Selasa, 16 Desember 2014

BIARLAH GEREJA MENJADI GEREJA[1]



Oleh: Nick Sedubun

Pengantar
            Judul materi diskusi ini, Biarlah Gereja Menjadi Gereja, dapat menampilkan sikap dan pemahaman tersendiri; dapat negatif dan dapat juga positif. Sisi negatif akan menampilkan permahaman tertutup tentang Gereja sebagai sebuah lembaga pelayanan rohani yang Tuhan Yesus utus ke dalam dunia. Di lain pihak, sisi positif akan menonjolkannya sebagai representasi keselamatan Tuhan bagi semua manusia. Lebih jauh lagi tiap-tiap orang dapat juga mengembangkan banyak uraian mengenainya, tergantung dari sudut mana ditelaah. Untuk maksud diskusi dari judul di atas, saya lebih mengendors Gereja yang apa adanya sebagaimana yang saya ketahui ditambah beberapa perspektif terkait konteks Gereja Protestan Maluku (GPM). Untuk maksud itu, materinya diurai dalam sistematika sebagai berikut:
-          Pengantar
-          Gereja sebagai pusat Ibadah
-          Gereja sebagai persekutusan orang basudara di Maluku
-          Wacana - diskusi

Gereja sebagai pusat Ibadah
Gereja (ecclesia) dalam Perjanjian Baru adalah sekelompok orang yang dipanggil oleh Roh Kudus untuk menyaksikan Kabar Sukacita tentang kasih dan keselamatan Tuhan kepada manusia lain di dunia (Kis. 2;1-13). Mereka adalah sekelompok orang yang memiliki persekutuan yang indah (Kis. 2:41-47; 4:32-37). Dalam Perjanjian Baru Gereja bukan suatu bangunan gedung atau sistem organisasi melainkan sekelompok ummat Allah, tubuh Kristus dan persekutuan yang sesungguhnya dalam Tuhan. Yang terpenting bagi orang Kristen selaku anggota Gereja, adalah hubungannya dengan Yesus Kristus sebagai Kepala (Efesus 4: 12, 15-16). Mereka adalah bagian utuh dari satu persekutuan orang percaya.  
Gereja sebagai pusat Ibadah, menunjuk kepada peran dan fungsinya sebagai pusat pelayanan. Dalam pemahaman Perjanjian Lama (PL) istilah ibadah dalam bahasa Ibrani disebut avoda, sedangkan dalam Perjanjian Baru (PB) bahasa Yunani, disebut latreia. Istilah avoda merujuk kepada ibadah di kuil, Bait Allah atau Sinagoge dan khusus lebih mengarah dalam hal berdoa (Hastings 1955:527). G. Riemer (1995:52) mengatakan bahwa dalam PB ada tiga kata Yunani mengenai ibadah yaitu:  leiturgia (λειτουργια, Kis.13:2), beribadah kepada Allah, latreia (λατρεια, Roma 12:1), mempersembahkan seluruh tubuh dan thereskeia (θερησκεια, Yak.1:27), pelayanan kepada orang yang dalam kesusahan. Dengan demikian, ibadah adalah avoda atau latreia yang adalah suatu pelayanan yang dipersembahkan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah; tidak hanya dalam arti ibadah di Gereja (berdoa), tetapi juga dalam arti pelayanan kepada sesama (Luk.10:25; Mat.5:23, Yoh.4:20-24, Yak.1:27; lihat Douglas 2004:409).
Terdapat istilah Ibrani lain yang banyak kali salah dipahami berkaitan dengan ibadah yaitu kata abodah. Kata ini berasal dari pengertian kata kerja abad, kata bendanya adalah abodah. Kata ini berhubungan dengan ebed, artinya pelayan, budak. Kata abad (Kel 5:15; 2 Ta 2:18) dan abodah (Kel 5:9, 11; Neh 3:5). Istilah abodah dikenakan juga untuk kerja orang Lewi (Kel 38:21; Bil 4:23-47). Ke dua kata abad dan abodah menunjuk kepada pengertian yang sama, yaitu melayani, suatu pelayanan yang ditujukan kepada seseorang yang statusnya lebih tinggi. Kerja harus dipertanggung-jawabkan kepada Allah Sang Pencipta atau kerja adalah ibadah yang harus dilakukan di hadapan Allah. Karena semuanya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Dengan demikian istilah abodah mengandung makna pelayanan. Sesungguhnya kerja bukanlah hal yang lebih rendah dari pelayanan yang dilakukan dalam Gereja dan juga di luar. Sebab motivasi utama kerja adalah melayani Tuhan Allah (Mat. 25:31-46).
Dalam PL, dilarang menerima pemberian sesen pun dari orang lain tanpa bekerja sesuatu padanya. Seorang Rabi Yahudi sama kedudukannya dengan seorang dosen di perguruan tinggi; ia harus menguasai suatu bidang pekerjaan yang dilakukannya dengan tangannya supaya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Tidak heran, ada rabi yang menjadi tukang jahit, tukang sepatu, tukang cukur, atau tukang roti dan juga menjadi aktor. Bagi orang Yahudi, bekerja adalah kehidupan. Jadi, semua jenis pekerjaan yang dikaruniakan Allah kepada seseorang, harus diterima dengan ucapan syukur tanpa harus menjadi irihati berbanding pekerjaan yang lebih banyak menghasilkan uang.
Gereja sebagai persekutuan orang basudara
Saya bertanya kepada beberapa orang Pendeta dan anggota Jemaat tentang Gereja. Maksudnya supaya mendapatkan gambaran pemahaman sebagai fakta konteks umat. Seorang awam PNS menyebut: “Gereja adalah orang yang mengaku Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat dunia.”[2] Sumber lain seorang Pendeta mengatakan bahwa: “Gereja artinya manusia yang dipanggil dari dunia yang gelap masuk ke dalam dunia yang terang.”[3] Seorang awan, pekerja lepas, menyebut: “Gereja artinya persekutuan orang percaya.”[4] Seorang kepala SD menyebut: “Gereja adalah orang percaya atas kebenaran Injil dan siap menerima apapun konsekuensi imannya.”[5]
Jika ditelaah, respons para penanggap di atas banyak menekankan tentang aspek rasa keterpanggilan, inner sense of calling, yang menekankan kepada hubungannya dengan Tuhan atau iman yang spiritualis dan “mengabaikan” iman yang kontekstual. “Tanpa sadar” penanggap lepas dari ruang nyata lingkup interaksi hidupnya pada konteks gumulnya. Menurut saya, bagi umat Gereja Protestan Maluku (GPM), terdapat dua “sahabat” dalam pelayanannya[6] yaitu adat dan Islam. Sejak Gereja Katolik kemudian Protestan masuk di Maluku, adat telah menjadi “sahabat”nya. Dari dokumen-dokumen tertulis, orang dapat menjelajah dan menguak fakta interaksi dengan berbagai sikap dan perlakuan Gereja terhadap adat. Di satu sisi ada sikap konstruktif yang Gereja buat bagi pengembangan pelayanan. Namun sikap destruktif dilakukan Gereja terhadap berbagai unsur terkait adat. Salah satu di antaranya adalah hilangnya bahasa daerah di jemaat-jemaat di pulau Ambon dan pulau-pulau Lease.
Dengan Islam interaksi tampak dari lebih banyak sikap kurang terbuka bahkan oposisi. Menurut saya, ada unsur relasional mendasar yang dapat menjadi “tali penghubung” Gereja dengan dua “sahabat”-nya itu. Unsur itu adalah kearifan lokal, yang tersebar di semua wilayah pulau-pulau tempat hidup umat GPM. Beraneka bentuk dan hikmat dalam kearifan lokal telah teruji dalam interaksi baik di antara Gereja dengan masyarakat adat dan demikian juga dengan Islam. Mengapa kearifan lokal mampu menjadi penghubungnya? Sebab kandungan nilai hikmatnya bukan semata-mata pada perintah tetapi pada rasa hati yang berbicara dan kemudian diteryuskan dengan melaksanakan perintahkat yang tampil dibaliknya. Itulah the core of loco-wisdom, inti hikmat kearifan lokal (lihat von Rad 1972:53-55; 186-189).
Loco-wisdom yang tersebar luas, kaya dan menyatukan itu bersimpul dalam satu kata hikmat bagi orang Maluku, yaitu hidup sebagai orang basudara. Ada pela  di Ambon, Lease dan Maluku Tengah; kai-wait di pulau Buru; ain ni ain, lar ni baba wer ni soso di Kei-Maluku Tenggara; bela, tarfai, jabu di pulau Aru, fangnea kidabela di Tanimbar. Di lokal desa-desa pun tersebar banyak sekali loco-value system, sistem nilai lokal; ada kensa fa’ak di desa-desa di Kei, ada nyolia di desa Emplawas di pulau Babar, ada badati di hamparan desa-desa di pulau Seram dan Ambon-Lease dan seterusnya.
Wacana-Diskusi
            Terdapat banyak soal menyangkut Biarlah Gereja menjadi Gereja. Namun menurut saya, sebaiknya didiskusikan dua pertanyaan saja:
1.      Bagaimana menghidupkan Gereja sebagi pusat ibadah bagi kita selaku umat GPM?
2.      Sejauhmana kearifan lokal Maluku telah Gereja pakai sebagai media “bergaul” dengan dua “sahabat”-nya adat dan Islam, sebagi upaya berteologi?
Syalom! Selamat berdiskusi!
Ambon, December 17, 2014/NS
Pustaka
1.        Dillistone F. W, The Power of Symbols, London, SCM Press 1986
2.        Douglas J.D. (ed.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini jilid I, Jakarta, Komunikasi Bina Kasih 2004
3.        Hall Edward. T, The Silent Language, New York, FWL 1959
4.        Hastings James, Encyclopedia of Relegion and Ethics vol.29, New York, CSS  1955
5.        Riemer  G, Cermin Injil, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih 1955
6.        Subagya Rachmat, Agama dan Alam Kerohanian Asli Indonesia, Jakarta 1979, CLC
7.        Timo, Eben Nuban, Sidik Jari Allah Dalam Budaya, Maumere, Ledalero 2005
8.        von Rad,  Gerhard, Wisdom in Israel, London, SCM Press 1970
9.        Parapally Jacob Parappally MSFS & Fuelyn Mondeira SC, Hope at The Down of a New Century, Bengalore, Darmaran Publication, 2000


[1] Bahan ini disampaikan dalam diskusi para Dosen Fakultas Teologi UKIM menjelang 80 tahun usia Gereja Protestan Maluku (GPM), 17 December, 2014
[2] Wawancara dengan LM, December 16, 2014
[3] Wawancara dengan HM, December 11, 2014
[4] Wawancara dengan CL, December 14, 2014
[5] Wawancara dengan RR, December 13, 2014
[6] Lihat www.ohoi-ra.blogspot.com, Nick Sedubun, Tantangan GPM, dikutip Decermber 17, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar