Pengantar
Judul
materi diskusi ini, Biarlah Gereja
Menjadi Gereja, dapat menampilkan sikap dan pemahaman tersendiri; dapat
negatif dan dapat juga positif. Sisi negatif akan menampilkan permahaman
tertutup tentang Gereja sebagai sebuah lembaga pelayanan rohani yang Tuhan Yesus
utus ke dalam dunia. Di lain pihak, sisi positif akan menonjolkannya sebagai
representasi keselamatan Tuhan bagi semua manusia. Lebih jauh lagi tiap-tiap
orang dapat juga mengembangkan banyak uraian mengenainya, tergantung dari sudut
mana ditelaah. Untuk maksud diskusi dari judul di atas, saya lebih mengendors Gereja yang apa adanya
sebagaimana yang saya ketahui ditambah beberapa perspektif terkait konteks
Gereja Protestan Maluku (GPM). Untuk maksud itu, materinya diurai dalam
sistematika sebagai berikut:
-
Pengantar
-
Gereja sebagai pusat Ibadah
-
Gereja sebagai persekutusan orang basudara di Maluku
-
Wacana - diskusi
Gereja sebagai
pusat Ibadah
Gereja
(ecclesia) dalam Perjanjian Baru adalah
sekelompok orang yang dipanggil oleh Roh Kudus untuk menyaksikan Kabar Sukacita
tentang kasih dan keselamatan Tuhan kepada manusia lain di dunia (Kis. 2;1-13).
Mereka adalah sekelompok orang yang memiliki persekutuan yang indah (Kis.
2:41-47; 4:32-37). Dalam Perjanjian Baru Gereja bukan suatu bangunan gedung
atau sistem organisasi melainkan sekelompok ummat Allah, tubuh Kristus dan
persekutuan yang sesungguhnya dalam Tuhan. Yang terpenting bagi orang Kristen
selaku anggota Gereja, adalah hubungannya dengan Yesus Kristus sebagai Kepala
(Efesus 4: 12, 15-16). Mereka adalah bagian utuh dari satu persekutuan orang
percaya.
Gereja
sebagai pusat Ibadah, menunjuk kepada peran dan fungsinya sebagai pusat
pelayanan. Dalam pemahaman Perjanjian Lama (PL) istilah ibadah dalam bahasa
Ibrani disebut avoda, sedangkan dalam Perjanjian Baru (PB) bahasa
Yunani, disebut latreia. Istilah avoda
merujuk kepada ibadah di kuil, Bait Allah atau Sinagoge dan khusus lebih
mengarah dalam hal berdoa (Hastings
1955:527). G. Riemer (1995:52)
mengatakan bahwa dalam PB ada tiga kata Yunani mengenai ibadah yaitu: leiturgia
(λειτουργια,
Kis.13:2), beribadah kepada Allah, latreia
(λατρεια, Roma 12:1),
mempersembahkan seluruh tubuh dan thereskeia
(θερησκεια, Yak.1:27),
pelayanan kepada orang yang dalam kesusahan. Dengan demikian, ibadah adalah avoda
atau latreia yang adalah suatu pelayanan yang dipersembahkan sebagai
bentuk ketaatan kepada Allah; tidak hanya dalam arti ibadah di Gereja (berdoa),
tetapi juga dalam arti pelayanan kepada sesama (Luk.10:25; Mat.5:23,
Yoh.4:20-24, Yak.1:27; lihat Douglas
2004:409).
Terdapat
istilah Ibrani lain yang banyak kali salah dipahami berkaitan dengan ibadah
yaitu kata abodah. Kata ini berasal
dari pengertian kata kerja abad, kata bendanya adalah abodah.
Kata ini berhubungan dengan ebed,
artinya pelayan, budak. Kata abad (Kel
5:15; 2 Ta 2:18) dan abodah (Kel 5:9,
11; Neh 3:5). Istilah abodah dikenakan juga untuk kerja orang Lewi (Kel 38:21;
Bil 4:23-47). Ke dua kata abad dan abodah menunjuk kepada pengertian yang
sama, yaitu melayani, suatu pelayanan yang ditujukan kepada seseorang yang
statusnya lebih tinggi. Kerja harus dipertanggung-jawabkan kepada Allah Sang
Pencipta atau kerja adalah ibadah yang harus dilakukan di hadapan Allah. Karena
semuanya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Dengan demikian istilah abodah mengandung makna pelayanan.
Sesungguhnya kerja bukanlah hal yang lebih rendah dari pelayanan yang dilakukan
dalam Gereja dan juga di luar. Sebab motivasi utama kerja adalah melayani Tuhan
Allah (Mat. 25:31-46).
Dalam
PL, dilarang menerima pemberian sesen pun dari orang lain tanpa bekerja sesuatu
padanya. Seorang Rabi Yahudi sama kedudukannya dengan seorang dosen di
perguruan tinggi; ia harus menguasai suatu bidang pekerjaan yang dilakukannya
dengan tangannya supaya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Tidak heran,
ada rabi yang menjadi tukang jahit, tukang sepatu, tukang cukur, atau tukang
roti dan juga menjadi aktor. Bagi orang Yahudi, bekerja adalah kehidupan. Jadi,
semua jenis pekerjaan yang dikaruniakan Allah kepada seseorang, harus diterima
dengan ucapan syukur tanpa harus menjadi irihati berbanding pekerjaan yang
lebih banyak menghasilkan uang.
Gereja
sebagai persekutuan orang basudara
Saya
bertanya kepada beberapa orang Pendeta dan anggota Jemaat tentang Gereja. Maksudnya
supaya mendapatkan gambaran pemahaman sebagai fakta konteks umat. Seorang awam PNS
menyebut: “Gereja adalah orang yang
mengaku Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat dunia.”[2] Sumber
lain seorang Pendeta mengatakan bahwa: “Gereja
artinya manusia yang dipanggil dari dunia yang gelap masuk ke dalam dunia yang
terang.”[3]
Seorang awan, pekerja lepas, menyebut: “Gereja
artinya persekutuan orang percaya.”[4]
Seorang kepala SD menyebut: “Gereja
adalah orang percaya atas kebenaran Injil dan siap menerima apapun konsekuensi
imannya.”[5]
Jika
ditelaah, respons para penanggap di atas banyak menekankan tentang aspek rasa
keterpanggilan, inner sense of calling,
yang menekankan kepada hubungannya dengan Tuhan atau iman yang spiritualis dan
“mengabaikan” iman yang kontekstual. “Tanpa sadar” penanggap lepas dari ruang
nyata lingkup interaksi hidupnya pada konteks gumulnya. Menurut saya, bagi umat
Gereja Protestan Maluku (GPM), terdapat dua “sahabat” dalam pelayanannya[6] yaitu
adat dan Islam. Sejak Gereja Katolik kemudian Protestan masuk di Maluku, adat
telah menjadi “sahabat”nya. Dari dokumen-dokumen tertulis, orang dapat
menjelajah dan menguak fakta interaksi dengan berbagai sikap dan perlakuan Gereja
terhadap adat. Di satu sisi ada sikap konstruktif yang Gereja buat bagi
pengembangan pelayanan. Namun sikap destruktif dilakukan Gereja terhadap
berbagai unsur terkait adat. Salah satu di antaranya adalah hilangnya bahasa
daerah di jemaat-jemaat di pulau Ambon dan pulau-pulau Lease.
Dengan
Islam interaksi tampak dari lebih banyak sikap kurang terbuka bahkan oposisi.
Menurut saya, ada unsur relasional mendasar yang dapat menjadi “tali
penghubung” Gereja dengan dua “sahabat”-nya itu. Unsur itu adalah kearifan lokal, yang tersebar di semua wilayah
pulau-pulau tempat hidup umat GPM. Beraneka bentuk dan hikmat dalam kearifan
lokal telah teruji dalam interaksi baik di antara Gereja dengan masyarakat adat
dan demikian juga dengan Islam. Mengapa kearifan lokal mampu menjadi
penghubungnya? Sebab kandungan nilai hikmatnya bukan semata-mata pada perintah
tetapi pada rasa hati yang berbicara dan kemudian diteryuskan dengan
melaksanakan perintahkat yang tampil dibaliknya. Itulah the core of loco-wisdom, inti hikmat kearifan lokal (lihat von Rad 1972:53-55; 186-189).
Loco-wisdom
yang tersebar luas, kaya dan menyatukan itu bersimpul dalam satu kata hikmat
bagi orang Maluku, yaitu hidup sebagai orang
basudara. Ada pela di Ambon, Lease dan Maluku Tengah; kai-wait di pulau Buru; ain ni ain, lar ni baba wer ni soso di Kei-Maluku Tenggara; bela, tarfai, jabu di pulau
Aru, fangnea kidabela di Tanimbar. Di
lokal desa-desa pun tersebar banyak sekali loco-value
system, sistem nilai lokal; ada kensa
fa’ak di desa-desa di Kei, ada nyolia
di desa Emplawas di pulau Babar, ada badati
di hamparan desa-desa di pulau Seram dan Ambon-Lease dan seterusnya.
Wacana-Diskusi
Terdapat banyak soal menyangkut
Biarlah Gereja menjadi Gereja. Namun menurut saya, sebaiknya didiskusikan dua
pertanyaan saja:
1. Bagaimana
menghidupkan Gereja sebagi pusat ibadah bagi kita selaku umat GPM?
2. Sejauhmana
kearifan lokal Maluku telah Gereja
pakai sebagai media “bergaul” dengan dua “sahabat”-nya adat dan Islam, sebagi
upaya berteologi?
Syalom! Selamat berdiskusi!
Ambon, December 17, 2014/NS
Pustaka
1.
Dillistone F. W, The Power of Symbols, London, SCM Press 1986
2.
Douglas J.D. (ed.), Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini jilid I, Jakarta, Komunikasi Bina Kasih 2004
3.
Hall Edward. T, The Silent Language, New York, FWL 1959
4.
Hastings
James, Encyclopedia of Relegion and Ethics vol.29, New York,
CSS 1955
5.
Riemer G, Cermin Injil, Jakarta,
Yayasan Komunikasi Bina Kasih 1955
6.
Subagya
Rachmat, Agama dan Alam Kerohanian Asli
Indonesia, Jakarta 1979, CLC
7.
Timo,
Eben Nuban, Sidik Jari Allah Dalam
Budaya, Maumere, Ledalero 2005
8.
von Rad, Gerhard, Wisdom
in Israel, London, SCM Press 1970
9.
Parapally
Jacob Parappally MSFS & Fuelyn Mondeira SC, Hope at The Down of a New Century, Bengalore, Darmaran Publication,
2000
[1] Bahan ini
disampaikan dalam diskusi para Dosen Fakultas Teologi UKIM menjelang 80 tahun
usia Gereja Protestan Maluku (GPM), 17 December, 2014
[2] Wawancara dengan
LM, December 16, 2014
[3] Wawancara dengan
HM, December 11, 2014
[4] Wawancara dengan
CL, December 14, 2014
[5] Wawancara dengan
RR, December 13, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar