Dua
“Sahabat” di Pelayanan GPM
Pendahuluan
Dua “sahabat” yang sudah sejak
lama selalu ada bersama di pelayanan Gereja Protestan Maluku (GPM) adalah adat
dan Islam. Adat sejak lama dikonfrontir sebagi musuh pelayanan GPM, demikian
juga dengan Islam. Namun, kepada Islam, arena bentroknya tidak sehebat adat.
Apapun argumen dibalik upaya pendekatannya, saya menyebut keduanya adalah
sahabat pelayanan GPM. Mengapa dan untuk apa?
Adat, “sahabat”
pelayanan
Pangkat
sarani
adalah polise “pembelahan” masyarakat adat di Maluku Tengah oleh penjajah
Belanda. Frank Cooley[1]
mencatat tentang perubahan status sosial seorang dari seorang pribumi Maluku
yang masih kuat memegang adatnya sebagai seorang alifuru[2]
ketika ia menganut agama Kristen Protestan. Perubahan itu menjadi nyata setelah
ia dibaptis dan menerima apa yang disebut pangkat
sarani. Gelar ini adalah sebuah ketinggian status sebagai anggota Jemaat
yang dipandang lebih tinggi dari anggota masyarakat yang belum dibaptis. Status
ini tidak hanya menyangkut pengakuan keanggotaannya dalam persekutuan Gereja,
tetapi juga berkaitan dengan pengakuan untung-ruginya ke masa depan. Sisi
untungnya, berarti ia diterima di kalangan ‘elite’ ekonomi dan di kalangan
Gereja. Secara ekonomis, pangkat sarani
menunjuk kepada akses komunikasi dengan orang Belanda. Sebab menjadi Kristen
Protestan pada waktu itu adalah sama saja dengan telah memeluk “agama Belanda”.
Orang pribumi seperti itu disebut “Belanda hitam.” Selain itu dengan menganut
agama Kristen Protestan, maka seseorang berkesemptan untuk bersekolah di
sekolah Protestan, menguasai bahasa Belanda dan juga bahasa Melayu-Indonesia.
Lebih jauh lagi, ia dapat bekerja dan punya taraf hidup ekonomi yang lebih
baik. Dengan kemampuan bahasa, seseorang bisa bekerja di kora-kora
(perahu-perahu) dagang Hongitochten-Belanda,
menjadi tentara atau polisi Belanda atau menjadi mandor di gudang-gudang
penampungan cengkih Belanda.
Sisi ruginya, ia dihilangkan atau
kehilangan identitas sebagai warga masyarakat adat, sebagai orang alifuru. Salah satu kehilangan itu
adalah ia tidak boleh lagi melakukan dan mempercayai hal-hal mengenai adatnya
dan mesti melupakan bahasa daerahnya. Padahal, bahasa adalah salah satu media
pelestarian adat sebab melaluinya ekspresi adat dalam upacara-upacara adat
dilakukan. Terutama bahasa adat, yang kata-kata rumusannya adalah dalam bahasa tua atau bahasa tanah ketika kepala adat menyampaikan maksud upacara
tertentu kepada para leluhur. Sekaligus juga ia kehilangan atau ditolak dari
lingkungan karib dalam ikatan masyarakat adat-nya. Waktu itu, Gereja menegaskan
bahwa semua peristiwa menyangkut adat adalah kafir. Dari pemahaman seperti
begitu, maka dapat dipahami bahwa bahasa daerah juga kafir. Ia menjadi musuh
Gereja. Pendeta sebagai “pendekar terdepan” Gereja di Jemaat, menjadi pahlawan
pemusnahan terdepan simbol-simbol adat itu. Akibatnya di desa-desa Protestan di
Maluku pada umumnya dan di Maluku Tengah pada khsusnya, bahasa daerah telah
hilang. Lain halnya dengan desa-desa Islam, yang sampai hari ini masih memakai
bahsa daerahnya.
Frank Cooley dan juga Dieter Bartels
tidak secara tegas menyingkapkan apa saja daya tarik ketika seseorang
mendapatkan status pangkat sarani. Tampaknya
“perasaan gengsi” dalam kesenangan hidup ekonomilah yang menjadi faktor
pendorongnya. Akibat yang terkait langsung dengan itu juga adalah rasa rendah
diri oleh masyarakat adat, yang belum menjadi Kristen. Pada waktu itu, penjajah
Belanda, dan yang juga terus diwariskan oleh GPM, mengajarkan bahwa menguasai
bahasa Belanda atau bahasa Melayu-Indonesia, adalah lebih baik daripada hanya
hidup dengan bahasa daerah. Penegasan seperti ini tidak seluruhnya salah, ada
juga benarnya. Sebab pada satu pihak, kebutuhan komunikasi antara Penjajah dan
Gereja, baik di antara mereka sendiri maupun juga dengan masyarakat, adalah
dengan bahasa Belanda dan bahasa Melayu-Indonesia. Tetapi di lain pihak,
identitas adat lokal dan nilai-nilai hubungan kekerabatannya menjadi hilang.
Masyarakat lokal yang adalah warga pribumi, atau orang alifuru, menjadi terpisah dalam sebuah dunia perjumpaan budaya dan
agama yang luas. Sebab mereka hanya menguasai bahasa lokalnya, bahasa daerah dalam
berkomunikasi.
Sisi positifnya adalah kemajuan
di bidang pendidikan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Ada dua subyek
yang berperan di sini, yaitu melalui Gereja dan melalui Sekolah-Sekolah
Protestan. Melalui Gereja pengajaran dan perluasan pemahaman intelektual adalah
rangsangan tersendiri tentang luasnya pengetahuan anggota Jemaat. Khotbah,
Katekisasi, pengajaran agama di Sekolah Minggu, pengajaran dan pelayanan
pastoral di tiap organsasi Gerejawi, adalah materi yang sangat kaya dan
mendasar posisinya bagi perluasan pengetahuan anggota Jemaat. Juga melalui
sekolah-sekolah Protestan, para murid dididik dengan pendidikkan agama, ilmu
pengetahuan umun dan bahasa. Khusus untuk mata pelajaran bahasa, diajarkan
bahasa Belanda dan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia seperti sekarang. Dengan
kelebihan pendidikan dan pengetahuan seperti ini, orang itu bisa memperbaiki
hidupnya dengan menjadi pegawai negeri atau pegawai pemerintah Belanda. Dengan
demikian, menguasai bahasa Belanda atau bahasa Melayu-Indonesia yang juga erat
kaitannya dengan menjadi orang Kristen Protestan, maka hidup akan lebih baik
dan luas hubungannya. Selain status dalam masyarakat naik dan demikian juga
orientasi perjumpaan dan perluasan hidup juga meluas. Dapat disimpulkan bahwa
menjadi orang Kristen Protestan, yang berarti meninggalkan adatnya sebagai orang alifuru, maka hidup seorang akan menjadi
lebih baik.
Adat sesungguhnya adalah konteks “bersahabat”
di pelayanan Gereja. Gereja berada di tengah-tengah masyarakat. Ia adalah
bagian tak terpisahkan dari semua aktifitas hidup masyarakat dengan segala
kebaikan dan keburukannya. Di jemaat-Jemaat perjumpaan pelayanan dengan adat dengan
semua bentuk dan kandungan nilainya adalah obyek pelayanan atau obyek berteologi.
Ada sebuah kejadian di Ujian Gereja terhadap seorang Vikaris.[3]
Dalam laporannya, si nona Vikaris menyimpulkan bahwa adalah pemborosan besar
ketika lima orang anak mengumpulkan begitu banyak barang dan uang, hanya untuk
membangun dan mensyukuri pembangunan kubur permanen atau nisan ayah mereka yang
berukuran 1, 5 x 1 x 1, 5 meter. Almarhum punya lima orang anak. Seorang anak membawa
3 ekor kerbau, seorang membawa puluhan ekor ayam, seorang lain membawa 10 ekor
babi, yang lain membawa puluhan ekor kambing dan yang terakhir memberikan
bantuan jutaan rupiah, sebab ia pegawai negeri, seorang Camat. “Secara
ekonomis, semua barang itu bisa dipakai untuk memberi makan lima desa,” kata nona
Vikaris. Pendeta setempat, yang adalah mentornya, menjadi marah atas kegiatan
pengumpulan barang-barang untuk pembangunan kubur dan ibadah syukunya. Ia
bertambah jengkel sebab amplop ibadah syukur atas pembangunan nisan yang
diberikan ke Gereja, hanya lima puluh ribu rupiah.
Nona Vikaris dengan tegas menanggapi
limpahnya barang untuk membangun nisan di atas bahwa benar seperti pemahaman
mentornya dan anggota jemaat pada umumnya bahwa perbuatan itu adalah sebuah
pemborosan. Perbuatan itu sama saja dengan menyembah orang mati. Sebab ada tertulis
perkataan Yesus : “Ikutlah Aku dan biarlah orang mati menguburkan orang mati” (Matius 8:22).
Tampak pemahaman Vikaris dan
mentornya terbatas pada ritual dan keramaian atau pesta di sekitarnya saja dan
mengabaikan kandungan visi transformatif di baliknya. Bahwa bagi orang-orang
yang masih hidup, perbuatan baik atau moralnya akan tampak menonjol dalam
bentuk integrasi sosialnya yang menyata dalam perjumpaan dengan sesama di dalam
dan di luar lingkungan hidupnya. Bagi orang yang sudah mati, atau para leluhur,
moralnya adalah warisan nilai hidup yang baik dan penting untuk diteladani. Jarang
sekali orang meneladani sikap dan perbuatan jahat yang telah dibuat oleh
leluhurnya. Ritual pebangunan nisan dan pesta di sekitarnya merupakan upaya
nyata untuk kembali ke pusat moral. Mereka melakukannya bukan penyembahan
kepada orang mati atau kepada tulang-belulang ayah mereka. Bahwa semua
pengorbanan mereka sebanyak seperti itu karena penghargaan dan penghormatan
atas semua kebaikan dalam bentuk materi dan ajaran moral dari almarhum ayah
mereka. Dari ajarannya itulah anak-anaknya berhasil hidup dengan baik, bahagia
dan sejahtera.
Yang kaku dan tersumbat adalah
daya kritis yang kreatif dan transformatif nona Vikaris. Kaku karena daya
pembaruan visi Kristiani terhadap adat masih tersumbat pada aspek-aspek
material, pemborosan harta. Tersumbat oleh ketidak berdayaan sikap kritis dan
kreatif untuk mencari dan menemukan apa kehendak TUHAN dalam semua peristiwa
hidup manusia. Eben Nuban Timo mengatakan bahwa bagi masyarakat kecil di
desda-desa, berteologi itu nampak dalam bersuka, menangis dan menanggapi hidup
(...). Mengapa ia bersama mentornya tidak membawa pemahaman umat di jemaatnya,
secara lebih luas lagi? Bahwa jikalau
mereka dapat mensyukuri nilai kebaikan dalam warisan ajaran etika moral seorang
almarhum saja bisa dengan begitu berlimpah; mengapa tidak diperluas dengan
memberlakukannya bagi pendidikan anak-anak, pembangunan rumah sehat atau
bentuk-bentuk kebersamaan sosial lainnya ?!
Kearifan lokal Maluku,
simpul “bersahabat” GPM dan Islam
Ada berbagai
bentuk kearifan lokal di Maluku; di pulau Seram, pulau Buru, Ambon, Lease, Kei,
Aru, Tanimbar, Babar, Kisar, Damer, Romang, Wetar dst. Uraian berikut ini
mengetengahkan kekayaan kearifan lokal itu bagi perjumpaan pelayanan GPM dengan
Islam.
·
Kai-wait, wali dawen, kearifan lokal orang Buru
Pulau
Buru dalam bahasa daerah disebut bipolo,
yang berasal dari dua suku kata yaitu bia
dan polon. Bia berarti papeda,
sejenis makanan asli orang Buru (juga orang pulau Ambon, pulau-pulau Lease,
pulau Seram dan pulau Aru), yang terbuat dari endapan pati perasan hasil
pangkur isi batang sagu. Orang di luar Maluku, seperti orang Jawa, menyebutnya
bubur sagu. Bahan dasar endapat pati sagu disebut sagu manta (sagu mentah, sagu yang masih mentah). Untuk membuat papeda, sagu mentah harus dilumatkan
dalam air, disaring dan diteduhkan selama beberapa menit sampai mengendap.
Kemudian airnya dibuang dan tinggal endapan pati sagu. Untuk membuat papeda, sagu itu dicampur lagi dengan
air daam ukuran tertentu, lalu diaduk sambil menjaga kekentalannya. Jangan diberi
terlalu banyak air, nanti adukannya encer. Jika terlalu encer, papeda yang dihasilkan juga encer dan
tidak nyaman memakannya. Sementara itu air panas sudah dididihkan. Larutan sagu
kental tadi terus diaduk supaya sagu jangan mengendap. Jika mengendap, papeda yang dihasilkan akan berbiji
gumpalan putih. Jadi, ketika air panas mendidih hendak di tuangkan ke dalam
larutan sagu, larutannya harus terus diaduk. Setelah air panas dituangkan ke
dalam wadah larutan sagu, kerja pengadukan dihentikan dan menunggu beberapa
detik sampai larutan yang semula berwarna putih-sagu berubah menjadi kental kecoklatan,
kemudian diaduk dengan semacam sendok besar yang terbuat dari kayu, disebut aru-aru. Setelah tahap ini papeda telah
siap di santap.
Polon, artinya getah, atau perekat yang melekatkan. Konon ketika
orang pertama datang di pulau buru, waktu itu baru usai banjir besar yang
membuat becek di mana-mana. Tanah tempat berpijak berwarna kecoklatan seperti
warna papeda dan kaki orang yang
menginjaknya melekat tertanam ke dalam tanah. Dari uraian di atas, sebutan bipolo menjadi falsafah atau pandangan
tentang ikatan hidup orang Buru adalah erat mengikat seperti papeda. Ketika dimakan, ia terasa sejuk,
nyaman dan menyatukan antara rasa, cipta dan kedamaian. Dari situ pulau Buru
sering juga disebut dengan istilah bumi bipolo.
Kerifan lokal Buru dikenal dengan
sebutan kai-wait, wali dawen. Kai berarti kakak dan wait berarti adik. Wali berarti ipar dan dawen berati konyado.
Sebenarnya kata mejemuk wali-dawen
mengandung satu arti saja, yaitu ipar.[4]
Kebiasaan menyebut kata majemuk ini
bermula dari kebiasaan di pualu Ambon dan Lease. Ia berkembang menyebar
menjadi sebutan lokal yang umum di pulau Ambon, pulau-pulau Lease, pulau Seram
dan pulau Buru untuk ipar adalah konyado. Sebutan konyado yang berarti ipar,
sebenarnya berasal dari pulau-pulau Lease, khusunya di pulau Saparua di jasirah
Hatawano dan jasirah tenggara. Penyebarannya terjadi karena proses perkawinan
penduduk antar pulau di mana seorang ipar
dari pulau Lease memanggil ipar-nya
yang bukan orang Lease konyado,
sehingga mempengaruhi mereka saling memanggil ipar dengan konyado. Beberapa
tokoh adat di Lease menjelaskan bahwa sebutan ipar menjadi konyado
adalah bentuk kehalusan kata atau penghargaan di antara ipar dengan ipar-nya
sendiri. Untuk hubungan di antara ipar,
baik ipar dari garis hubungan kandung
seorang suami dengan saudara-saudara isterinya dan juga dengan isteri atau
suami dari saudara-saudara kandungnya. Misalnya saudara-saudara laki-laki dan
perempuan dari isteri suami “A” akan memanggil saudara-saudara laki-laki dan
perempuan suami “A” sebagai ipar
mereka dan sebaliknya.
Pemahaman hubungan hidup seperti di
atas dalam ikatan hubungan hidup orang Maluku disebut hidup orang bersaudara atau
hidup orang basudara. Bagi orang
Buru, hubungan orang basudara adalah
seperti hubungan hidup seorang kakak dengan adiknya. Seorang tokoh adat Buru[5]
menjelaskan bahwa sebutan kai-wait,
kakak-adik, bermula dari keretakan hubungan di antara seorang adik dengan
kakaknya menyangkut pemilikan tanah. Untuk menjaga keutuhan hubungan di antara
adik-kakak, hubungan itu diikat dengan janji bahwa mereka adalah bersaudara dan
berasal dari satu orangtua, ayah dan ibu, yang menghendaki mereka hidup bersama
dalam menikmati warisan tanah dari orangtuanya. Hubungan itu berkembang
melintasi perkawinan menjangkau ipar
dan juga di antara sesama ipar dengan
ipar yang lain dalam satu hubungan
asal kai-wait sebagai kakak-adik.
Kearifan lokal kai-wait yang menegaskan hubungan hidup orang buru yang seperti kakak-adik
mengartikan indahnya hidup kekeluargaan itu terhisab dalam tiga ikatan, yaitu: pertama, silsilah. Hidup orang basudara Buru berkembang menurut
garis keturunan. Artinya, dari keturunan keluarga “X” semua anak-anaknya
terikat dalam hubungan hidup kai-wait
sebagai kakak-adik. Kedua, asal-usul.
Seorang informan[6]
mengatakan bahwa hubungan hidup kai-wait
juga menyebar dari awal mula orang buru hidup di suatu tempat. Di kemudian hari
mereka menyebar dan berdomisili di suatu tempat baru. Ia melanjutkan bahwa ada
juga pembentukan hubungan kai-wait
itu dalam sebuah peristiwa sejarah yang melandasi pengkuhan hubungan hidup di
antara mereka sebagai kakak-adik. Ketiga,
bentukan hubungan hidup kai-wait yang
lain terjadi karena perkawinan. Dari hubungan perkawinan, misalnya “X” seorang
laki-laki atau perempuan asli Buru dan kawin dengan orang bukan Buru.
Anak-anaknya dan orang tua serta saudara-saudara kandung dari isteri atau suami
bukan Buru juga masuk dalam ikatan hubungan kai-wait
sebagai orang basudara Buru.
·
Bela, kearifan lokal orang Aru
Dalam waktu sebulan
setelah konflik sosial 1999 (sebutan lokal-kerusuhan) di Aru, upaya perdamaian
mulai dibuat atas prakarsa W. Barends bersama seluruh masyarakat Aru,
Kristen-Islam. Mereka sepakat untuk mengukuhkan perdamaian abadi di bumi jargaria atau tanah Aru, pada tanggal 17
Februari 1999. Diskusi berhasil menguak peran pertemuan adat yang menghasilkan
suasana perdamaian dari Konflik 19 Januari 1999 lalu. Di kepulauan Aru ada
beberapa ikatan perjanjian adat; ada dua kelompok besar masyarakat, yaitu :
kelompok lima atau ur-lima dan
kelompok sembilan atau ur-sia (di
Maluku Tenggara ur-siuw dan lor-lim; di Maluku Tengah-Ambon-Lease
ada pata-siwa dan pata-lima). W. Barends, berupaya
mempertemukan ur-sia ngom-ngom, yang
berasal dari desa Ujir dan desa Samang, semuanya adalah desa-desa
Islam, dengan kelompok ur-sia kada-kada,
yang berasal dari desa-desa Kristen Protestan yang semuanya ada di daerah
belakang tanah, yaitu di Warjukur, Warloy, Koijabi dan Balatan. Wakil mereka
datang dengan membawa tanda hubungan
persaudaraan. Dari perjumpaan itu, bisa tercipta perdamaian dan pemulihan
dari konflik di Aru.
Bela adalah kata yanag mengartikan kearifan lokal di Aru. Pada
umumnya kata bela dikenal kepulauan
Aru, baik di Aru Utara, Aru Tengah dan Aru Selatan. Ia berarti saudara, saudaraku, teman atau
teman karib. Di Aru Tengah di sungai
Manumbai, terutama di desa Vavakula dan sekitarnya, dikenal kata abela, yang berarti saudaraku. Kata ini berarti ada hubungan adat di antara desa-desa
terkait. Masyarakat di desa Vavakula heterogen: Protestan mayoritas, sedfnghkan
Katolik dan Islam minoritas. Di desa ini dikenal kata jabu yang berarti saudara.
Tetapi kata ini ditujukan kepada saudara-saudara Muslim yang berasal-usul dari
desa-desa Samang dan Udjir. Dua desa ini terletak di Aru Utara yang berasal
dari Ternate.
Bela berarti sama dengan pela
di Maluku Tengah, Ambon dan Lease. Ada bela
(pela) di antara desa Lor-Lor dengan
desa Ngaibor, desa Jelia dengan desa Beltubur. Seorang informan[7]
menjelaskan bahwa kata bela, juga punya
kaitan dengan pembagian peran dalam mendayungkan belang adat di Aru. Pemahaman ini dapat dilihat kaitannya dengan
adanya sebagian desa-desa di pulau Trangan di Aru Selatan yang punya belang adat dan belang keluarga atau belang
fam/marga. Pada bagian-bagian belang adat, telah dibagi siapa atau matarumah/fam apa yang menduduki posisi-posisi di depan, di tengah dan di
belakang. Posisi di depan bertugas mengawasi ancaman dari depan: musuh atau suasana
laut: bergelombang, tofan, atau kedalaman air dengan ancaman batu-batu karang
yang bisa membinasakan belang jika
kandas. Posisi tengah: tengah inti sebagai pengawas para pendayung atau petugas
menaikan layar, penimba ruang (timba ruang=orang yang selalu membuang
air yang masuk ke dalam belang karena
dinding belang sering bocor, jika tidak, belang
bisa tenggelam) dan ada orang khusus yang bertugas sebagai pemberi semangat
pelayaran. Ia biasanya meniup tafuri,
semacam kulit siput besar yang dibuat lubang untuk meniupnya. Tafuri ditiup untuk memanggil angin,
jika pelayaran tidak maju-maju karena laut sangat teduh. Masyarakat lokal
menyebut kondisi ini sebagai mati angin;
maksudnya tidak ada angin yang dibutuhkan untuk meniup layar dan mendorong laju
belang menuju ke tujuan. Di balik aksi
meniup tafuri memanggil angin, sebenarnya ritual ini berpusat pada pemahaman memanggil
kuasa alam atau roh leluhur untuk menolong dan memperlancar pelayaran. Contoh belang adat dan belang keluarga dapat dijumpai pada desa Feruni dan desa-desa di
sekitarnya. Peran di dalam belang adat
yang terbagi menurut fungsinya melukiskan persaudaraan dan kerja sama
masyarakat sesuai pembagian menurut adat masyarakat di desa.
Berikut gambaran singkat keberadaan sebagian
desa-desa Muslim di Aru, yang berkait erat dengan asal-usul dan asimilasi
masyarakanya.
Tabel desa-desa Muslim di Aru
No
|
Desa-Desa
Muslim
|
Penjelasan
|
Aru Utara
|
Aru Tengah
|
Aru Selatan
|
1
|
Kumul
|
Mesiang
|
Tabarfani
®)
|
Z) = mayotitas
Ternate
|
2
|
Kabalsiang-Benjuring
|
Gomu-gomu
|
Batugoyang
|
*) = Ternate bercampur
|
3
|
Marlasi
|
Lola
*)
|
Kalar-kalar
|
®) = Bekas perusahaan
|
4
|
Leting
Z)
|
Mariri
*)
|
Kabalukin
|
Plywood
|
5
|
Samang
Z)
|
Jambuair
*)
|
Rebi
|
|
6
|
Udjir
Z)
|
Kobror
*)
|
Meror
|
|
7
|
Londe
|
Gulili
Z)
|
Karei
|
|
8
|
Karangguli
|
|
Gomarmeti
|
|
|
|
|
Beltubur
|
|
Tabel di atas menjelaskan bahwa
desa-desa Muslim di Aru Utara dan Aru Tengah yang berada dalam kelompok ur-sia, dipengaruhi oleh Islam dari
utara atau dari Ternate; misalnya
desa-desa Samang, Udjir, Lating di Aru Utara dan desa Gulili di Aru
Tengah. Tiga desa di Aru utara ini seluruh penduduknya Muslim. Demikian juga
dengan desa Gulili di Aru Tengah yang terlatak di muka pintu masuk sungai
Manumbai setelah desa Selilau, Namara dan tiba di sana. Di desa-desa Muslim
lain penduduknya bercampur; ada Ternate, Kei, Geser, Jawa, Ambon, Buton, Bugis,
Makasar dll. Hal menarik lainnya, letak desa-desa itu berada atau posisinya
mengarah ke utara. Kondisi ini sedikit banyak punya kaitan dengan pelayaran
para serdadu Sultan Ternate dalam meluaskan pengaruhnya atau juga pelayaran
mencari mualaf baru berkait perluasan
dakwah Islam dari Ternate. Tampaknya pengaruh angin membawa pelayaran para
serdadu Ternate itu berlayar mengikuti tiupan angin utara dan bisa tiba di sana
dan mereka membangun desa-desanya. Tentang serdadu kesultanan Ternate atau
anggota pasukan tentara Ternate, terlihat dalam pemberian pulau Labobar menjadi
milik keturunan keluarga Sahabudin di Larat, Tanimbar Utara.[8]
Kondisi desa-desa Muslim di Aru
Utara dan Aru Tengah yang masuk dalam kelompok ur-sia, berbeda dari desa-desa Muslim di Aru Selatan, yang termasuk
kelompok ur-lima. Penduduk desa-desa
ini heterogen, bercampur Kristen dan
Islam dalam satu desa. Seorang informan[9]
menjelaskan kenyataannya demikian bahwa penduduk Muslim adalah hasil perkawinan
di antara seorang Muslim dari luar Aru dengan penduduk pribumi, sehingga
anak-anaknya menjadi mualaf dan
kemudian menganut Islam. Contoh bisa dilihat di desa Batugoyang. Di sini
penduduk mayoritas Kristen hidup bersama-sama dengan saudara-sudara dan ipar-iparnya
asli Batugugoyang. Rumah-rumah mereka berbaur satu dengan lainnya. Pendatang
Muslim berasal dari Jawa, Makasar, Bugis, Buton, Ambon, Geser, Gorom dan
beberapa daerah lainnya. Mereka pada umumnya adalah pedagang atau pelaut yang
bekerja pada pedagang Cina dengan perahu-perahu layar atau perahu perahu motor
laut.
·
Ain ni ain
kearifan lokal orang Kei di Maluku Tenggara.
Kearifal
lokal, yang mengikat dan menghubungkan hidup kekerabatan masyarakat di Kei, Maluku
Tenggara, disebut ain ni ain.[10]
Secara lengkap rumusannya adalah: ain ni
ain, vuut ain mehe ngifun, manut ain mehe tilor.[11]
Terjemahan harafiahnya adalah ain ni ain
berarti satu punya satu, vuut ain mehe ngifun berarti ikan punya telur, manut ain mehe tilor berarti unggas
(juga) punya telur. Artinya, (orang
Kei) yang satu memiliki (orang Kei) yang lain seperti ikan yang berasal dari
satu telur (dan) seperti (juga) unggas yang berasal dari satu telur. Ia
mengartikan tentang hubungan hidup mereka yang
saling memiliki, karena mereka semua berasal
dari satu sumber (telur dari satu ikan/unggas). Kata saling memiliki mengartikan bukan sebagai pemilikan pribadi, ownership. Tetapi pemilikan
persaudaraan, brotherhood, yang
menekankan pada hubungan di antara mereka. Hubungan hidup persaudaraan itu
penting karena mereka berasal dari satu sumber.
Kearifan
lokal, ain ni ain menjadi sumber
inspirasi bagi Hukum Adat Kei, yaitu Hukum Adat Larvul Ngabal, dan penerapan pelaksanaannya dalam masyarakat.
Ketika seseorang mempelajari Hukum Adat Larvul
Ngabal, maka ia akan menemukan bahwa rumusan ayat-ayatnya tidak menyinggung
secara harafiah tentang kearifan lokal ain
ni ain. Tetapi dinamika kandungan jiwanya tampak dalam interaksi sosial
masyarakat sehari-hari. Di dalam pemahaman dan pelaksanaan atas Hukum Adat itu,
ia mesti mempraktekkannya, supaya dituntun dan diarahkan oleh semangat dan jiwa
untuk membangun hubungan dengan sesama manusia, alam ciptaan dan termasuk
dengan roh-roh leluhur (kosmologi).
Hubungan antara Hukum Adat Larvul Ngabal dengan
kearifan lokal ain ni ain terlihat
dalam pemahaman dan pelaksanaan pasal-pasalnya di dalam kehidupan masyarakat
Kei.
Jika dilihat
sepintas, seakan kearifan lokal ain ni
ain hanya lebih dekat ke Hukum Navnev,
seperti isi fasal-fasal 1, 2, 3 dan 4 dari Hukum Adat Larvul Ngabal saja. Dikatakan demikian oleh sebab fasal-fasal itu
berhubungan dengan cita-cita kehidupan sosial masyarakat. Namun, sebenarnya
bukan saja dengan Hukum Navnev,
tetapi dengan fasal 5 dan fasal 6, tentang Hukum
Hanilit, yang mengatur tentang hukum kesusilaan, bahkan fasal 7 tentang
Hukum Hawear Balwirin, yang mengatur
hubungan sosial dan etika hidup orang Kei. Karena itu, sesungguhnya kearifan
lokal ain ni ain menjadi sumber
inspirasi hidup dan perilaku orang Kei, yang tercermin dalam seluruh Hukum Adat
Larvul Ngabal. Dalam interaksi hidup
di antara orang Kei, akan terlihat hubungannya dengan masalah-masalah hidup
yang dihadapi.
Yohanes Ohoitimur[12]
menyatakan bahwa Hukum Adat Larvul Ngabal
bagi masyarakat Kei tidak dikodifikasi. Sekalipun demikian, tetapi ia tetap
menjadi dasar perekat kekerabatan orang Kei. Masyarakat terutama para pemuka
adat dan tokoh masyarakat, sangat mengetahui isi Hukum Adat Larvul Ngabal itu. Mereka menguasainya,
baik pasal-pasal Hukum Adat maupun sanksi-sanksi berlapis yang terdapat dalam
pasal-pasal Sa Sor Fit. Hal ini
terlihat ketika ada pelanggaran yang dilakukan oleh warga masyarakat dan mesti
di atasi melalui sebuah Sidang Adat untuk menentukan sanksinya. Hukum Adat Larvul Ngabal biasanya diucapkan dalam
acara-acara adat, seperti pelantikan Rat
(Raja) atau Orangkai (Kepala Desa)
dan acara adat khusus tertentu.
Nilai-nilai
ideal dalam kandungan Hukum Adat Larvul
Ngabal menjadi alat yang berguna bagi masyarakat dalam membangun hidup yang
seimbang dan komunikatif di antara sesama orang Kei dan dengan lingkungan
hidupnya. Alat yang memotivasi hidup berpemahaman dan berbuat (peran) itu bersumber dari Hukum Adat Larvul Ngabal, yang kemudian digunakan
(fungsi) sebagai pengarah, penuntun
dan pengayom bagi hidup di lingkungan masyarakat. Di wilayah dinamis
nilai-nilai Hukum Adat Larvul Ngabal,
ia hidup dalam ukuran bijak, baik dan dapat diterima, atau ia ada dalam kearifan
lokal lokalnya. Dengan demikian, kearifan lokal ain ni ain menginspirasi peran
dan fungsi nilai-nilai ideal yang
terkandung di dalamnya bagi Hukum Adat Larvul
Ngabal dalam kehidupan orang Kei. Interaksinya berisi sikap dan perilaku
hidup yang berisi kebaikan, bijaksana, menyenangkan dan dapat diterima oleh
masyarakat. Dalam tuntunan kearifan lokal itu, ia mampu membedakan manakah
perbuatan yang baik dan menyenangkan sesama masyarakatnya dan manakah yang
tidak, yang bertentangan, merugikan dan membahayakan kehidupan bersama.[13]
Contoh peran kearifan
lokal ain ni ain dalam kaitan dengan
upaya mencapai perdamaian dari Konflik di Maluku Tenggara di tahun 1999-2000
terlihat dalam peran seorang tua-renta.
Ketika Tim Perdamaian Adat atau Tim Ain
Ni Ain tiba di suatu desa Kristen atau Islam, lalu seorang tua-renta di desa itu diminta oleh Tim untuk menceritakan
kisah asal-usul desa atau kampung, marga, atau menyanyikan nyanyian tanah, atau berpantun
adat, lalu ia menasehatkan semua yang hadir dengan mendengarkan salah satu
fasal Hukum Adat Larvul Ngabal.
Pendekatan seperti ini membuat masyarakat di desa-desa di Maluku Tenggara,
Kristen-Islam, sewaktu mendengar tuturan orang
tua-renta itu, langsung menyadari kebaikan apa yang hilang dan harus segera
ditemukan akibat Konflik yang terjadi. Kemdian mereka sepakat untuk berdamai
dan hidup rukun seperti sediakala, sesuai dengan maksud ideal seperti apa yang
ada dalam Hukum Adatnya, yaitu Hukum Adat Larvul
Ngabal.[14]
Hal
penting lain yang sangat menunjang peran dan fungsi kearifan lokal ain ni ain adalah masih hidupnya bahasa
daerah, bahasa Kei. Ia masih aktif dipakai secara dinamis oleh masyarakat Kei.
Di Kei ada tiga bahasa yang dipakai oleh masyarakat. Bahasa Kei dikenal dan
dipakai oleh semua orang Kei, baik di Kei Kecil, Kei Besar dan juga sampai ke
pulau-pulau yang ada di Kei Kecil. Bahasa lain adalah bahasa Bandaeli, yang
dipakai oleh orang Bandaeli dan orang Bandaelat. Bahasa lain yang sangat lokal
sifatnya adalah bahasa Kur-Mangur, dipakai oleh orang Kur dan Mangur. Ia hanya
mencakup sedikit orang di dua pulau di Kei Kecil, yaitu pulau Kur dan pulau Mangur.
Selain
kearifan lokal ain ni ain, ada juga
kata-kata peribahasa dalam bahasa Kei atau perumpamaan, yang disebut misil-masal, sukat-sarang dan liat-dalil.[15]
Misil-masal berarti perumpamaan. Sukat-sarang berarti suatu pernyataan
yang mengungkapkan tentang kebenaran. Misalnya : karena batas tanah, sanak
saudara rela mati. Liat-dalil berarti
kata-kata sinis. Misalnya : membicarakan perilaku orang lain tetapi tidak
secara langsung tertuju kepadanya atau seperti ‘pukul tiang kena tembok.
Perbendaharaan misil-masal, sukat-sarang dan liat-dalil akan ditemukan dalam isi nasehat atau petuah yang
disampaikan demi pembentukan sikap hidup pribadi atau warga masyarakat
umumnya.
Kearifan lokal ain ni ain telah terwarisi sejak
turun-temurun dalam masyarakat. Datum hadirnya sampai menjadi bagian mendasar
dalam tata interaksi masyarakat Kei, tidak diketahui secara pasti. Orang Kei
mewarisinya dari orangtuanya, dan orangtuanya mewarisi dari kakek dan para
leluhurnya.[16]
A. Sitompul,[17]
yang mengupas makna Kitab Amsal dan melihat bahwa ada juga hubungan
tertentu dengan tata kehidupan adat Batak, menyebutkan bahwa kebijaksanaan yang
ada di dalam kearifan lokal itu merupakan satu bentuk pengetahuan dasar bagi
seseorang supaya ia menguasai hidup, sehingga ia dapat hidup dalam
aturan-aturan yang ada di sekitarnya. Di dalam pengalaman hidupnya di bawah
aturan-aturan yang ada itu, ia membuat kalimat-kalimat sebagai pedoman dan
pegangan dalam hidupnya. Von Rad,[18]
yang menguraikan tentang kebijaksanaan dalam Kitab Amsal, menyatakan bahwa
kebijaksanaan yang terdapat di dalamnya bernuansa artistik dan merupakan
kalimat yang diulang-ulang sebagai ucapan-ucapan pengajaran. Karena itu, di
dalam kebijaksanaan terkandung kemampuan intelektual seseorang untuk membangun
pemahamannya sendiri.
Kearifan lokal
yang dipakai berulang-ulang merupakan simbol makna komunikasi antar orang
perorang. Formulasi isinya terdiri dari kalimat pendek-pendek dan padat.
Kata-katanya digubah sedemikian rupa sehingga ia terdengar bersanjak dan
menarik. Sekalipun susunan kalimatnya pendek-pendek, tetapi ia selalu kena
dengan pergumulan hidup manusia sehari-hari karena dipraktekkan secara terus
menerus dalam berbagai perjumpaan dengan kegiatan hidup masyarakat. Kenyataan
ini bisa dilihat dalam susunan formulasi kearifan lokal ain ni ain dalam kerangka seperti berikut :
Ain -- satu
Ni ain -- punya satu
Vuut ain
mehe ngifun
-- ikan punya telur, (dan)
Manut ain
mehe tilor--
unggas punya telur
Jika susunan
formulasinya didengar sepintas, terutama oleh orang luar, maka ia seakan tanpa
makna. Ia melahirkan banyak pertanyaan dengan sikap negasi dan skeptis, bahkan
apatis. Namun, bagi orang pribumi yang memilikinya, masyarakat Kei, ia dipahami
dan sangat dikenal. Ia adalah bagian mendasar dari hidup mereka. Karena itu ia
hanya bisa dipahami dengan perasaan memiliki. Von Rad[19]
menyebut perasaan itu adalah “hati yang paham” atau “hati yang mendengar.” Hati
yang mendengar itu menggambarkan ketaatan kepada tata hukum yang berlaku,
sehingga ketaatan itu menimbulkan kepekaan ke dalam diri sendiri dan kepekaan
kepada daerah di luar.
Dengan
menyanyikan atau mengucapkan kearifan lokal ain
ni ain, yang bersangkutan telah menghidupkannya dalam kesadaran dirinya sendiri.
Dengan kata lain, dengan mengucapkan atau membangun sikap dan perbuatan di
dalamnya ain ni ain, vuut ainmehe ngifun, manut ainmehe tilor, maka yang
bersangkutan sedang memaknakan, merefleksikan, dan membentuk emosinya. Ketika
ia mengucapkannya, maka ia sedang mengaktualisasikan seluruh sikap, ketaatan
dan keterikatannya kepada hukum mereka, yaitu Hukum Adat Larvul Ngabal, dan sekaligus pula menyatakan keterikatannya dalam
satu keluarga masyarakat Larvul Ngabal
pula.
Dalam hidup
sesehari masyarakat Kei, kadang-kadang kearifan lokal ain ni ain muncul dalam nyanyian sebait yang diulang-ulang ketika
petani mengerjakan kebunnya, yang mengingatkan si petani tentang perlindungan
dari "Yang di atas" terhadap kebunnya dengan mendatangkan hujan yang
sangat ia harapkan. Begitu juga dengan nelayan yang sedang memancing; atau ia
muncul dalam duka terlantun mengenang isteri, anak, atau suami yang telah
tiada. Ia muncul dalam bentuk respons atas kenyataan hidup yang didambakan ada
dalam kondisi nyata yang dialami entah sejahtera, damai, aman, ataukah terkena
bencana, semuanya tertuang dan terlampiaskan di dalamnya.
Saya punya
pengalaman ketika masih ada di Jemaat/desa Wakua,[20]
Aru Tengah, selama tahun 1958 sampai 1967. Di sana alat transportasi ke dan
dari kebun biasanya lewat sungai dengan memakai perahu. Dalam perjalanan pulang
dari kebun ke desa, atau sebaliknya, biasanya petani (peladang) mendayung
perahunya dan menyanyikan lagu tua,
atau nyanyian tanah, dua bait berulang-ulang.
Seiring lajunya biduk berlalu, demikian juga terlantun bait nyanyian tanah itu didendangkan. Hidup
seakan menjadi harapan bermakna seiring dengan desa atau kebun yang mulai
nampak dari jauh kelihatan. Lagu itu dilantunkan dalam tema harapan,
persaudaraan, dan kebaikan lainnya. Oleh karena terlalu sering mendengar nyanyian tanah itu, maka saya bertanya
kepada ayah : “Papa knapa (mengapa) dorang (mereka) selalu manyanyi (menyanyikan) lagu itu trus (terus menerus, berulang-ulang).
Apa dorang (mereka) seng (tidak) bosan ?" Ayah
menjawab: "Bagi katong
(kita) nyanyian itu membosankan. Tetapi bagi dorang (mereka) nyanyian itu adalah gambaran harapan semoga Tuhan
memberkati kebun yang menjadi sumber hidupnya.
Pemahaman
tentang kearifan lokal ain ni ain juga
berkaitan dengan hubungan penganutan agama, Kristen-Islam. Ketika agama Islam
pertama kali datang di Kei,[21]
ia dibawa oleh para orang tua Kei ke Tual. Ketika agama Kristen Katolik pertama
kali datang, para orang tua Kei membawanya ke Langgur; dan demikian juga dengan
agama Kristen Protestan yang terakhir datang, ia dibawa oleh para orang tua Kei
ke Ta’ar. Para Orangkay di Tual,
Langgur dan Ta’ar bersama seluruh masyarakatnya menerima agama yang dibawa oleh
para orang tua Kei itu dan menganutnya.
Konon pada mula
orang Kei memeluk agama pilihannya, penerimaannya mulai bergerak dan
termotivasi dari dalam keluarga-keluarga orang Kei sendiri.[22]
Ketika agama-agama Islam, Katolik dan Protestan masuk dan mulai menyebar di
Kei, orangtua Kei menyuruh anak-anaknya secara bebas memilih agama kesukaannya.
Sementara orangtua mereka tetap memeluk agama sukunya. Satu pesan para orangtua
mereka ialah supaya anak-anak dengan pilihan agama anutannya masing-masing
tidak boleh melupakan hubungan erat kekeluargaan dengan saudara-saudaranya.
Kenyataan ini bisa dihubungkan dengan ada orang Kei yang satu fam yang sama dan bersaudara, tetapi ada
yang Islam, Katolik atau Protestan.
Cita-cita
ideal kearifan lokal ain ni ain adalah
alat pengikat semua orang Kei sebagai orang
basudara. Ketika berhadapan dengan kenyataan konteks, ia menampilkan bentukan
identitas yang selalu harus diperbarui supaya selaras dan relevan dengan hidup
yang dicita-citakan. Sebab identitas hidup tidak berarti sama dengan serentak
menjadi sama dengan cita-cita ideal kearifan lokal bersangkutan. Tetapi
identitas menonjolkan sikap dan perilaku yang dianggap sama atau seakan
sama dengan cita-cita ideal kearifan lokal itu. Jadi, dengan memahami atau
memiliki kearifan lokal ain ni ain
tidak serentak hidup menjadi aman, tentram, penuh perspektif ke masa depan dan
komunikatif dengan orang lain. Cita-cita ideal kearifan lokal ain ni ain selau berhadapan dengan
proses upaya memahaminya dan memberlakukannya bagi hidup orang Kei. Upaya
memahami nilai-nilai ideal menonjolkan keinginan untuk hidup selaras dan
relevan dengan konteksnya.
·
Pela,
kearifan lokal orang Maluku Tengah[23]
Kearifan
lokal Pela di Maluku Tengah. Secara
etimologis pengertian pela berasal
dari beberapa makna kata di daerah asalnya. Bahasa asli Seram menyebut kata pela berasal dari kata papelae, berarti harus diakhiri, mengakhiri,
sudah berakhir atau sudah pada akhirnya. Misalnya dalam
bagian kalimat papelae tuae, artinya mari minum sageru
(sebagai tanda pengesahan sebuah kesepakatan yang sudah berakhir, sudah
disetujui). Di pulau Nusalaut ada kata pelania,
yang berarti harus berakhir. Di desa Kailolo di pulau Haruku, ada kata pelaya, yang berarti sudah atau habis. Di desa Amahai di pulau Seram, dikenal bagian kalimat sou-sou pelania……, yang diucapkan atau
diteriakan sebagai akhir dari kesepakatan berdamai dari dua belah pihak yang
bertikai. Di beberapa daerah di pulau Ambon dikenal kata pela-u, yang berarti saudara.
Di masyarakat suku asli pulau Seram, Kakehan, dikenal kata pela-pela sebagai sebutan persaudaraan, yang diikuti kemudian
dengan pematrian tatoo di bagian
tubuh anggotanya yang baru.
Menurut Stresmann,[24]
di daerah lain ada juga kata yang punya arti mirip sama; bela yang berarti teman
atau sahabat. Kata ini ditemukan di
Maluku Tenggara : bela di Banda
Elat-Kei Besar, belano di desa Wokam
di pulau Aru, bel atau tea-bel di Kei Kecil. Ada juga kata balbela di wilayah pulau Fordata di
pulau Yamdena, Tanimbar. Menurut Draabe,[25]
kata bela atau kida-bela di Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) punya
arti yang sama dengan pela di Maluku
Tengah, yang berarti sahabat atau bersaudara. Semua arti kata-kata di atas
menuju pada satu arti habis atau sudah.
Kata
lain dengan pengertian yang mirip sama yang berarti membatasi atau merintangi,
misalnya ditemukan di suku Naulu dengan kata pena, yang berarti jangan
atau dilarang. Selain itu, ada juga
kata wake, wate, wake ou, di Maluku
Tengah; di pulau Seram, di pulau Ambon dan di pulau-pulau Lease. Kata-kata itu
berarti jangan potong kepalaku dan
juga berarti menjauhlah atau tetap (berdiri) di batas.
Dari
berbagai pengertian di atas, pela
punya asal-usul kata yang banyak sekali ; dari Maluku Tengah : pulau Seram,
Pulau Ambon dan pulau-pulau Lease ada kata-kata papelae, pelaya, pelania, pela-u, pela-pela, yang
bermakna sama dengan kata-kata di kepulauan Kei, kepulauan Aru dan kepulauan
Maluku Tenggara Barat seperti : bela,
belano, bel atau tea-bel, balbela, kida-bela. Pela juga punya makna sama dengan kata-kata yang berbeda
seperti : wake, wake ou dan wate, yang
dikenal di Maluku tengah : pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Dari semua kata-kata yang melukiskan
pengertian pela itu muncul sejumlah
arti : harus diakhiri, mengakhiri, sudah berakhir, sudah pada
akhirnya, sudah, habis, teman, sahabat, membatasi atau merintangi, jangan potong
kepalaku, menjauhlah atau tetap (berdiri) di batas.
Semua
pengertian itu mengandung aspek pembatasan,
perlindungan dan larangan. Pembatasan yang
dimaksudkan berpusat batas akhir bertikai dan membentuk ikatan persaudaraan
dalam ikatan pela. Pembatasan ini juga menyangkut hal hidup
yang berpusat pada batas tanah, yang mengartikan bahwa sampai di sini batas-mu dan di situlah batas-ku. Jangan melintasi atau melewati batas
itu. Oleh karennya batas-batas hak atas tanah ini adalah hak hidup yang tidak
boleh dilanggar. Makna batas ini adalah pengartian ikatan pela yang tertua, yang terjadi di pedalaman pulau Seram. Perlindungan mengartikan adanya sebuah
tanggungjawab hubugan persaudaraan yang erat dan saling mendukung. Di dalamnya,
tolong-menolong, saling memberi, saling melindungi dan saling merasakan suka
dan duka sesama ikatan pela, terjalin
menjadi satu. Larangan menjadi satu
makna inti dalam ikatan pela, di mana
ada dasar utama yang harus dihormati, yaitu tidak boleh kawin dan tidak boleh
melakukan penindasan terhadap sesama pela.
Dalam tiga aspek pengertian ikatan pela
itu hubungan persaudaraan dipahami sebagai sentralnya. Artinya, ikatan
persaudaran pela ada dalam hak hidup,
ada dalam perlindungan dan ada dalam menaati larangan.
Menyangkut
ruang lingkup pela di Maluku Tengah
dapat dilihat dalam tiga pembatasan. Pertama,
pembatasan pela sebagai ikatan
persaudaraan antara desa-desa dalam kesatuan pulau Seram, pulau Ambon dan
pulau-pulau Lease. Dalam pembatasan ini, yang dimaksud dengan pulau Seram
adalah desa-desa di pulau Seram bagian
depan[26]
; mulai dari desa Tamilou di ujung barat Masohi, ibukota Kabupaten Maluku
Tengah, dengan semua desa di dalamnya; Kecamatan Kairatu dengan semua
desa-desanya, Kecamatan Piru dengan semua desa-desanya dan sampai Kecamatan Taniwel
dengan desa-desanya di Kabupaten Seram Barat. Kumpulan desa-desa ini disebut Seram bagian depan, karena ikatan budaya
dan kedekatan lainnya, seperti ekonomi dan sosial. Kedua, pembatasan dalam hubungan dengan suku-suku kecil terasing
lainnya; seperti suku Naulu, yang
sudah ada sejak lama dan mengakui bahwa mereka berasal dari gunung Binaya,
sebuah gunung tertinggi di pulau Seram, di Seram bagian Timur. Mereka menetap
di desa-desa dekat pantai Masohi bagian barat. Sementara suku asli besar di
pulau Seram adalah suku Wemale dan suku Alune. Suku Wemale mendiami sebelah
barat sungai Sapalewa dan suku Alune mentap di sebelah timur sungai Sapalewa
sampai batas sungai Tala. Ketiga,
pembatasan dalam bagian Seram bagian belakang yang mencakup wilayah Seram Utara
dengan desa-desa di dalam Kecamatan Seram Utara di Wahai dan Kecamatan Bula,
wilayah Seram Selatan meliputi desa-desa dalam Kecamatan Tehoru dan Kecamatan
Werinama dan wilayah Seram Timur meliputi desa-desa dalam Kecamatan Geser,
Kecamatan Gorom dan sekitarnya. Wilayah di pembatasan ini lebih dekat dengan
masyarakat di Kei, wilayah Kabupaten Maluku Tenggara. Orang Kei punya ikatan pela dengan orang Seram umumnya dan
khususnya dengan orang Seram Timur : Geser dan Gorom. Bahasa mereka juga sama
di beberapa desa di Gorom dengan bahasa Kei. Di mana saja, ketika seorang Kei
berbicara dan tahu bahwa lawan bicaranya adalah orang Seram Timur umumnya, dan
khususnya yang berasal dari Geser atau Gorom, maka ia serentak akan menyapanya
dengan sebutan : “Pela, ……………” dan
seterusnya pembicaraan terus bersubyek dengan “………pela……..” Sebutan Nyong pela
…… atau Oom Pela atau Pela….. saja, adalah penghalus kata dan
ungkapan rasa hormat dalam berbicara di antara sesama saudara pela. Sapaan seperti ini juga berlaku
bagi semua warga ikatan pela di
Maluku Tengah : pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Bagi yang punya
hubungan pela-gandong, mereka akan
saling menyapa sesamanya dengan “Gandong………..”
Di
sini penting mengetengahkan asal-usul pela
demi meluaskan arti dan hakekatnya bagi hidup orang basudara Kristen-Islam di Maluku. Bartels dan Cooley dengan
gamblang memaparkan bahwa ada tiga asal-usul pela. Pertama, pela
asli alifuru di pedalaman pulau
Seram. Ikatan pela ini bermula dari
perburuan kepala dan perang antar kelompok, suku atau desa, orang alifuru di pedalaman pulau Seram.
Akibatnya, suku atau desa yang merasa terancam keamanannya, mereka akan
berupaya membentuk ikatan pela dengan
desa lain. Biasanya, desa atau desa-desa yang lemah akan bergabung dengan desa
yang lebih kuat. Jalinan persaudaraan antar desa dalam ikatan pela disini bertujuan untuk mendapatkan
perlindungan keamanan. Pemimpin perang yang sangat berpengaruh adalah seorang kapitan. Ia punya kekuatan magis
tertentu yang mampu mengalahkan lawan. Karena itu biasanya perang yang terjadi
bukan perang di antara rombongan melawan rombongan, atau main keroyok. Tapi,
perang antara dua kapitan, dua jagoan
yang menguji kedigjayaannya dengan senjata tajam maupun dengan kekuatan
magisnya, sedangkan anak buah dalam rombongan hanya menanti siapa dari kedua kapitan itu yang menang. Si pemenang
menjadi pemimpin yang ditakuti, demikian juga kelompoknya. Si yang kalah dengan
kelompoknya akan berusaha untuk mencari perlindungan kepadanya. Dalam upaya
mencari perlindungan ini, selalu diakhiri dengan ikatan sumpah pela. Keduanya menjadi satu ikatan
bersaudara yang saling melindungi dan membantu dalam situasi aman maupun
perang. Syarat lainnya adalah tidak boleh ada perkawinan di antara kedua
kelompok dan keturunannya. Sumpah ikatan pela di antara kedua belah pihak
berpusat pada minum darah bersama. Biasanya darah seorang dari anggota kelompok
yang kalah diambil dan dicampur lalu diminum bersama, mulai dari kapitan-nya kemudian diikuti oleh
anggota kedua kelompok. Waktunya pembentukannya tidak diketahui secara pasti. Sangat
mungkin ia terbentuk jauh sebelum kedatangan pengaruh kekuasaan dari kesultanan
Ternate dan Tidore sebelum abad ke-15.
Kedua, pela dari Maluku Utara, yang terbentuk dari ikatan antara desa Hitu dengan Kerajaan Ternate
yang beragama Islam. Setelah kehadirannya, ikatan pela ini berkembang menjalin persaudaraan dengan desa-desa yang
beragama non-Muslim di pulau Ambon dan di pulau Seram, terutama desa-desa di
jasirah Hoamual. Ikatan pela ini
lebih menekankan pada aspek ekonomi, khususnya perdagangan cengkih. Petunjuk
atas aspek ini menjelaskan bahwa ketika penjajah Eropah datang, pada mulanya
mereka berdamai dengan Kesultanan Ternate. Namun, lama-kelamaan, ketika
perhatian mereka berpindah ke bidang ekonomi, pembelian rempah-rempah cengkih-pala,
lalu muncul permusuhan dan pecah perang melawan kesultanan Ternate. Terkenal di
Kesultanan Ternate tokoh Kolano,
seorang kapitan kepala,[27]
yang perannya mirip sama dengan seorang menteri, atau tangan kanan Sultan,
dalam menjalankan kekuasaanya di daerah jajahannya. Jabatan kolano ini punya hubungan erat dengan
jabatan galarang, yang adalah jabatan
di ‘kerajaan kecil’ di bawah Kesultanan Ternate yang ada di jasirah Leihitu.
Jabatan kekuasaan ini juga berkaitan dengan jabatan keturunan bangsawan
Ternate, Gimelaha. Terkenal Gimelaha Leliato, yang hidup bersama masyarakat
desa-desa di pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Mereka berperang
melawan VOC-Belanda.[28] Salah satu
pusat Kesultanan Ternate di pulau Seram adalah di desa Gamsungi. Bekas desanya
ada di dekat desa Luhu sekarang ini.
Aspek
lain yang tidak tegas kelihatan (diperlihatkan
oleh para peneliti) adalah aspek dawah Islam. Sebab di mana-mana kecenderungan
kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan yang bercirikan agama (Islam,
Kristen), selain menekankan aspek politik, tapi juga selalu membawa misi
mengagamakan daerah jajahan atau daerah afiliasinya menurut agama yang dianut.[29]
Sekali pun demikian harus diakui bahwa ada juga motivasi lain pembentukan pela dengan ikatan desa-desa campuran
agama, Islam, Kristen, dan kafir, demi keamanan bersama. Inti yang menjadi
dasar ikatan pela mereka berpusat
pada sumpah matakau. Sumpah matakau adalah sumpah yang
dinyatakan di atas media mesiu dan kepala peluru yang di rendam dalam air atau sageru (sari air nira dari pohon enau
atau kelapa) lalu mencelupkan semua senjata tajam dan moncong senjata api,
kemudian campuran itu diminum bersama sebagai tanda ikatan pela. Waktu pembentukannya adalah pada masa kedatangan pertama
bangsa Eropah, Portugis di abad ke-15. Pela
ini mulai terbentuk di Hitu dan menyebar di Leitimor, dibawa dari Maluku Utara
dari pengaruh kesultanan Ternate pada masa setelah Sultan Zainulabidin yang
berkuasa mulai sekitar tahun 1495. Penetapan waktu ini bisa diterima bertolak
dari pemakain kepala peluru, yang menyatakan bahwa senjata api dan pelurunya
baru dikenal pada masa penjajahan. Sebelumnya, orang alifuru atau penduduk pribumi Maluku, khususnya penduduk di Maluku
Tengah: pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease, hanya mengenal senjata
tradisional seperti panah, anak panah, parang dan tombak.
Ketiga, pela dari Irian. Ikatan pela ini bermula dari satu keluarga yang datang dari Irian, Papua,
dan menetap di Hatumete, Seram selatan. Ia punya lima anak, tiga anak
laki-laki: Temanole, Simanole dan Silaloi; dan dua anak perempuan: Nyai Intan dan Nyai Mas.
Anak laki-laki yang tua, Temanole,
menetap di desa Tamilou, anak laki-laki kedua, Simanole, menetap di desa Sirisori dan anak laki-laki yang ketiga, Silaloi, menetap di desa Hutumuri. Kedua
anak perempuannya, seorang yang bernama Nyai
Intan, kawin di desa Wa’ai dan seorang saudaranya yang lain bernama Nyai Mas, kawin di desa Haria. Ikatan pela saudara sekandung, kakak-adik, ini
di Ambon dan Lease disebut pela-gandong,
yang lebih dikenal dengan sebutan gandong
saja. Proses ikatan pela mereka
berpusat dalam janji setia seorang saudara dengan saudara-saudara lainnya
ketika mereka akan berpisah mencari tempat tinggal baru. Di atas janji itu,
dibarengi kerinduan untuk bertemu membuat pertemuan baru yang lebih
mengingatkan mereka tentang janji setia persaudaraan ketika berpisah dulu.
Misalnya ketika saudara tertua Temanole
hendak menetap di Tamilou, bersama kedua adiknya melukai tangan dan meminum
darah bersama, mengatakan janji setia persaudaraan dan dengan tegas mengingatkannya
kepada kedua adiknya Simanole dan Silaloi sebelum keduanya melanjutkan
perjalanan ke tempat tinggal baru mereka masing-masing. Lama berselang,
kerinduan kedua saudara perempuan mereka, Nyai
Intan dan Nyai Mas berujung ke
perjumpaan kembali dengan ketiga saudara laki-laki mereka. Setelah Nyai Intan kawin di desa Wa’ai dengan
Bakarbessi dan Nyai Mas kawin di desa
Haria dengan Manuhuttu, maka terjadi hubungan ikatan pela-gandong di antara desa-desa Tamilou, Sirisori, Hurumuri, Wa’ai
dan Haria. Lima desa ini menjadi satu ikatan pela-gandong. Karena mereka adalah saudara se-gandong, atau sekandung, maka tidak boleh ada kawin di antara
keturunannya. Waktu pembentukan pela-gandong
ini adalah pada masa penjajahan Portugis, yaitu sekitar abad ke-15.
Dieter Bartels menyebut ada tiga jenis pela,[30]
yaitu: pela keras atau pela batu karang, pela tempat sirih (pela
longgar) dan pela gandong. Di Ambon, pela keras juga disebut pela tuni (bahasa Ambon, tuni berarti keras). Berbeda dengan
Bartels, Cooley menyebut hanya ada dua jenis pela[31]saja
yaitu pela batu karang dan pela tempat sirih. Pela-gandong dimasukannya ke dalam ikatan pela keras, sebab di
dalamnya dilarang kawin di antara angota-anggotanya. Uraian pengeleompokkan
berikut adalah menurut Bartels. Pela keras disebut demikian, karena ikatannya
yang sangat keras dengan dasar sumpah yang tidak boleh dilanggar. Inti
ikatannya ada pada minum darah bersama, yang mengikat mereka sebagai saudara.
Darah yang diambil berasal dari mengorbankan salah satu anggota (terutama)
kelompok yang kalah perang. Karena mereka telah menjadi bersaudara, maka tidak
boleh ada perkawinan di antara keturunannya. Masuk dalam ikatan pela ini adalah pela tumpah darah dan pela
batu karang. Pela tumpah darah
terbentuk dari perang antara dua belah pihak yang berakhir dan diikuti dengan
mengorbankan salah satu anggotanya. Darah korban anggota itu diminum oleh
pemimpin dan anggota kedua belah pihak dan ditegaskan dengan sumpah sebagai
saudara di antara keduanya. Pela batu
karang bermula dari bantuan material berupa bantuan ekonomi, tentara dan
peralatan perang. Kuatnya ikatn ini di samakan dengan batu karang, maka
dinamakan pela batu karang.
Pela longgar, disebutkan demikian sebab dasar mengikatnya longgar.
Ikatan pela ini sering juga disebut pela tempat sirih. Disebut begitu sebab
dari proses berjumpa dan ditandai dengan saling mengajukan sirih-pinang dan dimakan, lalu kedua belah pihak sepakat untuk
menjalin ikatan persaudaraan. Di ikatan pela
ini, anggotanya boleh kawin dengan desa pela-nya.
Pela-gandong, yang ikatan pela-nya
karena ada hubungan bersaudara kandung, karena itu dilarang kawin di antara
keturunannya.
Kepustakaan
Alber, Robert. H
1995 Malu,
Sebuah Perspktif Iman, Kanisius, Yogyakarta
Banawiratma, J. B (Ed)
2000
Gereja Indonesia, Qua Vadis ? Hidup Menggereja Kontekstua, Kanisius,
Yogyakarta
Bartels, Dieter
1977 Guarding
The Invisible Mountain : Intervillage Alliance, Religious
Syncretism
and Ethnic Identity Among Ambonese Christian and Moslem in The Moluccas (Tesis Ph. D), Cornel University, New York
Cooley, Frank. L
1962 Ambonese
Adat : A General Description, Yale University, New Haven
1987 Mimbar
dan Takhta ; Hubungan Lembaga-Lembaga Keagamaan dan
Pemerintahan
di Maluku Tengah, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta
Darmaputera, Eka (Ed)
1998 Kontekls
Berteologi Di Indonesi, BPK, Jakarta
Farneubun, Longginus,
2003 Hancurnya Sebuah Kerukunan, Pengaruh
Interpretasi Teologi Terhadap Konflik Agama (Thesis), UKDW,
Yogyakarta
Hubert, Th. Th. M.Jacobs, S. J
1971 A
Treatise On The Moluccas, Arti Grafiche Citta Di Castello, St. Louis
Jensen, Adolf
1963 Myth
and Cult Among Primitive Peoples, Univ. Chicago Press, Chicago
Keuning, J
1973 Sejarah
Ambon Sampai Pada Akhir Abad Ke-17, Bhratara, Jakarta
Leirissa, Richard
1975 Maluku
Dalam Perjuangan Nasional Indonesia, Lembaga Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, Jakarta
Levi-Strauss, Claude
1967 The
Elementary Structures of Kinship, Beacon Press, Boston
Ngelow, Zakaria. J
1993 Kekristenan
dan Nasionalisme : Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan
Pergerakan
Nasional Indonesia 1900-1950, BPK,
Jakarta
Ohoitimur, J
1983 Beberapa
Sikap hidup Orang Kei Antara ketahanan Diri Dan Proses
Perubahan (Tesis) Sekolah Tinggi Seminari, Pineleng-Menado
Redfield, Robert
1953 The
Primitive World and Its Transformation, Cornel Univ. Press, New York
Schreiter, Robert. J
1993 Rancang
Bangun Teologi Lokal, BPK, Jakarta
Singgih, E. Gerrit
2000 Berteologi
Dalam Konteks, Kanisius, Ygyakarta
2004 Mengantisipasi
Masa Depan, Berteologi Dalam Konteks Di Awal Milenium III BPK, Jakarta
Sitompul, A. A
1974 Pengendalian
Diri Menurut Amzal Sulaiman Dan Raja-Raja Mesir Purbakala BPK, Jakarta
Subagya, Rahmat
1979 Agama
dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia, Nusa Indah, Jakarta
Van Wouden, F. A. E
1985 Klen,
Mitos dan Kekuasaan, Struktur Sosial
Indonesia Bagian Timur, Grafiti Press,
Jakarta
Von Rad, Gerhard
1972 Wisdom
In Israel, SCM Press, London
Catatan akhir
[1] Cooley 1987 halaman 276-279
[2] Masyarakat asli Maluku Tengah,
Ambon dan Lease, berasal dari orang alifuru, yang
aslinya berdiam di daerah pegunungan di pulau Seram. Tahun 1546 ketika Xaverius
berkunjung ke pulau Ambon penduduk di desa-desa di teluk Ambon itu orang alifuru. Pulau Seram menjadi penting
karena ia sering disebutkan sebagai pusat asal usul orang Maluku Tengah, Ambon
dan Lease. Ia disebut Seran, Tanah Besar atau Nusa Ina atau Pulau Ibu.
Manusama menyebut bahwa sebutan pulau Seram sebagai Tanah Besar lebih banyak dikenal. Nusa Ina adalah sebutan dalam bahasa tanah, atau bahasa tua lokal
pulau Seram, sedangkan sebutan Seran
hanya dipakai oleh sebagian kecil warga di pesisir selatan pulau Seram, yaitu
dari Elpaputih sampai Werinama (Manusama,
dalam Abdurrahman 1973:14-16).
[3] Sedubun 2012,
halaman 177-179
[4] Wawancara dengan Pdt. Angky
Lesnussa, tanggal 12 Agustus 2014
[5] Wawancara
dengan Pdt. Vecky Lesbata, 14 November 2012.
[6] Wawancara dengan Pdt. Angky
Lesnussa, tanggal 12 Agustus 2014
[8] Sedubun 2011 dalam, h
[9]
Wawancara dengan Pdt. M. Waitau, Juni 2009.
[10] Sedubun menyebutnya sistem nilai, lihat Sedubun, 2012
[12] Yohanes Ohoitimur 1983 halaman
98-99
[13] Bnd. von Rad 1970 halaman 53-55 dan halaman 186-189
[14] Laksono-Topatimasang 2004
halaman 7
[17] Sitompul 1974, halaman7
[18] Von Rad 1972 halaman 54-55
[20] Ayah saya adalah
seorang Guru-Jemaat (Belanda-Inlandsleraar),
yang bertugas ganda yaitu melayani sebagai pendeta dan sekaligus juga mengajar
di sekolah sebagai Guru di Jemaat atau desa tempat ia ditugaskan.
[21] Wawancara 12
September 2009 dengan ‘Herodes’ seorang tokoh Katolik dari desa Langgur dan
keterangan yang sama juga disebutkan oleh Djafar, seorang tokoh Muslim dari
Tual.
[22] Wawancara
dengan Esau “Batrei” Masbait, di Warbal, tanggal 6 Juni 2009.-
[23] Pengertian Maluku Tengah
mencakup pulau Ambon, pulau-pulau Lease dan Seram bagian depan. Seluruh wilayah
ini menmgenal pela sebagai pengikat
hidup orang basudara.
[24] Sresmann 1923 halaman 417.
[25] Draabe 1932 : 13 dan 43
[26]
Seram Bagian Depan adalah mencakup wilayah Kecamatan-Kecamatan di Kabupaten
Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Barat.
[27] Hubert Th & M Jacobs, S.J
1971 halaman 113-115 dan halaman 121-129
[28] Leirissa 1975 halaman 3-5; 33-40
[29] Idem, bandingkan Leirissa 1975:
6-9
[30] Bartels 1977 halaman 181-190
[31] Cooley 1962 halaman 72-74
Pustaka:
Nicodemus
Sedubun: Ain Ni Ain Mengelola
Hubungan Kristen-Islam Di Maluku Tenggara, Disertasi, UKDW-Yogyakarta 2012
Nicodemus
Sedubun; Sebuah Pembelajaran Mengenai Perdamaian Antar Agama, Islam-Kristen, di
Tanimbar
Utara, dalam Hendriks I. W. J,
Elifas T. Maspaitella, Rudy Rahabeat : Kemurahan
Allah Yang Mengamuni, Ambon 2008, PPS AK, Fak. Filsafat UKIM
Ambon, 10 Desember 2014