Rabu, 26 Maret 2014

MENCERDASKAN UMAT SEBUAH OTOKRITIK


Oleh: Pdt. DR. Nick Sedubun, M. Th, D.Th

Pengantar
Tulisan ini berupaya memahami Pelayanan Gereja Protestan Maluku (GPM) sebagai penugasan TUHAN bagi para Pelayan dan semua anggota Jemaat-NYA yang tersebar luas di pulau-pulau, dari kota sampai ke desa-desa dan dari berbagai perbedaan status sosial, budaya dan karunia yang dimiliki. Pelayanan dimaksud berfokus pada kata kunci rumusan Subtema Persidangan MPL Sinode GPM ke- 35/2013 di Taniwel tentang Mencerdaskan Umat, lengkapnya; “Mencerdaskan Umat untuk Bersama-sama Melakukan Tugas Pembaruan dalam Kehidupan Bergereja, Bermasyarakat dan Berbangsa.”[1] Muncul beberapa pertanyaan dari anggota Jemaat di sekitar subtema: “Siapa umat yang dicerdaskan itu; apakah Pendeta (Pelayan) termasuk atau tidak di dalam upaya mencerdaskan; bagaimana upaya nyata mencerdaskan, sehingga Pelayan dan umat sejalan” dan masih banyak tanya lainnya.
Umat dengan “dwi-status”
            Kata umat berasal dari bahasa Arab ummah. Ia bermakna totalitas persebaran umat Islam atau sebuah komunitas orang-orang beriman (ummatul mu'minin). Dalam Al-Qur’an, ungkapan kesatuan umat (ummatul wahidah) menunjuk kepada seluruh dunia Islam; dikatakan: "Sesungguhnya umatmu ini (agama tauhid) adalah umat (agama) yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku (QS Al-Anbiya' [21]: 92).[2] Dalam bahasa Arab, kata ummah juga berarti bangsa. Pengertian ini menyangkut suku-suku Yahudi dan non-Muslim yang ada di Madinah yang terdapat dalam Konstitusi Madinah 622 AD.[3] Dalam bahasa Ibrani modern, Ummah (אוּמָה) dijadikan ke umat, berarti bangsa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata umat berarti: (1) para  penganut atau pengikut suatu agama, atau (2) makhluk manusia.
Pemakaian kata umat dalam pemahaman pelayanan Gereja di GPM, seringkali disamakan dengan warga Gereja atau anggota Jemaat. Kondisi ini akan tampak sangat dominan jika yang menyampaikan pengarahan, pembinaan ataupun rencana pengembangan pelayanan, disampaikan oleh seorang Ketua atau Pimpinan Gereja, baik di aras Sinode, Klasis dan juga Jemaat. Dalam perspektif internal di sini para pemimpin (Pelayan) Gereja di semua aras berada di luar atau menempati posisi “supra struktur” di dalam Gereja atau Jemaat. “Supra struktur” dapat diartikan sebagai tidak berada bersama warga Gereja atau berada di luar di sebuah posisi tingkat atas dari warga Gereja, up hirarchi. Lain kondisinya jika Pimpinan Gereja itu berbicara ke lingkungan eksternal, ia akan menyebut umat dalam perspektif yang berbeda. Umat dimaksud terdiri dari ia sebagai pemimpin Gereja bersama dengan warga Gereja atau anggota Jemaatnya. Dalam kondisi ini, posisi pemimpin Gereja bersama-sama dengan umatnya menjadi satu kesatuan.    
Jika ditelaah uraian tentang umat di atas, dapat kita pahami bahwa penyebutan atau pengertian tentangya tidak hanya mengenai anggota suatu komunitas, warga Gereja atau anggota Jemaat saja. Tetapi sangat terkait dengan kesatuan anggota dan pemimpinnya. Itulah umat yang paripurna.  

TUHAN YESUS, “Kepala Umat” dan Pendeta (Pelayan) sebagai “kepala umat”   
Anehkah jika ditegaskan bahwa TUHAN YESUS adalah Kepala umat? Pasti masing-masing pembaca akan menjawab ‘tidak.’ Sebab pemahaman kita langsung mampu masuk ke dalam ingatan tentang TUHAN YESUS sebagai Kepala Gereja dan kita warga Gereja atau anggota Jemaat adalah umat-NYA. Kita yang dimaksud pada masa pelayanan Gereja mula-mula, adalah para presbiter (penatua), diaken (samas/et), doktor (pengajar) dan warga Gereja atau anggota Jemaat. Mereka termasuk dalam kumpulan ini. Pada masa pelayanan Gereja sekarang, dikenal pemimpin Gereja di aras Sinode, Klasis dan Jemaat dan warga Gereja atau anggota Jemaat. Para pemimpin itu adalah para Pendeta yang selayaknya disebut Pelayan atau Pelayan Jemaat dan jabatannya disebut pelayanan dalam Jemaat.[4] Posisi ini menempatkan Pelayan dan warga Gereja atau anggota Jemaat berada dalam satu kelompok sebagai umat TUHAN. Maksudnya, penyebutan posisi Tuhan Yesus sebagai “Kepala Umat” menunjuk kepada otoritas-Nya atas para Pelayan Gereja dan warga Gereja atau anggota Jemaat. Ungkapan lazimnya, Tuhan Yesus adalah Kepala Gereja; Gereja milik Tuhan Yesus itu terdiri dari para Pelayan dan anggota Jemaat.
Penataan pelayanan Gereja di GPM, memposisikan penanggungjawab utama dan teratasnya, baik di aras Sinode, Klasis dan demikian juga Jemaat, adalah seorang Pendeta. Di tingkat Jemaat, bentuk pelayanan ini memposisikannya sebagai Ketua Majelis Jemaat. Perspektif seperti ini menempatkannya terpisah dari warga Gereja atau anggota Jemaatnya. Ia mengawasi dan mengarahkan pelaksanaan pelayanan bagi warga Gereja yang dilayaninya. Warga Gereja atau anggota Jemaat berada pada posisi sebagai pelaksana yang mempraktekkan pelayanan. Jadi, dalam penataan pelayanan, ia dapat disebut sebagai “kepala umat.” Karena ia memimpin, mengatur dan memelihara warga Gereja atau anggota Jemaatnya.

Mencerdaskan Umat bagi Pelayan dan Warga Gereja
            Fokus aktualisasi Subtema Persidangan MPL Sinode GPM ke-35/2013 di Taniwel yang sudah dijabarkan ke dalam Program Pelayanan 2014 menegaskan pentingnya kebersamaan dalam mendaratkan upaya mencerdaskan umat. Kebersamaan dimaksud meliputi para Pelayan bersama warga Gereja atau anggota Jemaat. Itu berarti umat yang ‘digadang’ dalam misi Sutema MPL ke-35 adalah Pelayan (Pendeta) dan warga Gereja atau anggota Jemaat. Keduanya mesti menjadi cerdas supaya mampu mewujudkan upaya-upaya nyata pembaruan pelayanan Gereja. “Bahasa” Alkitab memahami orang cerdas sebagai orang yang berhikmat (Kidung Agung, Pengkhotbah, Amsal, dst). Inti orang berhikmat adalah memahami imannya sebagai anugrah dari Tuhan yang memampukannya untuk membedakan mana yang baik dan berkenaan kepada Tuhan dengan mana yang jahat dan bertentangan dengan kehendak Tuhan. Ujung dari sikap menjadi cerdas dimaksud adalah melakukan kehendak Tuhan. Di sini umat yang paripurna, Pelayan dan warga Gereja atau anggota Jemaat terhisab dalam upaya yang sama.
            Saya percaya bahwa penjabaran upaya mencerdaskan umat yang menyata dalam bentuk program-program pelayanan tahun 2014 adalah hasil perasan untuk penguatan pembaruan pelayanan. Sebagai Pendeta, saya belum percaya bahwa “fermentasi” upaya mencerdaskan umat dimaksud paripurna dan ia mengkhamirkan Pelayan dan warga Gereja.[5] Sebab, realitas jabaran program-program pelayanan seakan hanya menjadikan atau mengartikan umat yang disasar adalah warga Gereja atau angota Jemaat saja. Para Pelayan seakan “sudah cerdas.” 

Keteladanan, Otokritik?!
            Seorang Pendeta sebut saja ‘debu.’ Ia suka bercelana pendek, berkaos oblong dan memakai jaket. Berbaur di pasar, berbelanja di toko adalah sisi lain kesehariannya. Suatu ketika sementara ia menanti untuk menjemput isterinya beberapa orang penarik ojek menyalami seseorang yang lewat: “Slamat siang pak! Slamat siang pak Pendeta!” Ternyata orang itu adalah seorang Pendeta yang necis dengan pakaian rapih. Semula ia mengira orang-orang penarik ojek itu menyapanya. Sembari tenggelam dalam rasa malu yang diam, ia mengeluh pada diri sendiri: “Pendeta itu harus necis, sedangkan saya bukanlah Pendeta ideal seperti itu.”
            Menilik kembali ke masa tamatan Institut Teologi sampai Sekolah Tinggi Teologi GPM, salah satu cirinya adalah mereka harus berpakaian rapih dan necis. Disiplin berbusana telah menjadi ukuran profil seorang calon Penginjil atau Calon Pendeta sampai ia melewati masa vikariat dan menjadi seorang Penginjil atau Pendeta. Petunjuk itu dapat kita lihat pada diri Penginjil pensiun atau Pendeta pensiun yang masih ada di GPM. Ukuran profil mereka tidak berakhir sampai di situ saja. Pengabdian atau kepedulian mereka terhadap anggota Jemaatnya mencatat prestasi hebat. Hidup dengan gaji “pas-pasan” dalam kondisi sarana dan prasarana terbatas, namun kesetiaan kepada pelayanan di Jemaat tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Saya menyebut kondisi itu sebagai suatu umat Tuhan yang paripurna. Mereka paripurna karena terbangun kebersamaan (Pelayan: Penginjil/Pendeta dan warga Gereja atau anggota Jemaat) untuk mencapai tujuan pelayanan di Jemaat; mereka paripurna dalam berupaya mencari, memiliki dan melaksanakan kehendak Tuhan. 
            Ambillah sebuah cermin lalu lihat penuh profil diri sebagai Pelayan di Jemaat-Jemaat kita sekarang ini. Busana Pelayan, masih tetap necis, bahkan “wah”! Namun, bagaimana dengan hidup bersama Jemaat? Pertanyaan evaluatif ini sebaiknya ditanggapi dengan melihat ke dalam diri saya sendiri; apakah saya bagian integral dari tujuan pelayanan 2014 mencerdaskan umat. Apakah posisiku sebagai Pelayan dalam Jemaat perlu juga menjadi cerdas, atau: “Tak usahlah! Sebab saya sudah punya tri-kecerdasan: emosional, intelektual dan spiritual.” Patut diingat bahwa penjabaran upaya mencerdaskan umat supaya mencapai pembaruan pelayanan telah mengerucut dalam program-program pelayanan Jemaat tahun 2014. Bijak dan jujur jika kita menilik bahwa di sana warga Gereja atau anggota Jemaat adalah sasaran program-program pelayanan itu.  
Selain para Pelayan menjadi pelaksana dan pengawas, juga “kurang ada” (tak etis jika dibilang: “belum ada”) program mencerdaskan Pelayan. Padahal mereka bagian utuh dari umat yang dikepalai oleh Tuhan Yesus sebagai Kepala Gereja. Untuk itu pola otodidak (belajar sendiri atau belajar mandiri) perlu dikukuhkan oleh setiap Pelayan. Upaya otodidak yang mengutip jiwa bahasa Subtema MPL Sinode ke 30 (supaya menjadi) orang berhikmat, adalah dengan berupaya mencari kehendak Tuhan. Maksudnya, tanpa “membuat jadi ada” dari program-program mencerdaskan umat untuk pelayanan 2014 yang “hanya” tersedia untuk warga Gereja atau anggota Jemaat, para Pelayan mampu dan siap membenahinya sendiri. Menurut saya, kecerdasan utamanya adalah mencari, menemukan dan melaksanakan: takut akan Tuhan (Amsal 1:7) sambil terus menerus mengevaluasi diri dengan tuntunan Roh Tuhan.
Perlunya para Pelayan mencerdaskan diri secara otodidak dengan dua alasan; pertama, warga Gereja atau anggota Jemaat adalah subyek pelayanan. Perpektif berteologi meletakan Jemaat adalah basisnya. Itu berarti adalah salah jika perilaku dan pemahaman Pelayan yang  suka menempatkan Jemaat sebagai obyek pelayanan. Kenyataannya, orientasi program-program pelayanan adalah top-down, atau dari atas ke bawah. Bukankah selama ini program-program pelayanan di tingkat Jemaat bertolak dari keputusan Sidang Sinode atau MPL Sinode, turun ke Sidang Klasis dan berakhir di Sidang Jemaat? “Kurang ada” atau “BELUM ada” keputusan persidangan di aras tengah, Klasis dan aras atas, Sinode menginsyafi fakta konteks Jemaat sebagai sumber berpelayanan. Akhirnya mesti diterima bahwa program-program pelayanan menjadi analisis tekstual yang kurang (bahkan tidak) kontekstual.[6] Kedua, tugas jabatan sebagai Pelayan adalah melayani. Tidak asing penegasan itu. Sebab seorang pejabat Gereja adalah seorang Pelayan. Menurut saya dari begitu banyak unsur pembentukan jati diri seorang Pendeta sebagai Pelayan dewasa ini, tersimpul pada satu hakikatnya saja yaitu belajar supaya menjadi teladan[7] dari Tuhan Yesus bagi warga Gereja atau anggota Jemaat dan masyarakat umum.
Untuk itu instrospeksi, otokritik, mau menerima kritik dari lingungan internal, eksternal dan up and down critic (kritik dari atas dan dari sesama) sangat perlu bagi pembentukan hidup sebagai teladan dari Tuhan bagi semua manusia. Ketika seorang Pelayan menolak dikritik, membela diri sekuat tenaga dan menampilkan diri sebagai pemenang dan penguasa atas pelayanan Jemaat, ia tidak memandang, merefleksikan dan membuka diri bagi kuasa Roh Kudus. Betapa Tuhan Yesus yang benar dan suci, mesti menjadi sama dengan manusia. Ia memikul semua dosa kita dan dari pengorbanan-Nya, kita mendapat keselamatan. Daya  pencerahan dalam pengorbanan-Nya membawa kita semua sebagai Pelayan-Nya mesti bisa menerima kritik demi aktualisasi berpihak kepada hidup semua orang, pro-hidup. Artinya, kebenaran saja dapat diguncangkan sampai dijungkirbalikkan menjadi yang tidak benar. Apalagi banyak perbuatan yang salah. Intinya, kebenaran bukan saja diwacanakan dan didebatkan. Tetapi mesti diperjuangkan lewat perbuatan, pengabdian dan Pelayan-an yang terus menerus, sungguh-sunggu dan tanpa pamrih apa-apa.

--------ns-eb-------
Ambon, March 24, 2014




[1] ASSAU Vol 12, No 3 Januari-Februari 2014, halaman 15-19.
[3] Firestone, Reuven. Jihād: the origin of holy war in Islam (1999), halaman 118;  Watt, W. Montgomery. Muhammad at Medina dan Serjeant R.B. The Constitution of Medina, Islamic Quarterly 8 (1964), halaman 4.

[4] J. L. Ch. Abineno: Sekitar Teologia Praktika, Jakarta 1968, BPK, halaman 82, 100-101
[5] Fermentasi yang mengkhamirkan adalah ungkapan daya kerja ragi yang mengayakan (memperkaya) tumbuh- kembangnya adonan roti yang siap dibakar (lihat 1Kor. 5:6; Gal. 5:9). Arti sederhananya, menjadikan hasil optimal.
[6] Emanuel G. Singgih, Berteologi dalam Konteks, Jakarta 2007, BPK, halaman 17-33.
[7] Lihat, Pendeta yang Melayani, Bukan Dilayani.....ASSAU Vol. 12, No 3, Januari-Februari 2014, halaman 13-14.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar