidung Agung,
Pengkhotbah, Amsal, dst). Inti orang berhikmat adalah memahami imannya sebagai anugrah
dari Tuhan yang memampukannya untuk membedakan mana yang baik dan berkenaan
kepada Tuhan dengan mana yang jahat dan bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Ujung dari sikap menjadi cerdas dimaksud adalah melakukan kehendak Tuhan. Di sini umat yang
paripurna, Pelayan dan warga Gereja atau anggota Jemaat terhisab dalam upaya
yang sama.
Saya
percaya bahwa penjabaran upaya mencerdaskan umat yang menyata dalam bentuk program-program pelayanan
tahun 2014 adalah hasil perasan untuk penguatan pembaruan pelayanan. Sebagai
Pendeta, saya belum percaya bahwa “fermentasi” upaya
mencerdaskan umat dimaksud paripurna
dan ia mengkhamirkan Pelayan dan warga Gereja.[5]
Sebab, realitas jabaran program-program pelayanan seakan hanya menjadikan atau
mengartikan umat yang disasar adalah warga Gereja atau angota Jemaat
saja. Para Pelayan seakan “sudah cerdas.”
Keteladanan, Otokritik?!
Seorang
Pendeta sebut saja ‘debu.’ Ia suka bercelana pendek, berkaos oblong dan memakai
jaket. Berbaur di pasar, berbelanja di toko adalah sisi lain kesehariannya.
Suatu ketika sementara ia menanti untuk menjemput isterinya beberapa orang
penarik ojek menyalami seseorang yang lewat: “Slamat
siang pak! Slamat siang pak Pendeta!”
Ternyata orang itu adalah seorang Pendeta yang necis dengan pakaian rapih.
Semula ia mengira orang-orang penarik ojek itu menyapanya. Sembari tenggelam dalam
rasa malu yang diam, ia mengeluh pada diri sendiri: “Pendeta itu harus necis, sedangkan saya bukanlah Pendeta ideal
seperti itu.”
Menilik
kembali ke masa tamatan Institut Teologi sampai Sekolah Tinggi Teologi GPM,
salah satu cirinya adalah mereka harus berpakaian rapih dan necis. Disiplin
berbusana telah menjadi ukuran profil seorang calon Penginjil atau Calon
Pendeta sampai ia melewati masa vikariat dan menjadi seorang Penginjil atau
Pendeta. Petunjuk itu dapat kita lihat pada diri Penginjil pensiun atau Pendeta
pensiun yang masih ada di GPM. Ukuran profil mereka tidak berakhir sampai di
situ saja. Pengabdian atau kepedulian mereka terhadap anggota Jemaatnya
mencatat prestasi hebat. Hidup dengan gaji “pas-pasan” dalam kondisi sarana dan
prasarana terbatas, namun kesetiaan kepada pelayanan di Jemaat tidak bisa
dilukiskan dengan kata-kata. Saya menyebut kondisi itu sebagai suatu umat Tuhan yang
paripurna. Mereka paripurna karena terbangun kebersamaan (Pelayan:
Penginjil/Pendeta dan warga Gereja atau anggota Jemaat) untuk mencapai tujuan
pelayanan di Jemaat; mereka paripurna dalam berupaya mencari, memiliki dan
melaksanakan kehendak Tuhan.
Ambillah
sebuah cermin lalu lihat penuh profil diri sebagai Pelayan di Jemaat-Jemaat
kita sekarang ini. Busana Pelayan, masih tetap necis, bahkan “wah”! Namun,
bagaimana dengan hidup bersama Jemaat? Pertanyaan evaluatif ini sebaiknya
ditanggapi dengan melihat ke dalam diri saya sendiri; apakah saya bagian
integral dari tujuan pelayanan 2014 mencerdaskan umat. Apakah posisiku sebagai Pelayan dalam Jemaat perlu
juga menjadi cerdas, atau: “Tak usahlah! Sebab saya sudah punya tri-kecerdasan: emosional, intelektual dan spiritual.” Patut
diingat bahwa penjabaran upaya mencerdaskan umat supaya mencapai pembaruan pelayanan telah mengerucut
dalam program-program pelayanan Jemaat tahun 2014. Bijak dan jujur jika kita
menilik bahwa di sana warga Gereja atau anggota Jemaat adalah sasaran
program-program pelayanan itu.
Selain para Pelayan menjadi pelaksana dan pengawas,
juga “kurang ada” (tak etis jika dibilang: “belum ada”) program mencerdaskan
Pelayan. Padahal mereka bagian utuh dari umat yang dikepalai oleh Tuhan Yesus sebagai Kepala
Gereja. Untuk itu pola otodidak (belajar sendiri atau belajar mandiri) perlu
dikukuhkan oleh setiap Pelayan. Upaya otodidak yang mengutip jiwa bahasa Subtema MPL Sinode ke 30 (supaya menjadi) orang berhikmat,
adalah dengan berupaya mencari kehendak Tuhan. Maksudnya, tanpa “membuat jadi
ada” dari program-program mencerdaskan umat untuk pelayanan 2014 yang “hanya”
tersedia untuk warga Gereja atau anggota Jemaat, para Pelayan mampu dan siap membenahinya
sendiri. Menurut saya, kecerdasan utamanya adalah mencari, menemukan dan melaksanakan: takut akan Tuhan (Amsal 1:7) sambil terus menerus mengevaluasi diri
dengan tuntunan Roh Tuhan.
Perlunya para Pelayan mencerdaskan diri secara otodidak dengan dua alasan; pertama, warga Gereja atau anggota Jemaat adalah subyek
pelayanan. Perpektif berteologi meletakan Jemaat adalah basisnya. Itu berarti
adalah salah jika perilaku dan pemahaman Pelayan yang suka menempatkan Jemaat sebagai obyek
pelayanan. Kenyataannya, orientasi program-program pelayanan adalah top-down, atau
dari atas ke bawah. Bukankah selama ini program-program pelayanan di tingkat
Jemaat bertolak dari keputusan Sidang Sinode atau MPL Sinode, turun ke Sidang
Klasis dan berakhir di Sidang Jemaat? “Kurang ada” atau “BELUM ada” keputusan
persidangan di aras tengah, Klasis dan aras atas, Sinode menginsyafi fakta
konteks Jemaat sebagai sumber berpelayanan. Akhirnya mesti diterima bahwa
program-program pelayanan menjadi analisis tekstual yang kurang
(bahkan tidak) kontekstual.[6]
Kedua,
tugas jabatan sebagai Pelayan adalah melayani. Tidak asing penegasan itu. Sebab
seorang pejabat Gereja adalah seorang Pelayan. Menurut saya dari begitu banyak
unsur pembentukan jati diri seorang Pendeta sebagai Pelayan dewasa ini,
tersimpul pada satu hakikatnya saja yaitu belajar supaya menjadi teladan[7]
dari Tuhan Yesus bagi warga Gereja atau anggota Jemaat dan masyarakat umum.
Untuk itu instrospeksi, otokritik, mau menerima kritik dari lingungan internal,
eksternal dan up and down critic (kritik dari atas dan dari sesama) sangat perlu bagi
pembentukan hidup sebagai teladan dari Tuhan bagi semua manusia. Ketika seorang
Pelayan menolak dikritik, membela diri sekuat tenaga dan menampilkan diri
sebagai pemenang dan penguasa atas pelayanan Jemaat, ia tidak memandang,
merefleksikan dan membuka diri bagi kuasa Roh Kudus. Betapa Tuhan Yesus yang
benar dan suci, mesti menjadi sama dengan manusia. Ia memikul semua dosa kita
dan dari pengorbanan-Nya, kita mendapat keselamatan. Daya pencerahan dalam pengorbanan-Nya membawa kita
semua sebagai Pelayan-Nya mesti bisa menerima kritik demi aktualisasi berpihak
kepada hidup semua orang, pro-hidup. Artinya, kebenaran saja dapat diguncangkan
sampai dijungkirbalikkan menjadi yang tidak benar. Apalagi banyak perbuatan
yang salah. Intinya, kebenaran bukan saja diwacanakan dan didebatkan. Tetapi
mesti diperjuangkan lewat perbuatan, pengabdian dan Pelayan-an yang terus
menerus, sungguh-sunggu dan tanpa pamrih apa-apa.
--------ns-eb-------
Ambon, March 24, 2014
[1] ASSAU Vol 12, No 3 Januari-Februari
2014, halaman 15-19.
[2] Shihab, Dr. M. Quraish, M.A., Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai
Persoalan Umat,
Penerbit Mizan, 1996.
[3] Firestone, Reuven. Jihād:
the origin of holy war in Islam (1999), halaman
118; Watt, W. Montgomery. Muhammad at Medina dan Serjeant R.B. The Constitution of Medina, Islamic
Quarterly 8 (1964), halaman 4.
[4] J. L. Ch. Abineno: Sekitar Teologia Praktika, Jakarta 1968, BPK, halaman 82, 100-101
[5]
Fermentasi yang mengkhamirkan adalah ungkapan daya kerja ragi yang mengayakan
(memperkaya) tumbuh- kembangnya adonan roti yang siap dibakar (lihat 1Kor. 5:6;
Gal. 5:9). Arti sederhananya, menjadikan hasil optimal.
[6] Emanuel G. Singgih, Berteologi dalam Konteks, Jakarta 2007,
BPK, halaman 17-33.
[7] Lihat, Pendeta yang Melayani, Bukan Dilayani.....ASSAU Vol. 12, No 3,
Januari-Februari 2014, halaman 13-14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar