Selasa, 16 Desember 2014

BIARLAH GEREJA MENJADI GEREJA[1]



Oleh: Nick Sedubun

Pengantar
            Judul materi diskusi ini, Biarlah Gereja Menjadi Gereja, dapat menampilkan sikap dan pemahaman tersendiri; dapat negatif dan dapat juga positif. Sisi negatif akan menampilkan permahaman tertutup tentang Gereja sebagai sebuah lembaga pelayanan rohani yang Tuhan Yesus utus ke dalam dunia. Di lain pihak, sisi positif akan menonjolkannya sebagai representasi keselamatan Tuhan bagi semua manusia. Lebih jauh lagi tiap-tiap orang dapat juga mengembangkan banyak uraian mengenainya, tergantung dari sudut mana ditelaah. Untuk maksud diskusi dari judul di atas, saya lebih mengendors Gereja yang apa adanya sebagaimana yang saya ketahui ditambah beberapa perspektif terkait konteks Gereja Protestan Maluku (GPM). Untuk maksud itu, materinya diurai dalam sistematika sebagai berikut:
-          Pengantar
-          Gereja sebagai pusat Ibadah
-          Gereja sebagai persekutusan orang basudara di Maluku
-          Wacana - diskusi

Gereja sebagai pusat Ibadah
Gereja (ecclesia) dalam Perjanjian Baru adalah sekelompok orang yang dipanggil oleh Roh Kudus untuk menyaksikan Kabar Sukacita tentang kasih dan keselamatan Tuhan kepada manusia lain di dunia (Kis. 2;1-13). Mereka adalah sekelompok orang yang memiliki persekutuan yang indah (Kis. 2:41-47; 4:32-37). Dalam Perjanjian Baru Gereja bukan suatu bangunan gedung atau sistem organisasi melainkan sekelompok ummat Allah, tubuh Kristus dan persekutuan yang sesungguhnya dalam Tuhan. Yang terpenting bagi orang Kristen selaku anggota Gereja, adalah hubungannya dengan Yesus Kristus sebagai Kepala (Efesus 4: 12, 15-16). Mereka adalah bagian utuh dari satu persekutuan orang percaya.  
Gereja sebagai pusat Ibadah, menunjuk kepada peran dan fungsinya sebagai pusat pelayanan. Dalam pemahaman Perjanjian Lama (PL) istilah ibadah dalam bahasa Ibrani disebut avoda, sedangkan dalam Perjanjian Baru (PB) bahasa Yunani, disebut latreia. Istilah avoda merujuk kepada ibadah di kuil, Bait Allah atau Sinagoge dan khusus lebih mengarah dalam hal berdoa (Hastings 1955:527). G. Riemer (1995:52) mengatakan bahwa dalam PB ada tiga kata Yunani mengenai ibadah yaitu:  leiturgia (λειτουργια, Kis.13:2), beribadah kepada Allah, latreia (λατρεια, Roma 12:1), mempersembahkan seluruh tubuh dan thereskeia (θερησκεια, Yak.1:27), pelayanan kepada orang yang dalam kesusahan. Dengan demikian, ibadah adalah avoda atau latreia yang adalah suatu pelayanan yang dipersembahkan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah; tidak hanya dalam arti ibadah di Gereja (berdoa), tetapi juga dalam arti pelayanan kepada sesama (Luk.10:25; Mat.5:23, Yoh.4:20-24, Yak.1:27; lihat Douglas 2004:409).
Terdapat istilah Ibrani lain yang banyak kali salah dipahami berkaitan dengan ibadah yaitu kata abodah. Kata ini berasal dari pengertian kata kerja abad, kata bendanya adalah abodah. Kata ini berhubungan dengan ebed, artinya pelayan, budak. Kata abad (Kel 5:15; 2 Ta 2:18) dan abodah (Kel 5:9, 11; Neh 3:5). Istilah abodah dikenakan juga untuk kerja orang Lewi (Kel 38:21; Bil 4:23-47). Ke dua kata abad dan abodah menunjuk kepada pengertian yang sama, yaitu melayani, suatu pelayanan yang ditujukan kepada seseorang yang statusnya lebih tinggi. Kerja harus dipertanggung-jawabkan kepada Allah Sang Pencipta atau kerja adalah ibadah yang harus dilakukan di hadapan Allah. Karena semuanya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Dengan demikian istilah abodah mengandung makna pelayanan. Sesungguhnya kerja bukanlah hal yang lebih rendah dari pelayanan yang dilakukan dalam Gereja dan juga di luar. Sebab motivasi utama kerja adalah melayani Tuhan Allah (Mat. 25:31-46).
Dalam PL, dilarang menerima pemberian sesen pun dari orang lain tanpa bekerja sesuatu padanya. Seorang Rabi Yahudi sama kedudukannya dengan seorang dosen di perguruan tinggi; ia harus menguasai suatu bidang pekerjaan yang dilakukannya dengan tangannya supaya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Tidak heran, ada rabi yang menjadi tukang jahit, tukang sepatu, tukang cukur, atau tukang roti dan juga menjadi aktor. Bagi orang Yahudi, bekerja adalah kehidupan. Jadi, semua jenis pekerjaan yang dikaruniakan Allah kepada seseorang, harus diterima dengan ucapan syukur tanpa harus menjadi irihati berbanding pekerjaan yang lebih banyak menghasilkan uang.
Gereja sebagai persekutuan orang basudara
Saya bertanya kepada beberapa orang Pendeta dan anggota Jemaat tentang Gereja. Maksudnya supaya mendapatkan gambaran pemahaman sebagai fakta konteks umat. Seorang awam PNS menyebut: “Gereja adalah orang yang mengaku Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat dunia.”[2] Sumber lain seorang Pendeta mengatakan bahwa: “Gereja artinya manusia yang dipanggil dari dunia yang gelap masuk ke dalam dunia yang terang.”[3] Seorang awan, pekerja lepas, menyebut: “Gereja artinya persekutuan orang percaya.”[4] Seorang kepala SD menyebut: “Gereja adalah orang percaya atas kebenaran Injil dan siap menerima apapun konsekuensi imannya.”[5]
Jika ditelaah, respons para penanggap di atas banyak menekankan tentang aspek rasa keterpanggilan, inner sense of calling, yang menekankan kepada hubungannya dengan Tuhan atau iman yang spiritualis dan “mengabaikan” iman yang kontekstual. “Tanpa sadar” penanggap lepas dari ruang nyata lingkup interaksi hidupnya pada konteks gumulnya. Menurut saya, bagi umat Gereja Protestan Maluku (GPM), terdapat dua “sahabat” dalam pelayanannya[6] yaitu adat dan Islam. Sejak Gereja Katolik kemudian Protestan masuk di Maluku, adat telah menjadi “sahabat”nya. Dari dokumen-dokumen tertulis, orang dapat menjelajah dan menguak fakta interaksi dengan berbagai sikap dan perlakuan Gereja terhadap adat. Di satu sisi ada sikap konstruktif yang Gereja buat bagi pengembangan pelayanan. Namun sikap destruktif dilakukan Gereja terhadap berbagai unsur terkait adat. Salah satu di antaranya adalah hilangnya bahasa daerah di jemaat-jemaat di pulau Ambon dan pulau-pulau Lease.
Dengan Islam interaksi tampak dari lebih banyak sikap kurang terbuka bahkan oposisi. Menurut saya, ada unsur relasional mendasar yang dapat menjadi “tali penghubung” Gereja dengan dua “sahabat”-nya itu. Unsur itu adalah kearifan lokal, yang tersebar di semua wilayah pulau-pulau tempat hidup umat GPM. Beraneka bentuk dan hikmat dalam kearifan lokal telah teruji dalam interaksi baik di antara Gereja dengan masyarakat adat dan demikian juga dengan Islam. Mengapa kearifan lokal mampu menjadi penghubungnya? Sebab kandungan nilai hikmatnya bukan semata-mata pada perintah tetapi pada rasa hati yang berbicara dan kemudian diteryuskan dengan melaksanakan perintahkat yang tampil dibaliknya. Itulah the core of loco-wisdom, inti hikmat kearifan lokal (lihat von Rad 1972:53-55; 186-189).
Loco-wisdom yang tersebar luas, kaya dan menyatukan itu bersimpul dalam satu kata hikmat bagi orang Maluku, yaitu hidup sebagai orang basudara. Ada pela  di Ambon, Lease dan Maluku Tengah; kai-wait di pulau Buru; ain ni ain, lar ni baba wer ni soso di Kei-Maluku Tenggara; bela, tarfai, jabu di pulau Aru, fangnea kidabela di Tanimbar. Di lokal desa-desa pun tersebar banyak sekali loco-value system, sistem nilai lokal; ada kensa fa’ak di desa-desa di Kei, ada nyolia di desa Emplawas di pulau Babar, ada badati di hamparan desa-desa di pulau Seram dan Ambon-Lease dan seterusnya.
Wacana-Diskusi
            Terdapat banyak soal menyangkut Biarlah Gereja menjadi Gereja. Namun menurut saya, sebaiknya didiskusikan dua pertanyaan saja:
1.      Bagaimana menghidupkan Gereja sebagi pusat ibadah bagi kita selaku umat GPM?
2.      Sejauhmana kearifan lokal Maluku telah Gereja pakai sebagai media “bergaul” dengan dua “sahabat”-nya adat dan Islam, sebagi upaya berteologi?
Syalom! Selamat berdiskusi!
Ambon, December 17, 2014/NS
Pustaka
1.        Dillistone F. W, The Power of Symbols, London, SCM Press 1986
2.        Douglas J.D. (ed.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini jilid I, Jakarta, Komunikasi Bina Kasih 2004
3.        Hall Edward. T, The Silent Language, New York, FWL 1959
4.        Hastings James, Encyclopedia of Relegion and Ethics vol.29, New York, CSS  1955
5.        Riemer  G, Cermin Injil, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih 1955
6.        Subagya Rachmat, Agama dan Alam Kerohanian Asli Indonesia, Jakarta 1979, CLC
7.        Timo, Eben Nuban, Sidik Jari Allah Dalam Budaya, Maumere, Ledalero 2005
8.        von Rad,  Gerhard, Wisdom in Israel, London, SCM Press 1970
9.        Parapally Jacob Parappally MSFS & Fuelyn Mondeira SC, Hope at The Down of a New Century, Bengalore, Darmaran Publication, 2000


[1] Bahan ini disampaikan dalam diskusi para Dosen Fakultas Teologi UKIM menjelang 80 tahun usia Gereja Protestan Maluku (GPM), 17 December, 2014
[2] Wawancara dengan LM, December 16, 2014
[3] Wawancara dengan HM, December 11, 2014
[4] Wawancara dengan CL, December 14, 2014
[5] Wawancara dengan RR, December 13, 2014
[6] Lihat www.ohoi-ra.blogspot.com, Nick Sedubun, Tantangan GPM, dikutip Decermber 17, 2014

Dua “Sahabat” di Pelayanan GPM



Dua “Sahabat” di Pelayanan GPM
Oleh: Pdt. Nick Sedubun
Pendahuluan
Dua “sahabat” yang sudah sejak lama selalu ada bersama di pelayanan Gereja Protestan Maluku (GPM) adalah adat dan Islam. Adat sejak lama dikonfrontir sebagi musuh pelayanan GPM, demikian juga dengan Islam. Namun, kepada Islam, arena bentroknya tidak sehebat adat. Apapun argumen dibalik upaya pendekatannya, saya menyebut keduanya adalah sahabat pelayanan GPM. Mengapa dan untuk apa?

Adat, “sahabat” pelayanan
Pangkat sarani adalah polise “pembelahan” masyarakat adat di Maluku Tengah oleh penjajah Belanda. Frank Cooley[1] mencatat tentang perubahan status sosial seorang dari seorang pribumi Maluku yang masih kuat memegang adatnya sebagai seorang alifuru[2] ketika ia menganut agama Kristen Protestan. Perubahan itu menjadi nyata setelah ia dibaptis dan menerima apa yang disebut pangkat sarani. Gelar ini adalah sebuah ketinggian status sebagai anggota Jemaat yang dipandang lebih tinggi dari anggota masyarakat yang belum dibaptis. Status ini tidak hanya menyangkut pengakuan keanggotaannya dalam persekutuan Gereja, tetapi juga berkaitan dengan pengakuan untung-ruginya ke masa depan. Sisi untungnya, berarti ia diterima di kalangan ‘elite’ ekonomi dan di kalangan Gereja. Secara ekonomis, pangkat sarani menunjuk kepada akses komunikasi dengan orang Belanda. Sebab menjadi Kristen Protestan pada waktu itu adalah sama saja dengan telah memeluk “agama Belanda”. Orang pribumi seperti itu disebut “Belanda hitam.” Selain itu dengan menganut agama Kristen Protestan, maka seseorang berkesemptan untuk bersekolah di sekolah Protestan, menguasai bahasa Belanda dan juga bahasa Melayu-Indonesia. Lebih jauh lagi, ia dapat bekerja dan punya taraf hidup ekonomi yang lebih baik. Dengan kemampuan bahasa, seseorang bisa bekerja di kora-kora (perahu-perahu) dagang Hongitochten-Belanda, menjadi tentara atau polisi Belanda atau menjadi mandor di gudang-gudang penampungan cengkih Belanda.
Sisi ruginya, ia dihilangkan atau kehilangan identitas sebagai warga masyarakat adat, sebagai orang alifuru. Salah satu kehilangan itu adalah ia tidak boleh lagi melakukan dan mempercayai hal-hal mengenai adatnya dan mesti melupakan bahasa daerahnya. Padahal, bahasa adalah salah satu media pelestarian adat sebab melaluinya ekspresi adat dalam upacara-upacara adat dilakukan. Terutama bahasa adat, yang kata-kata rumusannya adalah dalam bahasa tua atau bahasa tanah ketika kepala adat menyampaikan maksud upacara tertentu kepada para leluhur. Sekaligus juga ia kehilangan atau ditolak dari lingkungan karib dalam ikatan masyarakat adat-nya. Waktu itu, Gereja menegaskan bahwa semua peristiwa menyangkut adat adalah kafir. Dari pemahaman seperti begitu, maka dapat dipahami bahwa bahasa daerah juga kafir. Ia menjadi musuh Gereja. Pendeta sebagai “pendekar terdepan” Gereja di Jemaat, menjadi pahlawan pemusnahan terdepan simbol-simbol adat itu. Akibatnya di desa-desa Protestan di Maluku pada umumnya dan di Maluku Tengah pada khsusnya, bahasa daerah telah hilang. Lain halnya dengan desa-desa Islam, yang sampai hari ini masih memakai bahsa daerahnya.
Frank Cooley dan juga Dieter Bartels tidak secara tegas menyingkapkan apa saja daya tarik ketika seseorang mendapatkan status pangkat sarani. Tampaknya “perasaan gengsi” dalam kesenangan hidup ekonomilah yang menjadi faktor pendorongnya. Akibat yang terkait langsung dengan itu juga adalah rasa rendah diri oleh masyarakat adat, yang belum menjadi Kristen. Pada waktu itu, penjajah Belanda, dan yang juga terus diwariskan oleh GPM, mengajarkan bahwa menguasai bahasa Belanda atau bahasa Melayu-Indonesia, adalah lebih baik daripada hanya hidup dengan bahasa daerah. Penegasan seperti ini tidak seluruhnya salah, ada juga benarnya. Sebab pada satu pihak, kebutuhan komunikasi antara Penjajah dan Gereja, baik di antara mereka sendiri maupun juga dengan masyarakat, adalah dengan bahasa Belanda dan bahasa Melayu-Indonesia. Tetapi di lain pihak, identitas adat lokal dan nilai-nilai hubungan kekerabatannya menjadi hilang. Masyarakat lokal yang adalah warga pribumi, atau orang alifuru, menjadi terpisah dalam sebuah dunia perjumpaan budaya dan agama yang luas. Sebab mereka hanya menguasai bahasa lokalnya, bahasa daerah dalam berkomunikasi.  
Sisi positifnya adalah kemajuan di bidang pendidikan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Ada dua subyek yang berperan di sini, yaitu melalui Gereja dan melalui Sekolah-Sekolah Protestan. Melalui Gereja pengajaran dan perluasan pemahaman intelektual adalah rangsangan tersendiri tentang luasnya pengetahuan anggota Jemaat. Khotbah, Katekisasi, pengajaran agama di Sekolah Minggu, pengajaran dan pelayanan pastoral di tiap organsasi Gerejawi, adalah materi yang sangat kaya dan mendasar posisinya bagi perluasan pengetahuan anggota Jemaat. Juga melalui sekolah-sekolah Protestan, para murid dididik dengan pendidikkan agama, ilmu pengetahuan umun dan bahasa. Khusus untuk mata pelajaran bahasa, diajarkan bahasa Belanda dan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia seperti sekarang. Dengan kelebihan pendidikan dan pengetahuan seperti ini, orang itu bisa memperbaiki hidupnya dengan menjadi pegawai negeri atau pegawai pemerintah Belanda. Dengan demikian, menguasai bahasa Belanda atau bahasa Melayu-Indonesia yang juga erat kaitannya dengan menjadi orang Kristen Protestan, maka hidup akan lebih baik dan luas hubungannya. Selain status dalam masyarakat naik dan demikian juga orientasi perjumpaan dan perluasan hidup juga meluas. Dapat disimpulkan bahwa menjadi orang Kristen Protestan, yang berarti meninggalkan adatnya sebagai orang alifuru, maka hidup seorang akan menjadi lebih baik.
Adat sesungguhnya adalah konteks “bersahabat” di pelayanan Gereja. Gereja berada di tengah-tengah masyarakat. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari semua aktifitas hidup masyarakat dengan segala kebaikan dan keburukannya. Di jemaat-Jemaat perjumpaan pelayanan dengan adat dengan semua bentuk dan kandungan nilainya adalah obyek pelayanan atau obyek berteologi. Ada sebuah kejadian di Ujian Gereja terhadap seorang Vikaris.[3] Dalam laporannya, si nona Vikaris menyimpulkan bahwa adalah pemborosan besar ketika lima orang anak mengumpulkan begitu banyak barang dan uang, hanya untuk membangun dan mensyukuri pembangunan kubur permanen atau nisan ayah mereka yang berukuran 1, 5 x 1 x 1, 5 meter. Almarhum punya lima orang anak. Seorang anak membawa 3 ekor kerbau, seorang membawa puluhan ekor ayam, seorang lain membawa 10 ekor babi, yang lain membawa puluhan ekor kambing dan yang terakhir memberikan bantuan jutaan rupiah, sebab ia pegawai negeri, seorang Camat. “Secara ekonomis, semua barang itu bisa dipakai untuk memberi makan lima desa,” kata nona Vikaris. Pendeta setempat, yang adalah mentornya, menjadi marah atas kegiatan pengumpulan barang-barang untuk pembangunan kubur dan ibadah syukunya. Ia bertambah jengkel sebab amplop ibadah syukur atas pembangunan nisan yang diberikan ke Gereja, hanya lima puluh ribu rupiah.
Nona Vikaris dengan tegas menanggapi limpahnya barang untuk membangun nisan di atas bahwa benar seperti pemahaman mentornya dan anggota jemaat pada umumnya bahwa perbuatan itu adalah sebuah pemborosan. Perbuatan itu sama saja dengan menyembah orang mati. Sebab ada tertulis perkataan Yesus : “Ikutlah Aku dan biarlah orang mati menguburkan orang mati” (Matius 8:22).  
Tampak pemahaman Vikaris dan mentornya terbatas pada ritual dan keramaian atau pesta di sekitarnya saja dan mengabaikan kandungan visi transformatif di baliknya. Bahwa bagi orang-orang yang masih hidup, perbuatan baik atau moralnya akan tampak menonjol dalam bentuk integrasi sosialnya yang menyata dalam perjumpaan dengan sesama di dalam dan di luar lingkungan hidupnya. Bagi orang yang sudah mati, atau para leluhur, moralnya adalah warisan nilai hidup yang baik dan penting untuk diteladani. Jarang sekali orang meneladani sikap dan perbuatan jahat yang telah dibuat oleh leluhurnya. Ritual pebangunan nisan dan pesta di sekitarnya merupakan upaya nyata untuk kembali ke pusat moral. Mereka melakukannya bukan penyembahan kepada orang mati atau kepada tulang-belulang ayah mereka. Bahwa semua pengorbanan mereka sebanyak seperti itu karena penghargaan dan penghormatan atas semua kebaikan dalam bentuk materi dan ajaran moral dari almarhum ayah mereka. Dari ajarannya itulah anak-anaknya berhasil hidup dengan baik, bahagia dan sejahtera.
Yang kaku dan tersumbat adalah daya kritis yang kreatif dan transformatif nona Vikaris. Kaku karena daya pembaruan visi Kristiani terhadap adat masih tersumbat pada aspek-aspek material, pemborosan harta. Tersumbat oleh ketidak berdayaan sikap kritis dan kreatif untuk mencari dan menemukan apa kehendak TUHAN dalam semua peristiwa hidup manusia. Eben Nuban Timo mengatakan bahwa bagi masyarakat kecil di desda-desa, berteologi itu nampak dalam bersuka, menangis dan menanggapi hidup (...). Mengapa ia bersama mentornya tidak membawa pemahaman umat di jemaatnya, secara lebih luas lagi?  Bahwa jikalau mereka dapat mensyukuri nilai kebaikan dalam warisan ajaran etika moral seorang almarhum saja bisa dengan begitu berlimpah; mengapa tidak diperluas dengan memberlakukannya bagi pendidikan anak-anak, pembangunan rumah sehat atau bentuk-bentuk kebersamaan sosial lainnya ?!

Kearifan lokal Maluku, simpul “bersahabat” GPM dan Islam
Ada berbagai bentuk kearifan lokal di Maluku; di pulau Seram, pulau Buru, Ambon, Lease, Kei, Aru, Tanimbar, Babar, Kisar, Damer, Romang, Wetar dst. Uraian berikut ini mengetengahkan kekayaan kearifan lokal itu bagi perjumpaan pelayanan GPM dengan Islam. 
·         Kai-wait, wali dawen, kearifan lokal orang Buru
Pulau Buru dalam bahasa daerah disebut bipolo, yang berasal dari dua suku kata yaitu bia dan polon. Bia berarti papeda, sejenis makanan asli orang Buru (juga orang pulau Ambon, pulau-pulau Lease, pulau Seram dan pulau Aru), yang terbuat dari endapan pati perasan hasil pangkur isi batang sagu. Orang di luar Maluku, seperti orang Jawa, menyebutnya bubur sagu. Bahan dasar endapat pati sagu disebut sagu manta (sagu mentah, sagu yang masih mentah). Untuk membuat papeda, sagu mentah harus dilumatkan dalam air, disaring dan diteduhkan selama beberapa menit sampai mengendap. Kemudian airnya dibuang dan tinggal endapan pati sagu. Untuk membuat papeda, sagu itu dicampur lagi dengan air daam ukuran tertentu, lalu diaduk sambil menjaga kekentalannya. Jangan diberi terlalu banyak air, nanti adukannya encer. Jika terlalu encer, papeda yang dihasilkan juga encer dan tidak nyaman memakannya. Sementara itu air panas sudah dididihkan. Larutan sagu kental tadi terus diaduk supaya sagu jangan mengendap. Jika mengendap, papeda yang dihasilkan akan berbiji gumpalan putih. Jadi, ketika air panas mendidih hendak di tuangkan ke dalam larutan sagu, larutannya harus terus diaduk. Setelah air panas dituangkan ke dalam wadah larutan sagu, kerja pengadukan dihentikan dan menunggu beberapa detik sampai larutan yang semula berwarna putih-sagu berubah menjadi kental kecoklatan, kemudian diaduk dengan semacam sendok besar yang terbuat dari kayu, disebut aru-aru. Setelah tahap ini papeda telah siap di santap.
Polon, artinya getah, atau perekat yang melekatkan. Konon ketika orang pertama datang di pulau buru, waktu itu baru usai banjir besar yang membuat becek di mana-mana. Tanah tempat berpijak berwarna kecoklatan seperti warna papeda dan kaki orang yang menginjaknya melekat tertanam ke dalam tanah. Dari uraian di atas, sebutan bipolo menjadi falsafah atau pandangan tentang ikatan hidup orang Buru adalah erat mengikat seperti papeda. Ketika dimakan, ia terasa sejuk, nyaman dan menyatukan antara rasa, cipta dan kedamaian. Dari situ pulau Buru sering juga disebut dengan istilah bumi bipolo.
Kerifan lokal Buru dikenal dengan sebutan kai-wait, wali dawen. Kai berarti kakak dan wait berarti adik. Wali berarti ipar dan dawen berati konyado. Sebenarnya kata mejemuk wali-dawen mengandung satu arti saja, yaitu ipar.[4] Kebiasaan menyebut kata majemuk ini  bermula dari kebiasaan di pualu Ambon dan Lease. Ia berkembang menyebar menjadi sebutan lokal yang umum di pulau Ambon, pulau-pulau Lease, pulau Seram dan pulau Buru untuk ipar adalah konyado. Sebutan konyado yang berarti ipar, sebenarnya berasal dari pulau-pulau Lease, khusunya di pulau Saparua di jasirah Hatawano dan jasirah tenggara. Penyebarannya terjadi karena proses perkawinan penduduk antar pulau di mana seorang ipar dari pulau Lease memanggil ipar-nya yang bukan orang Lease konyado, sehingga mempengaruhi mereka saling memanggil ipar dengan konyado. Beberapa tokoh adat di Lease menjelaskan bahwa sebutan ipar menjadi konyado adalah bentuk kehalusan kata atau penghargaan di antara ipar dengan ipar-nya sendiri. Untuk hubungan di antara ipar, baik ipar dari garis hubungan kandung seorang suami dengan saudara-saudara isterinya dan juga dengan isteri atau suami dari saudara-saudara kandungnya. Misalnya saudara-saudara laki-laki dan perempuan dari isteri suami “A” akan memanggil saudara-saudara laki-laki dan perempuan suami “A” sebagai ipar mereka dan sebaliknya.  
Pemahaman hubungan hidup seperti di atas dalam ikatan hubungan hidup orang Maluku disebut hidup orang bersaudara atau hidup orang basudara. Bagi orang Buru, hubungan orang basudara adalah seperti hubungan hidup seorang kakak dengan adiknya. Seorang tokoh adat Buru[5] menjelaskan bahwa sebutan kai-wait, kakak-adik, bermula dari keretakan hubungan di antara seorang adik dengan kakaknya menyangkut pemilikan tanah. Untuk menjaga keutuhan hubungan di antara adik-kakak, hubungan itu diikat dengan janji bahwa mereka adalah bersaudara dan berasal dari satu orangtua, ayah dan ibu, yang menghendaki mereka hidup bersama dalam menikmati warisan tanah dari orangtuanya. Hubungan itu berkembang melintasi perkawinan menjangkau ipar dan juga di antara sesama ipar dengan ipar yang lain dalam satu hubungan asal kai-wait sebagai kakak-adik.  
Kearifan lokal kai-wait yang menegaskan hubungan hidup orang buru yang seperti kakak-adik mengartikan indahnya hidup kekeluargaan itu terhisab dalam tiga ikatan, yaitu: pertama, silsilah. Hidup orang basudara Buru berkembang menurut garis keturunan. Artinya, dari keturunan keluarga “X” semua anak-anaknya terikat dalam hubungan hidup kai-wait sebagai kakak-adik. Kedua, asal-usul. Seorang informan[6] mengatakan bahwa hubungan hidup kai-wait juga menyebar dari awal mula orang buru hidup di suatu tempat. Di kemudian hari mereka menyebar dan berdomisili di suatu tempat baru. Ia melanjutkan bahwa ada juga pembentukan hubungan kai-wait itu dalam sebuah peristiwa sejarah yang melandasi pengkuhan hubungan hidup di antara mereka sebagai kakak-adik. Ketiga, bentukan hubungan hidup kai-wait yang lain terjadi karena perkawinan. Dari hubungan perkawinan, misalnya “X” seorang laki-laki atau perempuan asli Buru dan kawin dengan orang bukan Buru. Anak-anaknya dan orang tua serta saudara-saudara kandung dari isteri atau suami bukan Buru juga masuk dalam ikatan hubungan kai-wait sebagai orang basudara Buru.
·         Bela, kearifan lokal orang Aru
Dalam waktu sebulan setelah konflik sosial 1999 (sebutan lokal-kerusuhan) di Aru, upaya perdamaian mulai dibuat atas prakarsa W. Barends bersama seluruh masyarakat Aru, Kristen-Islam. Mereka sepakat untuk mengukuhkan perdamaian abadi di bumi jargaria atau tanah Aru, pada tanggal 17 Februari 1999. Diskusi berhasil menguak peran pertemuan adat yang menghasilkan suasana perdamaian dari Konflik 19 Januari 1999 lalu. Di kepulauan Aru ada beberapa ikatan perjanjian adat; ada dua kelompok besar masyarakat, yaitu : kelompok lima atau ur-lima dan kelompok sembilan atau ur-sia (di Maluku Tenggara ur-siuw dan lor-lim; di Maluku Tengah-Ambon-Lease ada pata-siwa dan pata-lima). W. Barends, berupaya mempertemukan ur-sia ngom-ngom, yang berasal dari desa Ujir dan desa Samang, semuanya adalah desa-desa Islam, dengan kelompok ur-sia kada-kada, yang berasal dari desa-desa Kristen Protestan yang semuanya ada di daerah belakang tanah, yaitu di Warjukur, Warloy, Koijabi dan Balatan. Wakil mereka datang dengan membawa tanda hubungan persaudaraan. Dari perjumpaan itu, bisa tercipta perdamaian dan pemulihan dari konflik di Aru.   
Bela adalah kata yanag mengartikan kearifan lokal di Aru. Pada umumnya kata bela dikenal kepulauan Aru, baik di Aru Utara, Aru Tengah dan Aru Selatan. Ia berarti saudara, saudaraku, teman atau teman karib. Di Aru Tengah di sungai Manumbai, terutama di desa Vavakula dan sekitarnya, dikenal kata abela, yang berarti saudaraku. Kata ini berarti ada hubungan adat di antara desa-desa terkait. Masyarakat di desa Vavakula heterogen: Protestan mayoritas, sedfnghkan Katolik dan Islam minoritas. Di desa ini dikenal kata jabu yang berarti saudara. Tetapi kata ini ditujukan kepada saudara-saudara Muslim yang berasal-usul dari desa-desa Samang dan Udjir. Dua desa ini terletak di Aru Utara yang berasal dari Ternate.
Bela berarti sama dengan pela di Maluku Tengah, Ambon dan Lease. Ada bela (pela) di antara desa Lor-Lor dengan desa Ngaibor, desa Jelia dengan desa Beltubur. Seorang informan[7] menjelaskan bahwa kata bela, juga punya kaitan dengan pembagian peran dalam mendayungkan belang adat di Aru. Pemahaman ini dapat dilihat kaitannya dengan adanya sebagian desa-desa di pulau Trangan di Aru Selatan yang punya belang adat dan belang keluarga atau belang fam/marga. Pada bagian-bagian belang adat, telah dibagi siapa atau matarumah/fam apa yang menduduki posisi-posisi di depan, di tengah dan di belakang. Posisi di depan bertugas mengawasi ancaman dari depan: musuh atau suasana laut: bergelombang, tofan, atau kedalaman air dengan ancaman batu-batu karang yang bisa membinasakan belang jika kandas. Posisi tengah: tengah inti sebagai pengawas para pendayung atau petugas menaikan layar, penimba ruang (timba ruang=orang yang selalu membuang air yang masuk ke dalam belang karena dinding belang sering bocor, jika tidak, belang bisa tenggelam) dan ada orang khusus yang bertugas sebagai pemberi semangat pelayaran. Ia biasanya meniup tafuri, semacam kulit siput besar yang dibuat lubang untuk meniupnya. Tafuri ditiup untuk memanggil angin, jika pelayaran tidak maju-maju karena laut sangat teduh. Masyarakat lokal menyebut kondisi ini sebagai mati angin; maksudnya tidak ada angin yang dibutuhkan untuk meniup layar dan mendorong laju belang menuju ke tujuan. Di balik aksi meniup tafuri memanggil angin, sebenarnya ritual ini berpusat pada pemahaman memanggil kuasa alam atau roh leluhur untuk menolong dan memperlancar pelayaran. Contoh belang adat dan belang keluarga dapat dijumpai pada desa Feruni dan desa-desa di sekitarnya. Peran di dalam belang adat yang terbagi menurut fungsinya melukiskan persaudaraan dan kerja sama masyarakat sesuai pembagian menurut adat masyarakat di desa.
Berikut gambaran singkat keberadaan sebagian desa-desa Muslim di Aru, yang berkait erat dengan asal-usul dan asimilasi masyarakanya.
Tabel desa-desa Muslim di Aru
No
Desa-Desa Muslim
Penjelasan
Aru Utara
Aru Tengah
Aru Selatan
1
Kumul
Mesiang
Tabarfani ®)
Z) =  mayotitas Ternate
2
Kabalsiang-Benjuring
Gomu-gomu
Batugoyang
*)   = Ternate bercampur
3
Marlasi
Lola *)
Kalar-kalar
®)   = Bekas perusahaan
4
Leting Z)
Mariri *)
Kabalukin
          Plywood
5
Samang Z)
Jambuair *)
Rebi

6
Udjir Z)
Kobror *)
Meror

7
Londe
Gulili Z)
Karei

8
Karangguli

Gomarmeti




Beltubur

Tabel di atas menjelaskan bahwa desa-desa Muslim di Aru Utara dan Aru Tengah yang berada dalam kelompok ur-sia, dipengaruhi oleh Islam dari utara atau dari Ternate; misalnya  desa-desa Samang, Udjir, Lating di Aru Utara dan desa Gulili di Aru Tengah. Tiga desa di Aru utara ini seluruh penduduknya Muslim. Demikian juga dengan desa Gulili di Aru Tengah yang terlatak di muka pintu masuk sungai Manumbai setelah desa Selilau, Namara dan tiba di sana. Di desa-desa Muslim lain penduduknya bercampur; ada Ternate, Kei, Geser, Jawa, Ambon, Buton, Bugis, Makasar dll. Hal menarik lainnya, letak desa-desa itu berada atau posisinya mengarah ke utara. Kondisi ini sedikit banyak punya kaitan dengan pelayaran para serdadu Sultan Ternate dalam meluaskan pengaruhnya atau juga pelayaran mencari mualaf baru berkait perluasan dakwah Islam dari Ternate. Tampaknya pengaruh angin membawa pelayaran para serdadu Ternate itu berlayar mengikuti tiupan angin utara dan bisa tiba di sana dan mereka membangun desa-desanya. Tentang serdadu kesultanan Ternate atau anggota pasukan tentara Ternate, terlihat dalam pemberian pulau Labobar menjadi milik keturunan keluarga Sahabudin di Larat, Tanimbar Utara.[8]
Kondisi desa-desa Muslim di Aru Utara dan Aru Tengah yang masuk dalam kelompok ur-sia, berbeda dari desa-desa Muslim di Aru Selatan, yang termasuk kelompok ur-lima. Penduduk desa-desa ini  heterogen, bercampur Kristen dan Islam dalam satu desa. Seorang  informan[9] menjelaskan kenyataannya demikian bahwa penduduk Muslim adalah hasil perkawinan di antara seorang Muslim dari luar Aru dengan penduduk pribumi, sehingga anak-anaknya menjadi mualaf dan kemudian menganut Islam. Contoh bisa dilihat di desa Batugoyang. Di sini penduduk mayoritas Kristen hidup bersama-sama dengan saudara-sudara dan ipar-iparnya asli Batugugoyang. Rumah-rumah mereka berbaur satu dengan lainnya. Pendatang Muslim berasal dari Jawa, Makasar, Bugis, Buton, Ambon, Geser, Gorom dan beberapa daerah lainnya. Mereka pada umumnya adalah pedagang atau pelaut yang bekerja pada pedagang Cina dengan perahu-perahu layar atau perahu perahu motor laut.   
·         Ain ni ain kearifan lokal orang Kei di Maluku Tenggara.
Kearifal lokal, yang mengikat dan menghubungkan hidup kekerabatan masyarakat di Kei, Maluku Tenggara, disebut ain ni ain.[10] Secara lengkap rumusannya adalah: ain ni ain, vuut ain mehe ngifun, manut ain mehe tilor.[11] Terjemahan harafiahnya adalah ain ni ain berarti satu punya satu, vuut ain mehe ngifun berarti ikan punya telur, manut ain mehe tilor berarti unggas (juga) punya telur. Artinya, (orang Kei) yang satu memiliki (orang Kei) yang lain seperti ikan yang berasal dari satu telur (dan) seperti (juga) unggas yang berasal dari satu telur. Ia mengartikan tentang hubungan hidup mereka yang saling memiliki, karena mereka semua berasal dari satu sumber (telur dari satu ikan/unggas). Kata saling memiliki mengartikan bukan sebagai pemilikan pribadi, ownership. Tetapi pemilikan persaudaraan, brotherhood, yang menekankan pada hubungan di antara mereka. Hubungan hidup persaudaraan itu penting karena mereka berasal dari satu sumber.
Kearifan lokal, ain ni ain menjadi sumber inspirasi bagi Hukum Adat Kei, yaitu Hukum Adat Larvul Ngabal, dan penerapan pelaksanaannya dalam masyarakat. Ketika seseorang mempelajari Hukum Adat Larvul Ngabal, maka ia akan menemukan bahwa rumusan ayat-ayatnya tidak menyinggung secara harafiah tentang kearifan lokal ain ni ain. Tetapi dinamika kandungan jiwanya tampak dalam interaksi sosial masyarakat sehari-hari. Di dalam pemahaman dan pelaksanaan atas Hukum Adat itu, ia mesti mempraktekkannya, supaya dituntun dan diarahkan oleh semangat dan jiwa untuk membangun hubungan dengan sesama manusia, alam ciptaan dan termasuk dengan roh-roh leluhur (kosmologi). Hubungan antara Hukum Adat Larvul Ngabal dengan kearifan lokal ain ni ain terlihat dalam pemahaman dan pelaksanaan pasal-pasalnya di dalam kehidupan masyarakat Kei.
Jika dilihat sepintas, seakan kearifan lokal ain ni ain hanya lebih dekat ke Hukum Navnev, seperti isi fasal-fasal 1, 2, 3 dan 4 dari Hukum Adat Larvul Ngabal saja. Dikatakan demikian oleh sebab fasal-fasal itu berhubungan dengan cita-cita kehidupan sosial masyarakat. Namun, sebenarnya bukan saja dengan Hukum Navnev, tetapi dengan fasal 5 dan fasal 6, tentang Hukum Hanilit, yang mengatur tentang hukum kesusilaan, bahkan fasal 7 tentang Hukum Hawear Balwirin, yang mengatur hubungan sosial dan etika hidup orang Kei. Karena itu, sesungguhnya kearifan lokal ain ni ain menjadi sumber inspirasi hidup dan perilaku orang Kei, yang tercermin dalam seluruh Hukum Adat Larvul Ngabal. Dalam interaksi hidup di antara orang Kei, akan terlihat hubungannya dengan masalah-masalah hidup yang dihadapi.
Yohanes Ohoitimur[12] menyatakan bahwa Hukum Adat Larvul Ngabal bagi masyarakat Kei tidak dikodifikasi. Sekalipun demikian, tetapi ia tetap menjadi dasar perekat kekerabatan orang Kei. Masyarakat terutama para pemuka adat dan tokoh masyarakat, sangat mengetahui isi Hukum Adat Larvul Ngabal itu. Mereka menguasainya, baik pasal-pasal Hukum Adat maupun sanksi-sanksi berlapis yang terdapat dalam pasal-pasal Sa Sor Fit. Hal ini terlihat ketika ada pelanggaran yang dilakukan oleh warga masyarakat dan mesti di atasi melalui sebuah Sidang Adat untuk menentukan sanksinya. Hukum Adat Larvul Ngabal biasanya diucapkan dalam acara-acara adat, seperti pelantikan Rat (Raja) atau Orangkai (Kepala Desa) dan acara adat khusus tertentu.
Nilai-nilai ideal dalam kandungan Hukum Adat Larvul Ngabal menjadi alat yang berguna bagi masyarakat dalam membangun hidup yang seimbang dan komunikatif di antara sesama orang Kei dan dengan lingkungan hidupnya. Alat yang memotivasi hidup berpemahaman dan berbuat (peran) itu bersumber dari Hukum Adat Larvul Ngabal, yang kemudian digunakan (fungsi) sebagai pengarah, penuntun dan pengayom bagi hidup di lingkungan masyarakat. Di wilayah dinamis nilai-nilai Hukum Adat Larvul Ngabal, ia hidup dalam ukuran bijak, baik dan dapat diterima, atau ia ada dalam kearifan lokal lokalnya. Dengan demikian, kearifan lokal ain ni ain menginspirasi peran dan fungsi nilai-nilai ideal yang terkandung di dalamnya bagi Hukum Adat Larvul Ngabal dalam kehidupan orang Kei. Interaksinya berisi sikap dan perilaku hidup yang berisi kebaikan, bijaksana, menyenangkan dan dapat diterima oleh masyarakat. Dalam tuntunan kearifan lokal itu, ia mampu membedakan manakah perbuatan yang baik dan menyenangkan sesama masyarakatnya dan manakah yang tidak, yang bertentangan, merugikan dan membahayakan kehidupan bersama.[13]
Contoh peran kearifan lokal ain ni ain dalam kaitan dengan upaya mencapai perdamaian dari Konflik di Maluku Tenggara di tahun 1999-2000 terlihat dalam peran seorang tua-renta. Ketika Tim Perdamaian Adat atau Tim Ain Ni Ain tiba di suatu desa Kristen atau Islam, lalu seorang tua-renta di desa itu diminta oleh Tim untuk menceritakan kisah asal-usul desa atau kampung, marga, atau menyanyikan nyanyian tanah, atau berpantun adat, lalu ia menasehatkan semua yang hadir dengan mendengarkan salah satu fasal Hukum Adat Larvul Ngabal. Pendekatan seperti ini membuat masyarakat di desa-desa di Maluku Tenggara, Kristen-Islam, sewaktu mendengar tuturan orang tua-renta itu, langsung menyadari kebaikan apa yang hilang dan harus segera ditemukan akibat Konflik yang terjadi. Kemdian mereka sepakat untuk berdamai dan hidup rukun seperti sediakala, sesuai dengan maksud ideal seperti apa yang ada dalam Hukum Adatnya, yaitu Hukum Adat Larvul Ngabal.[14]
Hal penting lain yang sangat menunjang peran dan fungsi kearifan lokal ain ni ain adalah masih hidupnya bahasa daerah, bahasa Kei. Ia masih aktif dipakai secara dinamis oleh masyarakat Kei. Di Kei ada tiga bahasa yang dipakai oleh masyarakat. Bahasa Kei dikenal dan dipakai oleh semua orang Kei, baik di Kei Kecil, Kei Besar dan juga sampai ke pulau-pulau yang ada di Kei Kecil. Bahasa lain adalah bahasa Bandaeli, yang dipakai oleh orang Bandaeli dan orang Bandaelat. Bahasa lain yang sangat lokal sifatnya adalah bahasa Kur-Mangur, dipakai oleh orang Kur dan Mangur. Ia hanya mencakup sedikit orang di dua pulau di Kei Kecil, yaitu pulau Kur dan pulau Mangur.
Selain kearifan lokal ain ni ain, ada juga kata-kata peribahasa dalam bahasa Kei atau perumpamaan, yang disebut misil-masal, sukat-sarang dan liat-dalil.[15] Misil-masal berarti perumpamaan. Sukat-sarang berarti suatu pernyataan yang mengungkapkan tentang kebenaran. Misalnya : karena batas tanah, sanak saudara rela mati. Liat-dalil berarti kata-kata sinis. Misalnya : membicarakan perilaku orang lain tetapi tidak secara langsung tertuju kepadanya atau seperti ‘pukul tiang kena tembok. Perbendaharaan misil-masal, sukat-sarang dan liat-dalil akan ditemukan dalam isi nasehat atau petuah yang disampaikan demi pembentukan sikap hidup pribadi atau warga masyarakat umumnya.  
Kearifan lokal ain ni ain telah terwarisi sejak turun-temurun dalam masyarakat. Datum hadirnya sampai menjadi bagian mendasar dalam tata interaksi masyarakat Kei, tidak diketahui secara pasti. Orang Kei mewarisinya dari orangtuanya, dan orangtuanya mewarisi dari kakek dan para leluhurnya.[16] A. Sitompul,[17] yang mengupas makna Kitab Amsal dan melihat bahwa ada juga hubungan tertentu dengan tata kehidupan adat Batak, menyebutkan bahwa kebijaksanaan yang ada di dalam kearifan lokal itu merupakan satu bentuk pengetahuan dasar bagi seseorang supaya ia menguasai hidup, sehingga ia dapat hidup dalam aturan-aturan yang ada di sekitarnya. Di dalam pengalaman hidupnya di bawah aturan-aturan yang ada itu, ia membuat kalimat-kalimat sebagai pedoman dan pegangan dalam hidupnya. Von Rad,[18] yang menguraikan tentang kebijaksanaan dalam Kitab Amsal, menyatakan bahwa kebijaksanaan yang terdapat di dalamnya bernuansa artistik dan merupakan kalimat yang diulang-ulang sebagai ucapan-ucapan pengajaran. Karena itu, di dalam kebijaksanaan terkandung kemampuan intelektual seseorang untuk membangun pemahamannya sendiri.
Kearifan lokal yang dipakai berulang-ulang merupakan simbol makna komunikasi antar orang perorang. Formulasi isinya terdiri dari kalimat pendek-pendek dan padat. Kata-katanya digubah sedemikian rupa sehingga ia terdengar bersanjak dan menarik. Sekalipun susunan kalimatnya pendek-pendek, tetapi ia selalu kena dengan pergumulan hidup manusia sehari-hari karena dipraktekkan secara terus menerus dalam berbagai perjumpaan dengan kegiatan hidup masyarakat. Kenyataan ini bisa dilihat dalam susunan formulasi kearifan lokal ain ni ain dalam kerangka seperti berikut :
   Ain -- satu
          Ni ain -- punya satu
      Vuut ain mehe ngifun -- ikan punya telur, (dan)
  Manut ain mehe tilor-- unggas punya telur
Jika susunan formulasinya didengar sepintas, terutama oleh orang luar, maka ia seakan tanpa makna. Ia melahirkan banyak pertanyaan dengan sikap negasi dan skeptis, bahkan apatis. Namun, bagi orang pribumi yang memilikinya, masyarakat Kei, ia dipahami dan sangat dikenal. Ia adalah bagian mendasar dari hidup mereka. Karena itu ia hanya bisa dipahami dengan perasaan memiliki. Von Rad[19] menyebut perasaan itu adalah “hati yang paham” atau “hati yang mendengar.” Hati yang mendengar itu menggambarkan ketaatan kepada tata hukum yang berlaku, sehingga ketaatan itu menimbulkan kepekaan ke dalam diri sendiri dan kepekaan kepada daerah di luar.
Dengan menyanyikan atau mengucapkan kearifan lokal ain ni ain, yang bersangkutan telah menghidupkannya dalam kesadaran dirinya sendiri. Dengan kata lain, dengan mengucapkan atau membangun sikap dan perbuatan di dalamnya ain ni ain, vuut ainmehe ngifun, manut ainmehe tilor, maka yang bersangkutan sedang memaknakan, merefleksikan, dan membentuk emosinya. Ketika ia mengucapkannya, maka ia sedang mengaktualisasikan seluruh sikap, ketaatan dan keterikatannya kepada hukum mereka, yaitu Hukum Adat Larvul Ngabal, dan sekaligus pula menyatakan keterikatannya dalam satu keluarga masyarakat Larvul Ngabal pula.
Dalam hidup sesehari masyarakat Kei, kadang-kadang kearifan lokal ain ni ain muncul dalam nyanyian sebait yang diulang-ulang ketika petani mengerjakan kebunnya, yang mengingatkan si petani tentang perlindungan dari "Yang di atas" terhadap kebunnya dengan mendatangkan hujan yang sangat ia harapkan. Begitu juga dengan nelayan yang sedang memancing; atau ia muncul dalam duka terlantun mengenang isteri, anak, atau suami yang telah tiada. Ia muncul dalam bentuk respons atas kenyataan hidup yang didambakan ada dalam kondisi nyata yang dialami entah sejahtera, damai, aman, ataukah terkena bencana, semuanya tertuang dan terlampiaskan di dalamnya.
Saya punya pengalaman ketika masih ada di Jemaat/desa Wakua,[20] Aru Tengah, selama tahun 1958 sampai 1967. Di sana alat transportasi ke dan dari kebun biasanya lewat sungai dengan memakai perahu. Dalam perjalanan pulang dari kebun ke desa, atau sebaliknya, biasanya petani (peladang) mendayung perahunya dan menyanyikan lagu tua, atau nyanyian tanah, dua bait berulang-ulang. Seiring lajunya biduk berlalu, demikian juga terlantun bait nyanyian tanah itu didendangkan. Hidup seakan menjadi harapan bermakna seiring dengan desa atau kebun yang mulai nampak dari jauh kelihatan. Lagu itu dilantunkan dalam tema harapan, persaudaraan, dan kebaikan lainnya. Oleh karena terlalu sering mendengar nyanyian tanah itu, maka saya bertanya kepada ayah : “Papa knapa (mengapa) dorang (mereka) selalu manyanyi (menyanyikan) lagu itu trus (terus menerus, berulang-ulang). Apa dorang (mereka) seng (tidak) bosan ?" Ayah menjawab: "Bagi katong (kita)  nyanyian itu  membosankan. Tetapi bagi dorang (mereka) nyanyian itu adalah gambaran harapan semoga Tuhan memberkati kebun yang menjadi sumber hidupnya.
Pemahaman tentang kearifan lokal ain ni ain juga berkaitan dengan hubungan penganutan agama, Kristen-Islam. Ketika agama Islam pertama kali datang di Kei,[21] ia dibawa oleh para orang tua Kei ke Tual. Ketika agama Kristen Katolik pertama kali datang, para orang tua Kei membawanya ke Langgur; dan demikian juga dengan agama Kristen Protestan yang terakhir datang, ia dibawa oleh para orang tua Kei ke Ta’ar. Para Orangkay di Tual, Langgur dan Ta’ar bersama seluruh masyarakatnya menerima agama yang dibawa oleh para orang tua Kei itu dan menganutnya.  
Konon pada mula orang Kei memeluk agama pilihannya, penerimaannya mulai bergerak dan termotivasi dari dalam keluarga-keluarga orang Kei sendiri.[22] Ketika agama-agama Islam, Katolik dan Protestan masuk dan mulai menyebar di Kei, orangtua Kei menyuruh anak-anaknya secara bebas memilih agama kesukaannya. Sementara orangtua mereka tetap memeluk agama sukunya. Satu pesan para orangtua mereka ialah supaya anak-anak dengan pilihan agama anutannya masing-masing tidak boleh melupakan hubungan erat kekeluargaan dengan saudara-saudaranya. Kenyataan ini bisa dihubungkan dengan ada orang Kei yang satu fam yang sama dan bersaudara, tetapi ada yang Islam, Katolik atau Protestan.
Cita-cita ideal kearifan lokal ain ni ain adalah alat pengikat semua orang Kei sebagai orang basudara. Ketika berhadapan dengan kenyataan konteks, ia menampilkan bentukan identitas yang selalu harus diperbarui supaya selaras dan relevan dengan hidup yang dicita-citakan. Sebab identitas hidup tidak berarti sama dengan serentak menjadi sama dengan cita-cita ideal kearifan lokal bersangkutan. Tetapi identitas menonjolkan sikap dan perilaku yang dianggap sama atau seakan sama dengan cita-cita ideal kearifan lokal itu. Jadi, dengan memahami atau memiliki kearifan lokal ain ni ain tidak serentak hidup menjadi aman, tentram, penuh perspektif ke masa depan dan komunikatif dengan orang lain. Cita-cita ideal kearifan lokal ain ni ain selau berhadapan dengan proses upaya memahaminya dan memberlakukannya bagi hidup orang Kei. Upaya memahami nilai-nilai ideal menonjolkan keinginan untuk hidup selaras dan relevan dengan konteksnya.
·         Pela, kearifan lokal orang Maluku Tengah[23]
Kearifan lokal Pela di Maluku Tengah. Secara etimologis pengertian pela berasal dari beberapa makna kata di daerah asalnya. Bahasa asli Seram menyebut kata pela berasal dari kata papelae, berarti harus diakhiri, mengakhiri, sudah berakhir atau sudah pada akhirnya. Misalnya dalam bagian kalimat papelae tuae, artinya mari minum sageru (sebagai tanda pengesahan sebuah kesepakatan yang sudah berakhir, sudah disetujui). Di pulau Nusalaut ada kata pelania, yang berarti harus berakhir.  Di desa Kailolo di pulau Haruku, ada kata pelaya, yang berarti sudah atau habis. Di desa Amahai di pulau Seram, dikenal bagian kalimat sou-sou pelania……, yang diucapkan atau diteriakan sebagai akhir dari kesepakatan berdamai dari dua belah pihak yang bertikai. Di beberapa daerah di pulau Ambon dikenal kata pela-u, yang berarti saudara. Di masyarakat suku asli pulau Seram, Kakehan, dikenal kata pela-pela sebagai sebutan persaudaraan, yang diikuti kemudian dengan pematrian tatoo di bagian tubuh anggotanya yang baru.
     Menurut Stresmann,[24] di daerah lain ada juga kata yang punya arti mirip sama; bela yang berarti teman atau sahabat. Kata ini ditemukan di Maluku Tenggara : bela di Banda Elat-Kei Besar, belano di desa Wokam di pulau Aru, bel atau tea-bel di Kei Kecil. Ada juga kata balbela di wilayah pulau Fordata di pulau Yamdena, Tanimbar. Menurut Draabe,[25] kata bela atau kida-bela di Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) punya arti yang sama dengan pela di Maluku Tengah, yang berarti sahabat atau bersaudara. Semua arti kata-kata di atas menuju pada satu arti habis atau sudah. 
Kata lain dengan pengertian yang mirip sama yang berarti membatasi atau merintangi, misalnya ditemukan di suku Naulu dengan kata pena, yang berarti jangan atau dilarang. Selain itu, ada juga kata wake, wate, wake ou, di Maluku Tengah; di pulau Seram, di pulau Ambon dan di pulau-pulau Lease. Kata-kata itu berarti jangan potong kepalaku dan juga berarti menjauhlah atau tetap (berdiri) di batas.
Dari berbagai pengertian di atas, pela punya asal-usul kata yang banyak sekali ; dari Maluku Tengah : pulau Seram, Pulau Ambon dan pulau-pulau Lease ada kata-kata papelae, pelaya, pelania, pela-u, pela-pela, yang bermakna sama dengan kata-kata di kepulauan Kei, kepulauan Aru dan kepulauan Maluku Tenggara Barat seperti : bela, belano, bel atau tea-bel, balbela, kida-bela. Pela juga punya makna sama dengan kata-kata yang berbeda seperti : wake, wake ou dan wate, yang dikenal di Maluku tengah : pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Dari semua kata-kata yang melukiskan pengertian pela itu muncul sejumlah arti : harus diakhiri, mengakhiri, sudah berakhir, sudah pada akhirnya, sudah, habis, teman, sahabat, membatasi atau merintangi, jangan potong kepalaku, menjauhlah atau tetap (berdiri) di batas.
Semua pengertian itu mengandung aspek pembatasan, perlindungan dan larangan. Pembatasan yang dimaksudkan berpusat batas akhir bertikai dan membentuk ikatan persaudaraan dalam ikatan pela. Pembatasan ini juga menyangkut hal hidup yang berpusat pada batas tanah, yang mengartikan bahwa sampai di sini batas-mu dan di situlah batas-ku. Jangan melintasi atau melewati batas itu. Oleh karennya batas-batas hak atas tanah ini adalah hak hidup yang tidak boleh dilanggar. Makna batas ini adalah pengartian ikatan pela yang tertua, yang terjadi di pedalaman pulau Seram. Perlindungan mengartikan adanya sebuah tanggungjawab hubugan persaudaraan yang erat dan saling mendukung. Di dalamnya, tolong-menolong, saling memberi, saling melindungi dan saling merasakan suka dan duka sesama ikatan pela, terjalin menjadi satu. Larangan menjadi satu makna inti dalam ikatan pela, di mana ada dasar utama yang harus dihormati, yaitu tidak boleh kawin dan tidak boleh melakukan penindasan terhadap sesama pela. Dalam tiga aspek pengertian ikatan pela itu hubungan persaudaraan dipahami sebagai sentralnya. Artinya, ikatan persaudaran pela ada dalam hak hidup, ada dalam perlindungan dan ada dalam menaati larangan.
Menyangkut ruang lingkup pela di Maluku Tengah dapat dilihat dalam tiga pembatasan. Pertama, pembatasan pela sebagai ikatan persaudaraan antara desa-desa dalam kesatuan pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Dalam pembatasan ini, yang dimaksud dengan pulau Seram adalah desa-desa di pulau Seram bagian depan[26] ; mulai dari desa Tamilou di ujung barat Masohi, ibukota Kabupaten Maluku Tengah, dengan semua desa di dalamnya; Kecamatan Kairatu dengan semua desa-desanya, Kecamatan Piru dengan semua desa-desanya dan sampai Kecamatan Taniwel dengan desa-desanya di Kabupaten Seram Barat. Kumpulan desa-desa ini disebut Seram bagian depan, karena ikatan budaya dan kedekatan lainnya, seperti ekonomi dan sosial. Kedua, pembatasan dalam hubungan dengan suku-suku kecil terasing lainnya; seperti suku Naulu, yang sudah ada sejak lama dan mengakui bahwa mereka berasal dari gunung Binaya, sebuah gunung tertinggi di pulau Seram, di Seram bagian Timur. Mereka menetap di desa-desa dekat pantai Masohi bagian barat. Sementara suku asli besar di pulau Seram adalah suku Wemale dan suku Alune. Suku Wemale mendiami sebelah barat sungai Sapalewa dan suku Alune mentap di sebelah timur sungai Sapalewa sampai batas sungai Tala. Ketiga, pembatasan dalam bagian Seram bagian belakang yang mencakup wilayah Seram Utara dengan desa-desa di dalam Kecamatan Seram Utara di Wahai dan Kecamatan Bula, wilayah Seram Selatan meliputi desa-desa dalam Kecamatan Tehoru dan Kecamatan Werinama dan wilayah Seram Timur meliputi desa-desa dalam Kecamatan Geser, Kecamatan Gorom dan sekitarnya. Wilayah di pembatasan ini lebih dekat dengan masyarakat di Kei, wilayah Kabupaten Maluku Tenggara. Orang Kei punya ikatan pela dengan orang Seram umumnya dan khususnya dengan orang Seram Timur : Geser dan Gorom. Bahasa mereka juga sama di beberapa desa di Gorom dengan bahasa Kei. Di mana saja, ketika seorang Kei berbicara dan tahu bahwa lawan bicaranya adalah orang Seram Timur umumnya, dan khususnya yang berasal dari Geser atau Gorom, maka ia serentak akan menyapanya dengan sebutan : “Pela, ……………” dan seterusnya pembicaraan terus bersubyek dengan “………pela……..” Sebutan Nyong pela …… atau Oom Pela atau Pela….. saja, adalah penghalus kata dan ungkapan rasa hormat dalam berbicara di antara sesama saudara pela. Sapaan seperti ini juga berlaku bagi semua warga ikatan pela di Maluku Tengah : pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Bagi yang punya hubungan pela-gandong, mereka akan saling menyapa sesamanya dengan “Gandong………..”
Di sini penting mengetengahkan asal-usul pela demi meluaskan arti dan hakekatnya bagi hidup orang basudara Kristen-Islam di Maluku. Bartels dan Cooley dengan gamblang memaparkan bahwa ada tiga asal-usul pela. Pertama, pela asli alifuru di pedalaman pulau Seram. Ikatan pela ini bermula dari perburuan kepala dan perang antar kelompok, suku atau desa, orang alifuru di pedalaman pulau Seram. Akibatnya, suku atau desa yang merasa terancam keamanannya, mereka akan berupaya membentuk ikatan pela dengan desa lain. Biasanya, desa atau desa-desa yang lemah akan bergabung dengan desa yang lebih kuat. Jalinan persaudaraan antar desa dalam ikatan pela disini bertujuan untuk mendapatkan perlindungan keamanan. Pemimpin perang yang sangat berpengaruh adalah seorang kapitan. Ia punya kekuatan magis tertentu yang mampu mengalahkan lawan. Karena itu biasanya perang yang terjadi bukan perang di antara rombongan melawan rombongan, atau main keroyok. Tapi, perang antara dua kapitan, dua jagoan yang menguji kedigjayaannya dengan senjata tajam maupun dengan kekuatan magisnya, sedangkan anak buah dalam rombongan hanya menanti siapa dari kedua kapitan itu yang menang. Si pemenang menjadi pemimpin yang ditakuti, demikian juga kelompoknya. Si yang kalah dengan kelompoknya akan berusaha untuk mencari perlindungan kepadanya. Dalam upaya mencari perlindungan ini, selalu diakhiri dengan ikatan sumpah pela. Keduanya menjadi satu ikatan bersaudara yang saling melindungi dan membantu dalam situasi aman maupun perang. Syarat lainnya adalah tidak boleh ada perkawinan di antara kedua kelompok dan keturunannya. Sumpah ikatan pela di antara kedua belah pihak berpusat pada minum darah bersama. Biasanya darah seorang dari anggota kelompok yang kalah diambil dan dicampur lalu diminum bersama, mulai dari kapitan-nya kemudian diikuti oleh anggota kedua kelompok. Waktunya pembentukannya tidak diketahui secara pasti. Sangat mungkin ia terbentuk jauh sebelum kedatangan pengaruh kekuasaan dari kesultanan Ternate dan Tidore sebelum abad ke-15.      
Kedua, pela dari Maluku Utara, yang terbentuk dari ikatan antara desa Hitu dengan Kerajaan Ternate yang beragama Islam. Setelah kehadirannya, ikatan pela ini berkembang menjalin persaudaraan dengan desa-desa yang beragama non-Muslim di pulau Ambon dan di pulau Seram, terutama desa-desa di jasirah Hoamual. Ikatan pela ini lebih menekankan pada aspek ekonomi, khususnya perdagangan cengkih. Petunjuk atas aspek ini menjelaskan bahwa ketika penjajah Eropah datang, pada mulanya mereka berdamai dengan Kesultanan Ternate. Namun, lama-kelamaan, ketika perhatian mereka berpindah ke bidang ekonomi, pembelian rempah-rempah cengkih-pala, lalu muncul permusuhan dan pecah perang melawan kesultanan Ternate. Terkenal di Kesultanan Ternate tokoh Kolano, seorang kapitan kepala,[27] yang perannya mirip sama dengan seorang menteri, atau tangan kanan Sultan, dalam menjalankan kekuasaanya di daerah jajahannya. Jabatan kolano ini punya hubungan erat dengan jabatan galarang, yang adalah jabatan di ‘kerajaan kecil’ di bawah Kesultanan Ternate yang ada di jasirah Leihitu. Jabatan kekuasaan ini juga berkaitan dengan jabatan keturunan bangsawan Ternate, Gimelaha. Terkenal Gimelaha Leliato, yang hidup bersama masyarakat desa-desa di pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Mereka berperang melawan VOC-Belanda.[28] Salah satu pusat Kesultanan Ternate di pulau Seram adalah di desa Gamsungi. Bekas desanya ada di dekat desa Luhu sekarang ini.
Aspek lain yang tidak tegas kelihatan (diperlihatkan oleh para peneliti) adalah aspek dawah Islam. Sebab di mana-mana kecenderungan kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan yang bercirikan agama (Islam, Kristen), selain menekankan aspek politik, tapi juga selalu membawa misi mengagamakan daerah jajahan atau daerah afiliasinya menurut agama yang dianut.[29] Sekali pun demikian harus diakui bahwa ada juga motivasi lain pembentukan pela dengan ikatan desa-desa campuran agama, Islam, Kristen, dan kafir, demi keamanan bersama. Inti yang menjadi dasar ikatan pela mereka berpusat pada sumpah matakau. Sumpah matakau adalah sumpah yang dinyatakan di atas media mesiu dan kepala peluru yang di rendam dalam air atau sageru (sari air nira dari pohon enau atau kelapa) lalu mencelupkan semua senjata tajam dan moncong senjata api, kemudian campuran itu diminum bersama sebagai tanda ikatan pela. Waktu pembentukannya adalah pada masa kedatangan pertama bangsa Eropah, Portugis di abad ke-15. Pela ini mulai terbentuk di Hitu dan menyebar di Leitimor, dibawa dari Maluku Utara dari pengaruh kesultanan Ternate pada masa setelah Sultan Zainulabidin yang berkuasa mulai sekitar tahun 1495. Penetapan waktu ini bisa diterima bertolak dari pemakain kepala peluru, yang menyatakan bahwa senjata api dan pelurunya baru dikenal pada masa penjajahan. Sebelumnya, orang alifuru atau penduduk pribumi Maluku, khususnya penduduk di Maluku Tengah: pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease, hanya mengenal senjata tradisional seperti panah, anak panah, parang dan tombak.
Ketiga, pela dari Irian. Ikatan pela ini bermula dari satu keluarga yang datang dari Irian, Papua, dan menetap di Hatumete, Seram selatan. Ia punya lima anak, tiga anak laki-laki: Temanole, Simanole dan Silaloi; dan dua anak perempuan: Nyai Intan dan Nyai Mas. Anak laki-laki yang tua, Temanole, menetap di desa Tamilou, anak laki-laki kedua, Simanole, menetap di desa Sirisori dan anak laki-laki yang ketiga, Silaloi, menetap di desa Hutumuri. Kedua anak perempuannya, seorang yang bernama Nyai Intan, kawin di desa Wa’ai dan seorang saudaranya yang lain bernama Nyai Mas, kawin di desa Haria. Ikatan pela saudara sekandung, kakak-adik, ini di Ambon dan Lease disebut pela-gandong, yang lebih dikenal dengan sebutan gandong saja. Proses ikatan pela mereka berpusat dalam janji setia seorang saudara dengan saudara-saudara lainnya ketika mereka akan berpisah mencari tempat tinggal baru. Di atas janji itu, dibarengi kerinduan untuk bertemu membuat pertemuan baru yang lebih mengingatkan mereka tentang janji setia persaudaraan ketika berpisah dulu. Misalnya ketika saudara tertua Temanole hendak menetap di Tamilou, bersama kedua adiknya melukai tangan dan meminum darah bersama, mengatakan janji setia persaudaraan dan dengan tegas mengingatkannya kepada kedua adiknya Simanole dan Silaloi sebelum keduanya melanjutkan perjalanan ke tempat tinggal baru mereka masing-masing. Lama berselang, kerinduan kedua saudara perempuan mereka, Nyai Intan dan Nyai Mas berujung ke perjumpaan kembali dengan ketiga saudara laki-laki mereka. Setelah Nyai Intan kawin di desa Wa’ai dengan Bakarbessi dan Nyai Mas kawin di desa Haria dengan Manuhuttu, maka terjadi hubungan ikatan pela-gandong di antara desa-desa Tamilou, Sirisori, Hurumuri, Wa’ai dan Haria. Lima desa ini menjadi satu ikatan pela-gandong. Karena mereka adalah saudara se-gandong, atau sekandung, maka tidak boleh ada kawin di antara keturunannya. Waktu pembentukan pela-gandong ini adalah pada masa penjajahan Portugis, yaitu sekitar abad ke-15.
     Dieter Bartels menyebut ada tiga jenis pela,[30] yaitu: pela keras atau pela batu karang, pela tempat sirih (pela longgar) dan pela gandong. Di Ambon, pela keras juga disebut pela tuni (bahasa Ambon, tuni berarti keras). Berbeda dengan Bartels, Cooley menyebut hanya ada dua jenis pela[31]saja yaitu pela batu karang dan pela tempat sirih. Pela-gandong dimasukannya ke dalam ikatan pela keras, sebab di dalamnya dilarang kawin di antara angota-anggotanya. Uraian pengeleompokkan berikut adalah menurut Bartels. Pela keras disebut demikian, karena ikatannya yang sangat keras dengan dasar sumpah yang tidak boleh dilanggar. Inti ikatannya ada pada minum darah bersama, yang mengikat mereka sebagai saudara. Darah yang diambil berasal dari mengorbankan salah satu anggota (terutama) kelompok yang kalah perang. Karena mereka telah menjadi bersaudara, maka tidak boleh ada perkawinan di antara keturunannya. Masuk dalam ikatan pela ini adalah pela tumpah darah dan pela batu karang. Pela tumpah darah terbentuk dari perang antara dua belah pihak yang berakhir dan diikuti dengan mengorbankan salah satu anggotanya. Darah korban anggota itu diminum oleh pemimpin dan anggota kedua belah pihak dan ditegaskan dengan sumpah sebagai saudara di antara keduanya. Pela batu karang bermula dari bantuan material berupa bantuan ekonomi, tentara dan peralatan perang. Kuatnya ikatn ini di samakan dengan batu karang, maka dinamakan pela batu karang.
Pela longgar, disebutkan demikian sebab dasar mengikatnya longgar. Ikatan pela ini sering juga disebut pela tempat sirih. Disebut begitu sebab dari proses berjumpa dan ditandai dengan saling mengajukan sirih-pinang dan dimakan, lalu kedua belah pihak sepakat untuk menjalin ikatan persaudaraan. Di ikatan pela ini, anggotanya boleh kawin dengan desa pela-nya. Pela-gandong, yang ikatan pela-nya karena ada hubungan bersaudara kandung, karena itu dilarang kawin di antara keturunannya.





Kepustakaan 

Alber, Robert. H
                        1995            Malu, Sebuah Perspktif Iman, Kanisius, Yogyakarta
Banawiratma, J. B (Ed)
                        2000            Gereja Indonesia, Qua Vadis ? Hidup Menggereja Kontekstua, Kanisius, Yogyakarta
Bartels, Dieter
                        1977            Guarding The Invisible Mountain : Intervillage Alliance, Religious
Syncretism and Ethnic Identity Among Ambonese Christian and Moslem in The Moluccas (Tesis Ph. D), Cornel University, New York
Cooley, Frank. L
                        1962            Ambonese Adat : A General Description, Yale University, New Haven
                        1987            Mimbar dan Takhta ; Hubungan Lembaga-Lembaga Keagamaan dan
Pemerintahan di Maluku Tengah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Darmaputera, Eka (Ed)
                        1998            Kontekls Berteologi Di Indonesi, BPK, Jakarta
Farneubun, Longginus,
2003            Hancurnya Sebuah Kerukunan, Pengaruh Interpretasi Teologi Terhadap Konflik Agama (Thesis), UKDW,
Yogyakarta
Hubert, Th. Th. M.Jacobs, S. J
                        1971            A Treatise On The Moluccas, Arti Grafiche Citta Di Castello, St. Louis
Jensen, Adolf
                        1963            Myth and Cult Among Primitive Peoples, Univ. Chicago Press, Chicago
Keuning, J
                        1973            Sejarah Ambon Sampai Pada Akhir Abad Ke-17, Bhratara, Jakarta
Leirissa, Richard
                        1975            Maluku Dalam Perjuangan Nasional Indonesia, Lembaga Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta
Levi-Strauss, Claude
                        1967            The Elementary Structures of Kinship, Beacon Press, Boston    
Ngelow, Zakaria. J
                        1993            Kekristenan dan Nasionalisme : Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan
Pergerakan Nasional Indonesia 1900-1950, BPK, Jakarta
Ohoitimur, J
                        1983            Beberapa Sikap hidup Orang Kei Antara ketahanan Diri Dan Proses
                                                Perubahan (Tesis) Sekolah Tinggi Seminari, Pineleng-Menado
Redfield, Robert
                        1953            The Primitive World and Its Transformation, Cornel Univ. Press, New York
Schreiter, Robert. J
                        1993            Rancang Bangun Teologi Lokal, BPK, Jakarta
Singgih, E. Gerrit
                        2000            Berteologi Dalam Konteks, Kanisius, Ygyakarta
                        2004            Mengantisipasi Masa Depan, Berteologi Dalam Konteks Di Awal Milenium III BPK, Jakarta
Sitompul, A. A
                        1974            Pengendalian Diri Menurut Amzal Sulaiman Dan Raja-Raja Mesir Purbakala BPK, Jakarta
Subagya, Rahmat
                        1979            Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia, Nusa Indah, Jakarta
Van Wouden, F. A. E
                        1985            Klen, Mitos dan Kekuasaan, Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur, Grafiti Press, Jakarta
Von Rad, Gerhard
                        1972            Wisdom In Israel, SCM Press, London

Catatan akhir


[1] Cooley 1987 halaman 276-279
[2] Masyarakat asli Maluku Tengah, Ambon dan Lease, berasal dari orang alifuru, yang aslinya berdiam di daerah pegunungan di pulau Seram. Tahun 1546 ketika Xaverius berkunjung ke pulau Ambon penduduk di desa-desa di teluk Ambon itu orang alifuru. Pulau Seram menjadi penting karena ia sering disebutkan sebagai pusat asal usul orang Maluku Tengah, Ambon dan Lease. Ia disebut Seran, Tanah Besar atau Nusa Ina atau Pulau Ibu. Manusama menyebut bahwa sebutan pulau Seram sebagai Tanah Besar lebih banyak dikenal. Nusa Ina adalah sebutan dalam bahasa tanah, atau bahasa tua lokal pulau Seram, sedangkan sebutan Seran hanya dipakai oleh sebagian kecil warga di pesisir selatan pulau Seram, yaitu dari Elpaputih sampai Werinama (Manusama, dalam Abdurrahman 1973:14-16).
[3] Sedubun 2012, halaman 177-179
[4] Wawancara dengan Pdt. Angky Lesnussa, tanggal 12 Agustus 2014
[5] Wawancara dengan Pdt. Vecky Lesbata, 14 November 2012.
[6] Wawancara dengan Pdt. Angky Lesnussa, tanggal 12 Agustus 2014
[7] Wawancara dengan
[8] Sedubun 2011 dalam, h
[9] Wawancara dengan Pdt. M. Waitau, Juni 2009.
[10] Sedubun menyebutnya sistem nilai, lihat Sedubun, 2012
[11] Laksono 1989
[12] Yohanes Ohoitimur 1983 halaman 98-99
[13] Bnd. von Rad 1970 halaman 53-55 dan halaman 186-189
[14] Laksono-Topatimasang 2004 halaman 7
[15]  Renyaan 1974
[16] Tokoh-tokoh adat Cau Masbaitubun (desa Warbal) dan Cos Labetubun (desa Ela’ar) menyebutkan bahwa orang Key mewarisinya secara lisan saja dari para orangtua dan leluhurnya.Ungkapan-ungkapanlokal itu biasanya diucapkan ketika ada konflik antarorang-perorang atau desa dengan desa.Ia diucapkan sebagai alat perdamaian supaya yang bertikai menyadari keterikatannya sebagai masyarakat adat dan supaya mereka menampakanketaatannya kepada hukum adat yang bersumber pada hukum adat Larvul Ngabal.
[17] Sitompul 1974, halaman7
[18] Von Rad 1972 halaman 54-55
[19] Idem, halaman 56-57
[20] Ayah saya adalah seorang Guru-Jemaat (Belanda-Inlandsleraar), yang bertugas ganda yaitu melayani sebagai pendeta dan sekaligus juga mengajar di sekolah sebagai Guru di Jemaat atau desa tempat ia ditugaskan.
[21] Wawancara 12 September 2009 dengan ‘Herodes’ seorang tokoh Katolik dari desa Langgur dan keterangan yang sama juga disebutkan oleh Djafar, seorang tokoh Muslim dari Tual.
[22] Wawancara dengan Esau “Batrei” Masbait, di Warbal, tanggal 6 Juni 2009.-
[23] Pengertian Maluku Tengah mencakup pulau Ambon, pulau-pulau Lease dan Seram bagian depan. Seluruh wilayah ini menmgenal pela sebagai pengikat hidup orang basudara.
[24] Sresmann 1923 halaman 417.
[25] Draabe 1932 : 13 dan 43
[26] Seram Bagian Depan adalah mencakup wilayah Kecamatan-Kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Barat.
[27] Hubert Th & M Jacobs, S.J 1971 halaman 113-115 dan halaman 121-129
[28] Leirissa 1975 halaman 3-5; 33-40
[29] Idem, bandingkan Leirissa 1975: 6-9
[30] Bartels 1977 halaman 181-190
[31] Cooley 1962 halaman 72-74


Pustaka:
Nicodemus Sedubun: Ain Ni Ain Mengelola Hubungan Kristen-Islam Di Maluku Tenggara, Disertasi, UKDW-Yogyakarta 2012
Nicodemus Sedubun; Sebuah Pembelajaran Mengenai Perdamaian Antar Agama, Islam-Kristen, di Tanimbar Utara, dalam Hendriks I. W. J, Elifas T. Maspaitella, Rudy Rahabeat : Kemurahan Allah Yang Mengamuni, Ambon 2008, PPS AK, Fak. Filsafat UKIM

Ambon, 10 Desember 2014