Kearifan
Lokal Sebagai Sistem Nilai Hidup Masyarakat
Kearifan
lokal terdiri dari dua kata, yaitu : kearifan (wisdom) dan lokal (local); atau
dalam bahass Inggeris kearifan lokal disebut local wisdom. Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Shadily, lokal berarti setempat,
sedangkan wisdom berarti arif, atau kearifan, yang
artinya sama dengan kebijaksanaan. Dengan demikian kearifan dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal) yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Yohanes Manhitu (2007) mengatakan bahwa kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal berupa tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup. Misalnya ungkapan alon-alon waton kelakon (biar lambat asal tujuan tercapai), dalam budaya
Jawa. Atau semboyan marsiadap
ari (saling
membantu dalam melakukan suatu pekerjaan), dalam budaya Batak ; masohi (kerja
gotong-royong) di Maluku Tengah; maren atau hamaren (tolong menolong) di Maluku Tenggara. Ada juga kearifal lokal
yang bersendikan agama di Minangkabau : adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah atau adat bersendikan agama
dan agama bersendikan Al-Qur’an (Abdullah (Ed) 2008:75-76); agam ni bavilun adat atau agama berlandaskan adat
di masyarakat Kei di Maluku Tenggara
(Laksono-Topatimasang 2004:99).
Dalam
pemahaman sehari-hari,
kearifan lokal sering dipahami sama dengan falsafah hidup, pandangan hidup
dan amsal hidup, yang berlaku di masyarakat adat. Jika dilihat dari
strukturnya dalam tatanan norma hukum adat, maka akan nampak perbedaan di
antara falsafah hidup, pandangan hidup dan amsal atau amsal lokal.
Menurut
saya, keariafan lokal dapat dipahami dari dua sisi, yaitu: kearifan lokal sebagai simbol material dan kearifan lokal sebagai simbol konseptual. Pertama, Kearifan
lokal sebagai simbol material
menunjuk pada lambang benda yang konkrit atau nyata. Simbol-simbol itu ditemukan dalam tanda-tanda
kebendaan yang muncul dalam bentuk gambar, lukisan atau ukiran, pada bentuk
bagian bangunan tua, pilar-pilar dan dinding-dinding masjid, gereja atau baileo,[2]
di gapura desa, gambar-gambar atau motif di kain tenun, lukisan tua, gerabah,
di perahu-belang (Kei, Aru, Tanimbar), ukiran pada alat-alat musik tradisional (tifa, suling), alat-alat perang
tradisional (ulu-gagang parang, tangkai tombak, batang busur, anak panah, perisai-salawaku), motif
di keranjang atau bakul, tikar, dll. Pola simbol
material juga bisa berupa garis atau lingkaran dengan
bentuk tertentu. Tanda-tanda dalam bentuk gambar, lukisan atau ukiran itu
mengandung pemahaman yang dalam tentang kehidupan dari masyarakat atau suku
pemiliknya.
Di masyarakat Maluku, salah satu bentuk simbol material itu
ada dalam tanda untuk pelestarian sumber daya alam yang disebut sasi (Kisya 1993; Cooley
1987:189-192; Yunus & Suradi (Ed)
1985:187-199). Di masyarakat Kei di
Maluku Tenggara, ada juga sasi; yang dalam bahasa Kei disebut hawear, berupa anyaman daun
janur secara terbalik dari ujung daun ke pangkal daunya. Ia tidak saja dipakai
sebagai simbol dalam batasan pelestarian hasil bumi, laut dan darat. Tetapi
juga dalam menjamin sebuah hubungan hidup antara masyarakat beberapa desa yang
bertikai atau berperang. Contoh, pemancangan hawear ketika mereka menyatakan berdamai dari ‘perang agama’
di Konflik Maluku Tenggara 1999-2000, di lapangan Lodarel, Tual, tanggal 24
Januari 2000 (Sedubun 2001:28-32).
Kedua, kearifan lokal sebagai simbol konseptual; yang menunjuk pada lambang benda yang abstrak,
atau benda tidak nyata, berupa
konsep,
ide, pikiran atau pandangan hidup.
Ia muncul dalam rumusan kata-kata atau kalimat-kalimat, yang menonjol dalam
interaksi hidup sehari-hari masyarakat. Kata-kata atau kalimat-kalimat itu
menjadi cerminan dari arti hikmat dalam pandangan atau pemahaman yang tersurat
dalam sumber hukum dari kearifan lokal di maksud. Intensitas pemakaian kata-kata atau
kalimat-kalimat itu dalam hubungan hidup masyarakat sehari-hari, yang disebut
sebagai amsal-amsal lokal. Sebagai contohnya : ain ni ain, maren dan lar ni baba wer ni
soso di masyarakat Kei-Maluku
Tenggara. Kearifan lokal sebagai simbol
konseptual tersebar luas di Maluku.
Sebagai contoh di Maluku Tengah, Ambon dan Lease dikenal pela dan masohi; kai wai di
masyarakat pulau Buru; kidabela di masyarakat Tanimbar, kalwedo di masyarakat pulau-pulau Babar, Leti, Moa dan Lakor;
bela
di masyarakat kepulauan Aru; teabel di masyarakat Kei, di Maluku Tenggara (Renwarin 1986)
dan masih banyak lagi yang bisa dijumpai di desa-desa yang tersebar luas di
Maluku. Ia juga ditemukan dalam amsal-amsal lokal, berupa pantun-pantun tua, nyanyian tanah,[3] tari-tarian dan juga simbol gerak tubuh. Kesemuanya turut mewarnai pandangan hidup (world view)
masyarakat dan menjadi pedoman hidup mereka. Dengan berpantun, atau menyanyikan nyanyian
tanah atau juga diselingi dengan
tarian adat, di situ terdengar isi amsal-amsal kehidupan tentang bagaimana mengolah kebun, mencari
di laut, mengatur rumah tangga, berusaha keras demi tanggungjawab atas
keturunan, mengasihi, melindungi, menolong, tidak menindas, sedia mengampuni
dan masih banyak nilai-nilai ideal tentang hidup yang lain.
Sistem nilai menekankan pada peran dan fungsi
sebuah bentuk kearifan lokal dalam menghubungkan aktifitas hidup masyarakat. Sebagai
sistem nilai, kearifan lokal berperan sebagai alat penjabaran hukum dan
tata nilai interaksi dalam masyharakat. Fungsinya adalah pengatur, pengendali,
pengarah dan penentu pola tingkah laku dan interaksi di antara
masyarakat pemiliknya. Karena itu, kearifan lokal dalam posisinya sebagai sistem nilai merupakan sumber
inspirasi bagi sebuah hukum adat. Dari situ kita dapat memehami bahwa ada
banyak bentuk kearifan lokal yang menjadi sumber inspirasi hukum adat dalam
mengatur hidup masyarakat. Ketika kita membicarakannya sebagai sebuah sistem nilai,
maka yang ditonjolkan adalah peran dan fungsi-nya. Selanjutnya
saya menyebut ain ni ain adalah sebuah sistem nilai yang menghubungkan
interaksi masyarakat di Maluku Tenggara.
Sistem Nilai Ain Ni Ain di Maluku Tenggara
Sistem nilai adat lokal, yang mengikat dan
menghubungkan hidup kekerabatannya, di Kei disebut ain ni
ain. Secara lengkap rumusannya adalah
: ain ni ain, vuut ain mehe ngifun, manut
ain mehe tilor (Laksono 1989).
Terjemahan harafiahnya adalah ain ni ain berarti satu punya satu, vuut ain mehe ngifun berarti ikan punya telur, manut ain mehe tilor berarti unggas (juga) punya telur. Artinya, (orang Kei) yang satu
memiliki (orang Kei) yang lain
seperti ikan yang berasal dari satu telur (dan) seperti (juga) unggas yang berasal
dari satu telur. Ia mengartikan
tentang hubungan hidup mereka yang saling memiliki, karena mereka semua
berasal dari satu sumber (telur dari
satu ikan/ unggas). Kata saling memiliki mengartikan bukan sebagai pemilikan pribadi, ownership. Tetapi
pemilikan persaudaraan, brotherhood, yang menekankan pada hubungan di antara mereka.
Hubungan hidup persaudaraan itu penting karena mereka berasal dari satu sumber.
Sistem nilai, ain ni
ain menjadi sumber inspirasi bagi
Hukum Adat Kei, yaitu Hukum Adat Larvul Ngabal, dan penerapan pelaksanaannya dalam masyarakat.
Ketika seseorang mempelajari Hukum Adat Larvul
Ngabal, maka ia akan menemukan bahwa rumusan ayat-ayatnya
tidak menyinggung secara harafiah tentang sistem nilai ain ni ain.
Dinamikanya tampak dalam interaksi sosial masyarakat sehari-hari. Di dalam
pemahaman dan pelaksanaan atas Hukum Adat itu, ia mesti mempraktekkannya,
supaya dituntun dan diarahkan oleh semangat dan jiwa untuk membangun hubungan
dengan sesama manusia, alam ciptaan dan termasuk dengan roh-roh leluhur (kosmologi).
Hubungan antara Hukum Adat Larvul Ngabal dengan sistem nilai ain ni
ain terlihat dalam pemahaman dan
pelaksanaan pasal-pasalnya di dalam kehidupan masyarakat Kei.
Jika dilihat sepintas, seakan sistem nilai ain ni ain hanya
lebih dekat ke Hukum Navnev, seperti isi fasal-fasal 1, 2, 3 dan 4 dari Hukum
Adat Larvul Ngabal saja. Dikatakan demikian oleh sebab fasal-fasal itu berhubungan dengan
cita-cita kehidupan sosial masyarakat. Namun, sebenarnya bukan saja dengan Hukum Navnev, tetapi
dengan fasal 5 dan fasal 6, tentang Hukum Hanilit, yang mengatur tentang hukum kesusilaan, bahkan fasal
7 tentang Hukum Hawear Balwirin, yang mengatur hubungan sosial dan etika hidup orang
Kei. Karena itu, sesungguhnya sistem nilai ain ni
ain menjadi sumber inspirasi hidup
dan perilaku orang Kei, yang tercermin dalam seluruh Hukum Adat Larvul Ngabal.
Dalam interaksi hidup di antara orang Kei, akan terlihat hubungannya dengan
masalah-masalah hidup yang dihadapi.
Ohoitimur (1983 :98-99) menyhatakan bahwa Hukum Adat Larvul Ngabal
tidak dikodifikasi. Sekalipun demikian, tetapi ia tetap menjadi dasar perekat
kekerabatan orang Kei. Masyarakat terutama para pemuka adat dan tokoh
masyarakat, sangat mengetahui isi Hukum Adat Larvul
Ngabal itu. Mereka menguasainya, baik
pasal-pasal Hukum Adat maupun sanksi-sanksi berlapis yang terdapat dalam
pasal-pasal Sa Sor Fit. Hal ini terlihat ketika ada pelanggaran yang
dilakukan oleh warga masyarakat dan mesti di atasi melalui sebuah Sidang Adat
untuk menentukan sanksinya. Hukum Adat Larvul
Ngabal biasanya diucapkan dalam
acara-acara adat, seperti pelantikan Rat (Raja) atau Orangkai (Kepala Desa) dan acara adat khusus tertentu.
Nilai-nilai
ideal dalam kandungan Hukum Adat Larvul Ngabal menjadi alat yang berguna bagi masyarakat dalam
membangun hidup yang seimbang dan komunikatif di antara sesama orang Kei dan
dengan lingkungan hidupnya. Alat yang memotivasi hidup berpemahaman dan
berbuat (peran) itu bersumber dari Hukum Adat Larvul
Ngabal, yang kemudian digunakan
(fungsi)
sebagai pengarah, penuntun dan pengayom bagi hidup di lingkungan masyarakat. Di
wilayah dinamis nilai-nilai Hukum Adat Larvul
Ngabal, ia hidup dalam ukuran bijak,
baik dan dapat diterima, atau ia ada dalam sistem nilai lokalnya. Dengan demikian, sistem nilai ain ni ain menjabarkan
peran dan
fungsi
nilai-nilai ideal yang terkandung di dalamnya bagi Hukum Adat Larvul Ngabal
dalam kehidupan orang Kei. Interaksinya berisi sikap dan perilaku hidup yang
berisi kebaikan, bijaksana, menyenangkan dan dapat diterima oleh masyarakat.
Dalam tuntunan sistem nilai itu, ia mampu membedakan manakah perbuatan yang
baik dan menyenangkan sesama masyarakatnya dan manakah yang tidak, yang
bertentangan, merugikan dan membahayakan kehidupan bersama (bnd. von Rad 1970:53-55;186-189).
Contoh
peran sistem nilai ain ni ain dalam kaitan dengan upaya mencapai perdamaian dari
Konflik di Maluku Tenggara di tahun 1999-2000 terlihat dalam peran seorang tua-renta.
Ketika Tim Perdamaian Adat atau Tim Ain Ni Ain tiba di suatu desa Kristen atau Islam, lalu seorang tua-renta
di desa itu diminta oleh Tim untuk menceritakan kisah asal-usul desa atau
kampung, marga, atau menyanyikan nyanyian tanah, atau berpantun adat, lalu ia menasehatkan semua yang hadir dengan
mendengarkan salah satu fasal Hukum Adat Larvul
Ngabal. Pendekatan seperti ini
membuat masyarakat di desa-desa di Maluku Tenggara, Kristen-Islam, sewaktu
mendengar tuturan orang tua-renta itu, langsung menyadari kebaikan apa yang hilang dan
harus segera ditemukan akibat Konflik yang terjadi. Kemdian mereka sepakat
untuk berdamai dan hidup rukun seperti sediakala, sesuai dengan maksud ideal
seperti apa yang ada dalam Hukum Adatnya, yaitu Hukum Adat Larvul Ngabal (Laksono-Topatimasang 2004: 7).
Hal penting lain yang sangat menunjang peran dan
fungsi sistem nilai ain ni ain adalah
masih hidupnya bahasa daerah, bahasa Kei. Ia masih aktif dipakai secara
dinamis oleh masyarakat Kei. Di Kei ada tiga bahasa yang dipakai oleh
masyarakat. Bahasa Kei dikenal dan dipakai oleh semua orang Kei, baik di Kei
Kecil, Kei Besar dan juga sampai ke pulau-pulau yang ada di Kei Kecil. Bahasa
lain adalah bahasa Bandaeli, yang dipakai oleh orang Bandaeli dan orang
Bandaelat. Bahasa lain yang sangat lokal sifatnya adalah bahasa Kur-Mangur,
dipakai oleh orang Kur dan Mangur. Ia hanya mencakup sedikit orang di dua pulau
di Kei Kecil, yaitu pulau Kur dan pulau Mangur.
Selain sistem nilai ain ni
ain, ada juga kata-kata peribahasa
dalam bahasa Kei atau perumpamaan, yang disebut misil-masal, sukat-sarang dan liat-dalil (Renyaan 1974). Misil-masal berarti perumpamaan. Sukat-sarang berarti suatu pernyataan yang mengung-kapkan tentang
kebenaran. Misalnya : karena batas tanah, sanak saudara rela mati. Liat-dalil berarti
kata-kata sinis. Misalnya : membicarakan perilaku orang lain tetapi tidak
secara langsung tertuju kepadanya atau seperti ‘pukul tiang kena tembok.’
Perbendaharaan misil-masal, sukat-sarang dan liat-dalil akan ditemukan dalam isi nasehat atau petuah yang
disampaikan demi pembentukan sikap hidup pribadi atau warga masyarakat umumnya.
Sistem nilai ain ni ain telah terwarisi sejak turun-temurun
dalam masyarakat. Datum hadirnya sampai menjadi bagian mendasar dalam tata interaksi masyarakat Kei,
tidak diketahui secara pasti. Orang Kei mewarisinya dari orangtuanya, dan orangtuanya
mewarisi dari kakek dan para leluhurnya.[4] Sitompul (1974:7), yang
mengupas makna Kitab Amsal dan melihat bahwa ada juga hubungan tertentu dengan tata kehidupan
adat Batak, menyebutkan bahwa kebijaksanaan yang ada di dalam sistem nilai itu merupakan satu bentuk pengetahuan dasar bagi seseorang supaya ia
menguasai hidup, sehingga ia dapat hidup dalam aturan-aturan yang ada di
sekitarnya. Di dalam pengalaman hidupnya di bawah aturan-aturan yang ada itu,
ia membuat kalimat-kalimat sebagai pedoman dan pegangan dalam hidupnya. Von Rad
(1972:54-55), yang menguraikan tentang kebijaksanaan dalam Kitab Amsal, menyatakan bahwa kebijaksanaan yang
terdapat di dalamnya bernuansa artistik dan merupakan kalimat yang
diulang-ulang sebagai ucapan-ucapan pengajaran. Jadi, di dalam kebijaksanaan terkandung kemampuan intelektual seseorang untuk membangun
pemahamannya sendiri.
Sistem nilai yang
dipakai berulang-ulang merupakan simbol makna komunikasi antar orang perorang.
Formulasi isinya terdiri dari kalimat pendek-pendek dan padat. Kata-katanya
digubah sedemikian rupa sehingga ia terdengar bersanjak dan menarik. Sekalipun
susunan kalimatnya pendek-pendek, tetapi ia selalu kena dengan pergumulan hidup
manusia sehari-hari karena dipraktekkan secara terus menerus dalam berbagai
perjumpaan kegiatan hidup masyarakat. Kenyataan ini bisa dilihat dalam susunan
formulasi sistem nilai ain ni ain dalam
kerangka seperti berikut :
Ain -- satu
Ni ain
-- punya satu
Vuut ain mehe ngifun -- ikan punya telur, (dan)
Manut
ain mehe tilor-- unggas
punya telur
Jika susunan formulasinya didengar
sepintas, terutama oleh orang luar, maka ia seakan tanpa makna. Ia melahirkan
banyak pertanyaan dengan sikap negasi dan skeptis, bahkan apatis. Namun, bagi
orang pribumi yang memilikinya, masyarakat Kei, ia dipahami dan sangat dikenal.
Ia adalah bagian mendasar dari hidup mereka. Karena itu ia hanya bisa dipahami
dengan perasaan memiliki. Von Rad (1972:56-57) menyebut perasaan
itu adalah “hati yang paham” atau “hati yang mendengar.” Hati yang mendengar
itu menggambarkan ketaatan kepada tata hukum yang berlaku, sehingga ketaatan
itu menimbulkan kepekaan ke dalam diri sendiri dan kepekaan kepada daerah di
luar.
Dengan
menyanyikan atau mengucapkan sistem nilai ain ni ain,
yang bersangkutan telah menghidupkannya dalam kesadaran dirinya sendiri. Dengan
kata lain, dengan mengucapkan atau membangun sikap dan perbuatan di dalamnya ain
ni ain, vuut ainmehe ngifun,
manut ainmehe tilor, maka yang bersangkutan
sedang memaknakan, merefleksikan, dan membentuk emosinya. Ketika ia
mengucapkannya, maka ia sedang mengaktualisasikan seluruh sikap, ketaatan dan
keterikatannya kepada hukum mereka, yaitu Hukum Adat Larvul
Ngabal, dan sekaligus pula menyatakan keterikatannya
dalam satu keluarga masyarakat Larvul Ngabal
pula.
Dalam hidup
sesehari masyarakat Kei, kadang-kadang sistem nilai ain ni ain muncul
dalam nyanyian sebait yang diulang-ulang ketika petani mengerjakan kebunnya,
yang mengingatkan si petani tentang perlindungan dari "Yang di atas" terhadap
kebunnya dengan mendatangkan hujan yang sangat ia harapkan. Begitu juga dengan
nelayan yang sedang memancing; atau ia muncul dalam duka terlantun mengenang
isteri, anak, atau suami yang telah tiada. Ia muncul dalam bentuk respons atas
kenyataan hidup yang didambakan ada dalam kondisi nyata yang dialami entah
sejahtera, damai, aman, ataukah terkena bencana, semuanya tertuang dan
terlampiaskan di dalamnya.
Saya (Sedubun 2001:42)
punya pengalaman ketika masih ada di Jemaat/desa Wakua,[5]
Aru Tengah, selama tahun 1960 sampai 1966. Di sana alat transportasi ke dan
dari kebun biasanya lewat sungai dengan memakai perahu. Dalam perjalanan pulang
dari kebun ke desa, atau sebaliknya, biasanya petani (peladang) mendayung
perahunya dan menyanyikan lagu tua,
atau nyanyian tanah, dua bait berulang-ulang. Seiring
lajunya biduk berlalu, demikian juga terlantun bait nyanyian tanah itu
didendangkan. Hidup seakan menjadi harapan bermakna seiring dengan desa atau
kebun yang mulai nampak dari jauh kelihatan. Lagu itu dilantunkan dalam tema
harapan, persaudaraan, dan kebaikan lainnya. Oleh karena terlalu sering
mendengar nyanyian tanah itu, maka saya bertanya kepada ayah :
“Papa knapa (mengapa)dorang
(mereka) selalu manyanyi
(menyanyikan) lagu itu trus (terus
menerus, berulang-ulang). Apa dorang
(mereka) seng (tidak) bosan ?" Ayah menjawab :
"Bagi katong (kita) nyanyian itu
membosankan. Tetapi bagi dorang
(mereka) nyanyian itu adalah gambaran harapan semoga Tuhan memberkati kebun
yang menjadi sumber hidupnya.
Pemahaman tentang sistem nilai ain ni ain juga berkaitan dengan hubungan penganutan agama, Kristen-Islam.
Ketika[6]
agama Islam pertama kali datang, ia dibawa oleh para orang tua Kei ke Tual.
Ketika agama Kristen Katolik pertama kali datang, para orang tua Kei membawanya
ke Langgur; dan demikian juga dengan agama Kristen Protestan yang terakhir
datang, ia dibawa oleh para orang tua Kei ke Ta’ar. Para Orangkay di Tual, Langgur dan Ta’ar bersama
seluruh masyarakatnya menerima agama yang dibawa oleh para orang tua Kei itu
dan menganutnya.
Konon pada mula orang Kei memeluk agama pilihannya, penerimaannya
mulai bergerak dan termotivasi dari dalam keluarga-keluarga orang Kei sendiri.[7] Ketika agama-agama Islam, Katolik dan Protestan masuk
dan mulai menyebar di Kei, orangtua Kei menyuruh anak-anaknya secara bebas
memilih agama kesukaannya. Sementara orangtua mereka tetap memeluk agama
sukunya. Satu pesan para orangtua mereka ialah supaya anak-anak dengan pilihan
agama anutannya masing-masing tidak boleh melupakan hubungan erat kekeluargaan
dengan saudara-saudaranya. Kenyataan ini bisa dihubungkan dengan ada orang Kei
yang satu fam yang sama dan bersaudara, tetapi ada yang
Islam, Katolik atau Protestan.
Cita-cita ideal sistem nilai ain ni ain adalah alat pengikat semua orang Kei sebagai orang
basudara. Ketika berhadapan
dengan kenyataan konteks, ia menampilkan bentukan identitas yang selalu
harus diperbarui supaya selaras dan relevan dengan hidup yang
dicita-citakan. Sebab identitas hidup tidak berarti sama dengan serentak
menjadi sama dengan cita-cita ideal sistem nilai bersangkutan. Tetapi identitas
menonjolkan sikap dan perilaku yang dianggap sama atau seakan sama dengan cita-cita ideal sistem nilai itu.
Jadi, dengan memahami atau memiliki sistem nilai ain ni ain tidak serentak hidup menjadi aman, tentram, penuh perspektif ke masa
depan dan komunikatif dengan orang lain. Cita-cita ideal sistem nilai ain ni ain selau berhadapan dengan proses upaya
memahaminya dan memberlakukannya bagi hidup orang Kei. Upaya memahami
nilai-nilai ideal menonjolkan keinginan untuk hidup selaras dan relevan dengan
konteksnya.
Perlu diingat juga bahwa dalam hidup masyarakat pada lokal desa atau
kampungnya, ada juga berbagai sistem nilai lokal dan kebijaksanaan
lokal, yang menjadi norma atau ukuran tata hukum yang memberi perlindungan
dan menjadi alat komunikasi antar masyarakat sedesa atau dengan beberapa desa.
Contoh
berikut perlu disimak :
Angkat
Muka
di Danar
Waktu itu
terjadi perkelahian di antara orang Ohoira dengan orang Danar, ketika ada
pertandingan bola kaki di Danar. Permainan makin keras dan kasar ketika seorang
pemain Danar, karena kalah cepat menghentikan bola, akhirnya menendang kaki
pemain bola orang Ohoira. Pemain Ohoira itu terjerembab jatuh. Di kesempatan
lain pemain bola orang Ohoira mengganjal pemain bola orang Danar dengan keras,
sehingga ia terjungkal dan jatuh. Akhirnya permainan yang keras itu berakhir
dengan kemenangan tuan rumah, kesebelasan Danar.
Di luar
lapangan seorang pemuda Ohoira meneriakkan kemenangan tidak jujur kepada para
suporter tuan rumah. Terjadi kejar-kejaran dan baku pukul di antara penonton
tuan rumah dengan penonton dan beberapa pemain bola orang Ohoira. Dua pemain
bola Ohoira jadi korban pemukulan itu. Perkelahian itu di bawa ke rumah Rat, atau Raja
Danar.
Atas
kejadian itu, Raja Danar memutuskan bahwa “.... yang salah adalah orang Danar.
Sebab mereka tidak sabar menanggapi keluhan anak-anak muda Ohoira yang tidak
puas atas kekalahannya.” Lebih lanjut Raja menegaskan : “Tetapi yang paling
penting dari semua itu, adalah kamu semua ini orang basudara (bersaudara). Main bola ini supaya kamu latih mental
dan rasa hormat-menghormati di antara sudaramu (saudaramu) orang Ohoira, sama seperti mereka
menghormati kita orang Danar.” Kemudian Raja berkata : “….
…jadi, orangtua Danar harus ambil bajuvor (untuk) lap (mengeringkan)
orang Ohoira punya air mata.Orang Danar segera pergi kasi (beri)tahu kamu punya orangtua.” Lalu orangtua dari orang Danar mengambil dua kemeja
baru dan menyangkutkannya di badan dua korban orang Ohoira.
Dua kemeja yang disangkutkan ke badan anak-anak yang
dipukul itu melambangkan pemulihan nama baik dan harga dirinya. Nilai
itu dilambangkan dengan menyeka dan mengeringkan tubuh yang basah oleh keringat
dan (mungkin ada) bercak darah karena luka kecil dan memakaikan atau
menyarungkan ke tubuh mereka. Dengan dua kemeja baru, yang disangkutkan di
badan korban orang Ohoira, hubungan hidup dipulihkan kembali, kesumat
perkelahian itu dengan sendirinya sudah aman seperti biasa. Nama baik dan harga
dirinya mesti dipulihkan, sebab mereka telah dibuat malu dengan jalan telah
dipukul. Pemulihan simbolis tetapi bermakna seperti ini penting dipenuhi supaya
saudara-saudara Ohoira tidak pulang dengan sakit hati dan kecewa. Demikian juga
dengan saudara-saudara Danar yang tinggal, mereka akan melupakan kemarahan dan
dendam kesumatnya lalu mengganti-kannya dengan sikap damai di hati sebagai
lambang hubungan persaudaraan.
Ritual penyekaan dan pemakaian atau penyarungan kemeja
dilakukan dengan didahului seruan : “Dit ni wang ...............” dan mengangkat tinggi-tinggi
sirih-pinang perdamaian, yang kemudian dimakan secara bersama-sama oleh kedua
belah pihak, orang Danar dan orang Ohoira. Di masyarakat Kei, jika kata-kata dit ni wang diucapkan
sambil mengangkat tinggi-tinggi sirih pinang lambang tanda perdamaian ke atas,
maka semua yang hadir tidak berani mengomentari kejadian yang disengketakan
lagi. Semua orang pasti menerima keputusan itu. Dit ni
wang berarti leluhur atau nenek moyang,
punya uang, atau bagian penghormatan kepada leluhur sedang dipanjatkan, natsar
mohon perkenaan dalam harapan penjagaan, perlindungan dan sanksi bagi yang
menentangnya, dimohon. Oleh karena itu, di semua upacara adat, tanda sahnya
acara itu selalu dibuka dengan memohon kehadiran leluhur sebagai tanda hormat
dan ketaklukan semua yang hadir. Wang atau uang, mewakili bahan natsar sesaji demi perkenaan
kehadiran leluhur. Biasanya di samping uang, ada juga bahan lain seperti sirih,
pinang dan tembakau.
Bagi orang Kei, bentuk perdamaian demi pemulihan
hubungan sosial seperti ini dikenal dengan nama kensa
fa’ak. Kensa
fa’ak artinya dua (salah atau
benar) dengan dua (pihak yang bertikai) adalah (jika dijumlahkan) tetap
empat. Dalam pemahaman adat Kei,
terhadap perkara di pertandingan bola di atas, melihat pihak Danar (yang
dinilai bersalah oleh Raja Danar) dan pihak Ohoira (yang dinilai benar oleh
Raja Danar) keduanya sama-sama salah dan sama-sama benar. Intinya hendak
menonjolkan pengakuan secara sadar dari kedua belah pihak tentang kesalahan
yang ada dan bersamaan dengan itu pengakuan terhadap kebenaran yang ada di
kedua belah pihak (Laksono &
Topatimasang 2004:115-116).
Ritual angkat muka di atas adalah sebuah upacara adat yang praktis,
sederhana dan efektif. Ia tidak mahal dalam biaya, waktu dan perlengkapan
lainnya; ia praktis, sederhana dan murah. Tetapi adanya aspek kepraktisan,
tidak boleh dipahami sebagai melalaikan esensi dasarnya ialah pemulihan
hubungan sosial. Banyak bentuk hubungan sosial yang menjadi ancaman terpendam
yang sewaktu-waktu bisa pecah, karena ketegangan, persinggungan dan berbagai
keretakan di sekitarnya dibiarkan menggantung berlarut-larut.
Bentuk pemulihan konflik sosial yang dikemukakan di
atas menyadarkan kita tentang perlunya upaya pemulihan hubungan-hubungan
sosial dalam interaksi hidup warga masyarakat sesegera mungkin.
Pelaksanaannya melahirkan penyegaran tentang makna hubungan sosial yang murah,
sederhana, indah dan penuh damai. Ia dilakukan apa adanya. Tanpa protokol dan
unsur-unsur formal yang njelimet atau rumit dan mahal. Cukup dengan ungkapan kekayaan
nilai adat-budaya yang sederhana tetapi padat artinya, ia menjadi alat
pendamai, pemersatu dan pemulihan hubungan hidup dalam ikatan persaudaraan.
Ungkapan itu adalah bentuk amsal lokal, atau sistem nilai lokal, yang dikenal dan telah
menjadi bagian hidup sesehari orang Kei.
Dalam desa-desa di Kei, masih ada berbagai bentuk
sistem nilai lokal dan kebijaksanaan lokal. Sistem nilai lokal dan
kebijaksanaan lokal itu sangat berperan dalam menata, mengawasi dan
melestarikan hubungan sosial masyarakatnya. Semua sistem nilai lokal dan
kebijaksanaan lokal menyata dalam pantun adat lokal, nyanyian adat lokal dan
tarian adat lokal. Di Kei ada ngel-ngel, syik-syikar, dok mol (perenungan, meditasi), ada banyak misil-masal
(perumpamaan), sukat-sarang (pernyataan yang mengungkapkan tentang kebenaran) dan
liat-dalil (kata-kata sinis). Hal yang terpenting dari fungsi dan peran sistem
nilai lokal dan kebijaksanaan lokal itu adalah pada terciptanya cita-cita ideal
hidup ‘ala’ desa. Bahwa dengan praktek memperdengarkan nyanyian adat, semua
warga masyarakat desa lintas strata, entah ia orang mel-mel, orang ren-ren ataukah orang iriri, mereka merasa damai, sukacita dan punya kekuatan dan
pengharapan. Semuanya itu bisa hadir dengan begitu indah dan membahagiakan
karena inti dari sistem nilai lokal dan kebijaksanaan lokal itu berpusat pada
kebaikan moral.
Di wilayah pulau-pulau Maluku Tenggara atau sering
juga disebut Maluku Tenggara Raya,[8]
ritual seperti yang diuraikan di atas itu disebut adat angkat muka,[9]
atau ritual mengangkat dan menengadahkan kembali wajah, dia yang sudah
dipermalukan (angkat muka atau menengadahkan wajah kembali dari posisi wajah
yang tertunduk karena dibuat menjadi malu). Karena dia sudah dibuat malu, maka
yang membuat malu harus menebus perbuatannya dengan memberikan sebentuk tebusan
demi pemulihan nama baik. Perbuatan penebusan ini bukan semata-mata menyangkut
ganjaran bagi siapa yang benar dan siapa yang salah saja. Tetapi di dalamnya
hendak ditampilkan betapa pemulihan hubungan sosial di antara kedua belah
pihak, adalah sangat penting.
Semua sistem nilai lokal dan kebijaksanaan lokal di
atas bermuara pada satu kebaikan moral yaitu supaya semua orang Kei yang ada di
desa-desa hidup dengan baik, tentram, damai dan saling pengertian. Kekuatan
visioner bentuk-bentuk sistem nilai lokal dan kebijaksanaan lokal dan
pelaksanaannya yang selalu hidup dalam interaksi masyarakat di desa, yang
memberi dukungan bagi “seakan” sistem nilai ain ni
ain itu benar berlaku universal bagi
semua orang Kei lintas semua strata. Dalam hidup sehari-hari, nilai universal sistem
nilai ain ni ain yang elitis kelihatannya “seakan” menjangkau semua orang Kei.
Padahal sesungguhnya ia ‘ditopang’ oleh pemahaman dan perbuatan nyata dari
sistem nilai lokal dan kebijaksanaan lokal, sehingga hidup toleran, harmonis
dan berkelanjutan masih terus ada di antara orang Kei, Kristen-Islam, sampai
hari ini dan juga ke masa depan.
Pemberian Yelim
Yelim adalah sebentuk pemberian partisipasi dari
seorang anggota keluarga kepada saudaranya yang sedang punya hajatan. Jumlah
dan bentuknya berbeda, mulai dari kerabat keluarga dekat sampai warga desa. Dalam
praktek pemberian yelim, sebenarnya terjadi hubungan dialektis di antara
sesama masyarakat, baik ia mel-mel, ren-ren atau pun iriri. Dengan kata lain, yelim berperan menjembatani hubungan strata di Kei. Tradisi
yelim
bisa dibandingkan dengan potlech, yang dilukiskan oleh Marcel Mauss (1992:16-137)
sebagai sebuah kewajiban moral yang harus dibalas kembali. Moral saling
membalas membuat seseorang akan tetap merasa berhutang, jika tidak memenuhi
sebuah undangan atau turut menghadiri acara adat tertentu.
Ritus-ritus sosial atau pesta seperti pemberian yelim ada dalam berbagai bentuk dan jenis keramaiannya,
baik secara adat dan begitu juga secara rohani Kristen. Contoh di keramaian
rohani Kristen adalah syukur baptis, syukur sidi, syukur penahbisan pendeta,
syukur penahbisan majelis jemaat, syukur wisuda, dan berbagai syukur atau pesta lainnya. Di
pesta
itu orang membawa pemberiannya, mulai dari keluarga, kerabat dan juga dari tamu
dan undangan yang datang. Akibatnya ada semacam ‘hutang pertukaran.’ Maksudnya,
si tuan pesta menjadi berhutang kepada setiap keluarga yang datang membawa
pemberiannya. Dengan kata Iain sekarang ini ia punya hajat, tetapi ia punya
hutang, atau ‘hutang pertukaran.’ Suatu ketika, jika orang lain di desanya
punya hajat, maka ia harus membawa pemberiannya sebagai ‘balasan’nya. Proses
pertukaran tradisonal inilah yang disebut sebagai kontrak
sosial dalam masyarakat adat.
Dengan demikian jika dikaji
lebih jauh, sebenarnya proses kontrak sosial mewarnai kehidupan masyarakat adat di seluruh wilayah
pelayanan GPM. Saya
bahkan melihat ikatan kontrak sosial ini yang sesungguhnya menjadi medium bagi perluasan
penginjilan di Maluku. Sebagai contoh di masyarakat Kei di Maluku Tenggara;
lewat seorang pribadi Maria Sakbau dibaptis dan membuat pesta lalu orang
sekampung datang membawa yelim (Laksono 1990:134; SGKI 1974:501).Tanpa
disadari pesta itu telah menjadi sebuah media pertukaran sosial di mana muncul harapan
dan pemahaman : “Kalau begitu saya juga perlu bikin pesta atau syukur baptis, supaya banyak orang datang
membawa yelim sama seperti yang sudah saya berikan. Supaya bisa bikin pesta atau syukur
baptis, maka saya harus membaptiskan diri dulu, atau anak-anak atau keluarga.”
Di sini disaksikan bahwa dorongan menjadi penganut Kristen bukan berdasarkan
khotbah atau penganjuran oleh para Pekabar Injil saja. Tetapi oleh kontrak sosial
yang adalah salah satu dasar ikatan sosial di antara masyarakat dalam praktek-prkatek
adat-budayanya.
Strata Solsial
Di Kei ada tiga strata social: mel-mel, strata
atas; ren-ren,
strata tengah dan iriri, strata bawah. Ada pemisahan berkaitan dengan strata
:
-
Pernikahan/perkawinan. Tidak boleh kawin lintas
strata; mel-mel dengan ren-ren atau sebaliknya dan
seterusnya.
-
Pemukiman, teritorialisasi domisili. Ada batas wilayah pemukiman
mel-mel, ren-ren dan iriri. Ada wilayah yang telah mukim berbaur dan bercampur
-
Posisi duduk dalam berbagai pertemuan. Di depan dan di tempat duduk
terhormat hanyu orang mel-mel. Di jejer kedua orang ren-ren dan terakhir orang iriri.
-
Kans di birokrasi. Bupati, kepala Dinas, rat/raja dan orangkai/kepala
desa, harus orang mel-mel.
Saya menarik kesimpulan bahwa sistem nilai ain ni ain adalah
pengikat orang Kei sebagai orang basudara. Tetapi sistem nilai itu hanya seakan menyatukan
hubungan di antara orang-orang strata mel-mel saja. Orang strata ren-ren masih bisa merasakan berada dalam persaudaraan ain ni ain sebab
mereka adalah orang mel-nangan, yang masih diperhitungkan dengan batas-batas
toleransi tertentu. Status ini membuat mereka tidak bisa diperlakukan
sewenang-wenang oleh orang mel-mel. Orang iriri tidak berada dalam persaudaraan ain ni ain, sebab
mereka tidak menikmati dan merasakan inti persaudaraan yang dilukiskan sebagai orang basudara
yang berasal dari satu telur ikan atau dari satu telur unggas. Mereka sangat terpisah dari cita-cita ideal sistem
nilai ain ni ain seperti yang terlihat nyata dalam perlakuan orang mel-mel kepada
mereka; hak-hak hidupnya ‘dibredel’ dan kesempatan mengembangkan hidup secara
bebas ke masa depan dihalangi. Mereka adalah orang
rumah, para budak, yang dikepalai
oleh seorang kepala marga orang mel-mel. Garis batas di antara orang mel-mel dengan
orang iriri
saya sebut sebagai demarkasi ekstrim.
(lihat tulisan saya Strata Sosial)
Berteologi
Hubungan Kristen-Islam
1.
Teologi Ain Ni Ain
Idealisme
system ain ni ain menyatakan bahwa semua orang Kei berasal dari satu
sumber saja. Itulah inti hubungan hidup mereka sebagai orang basudara. Sistem
nilai ain ni ain adalah kekayaan konteks hidup orang Kei untuk berteologi.Tegasnya
mesti dikatakan bahwa ain ni ain adalah teologi orang Kei. Sebab di dalamnya orang Kei
mesti mampu melihat karya kasih Tuhan bagi hidup mereka sebagai orang basudara,
tanpa pemisahan dalam strata mel-mel, ren-ren dan iriri, seperti yang ada berlaku sampai sekarang. Eben Nuban
Timo (2004:33-40) menyebut bentuk-bentuk kebijaksanaan lokal dan sistem nilai lokal itu
adalah teologi rakyat. Sistem nilai lokal dan kebijaksanaan lokal itu
berupa legenda, amsal, kerifan, nyanyian, tarian, pantun, cerita rakyat, nasehat dan semua bentuk sistem nilai adat lainnya. Pusat
intinya terlihat ketika dipraktekkan dan di dalam pelaksanaannya orang merasa
aman, damai, sukacita, harmonis dan berkelanjutan ke masa depan. Saya
setuju dengan pendapat Timo di atas. Sebab,
inti dari hidup sebagai orang basudara adalah karena merasa satu sebagai ciptaan Tuhan yang
sama tinggi dan sama rendahnya; semua orang Kei adalah sama dan oleh sebab itu,
mereka harus bisa hidup saling tolong-menolong, saling mengasihi dan saling
menghargai. Hidup seperti ini yang mestinya dikembangkan oleh orang Kei dari
waktu sekarang ke masa depan, demi ikatan hidup orang
basudara yang berasal dari satu sumber.
2. Teologi
Konviven
Kerjasama,
pengertian, saling tolong-menolong, saling hormat-menghormati demi kebaikan
hidup bersama adalah keluhuran hidup desa yang menonjol dalam kekayaan
kebijaksanaan lokal dan sistem nilai lokal di desa. Aspek-aspek kerjasama,
pengertian, saling tolong-menolong, saling hormat-menghormati adalah kekuatan
teologi hidup bersama atau teologi Konviven. Konviven berarti makan bersama. Ia pertama dikemukakan oleh
Theo Sundermeyer di Brasil (lihat Prasetyo 2008). Dasar konviven adalah kemauan untuk hidup bersama kemudian belajar
bersama dan memutuskan bersama untuk mendapatkan sesuatu yang baik bagi
kelanjutan hidup bersama sekarang dan ke masa depan. Dalam membangun konviven, harus
ada toleransi dengan dua komponen dasarnya yaitu menghargai dan menerima.
Teologi konviven
menempatkan hubungan hidup bersama yang saling menghargai dan menerima dengan
menyebut status budayanya mendahului status agamanya. Contohnya: menyebut orang
Kei Kristen atau orang Kei Islam. Bukan orang Kristen Kei atau orang
Islam Kei. Menurut saya teologi konviven harus menekankan kerangka identitas budaya yang di
depan, bukan identitas agamanya. Sebab dengan menyebut status budaya, akan
lebih mengikat hubugan keakraban sesunguhnya, yang sangat dikenal dan merupakan
milik mereka sendiri. Hubungan keakraban seperti itu, yang penuh dengan
aspek-aspek kerjasama, pengertian, tolong-menolong, hormat-menghormati, dibentuk
oleh kebijaksanaan lokal dan sistem nilai lokal. Dengan Teologi konviven, orang
Kei didekati dari kekayaan budaya lokalnya. Bagi orang Kei, pola dan kebiasaan
hidup bersama adalah bagianutuh dalam interaksi sosialnya setiap waktu. Pola
dan kebiasaan hidup bersama terlihat dalam konsep kerjasama atau maren dan
pemberian bersama atau yelim.
Contoh
lingkup Konviven bisa dijumpai dalam tokoh Abraham di Alkitab
Perjanjian Lama, yang belajar dan hidup bersama dengan suku-suku lain. Dari
hidup dengan suku-suku lain itu ia belajar mengenal Tuhan secara baru (Kej. 14, bnd. Maz. 110). Hidup
bersama dan belajar untuk mengenal Tuhan secara baru supaya berkenaan bagi
kehidupan bersama, tidak hanya dalam suasana dan hubungan yang baik. Tetapi
juga dalam hubungan dan suasana hidup yang buruk, tertindas dan penuh
kesulitan. Contohnya dalam hidup Hosea (2: 6). Hosea disuruh Tuhan untuk kawin dengan perempuan
yang tidak setia. Dari perjuangan keteladanan untuk setia, Hosea belajar
mengenal dan hidup dengan apa yang sesungguhnya menjadi inti kebaikan yang
Tuhan Allah kehendaki ia miliki dan kemudian disebarkan kepada umat Israel.
Dalam Yohanes 1: 14: “Firman
itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita.” Artinya, Tuhan Allah
sendiri berprakarsa untuk membuka komunikasi dengan manusia supaya
menanggapinya. Dengan jalan manusia memberi respons terhadap prakarsa Tuhan
Allah, maka itu menjadi bukti kehendaknya yang mau hidup di jalan keselamatan
Tuhan. Di dalam Perjamuan Kudus, ide konviven diperdengarkan : “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan
bagi kamu. Perbuatlah setiap kali kamu mengambil bagian di dalamnya menjadi
peringatan akan aku” (1 Kor. 6: 22-23). Di Perjamuan Kudus, Tuhan Yesus mempersatukan para
murid-Nya dan orang-orang yang percaya kepada-Nya dengan kematian dan kebangkitan-Nya.
Di bagian lain Tuhan Yesus berkata : “Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku
telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang Kudengar dari Bapa-Ku (Yoh. 15:15).
3. Teologi
“Orang Basudara”
Telogi “orang
basudara” muncul dari refleksi atas berbagai sistem nilai lokal dalam, bentuk
berbagai kearifan lokal, yang menurut saya bersumber dari hubungan hidup yang
saling menghargai, toleran dan inklusif. Beberapa kearifan lokal bagi hubungan hidup
“orang basudara” di Maluku :
-
Di Maluku
Tengah, Ambon dan Lease, pela berarti hubungan hidup sebagai orang
basudara;
-
Di pulau Buru, ada kai
wait atau adik-kaka-wai berarti hubungan hiduip
sebagai adik kakak.
-
Di Maluku Tenggara, ain
ni ain
berarti semua orang Kei berasal dari satu sumber
-
Di kepulauan Aru dan Tanimbar, ada bela berarti hidup “sudara.”
Hubungan hidup sebagai “orang basudara” ini penting
untuk mengokohkan sebuah teologi hubungan antar agama Kristen-Islam. Banyak
interaksi sosial dalam kekayaan nilai-nilai kearifan lokal yang lintas batas
agama, berguna bagi orang Maluku untuk melihatnya sebagai jalan memiliki,
membangun dan mengokohkan ikatan hidup silaturahim dalam kekayaan nilai-nilai budaya lokalnya.
Penutup
Demikian
sekilas pandangan saya tentang kearifan lokal dan sistem nilainya. Kiranya
dieksplorasi lebih jauh dan dikokohkan sebagai bentuk teologi kontekstual dan
teologi hubungan Kristen-Islam di Maluku. Semuanya itu demi kemaslahatan kita
bersama ssebagai “orang basudara” di Maluku.
------nseb------
Pustaka:
Abdullah Irwan, Ibnu Mujib, M. Iqbal Ahnaf
2008 Agama
dan Kearifan Lokal Dalam Tantangan Global, Pustaka Pelajar, Jakarta
Cooley, Frank
1987 Mimbar dan Takhta, Hubungan Lembaga-Lembag
keagaman dan Pemerintahan di Maluku
Tengah, Jakarta, SH
Kissya, Elisa
1992
Sasi Aman Haruku,
Jakarta, Yayasan Sejati
Laksono, P. M
1989
Wuut Ain Mehe Nifun, Manut Ain Mehe Tilor (Eggs from One Fish and One Bird, a Study of
the Maintenance of Social Boundaries in
the Kei Island-Dessertation), Ithaca, Cornel University
Laksono, P. M &Roem Topatimasang
1999
Ken Sa Faak; Benih-Benih Perdamaian Dari Kepulauan Kei, Yogyakarta, INSIST
Manhitu Yohanes
2007 Kearifan
Lokal,Mutiara yang ditemukan kembali, (Makalah)
Mauss, Marcel
1992 Pemberian; Bentuk dan Fungsi Pertukaran di
Masyarakat Kuno, Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia
Ohoitimur, J
1981
Beberapa Sikap Hidup Orang Kei : Antara Ketahanan Diri dan
Proses Perubahan,/Thesis, Manado, STS
Pineleng
Prasetyo Djoko
2008 Konviven dan Theologia Misi Interkultural
Menurut Theo Sundermeyer, Jogjakarta Gema
Teologi, Universitas Kristen
Duta Wacana, april 2008
Renyaan, Ph
1974 1200 Misil-Masal Liat Dalil, Sukat Sarang Evav, Tual,
Yayasan Wilibrordus.
Sedubun, Nicodemus
2001 Kalimat-unSawa
Dalam Qur’an, Sebuah Sumbangan Pemahaman Aqidah IslamTerhadap Sumpah
Perdamaian Hawear (Tesis),
Yogyakarta, PPS-T UKDW
2008 Sebuah
Pembelajaran Mengenai Perdamaian Antar Agama, Islam-Kristen, di Tanimbar
Utara, dalam Hendriks I. W. J, Elifas T. Maspaitella, Rudy
Rahabeat : Kemurahan Allah Yang Mengamuni,
Ambon, PPS AK, Fak. Filsafat UKIM
Sejarah
Gereja Katolik Indonesia
1974 Jakarta, Keuskupan
Agung Jakarta
Sitompul A. A.
1974 Pengendalian Diri Menurut Amsal Sulaiman dan Raja-Raja Mesir Purbakala,
BPK-Jakarta,.
Timo, Eben Nuban
2004 Anak Matahari; Teologi
Rakyat Balelebo Tentang Pembangunan,Maumere, Ledalero
2005 Sidik
Jari Allah Dalam Budaya, Maumere, Ledalero
Von Rad Gerhard
1970 Wisdom
in Israel, London, SCM Press
Yunus, Ahmad. H & Suradi, p
1985 Upacara
Tradisional Yang Berkaitan Dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah
Maluku, Jakarta, P&K
Catatan:
[1]
Tulisan ini dipentingkan sebagai
bahan pengetahuan bagi mahasiswa Teologi.
[2] Rumah adat Maluku, bandingkan dengan balairung di Jawa
[3] Nyanyian
tanah; kata tanah menekankan
pengertian tua atau bertuah. Isi nyanyian tanah adalah nasehat dan petuah yang bernilai mengikat
warga masyarakat pemiliknya, sehingga ketika didengar, si orang yang mendengar
segera dapat memahaminya sebagai pedoman hidupnya ke masa depan.
[4] Tokoh-tokoh adat Cau Masbaitubun (desa Warbal) dan
Cos Labetubun (desa Ela’ar) menyebutkan bahwa orang Key mewarisinya secara
lisan saja dari para orangtua dan leluhurnya.Ungkapan-ungkapanlokal itu biasanya diucapkan
ketika ada konflik antarorang-perorang atau desa dengan desa.Ia diucapkan sebagai alat perdamaian supaya yang
bertikai menyadari keterikatannya sebagai masyarakat adat dan supaya mereka
menampakanketaatannya kepada hukum adat yang bersumber pada hukum adat Larvul Ngabal.
[5] Ayah saya adalah seorang Guru-Jemaat atau sebutan Belanda Inlandsleraar, yang bertugas ganda yaitu
melayani sebagai pendeta dan sekaligus juga mengajar di sekolah sebagai Guru di
Jemaat atau desa tempat ia ditugaskan.
[6] Wawancara 12 September 2009 dengan
‘Herodes’ seorang tokoh Katolik dari desa Langgur dan keterangan yang sama juga
disebutkan oleh Djafar, seorang tokoh Muslim dari Tual.
[8] “Maluku Tenggara Raya” adalah sebutan untuk kesatuan wilayah pulau-pulau
di Maluku Tenggara yang terdiri dari wilayah Kei, Aru,
Tanimbar, Babar, Marsela, Lelang, Dae, Dawlor, Dawra, Luang-Sermatang, Romang, Damer, Wetar, Kisar, Leti, Moa
dan Lakor. Ungkapan ini pertama kali dikemukakanoleh Edy Betaubun, seorang politisi dan tokoh
pemuda Kei, pada tanggal
14 Maret 2008 dalam
suasana menjelang kampanye pemilihan Gubernur Maluku periode 2008-2014.
[9] Ritual ini berbeda dalam simbol dan
materinya, tetapi tujuannya hanya satu yaitu untuk memulihkan nama baik orang
atau keluarga yang sudah dipermalukan. Contohnya, materi pemulihan nama baik di
daerah kepulauan Babar (Babar, Marsela, Dawlor, Dawra, Dae, Luang dan Sermata)
memakai sopi atau arak; di Tanimbar memakai kain tenun tua
dan sejumlah uang; di Aru dengan membayar kain dan gong, dan ain lain.