Selasa, 15 April 2014

Ain Ni Ain Bagi Hidup Kristen-Islam di Maluku Tenggara[1]



Oleh: Dr. Nick Sedubun, M. Th

Kearifan Lokal Sebagai Sistem Nilai Hidup Masyarakat
Kearifan lokal terdiri dari dua kata, yaitu : kearifan (wisdom) dan lokal (local); atau dalam bahass Inggeris kearifan lokal disebut local wisdom. Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Shadily, lokal berarti setempat, sedangkan wisdom berarti arif, atau kearifan, yang artinya sama dengan kebijaksanaan. Dengan demikian kearifan dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Yohanes Manhitu (2007) mengatakan bahwa kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal berupa tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup. Misalnya ungkapan alon-alon waton kelakon (biar lambat asal tujuan tercapai), dalam budaya Jawa. Atau semboyan marsiadap ari (saling membantu dalam melakukan suatu pekerjaan), dalam budaya Batak ; masohi (kerja gotong-royong) di Maluku Tengah; maren atau hamaren (tolong menolong) di Maluku Tenggara. Ada juga kearifal lokal yang bersendikan agama di Minangkabau : adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah atau adat bersendikan agama dan agama bersendikan Al-Qur’an (Abdullah (Ed) 2008:75-76); agam ni bavilun adat atau agama berlandaskan adat di masyarakat Kei di Maluku Tenggara (Laksono-Topatimasang 2004:99).
Dalam pemahaman sehari-hari, kearifan lokal sering dipahami sama dengan falsafah hidup, pandangan hidup dan amsal hidup, yang berlaku di masyarakat adat. Jika dilihat dari strukturnya dalam tatanan norma hukum adat, maka akan nampak perbedaan di antara falsafah hidup, pandangan hidup dan amsal atau amsal lokal.
Menurut saya, keariafan lokal dapat dipahami dari dua sisi, yaitu: kearifan lokal sebagai simbol material dan kearifan lokal sebagai simbol konseptual. Pertama, Kearifan lokal sebagai simbol material menunjuk pada lambang benda yang konkrit atau nyata. Simbol-simbol itu ditemukan dalam tanda-tanda kebendaan yang muncul dalam bentuk gambar, lukisan atau ukiran, pada bentuk bagian bangunan tua, pilar-pilar dan dinding-dinding masjid, gereja atau baileo,[2] di gapura desa, gambar-gambar atau motif di kain tenun, lukisan tua, gerabah, di perahu-belang (Kei, Aru, Tanimbar), ukiran pada alat-alat musik tradisional (tifa, suling), alat-alat perang tradisional (ulu-gagang parang, tangkai tombak, batang busur, anak panah, perisai-salawaku), motif di keranjang atau bakul, tikar, dll. Pola simbol material juga bisa berupa garis atau lingkaran dengan bentuk tertentu. Tanda-tanda dalam bentuk gambar, lukisan atau ukiran itu mengandung pemahaman yang dalam tentang kehidupan dari masyarakat atau suku pemiliknya. 
Di masyarakat Maluku, salah satu bentuk simbol material itu ada dalam tanda untuk pelestarian sumber daya alam yang disebut sasi (Kisya 1993; Cooley 1987:189-192; Yunus & Suradi (Ed) 1985:187-199). Di masyarakat Kei di Maluku Tenggara, ada juga sasi; yang dalam bahasa Kei disebut hawear, berupa anyaman daun janur secara terbalik dari ujung daun ke pangkal daunya. Ia tidak saja dipakai sebagai simbol dalam batasan pelestarian hasil bumi, laut dan darat. Tetapi juga dalam menjamin sebuah hubungan hidup antara masyarakat beberapa desa yang bertikai atau berperang. Contoh, pemancangan hawear ketika mereka menyatakan berdamai dari ‘perang agama’ di Konflik Maluku Tenggara 1999-2000, di lapangan Lodarel, Tual, tanggal 24 Januari 2000 (Sedubun 2001:28-32).
Kedua, kearifan lokal sebagai simbol konseptual; yang menunjuk pada lambang benda yang abstrak, atau benda tidak nyata, berupa konsep, ide, pikiran atau pandangan hidup. Ia muncul dalam rumusan kata-kata atau kalimat-kalimat, yang menonjol dalam interaksi hidup sehari-hari masyarakat. Kata-kata atau kalimat-kalimat itu menjadi cerminan dari arti hikmat dalam pandangan atau pemahaman yang tersurat dalam sumber hukum dari kearifan lokal di maksud. Intensitas pemakaian kata-kata atau kalimat-kalimat itu dalam hubungan hidup masyarakat sehari-hari, yang disebut sebagai amsal-amsal lokal. Sebagai contohnya : ain ni ain, maren dan lar ni baba wer ni soso di masyarakat Kei-Maluku Tenggara. Kearifan lokal sebagai simbol konseptual tersebar luas di Maluku. Sebagai contoh di Maluku Tengah, Ambon dan Lease dikenal pela dan masohi; kai wai di masyarakat pulau Buru; kidabela di masyarakat Tanimbar, kalwedo di masyarakat pulau-pulau Babar, Leti, Moa dan Lakor; bela di masyarakat kepulauan Aru; teabel di masyarakat Kei, di Maluku Tenggara (Renwarin 1986) dan masih banyak lagi yang bisa dijumpai di desa-desa yang tersebar luas di Maluku. Ia juga ditemukan dalam amsal-amsal lokal, berupa pantun-pantun tua, nyanyian tanah,[3] tari-tarian dan juga simbol gerak tubuh. Kesemuanya turut mewarnai pandangan hidup (world view) masyarakat dan menjadi pedoman hidup mereka. Dengan berpantun, atau menyanyikan nyanyian tanah atau juga diselingi dengan tarian adat, di situ terdengar isi amsal-amsal kehidupan tentang bagaimana mengolah kebun, mencari di laut, mengatur rumah tangga, berusaha keras demi tanggungjawab atas keturunan, mengasihi, melindungi, menolong, tidak menindas, sedia mengampuni dan masih banyak nilai-nilai ideal tentang hidup yang lain. 
Sistem nilai menekankan pada peran dan fungsi sebuah bentuk kearifan lokal dalam menghubungkan aktifitas hidup masyarakat. Sebagai sistem nilai, kearifan lokal berperan sebagai alat penjabaran hukum dan tata nilai interaksi dalam masyharakat. Fungsinya adalah pengatur, pengendali, pengarah dan penentu pola tingkah laku dan interaksi di antara masyarakat pemiliknya. Karena itu, kearifan lokal dalam posisinya sebagai sistem nilai merupakan sumber inspirasi bagi sebuah hukum adat. Dari situ kita dapat memehami bahwa ada banyak bentuk kearifan lokal yang menjadi sumber inspirasi hukum adat dalam mengatur hidup masyarakat. Ketika kita membicarakannya sebagai sebuah sistem nilai, maka yang ditonjolkan adalah peran dan fungsi-nya. Selanjutnya saya menyebut ain ni ain adalah sebuah sistem nilai yang menghubungkan interaksi masyarakat di Maluku Tenggara.

Sistem Nilai Ain Ni Ain  di Maluku Tenggara
Sistem nilai adat lokal, yang mengikat dan menghubungkan hidup kekerabatannya, di Kei disebut ain ni ain. Secara lengkap rumusannya adalah : ain ni ain, vuut ain mehe ngifun, manut ain mehe tilor (Laksono 1989). Terjemahan harafiahnya adalah ain ni ain berarti satu punya satu, vuut ain mehe ngifun berarti ikan punya telur, manut ain mehe tilor berarti unggas (juga) punya telur. Artinya, (orang Kei) yang satu memiliki (orang Kei) yang lain seperti ikan yang berasal dari satu telur (dan) seperti (juga) unggas yang berasal dari satu telur. Ia mengartikan tentang hubungan hidup mereka yang saling memiliki, karena mereka semua berasal dari satu sumber (telur dari satu ikan/ unggas). Kata saling memiliki mengartikan bukan sebagai pemilikan pribadi, ownership. Tetapi pemilikan persaudaraan, brotherhood, yang menekankan pada hubungan di antara mereka. Hubungan hidup persaudaraan itu penting karena mereka berasal dari satu sumber.
Sistem nilai, ain ni ain menjadi sumber inspirasi bagi Hukum Adat Kei, yaitu Hukum Adat Larvul Ngabal, dan penerapan pelaksanaannya dalam masyarakat. Ketika seseorang mempelajari Hukum Adat Larvul Ngabal, maka ia akan menemukan bahwa rumusan ayat-ayatnya tidak menyinggung secara harafiah tentang sistem nilai ain ni ain. Dinamikanya tampak dalam interaksi sosial masyarakat sehari-hari. Di dalam pemahaman dan pelaksanaan atas Hukum Adat itu, ia mesti mempraktekkannya, supaya dituntun dan diarahkan oleh semangat dan jiwa untuk membangun hubungan dengan sesama manusia, alam ciptaan dan termasuk dengan roh-roh leluhur (kosmologi). Hubungan antara Hukum Adat Larvul Ngabal dengan sistem nilai ain ni ain terlihat dalam pemahaman dan pelaksanaan pasal-pasalnya di dalam kehidupan masyarakat Kei.
Jika dilihat sepintas, seakan sistem nilai ain ni ain hanya lebih dekat ke Hukum Navnev, seperti isi fasal-fasal 1, 2, 3 dan 4 dari Hukum Adat Larvul Ngabal saja. Dikatakan demikian oleh sebab fasal-fasal itu berhubungan dengan cita-cita kehidupan sosial masyarakat. Namun, sebenarnya bukan saja dengan Hukum Navnev, tetapi dengan fasal 5 dan fasal 6, tentang Hukum Hanilit, yang mengatur tentang hukum kesusilaan, bahkan fasal 7 tentang Hukum Hawear Balwirin, yang mengatur hubungan sosial dan etika hidup orang Kei. Karena itu, sesungguhnya sistem nilai ain ni ain menjadi sumber inspirasi hidup dan perilaku orang Kei, yang tercermin dalam seluruh Hukum Adat Larvul Ngabal. Dalam interaksi hidup di antara orang Kei, akan terlihat hubungannya dengan masalah-masalah hidup yang dihadapi.
Ohoitimur (1983 :98-99) menyhatakan bahwa Hukum Adat Larvul Ngabal tidak dikodifikasi. Sekalipun demikian, tetapi ia tetap menjadi dasar perekat kekerabatan orang Kei. Masyarakat terutama para pemuka adat dan tokoh masyarakat, sangat mengetahui isi Hukum Adat Larvul Ngabal itu. Mereka menguasainya, baik pasal-pasal Hukum Adat maupun sanksi-sanksi berlapis yang terdapat dalam pasal-pasal Sa Sor Fit. Hal ini terlihat ketika ada pelanggaran yang dilakukan oleh warga masyarakat dan mesti di atasi melalui sebuah Sidang Adat untuk menentukan sanksinya. Hukum Adat Larvul Ngabal biasanya diucapkan dalam acara-acara adat, seperti pelantikan Rat (Raja) atau Orangkai (Kepala Desa) dan acara adat khusus tertentu.
Nilai-nilai ideal dalam kandungan Hukum Adat Larvul Ngabal menjadi alat yang berguna bagi masyarakat dalam membangun hidup yang seimbang dan komunikatif di antara sesama orang Kei dan dengan lingkungan hidupnya. Alat yang memotivasi hidup berpemahaman dan berbuat (peran) itu bersumber dari Hukum Adat Larvul Ngabal, yang kemudian digunakan (fungsi) sebagai pengarah, penuntun dan pengayom bagi hidup di lingkungan masyarakat. Di wilayah dinamis nilai-nilai Hukum Adat Larvul Ngabal, ia hidup dalam ukuran bijak, baik dan dapat diterima, atau ia ada dalam sistem nilai lokalnya. Dengan demikian, sistem nilai ain ni ain menjabarkan peran dan fungsi nilai-nilai ideal yang terkandung di dalamnya bagi Hukum Adat Larvul Ngabal dalam kehidupan orang Kei. Interaksinya berisi sikap dan perilaku hidup yang berisi kebaikan, bijaksana, menyenangkan dan dapat diterima oleh masyarakat. Dalam tuntunan sistem nilai itu, ia mampu membedakan manakah perbuatan yang baik dan menyenangkan sesama masyarakatnya dan manakah yang tidak, yang bertentangan, merugikan dan membahayakan kehidupan bersama (bnd. von Rad 1970:53-55;186-189).
Contoh peran sistem nilai ain ni ain dalam kaitan dengan upaya mencapai perdamaian dari Konflik di Maluku Tenggara di tahun 1999-2000 terlihat dalam peran seorang tua-renta. Ketika Tim Perdamaian Adat atau Tim Ain Ni Ain tiba di suatu desa Kristen atau Islam, lalu seorang tua-renta di desa itu diminta oleh Tim untuk menceritakan kisah asal-usul desa atau kampung, marga, atau menyanyikan nyanyian tanah, atau berpantun adat, lalu ia menasehatkan semua yang hadir dengan mendengarkan salah satu fasal Hukum Adat Larvul Ngabal. Pendekatan seperti ini membuat masyarakat di desa-desa di Maluku Tenggara, Kristen-Islam, sewaktu mendengar tuturan orang tua-renta itu, langsung menyadari kebaikan apa yang hilang dan harus segera ditemukan akibat Konflik yang terjadi. Kemdian mereka sepakat untuk berdamai dan hidup rukun seperti sediakala, sesuai dengan maksud ideal seperti apa yang ada dalam Hukum Adatnya, yaitu Hukum Adat Larvul Ngabal (Laksono-Topatimasang 2004: 7).
Hal penting lain yang sangat menunjang peran dan fungsi  sistem nilai ain ni ain adalah masih hidupnya bahasa daerah, bahasa Kei. Ia masih aktif dipakai secara dinamis oleh masyarakat Kei. Di Kei ada tiga bahasa yang dipakai oleh masyarakat. Bahasa Kei dikenal dan dipakai oleh semua orang Kei, baik di Kei Kecil, Kei Besar dan juga sampai ke pulau-pulau yang ada di Kei Kecil. Bahasa lain adalah bahasa Bandaeli, yang dipakai oleh orang Bandaeli dan orang Bandaelat. Bahasa lain yang sangat lokal sifatnya adalah bahasa Kur-Mangur, dipakai oleh orang Kur dan Mangur. Ia hanya mencakup sedikit orang di dua pulau di Kei Kecil, yaitu pulau Kur dan pulau Mangur.
Selain sistem nilai ain ni ain, ada juga kata-kata peribahasa dalam bahasa Kei atau perumpamaan, yang disebut misil-masal, sukat-sarang dan liat-dalil (Renyaan 1974). Misil-masal berarti perumpamaan. Sukat-sarang berarti suatu pernyataan yang mengung-kapkan tentang kebenaran. Misalnya : karena batas tanah, sanak saudara rela mati. Liat-dalil berarti kata-kata sinis. Misalnya : membicarakan perilaku orang lain tetapi tidak secara langsung tertuju kepadanya atau seperti ‘pukul tiang kena tembok.’ Perbendaharaan misil-masal, sukat-sarang dan liat-dalil akan ditemukan dalam isi nasehat atau petuah yang disampaikan demi pembentukan sikap hidup pribadi atau warga masyarakat umumnya.   
Sistem nilai ain ni ain telah terwarisi sejak turun-temurun dalam masyarakat. Datum hadirnya sampai menjadi bagian mendasar dalam tata interaksi masyarakat Kei, tidak diketahui secara pasti. Orang Kei mewarisinya dari orangtuanya, dan orangtuanya mewarisi dari kakek dan para leluhurnya.[4] Sitompul (1974:7), yang mengupas makna Kitab Amsal dan melihat bahwa ada juga hubungan tertentu dengan tata kehidupan adat Batak, menyebutkan bahwa kebijaksanaan yang ada di dalam sistem nilai itu merupakan satu bentuk pengetahuan dasar bagi seseorang supaya ia menguasai hidup, sehingga ia dapat hidup dalam aturan-aturan yang ada di sekitarnya. Di dalam pengalaman hidupnya di bawah aturan-aturan yang ada itu, ia membuat kalimat-kalimat sebagai pedoman dan pegangan dalam hidupnya. Von Rad (1972:54-55), yang menguraikan tentang kebijaksanaan dalam Kitab Amsal, menyatakan bahwa kebijaksanaan yang terdapat di dalamnya bernuansa artistik dan merupakan kalimat yang diulang-ulang sebagai ucapan-ucapan pengajaran. Jadi, di dalam kebijaksanaan terkandung kemampuan intelektual seseorang untuk membangun pemahamannya sendiri.
Sistem nilai yang dipakai berulang-ulang merupakan simbol makna komunikasi antar orang perorang. Formulasi isinya terdiri dari kalimat pendek-pendek dan padat. Kata-katanya digubah sedemikian rupa sehingga ia terdengar bersanjak dan menarik. Sekalipun susunan kalimatnya pendek-pendek, tetapi ia selalu kena dengan pergumulan hidup manusia sehari-hari karena dipraktekkan secara terus menerus dalam berbagai perjumpaan kegiatan hidup masyarakat. Kenyataan ini bisa dilihat dalam susunan formulasi sistem nilai ain ni ain dalam kerangka seperti berikut :
Ain -- satu
       Ni ain -- punya satu
      Vuut ain mehe ngifun -- ikan punya telur, (dan)
  Manut ain mehe tilor-- unggas punya telur

Jika susunan formulasinya didengar sepintas, terutama oleh orang luar, maka ia seakan tanpa makna. Ia melahirkan banyak pertanyaan dengan sikap negasi dan skeptis, bahkan apatis. Namun, bagi orang pribumi yang memilikinya, masyarakat Kei, ia dipahami dan sangat dikenal. Ia adalah bagian mendasar dari hidup mereka. Karena itu ia hanya bisa dipahami dengan perasaan memiliki. Von Rad (1972:56-57) menyebut perasaan itu adalah “hati yang paham” atau “hati yang mendengar.” Hati yang mendengar itu menggambarkan ketaatan kepada tata hukum yang berlaku, sehingga ketaatan itu menimbulkan kepekaan ke dalam diri sendiri dan kepekaan kepada daerah di luar.
Dengan menyanyikan atau mengucapkan sistem nilai ain ni ain, yang bersangkutan telah menghidupkannya dalam kesadaran dirinya sendiri. Dengan kata lain, dengan mengucapkan atau membangun sikap dan perbuatan di dalamnya ain ni ain, vuut ainmehe ngifun, manut ainmehe tilor, maka yang bersangkutan sedang memaknakan, merefleksikan, dan membentuk emosinya. Ketika ia mengucapkannya, maka ia sedang mengaktualisasikan seluruh sikap, ketaatan dan keterikatannya kepada hukum mereka, yaitu Hukum Adat Larvul Ngabal, dan sekaligus pula menyatakan keterikatannya dalam satu keluarga masyarakat Larvul Ngabal pula.
Dalam hidup sesehari masyarakat Kei, kadang-kadang sistem nilai ain ni ain muncul dalam nyanyian sebait yang diulang-ulang ketika petani mengerjakan kebunnya, yang mengingatkan si petani tentang perlindungan dari "Yang di atas" terhadap kebunnya dengan mendatangkan hujan yang sangat ia harapkan. Begitu juga dengan nelayan yang sedang memancing; atau ia muncul dalam duka terlantun mengenang isteri, anak, atau suami yang telah tiada. Ia muncul dalam bentuk respons atas kenyataan hidup yang didambakan ada dalam kondisi nyata yang dialami entah sejahtera, damai, aman, ataukah terkena bencana, semuanya tertuang dan terlampiaskan di dalamnya.
Saya (Sedubun 2001:42) punya pengalaman ketika masih ada di Jemaat/desa Wakua,[5] Aru Tengah, selama tahun 1960 sampai 1966. Di sana alat transportasi ke dan dari kebun biasanya lewat sungai dengan memakai perahu. Dalam perjalanan pulang dari kebun ke desa, atau sebaliknya, biasanya petani (peladang) mendayung perahunya dan menyanyikan lagu tua, atau nyanyian tanah, dua bait berulang-ulang. Seiring lajunya biduk berlalu, demikian juga terlantun bait nyanyian tanah itu didendangkan. Hidup seakan menjadi harapan bermakna seiring dengan desa atau kebun yang mulai nampak dari jauh kelihatan. Lagu itu dilantunkan dalam tema harapan, persaudaraan, dan kebaikan lainnya. Oleh karena terlalu sering mendengar nyanyian tanah itu, maka saya bertanya kepada ayah : “Papa knapa (mengapa)dorang (mereka) selalu manyanyi (menyanyikan) lagu itu trus (terus menerus, berulang-ulang). Apa dorang (mereka) seng (tidak) bosan ?" Ayah menjawab : "Bagi katong (kita)  nyanyian itu  membosankan. Tetapi bagi dorang (mereka) nyanyian itu adalah gambaran harapan semoga Tuhan memberkati kebun yang menjadi sumber hidupnya.
Pemahaman tentang sistem nilai ain ni ain juga berkaitan dengan hubungan penganutan agama, Kristen-Islam. Ketika[6] agama Islam pertama kali datang, ia dibawa oleh para orang tua Kei ke Tual. Ketika agama Kristen Katolik pertama kali datang, para orang tua Kei membawanya ke Langgur; dan demikian juga dengan agama Kristen Protestan yang terakhir datang, ia dibawa oleh para orang tua Kei ke Ta’ar. Para Orangkay di Tual, Langgur dan Ta’ar bersama seluruh masyarakatnya menerima agama yang dibawa oleh para orang tua Kei itu dan menganutnya.  
Konon pada mula orang Kei memeluk agama pilihannya, penerimaannya mulai bergerak dan termotivasi dari dalam keluarga-keluarga orang Kei sendiri.[7] Ketika agama-agama Islam, Katolik dan Protestan masuk dan mulai menyebar di Kei, orangtua Kei menyuruh anak-anaknya secara bebas memilih agama kesukaannya. Sementara orangtua mereka tetap memeluk agama sukunya. Satu pesan para orangtua mereka ialah supaya anak-anak dengan pilihan agama anutannya masing-masing tidak boleh melupakan hubungan erat kekeluargaan dengan saudara-saudaranya. Kenyataan ini bisa dihubungkan dengan ada orang Kei yang satu fam yang sama dan bersaudara, tetapi ada yang Islam, Katolik atau Protestan.
Cita-cita ideal sistem nilai ain ni ain adalah alat pengikat semua orang Kei sebagai orang basudara. Ketika berhadapan dengan kenyataan konteks, ia menampilkan bentukan identitas yang selalu harus diperbarui supaya selaras dan relevan dengan hidup yang dicita-citakan. Sebab identitas hidup tidak berarti sama dengan serentak menjadi sama dengan cita-cita ideal sistem nilai bersangkutan. Tetapi identitas menonjolkan sikap dan perilaku yang dianggap sama atau seakan sama dengan cita-cita ideal sistem nilai itu. Jadi, dengan memahami atau memiliki sistem nilai ain ni ain tidak serentak hidup menjadi aman, tentram, penuh perspektif ke masa depan dan komunikatif dengan orang lain. Cita-cita ideal sistem nilai ain ni ain selau berhadapan dengan proses upaya memahaminya dan memberlakukannya bagi hidup orang Kei. Upaya memahami nilai-nilai ideal menonjolkan keinginan untuk hidup selaras dan relevan dengan konteksnya.
Perlu diingat juga bahwa dalam hidup masyarakat pada lokal desa atau kampungnya, ada juga berbagai sistem nilai lokal dan kebijaksanaan lokal, yang menjadi norma atau ukuran tata hukum yang memberi perlindungan dan menjadi alat komunikasi antar masyarakat sedesa atau dengan beberapa desa.
 Contoh berikut perlu disimak :
Angkat Muka di Danar 
Waktu itu terjadi perkelahian di antara orang Ohoira dengan orang Danar, ketika ada pertandingan bola kaki di Danar. Permainan makin keras dan kasar ketika seorang pemain Danar, karena kalah cepat menghentikan bola, akhirnya menendang kaki pemain bola orang Ohoira. Pemain Ohoira itu terjerembab jatuh. Di kesempatan lain pemain bola orang Ohoira mengganjal pemain bola orang Danar dengan keras, sehingga ia terjungkal dan jatuh. Akhirnya permainan yang keras itu berakhir dengan kemenangan tuan rumah, kesebelasan Danar.
Di luar lapangan seorang pemuda Ohoira meneriakkan kemenangan tidak jujur kepada para suporter tuan rumah. Terjadi kejar-kejaran dan baku pukul di antara penonton tuan rumah dengan penonton dan beberapa pemain bola orang Ohoira. Dua pemain bola Ohoira jadi korban pemukulan itu. Perkelahian itu di bawa ke rumah Rat, atau Raja Danar.
Atas kejadian itu, Raja Danar memutuskan bahwa “.... yang salah adalah orang Danar. Sebab mereka tidak sabar menanggapi keluhan anak-anak muda Ohoira yang tidak puas atas kekalahannya.” Lebih lanjut Raja menegaskan : “Tetapi yang paling penting dari semua itu, adalah kamu semua ini orang basudara (bersaudara). Main bola ini supaya kamu latih mental dan rasa hormat-menghormati di antara sudaramu (saudaramu) orang Ohoira, sama seperti mereka menghormati kita orang Danar.” Kemudian Raja berkata : “…. …jadi, orangtua Danar harus ambil bajuvor (untuk) lap (mengeringkan) orang Ohoira punya air mata.Orang Danar segera pergi kasi (beri)tahu kamu punya orangtua.” Lalu orangtua dari orang Danar mengambil dua kemeja baru dan menyangkutkannya di badan dua korban orang Ohoira.

Dua kemeja yang disangkutkan ke badan anak-anak yang dipukul itu melambangkan pemulihan nama baik dan harga dirinya. Nilai itu dilambangkan dengan menyeka dan mengeringkan tubuh yang basah oleh keringat dan (mungkin ada) bercak darah karena luka kecil dan memakaikan atau menyarungkan ke tubuh mereka. Dengan dua kemeja baru, yang disangkutkan di badan korban orang Ohoira, hubungan hidup dipulihkan kembali, kesumat perkelahian itu dengan sendirinya sudah aman seperti biasa. Nama baik dan harga dirinya mesti dipulihkan, sebab mereka telah dibuat malu dengan jalan telah dipukul. Pemulihan simbolis tetapi bermakna seperti ini penting dipenuhi supaya saudara-saudara Ohoira tidak pulang dengan sakit hati dan kecewa. Demikian juga dengan saudara-saudara Danar yang tinggal, mereka akan melupakan kemarahan dan dendam kesumatnya lalu mengganti-kannya dengan sikap damai di hati sebagai lambang hubungan persaudaraan.
Ritual penyekaan dan pemakaian atau penyarungan kemeja dilakukan dengan didahului seruan : “Dit ni wang ...............” dan mengangkat tinggi-tinggi sirih-pinang perdamaian, yang kemudian dimakan secara bersama-sama oleh kedua belah pihak, orang Danar dan orang Ohoira. Di masyarakat Kei, jika kata-kata dit ni wang diucapkan sambil mengangkat tinggi-tinggi sirih pinang lambang tanda perdamaian ke atas, maka semua yang hadir tidak berani mengomentari kejadian yang disengketakan lagi. Semua orang pasti menerima keputusan itu. Dit ni wang berarti leluhur atau nenek moyang, punya uang, atau bagian penghormatan kepada leluhur sedang dipanjatkan, natsar mohon perkenaan dalam harapan penjagaan, perlindungan dan sanksi bagi yang menentangnya, dimohon. Oleh karena itu, di semua upacara adat, tanda sahnya acara itu selalu dibuka dengan memohon kehadiran leluhur sebagai tanda hormat dan ketaklukan semua yang hadir. Wang atau uang, mewakili bahan natsar sesaji demi perkenaan kehadiran leluhur. Biasanya di samping uang, ada juga bahan lain seperti sirih, pinang dan tembakau. 
Bagi orang Kei, bentuk perdamaian demi pemulihan hubungan sosial seperti ini dikenal dengan nama kensa fa’ak. Kensa fa’ak artinya dua (salah atau benar) dengan dua (pihak yang bertikai) adalah (jika dijumlahkan) tetap empat. Dalam pemahaman adat Kei, terhadap perkara di pertandingan bola di atas, melihat pihak Danar (yang dinilai bersalah oleh Raja Danar) dan pihak Ohoira (yang dinilai benar oleh Raja Danar) keduanya sama-sama salah dan sama-sama benar. Intinya hendak menonjolkan pengakuan secara sadar dari kedua belah pihak tentang kesalahan yang ada dan bersamaan dengan itu pengakuan terhadap kebenaran yang ada di kedua belah pihak (Laksono & Topatimasang 2004:115-116).
Ritual angkat muka di atas adalah sebuah upacara adat yang praktis, sederhana dan efektif. Ia tidak mahal dalam biaya, waktu dan perlengkapan lainnya; ia praktis, sederhana dan murah. Tetapi adanya aspek kepraktisan, tidak boleh dipahami sebagai melalaikan esensi dasarnya ialah pemulihan hubungan sosial. Banyak bentuk hubungan sosial yang menjadi ancaman terpendam yang sewaktu-waktu bisa pecah, karena ketegangan, persinggungan dan berbagai keretakan di sekitarnya dibiarkan menggantung berlarut-larut.
Bentuk pemulihan konflik sosial yang dikemukakan di atas menyadarkan kita tentang perlunya upaya pemulihan hubungan-hubungan sosial dalam interaksi hidup warga masyarakat sesegera mungkin. Pelaksanaannya melahirkan penyegaran tentang makna hubungan sosial yang murah, sederhana, indah dan penuh damai. Ia dilakukan apa adanya. Tanpa protokol dan unsur-unsur formal yang njelimet atau rumit dan mahal. Cukup dengan ungkapan kekayaan nilai adat-budaya yang sederhana tetapi padat artinya, ia menjadi alat pendamai, pemersatu dan pemulihan hubungan hidup dalam ikatan persaudaraan. Ungkapan itu adalah bentuk amsal lokal, atau sistem nilai lokal, yang dikenal dan telah menjadi bagian hidup sesehari orang Kei.
Dalam desa-desa di Kei, masih ada berbagai bentuk sistem nilai lokal dan kebijaksanaan lokal. Sistem nilai lokal dan kebijaksanaan lokal itu sangat berperan dalam menata, mengawasi dan melestarikan hubungan sosial masyarakatnya. Semua sistem nilai lokal dan kebijaksanaan lokal menyata dalam pantun adat lokal, nyanyian adat lokal dan tarian adat lokal. Di Kei ada ngel-ngel, syik-syikar, dok mol (perenungan, meditasi), ada banyak misil-masal (perumpamaan), sukat-sarang (pernyataan yang mengungkapkan tentang kebenaran) dan liat-dalil (kata-kata sinis). Hal yang terpenting dari fungsi dan peran sistem nilai lokal dan kebijaksanaan lokal itu adalah pada terciptanya cita-cita ideal hidup ‘ala’ desa. Bahwa dengan praktek memperdengarkan nyanyian adat, semua warga masyarakat desa lintas strata, entah ia orang mel-mel, orang ren-ren ataukah orang iriri, mereka merasa damai, sukacita dan punya kekuatan dan pengharapan. Semuanya itu bisa hadir dengan begitu indah dan membahagiakan karena inti dari sistem nilai lokal dan kebijaksanaan lokal itu berpusat pada kebaikan moral.
Di wilayah pulau-pulau Maluku Tenggara atau sering juga disebut Maluku Tenggara Raya,[8] ritual seperti yang diuraikan di atas itu disebut adat angkat muka,[9] atau ritual mengangkat dan menengadahkan kembali wajah, dia yang sudah dipermalukan (angkat muka atau menengadahkan wajah kembali dari posisi wajah yang tertunduk karena dibuat menjadi malu). Karena dia sudah dibuat malu, maka yang membuat malu harus menebus perbuatannya dengan memberikan sebentuk tebusan demi pemulihan nama baik. Perbuatan penebusan ini bukan semata-mata menyangkut ganjaran bagi siapa yang benar dan siapa yang salah saja. Tetapi di dalamnya hendak ditampilkan betapa pemulihan hubungan sosial di antara kedua belah pihak, adalah sangat penting.
Semua sistem nilai lokal dan kebijaksanaan lokal di atas bermuara pada satu kebaikan moral yaitu supaya semua orang Kei yang ada di desa-desa hidup dengan baik, tentram, damai dan saling pengertian. Kekuatan visioner bentuk-bentuk sistem nilai lokal dan kebijaksanaan lokal dan pelaksanaannya yang selalu hidup dalam interaksi masyarakat di desa, yang memberi dukungan bagi “seakan” sistem nilai ain ni ain itu benar berlaku universal bagi semua orang Kei lintas semua strata. Dalam hidup sehari-hari, nilai universal sistem nilai ain ni ain yang elitis kelihatannya “seakan” menjangkau semua orang Kei. Padahal sesungguhnya ia ‘ditopang’ oleh pemahaman dan perbuatan nyata dari sistem nilai lokal dan kebijaksanaan lokal, sehingga hidup toleran, harmonis dan berkelanjutan masih terus ada di antara orang Kei, Kristen-Islam, sampai hari ini dan juga ke masa depan.

Pemberian Yelim
Yelim adalah sebentuk pemberian partisipasi dari seorang anggota keluarga kepada saudaranya yang sedang punya hajatan. Jumlah dan bentuknya berbeda, mulai dari kerabat keluarga dekat sampai warga desa. Dalam praktek pemberian yelim, sebenarnya terjadi hubungan dialektis di antara sesama masyarakat, baik ia mel-mel, ren-ren atau pun iriri. Dengan kata lain, yelim berperan menjembatani hubungan strata di Kei. Tradisi yelim bisa dibandingkan dengan potlech, yang dilukiskan oleh Marcel Mauss (1992:16-137) sebagai sebuah kewajiban moral yang harus dibalas kembali. Moral saling membalas membuat seseorang akan tetap merasa berhutang, jika tidak memenuhi sebuah undangan atau turut menghadiri acara adat tertentu.
Ritus-ritus sosial atau pesta seperti pemberian yelim ada dalam berbagai bentuk dan jenis keramaiannya, baik secara adat dan begitu juga secara rohani Kristen. Contoh di keramaian rohani Kristen adalah syukur baptis, syukur sidi, syukur penahbisan pendeta, syukur penahbisan majelis jemaat, syukur wisuda, dan berbagai syukur atau pesta lainnya. Di pesta itu orang membawa pemberiannya, mulai dari keluarga, kerabat dan juga dari tamu dan undangan yang datang. Akibatnya ada semacam ‘hutang pertukaran.’ Maksudnya, si tuan pesta menjadi berhutang kepada setiap keluarga yang datang membawa pemberiannya. Dengan kata Iain sekarang ini ia punya hajat, tetapi ia punya hutang, atau ‘hutang pertukaran.’ Suatu ketika, jika orang lain di desanya punya hajat, maka ia harus membawa pemberiannya sebagai ‘balasan’nya. Proses pertukaran tradisonal inilah yang disebut sebagai kontrak sosial dalam masyarakat adat.
Dengan demikian jika dikaji lebih jauh, sebenarnya proses kontrak sosial mewarnai kehidupan masyarakat adat di seluruh wilayah pelayanan GPM. Saya bahkan melihat ikatan kontrak sosial ini yang sesungguhnya menjadi medium bagi perluasan penginjilan di Maluku. Sebagai contoh di masyarakat Kei di Maluku Tenggara; lewat seorang pribadi Maria Sakbau dibaptis dan membuat pesta lalu orang sekampung datang membawa yelim (Laksono 1990:134; SGKI 1974:501).Tanpa disadari pesta itu telah menjadi sebuah media pertukaran sosial di mana muncul harapan dan pemahaman : “Kalau begitu saya juga perlu bikin pesta atau syukur baptis, supaya banyak orang datang membawa yelim sama seperti yang sudah saya berikan. Supaya bisa bikin pesta atau syukur baptis, maka saya harus membaptiskan diri dulu, atau anak-anak atau keluarga.” Di sini disaksikan bahwa dorongan menjadi penganut Kristen bukan berdasarkan khotbah atau penganjuran oleh para Pekabar Injil saja. Tetapi oleh kontrak sosial yang adalah salah satu dasar ikatan sosial di antara masyarakat dalam praktek-prkatek adat-budayanya.

Strata Solsial
Di Kei ada tiga strata social: mel-mel, strata atas; ren-ren, strata tengah dan iriri, strata bawah. Ada pemisahan berkaitan dengan strata :
-          Pernikahan/perkawinan. Tidak boleh kawin lintas strata; mel-mel dengan ren-ren atau sebaliknya dan seterusnya.
-          Pemukiman, teritorialisasi domisili. Ada batas wilayah pemukiman mel-mel, ren-ren dan iriri. Ada wilayah yang telah mukim berbaur dan bercampur
-          Posisi duduk dalam berbagai pertemuan. Di depan dan di tempat duduk terhormat hanyu orang mel-mel. Di jejer kedua orang ren-ren dan terakhir orang iriri.
-          Kans di birokrasi. Bupati, kepala Dinas, rat/raja dan orangkai/kepala desa, harus orang mel-mel.  
Saya menarik kesimpulan bahwa sistem nilai ain ni ain adalah pengikat orang Kei sebagai orang basudara. Tetapi sistem nilai itu hanya seakan menyatukan hubungan di antara orang-orang strata mel-mel saja. Orang strata ren-ren masih bisa merasakan berada dalam persaudaraan ain ni ain sebab mereka adalah orang mel-nangan, yang masih diperhitungkan dengan batas-batas toleransi tertentu. Status ini membuat mereka tidak bisa diperlakukan sewenang-wenang oleh orang mel-mel. Orang iriri tidak berada dalam persaudaraan ain ni ain, sebab mereka tidak menikmati dan merasakan inti persaudaraan yang dilukiskan sebagai orang basudara yang berasal dari satu telur ikan atau dari satu telur unggas. Mereka sangat terpisah dari cita-cita ideal sistem nilai ain ni ain seperti yang terlihat nyata dalam perlakuan orang mel-mel kepada mereka; hak-hak hidupnya ‘dibredel’ dan kesempatan mengembangkan hidup secara bebas ke masa depan dihalangi. Mereka adalah orang rumah, para budak, yang dikepalai oleh seorang kepala marga orang mel-mel. Garis batas di antara orang mel-mel dengan orang iriri saya sebut sebagai demarkasi ekstrim. (lihat tulisan saya Strata Sosial)

Berteologi Hubungan Kristen-Islam
1.      Teologi Ain Ni Ain
Idealisme system ain ni ain menyatakan bahwa semua orang Kei berasal dari satu sumber saja. Itulah inti hubungan hidup mereka sebagai orang basudara. Sistem nilai ain ni ain adalah kekayaan konteks hidup orang Kei untuk berteologi.Tegasnya mesti dikatakan bahwa ain ni ain adalah teologi orang Kei. Sebab di dalamnya orang Kei mesti mampu melihat karya kasih Tuhan bagi hidup mereka sebagai orang basudara, tanpa pemisahan dalam strata mel-mel, ren-ren dan iriri, seperti yang ada berlaku sampai sekarang. Eben Nuban Timo (2004:33-40) menyebut bentuk-bentuk kebijaksanaan lokal dan sistem nilai lokal itu adalah teologi rakyat. Sistem nilai lokal dan kebijaksanaan lokal itu berupa legenda, amsal, kerifan, nyanyian, tarian, pantun, cerita rakyat, nasehat dan semua bentuk sistem nilai adat lainnya. Pusat intinya terlihat ketika dipraktekkan dan di dalam pelaksanaannya orang merasa aman, damai, sukacita, harmonis dan berkelanjutan ke masa depan. Saya  setuju dengan pendapat Timo di atas. Sebab, inti dari hidup sebagai orang basudara adalah karena merasa satu sebagai ciptaan Tuhan yang sama tinggi dan sama rendahnya; semua orang Kei adalah sama dan oleh sebab itu, mereka harus bisa hidup saling tolong-menolong, saling mengasihi dan saling menghargai. Hidup seperti ini yang mestinya dikembangkan oleh orang Kei dari waktu sekarang ke masa depan, demi ikatan hidup orang basudara yang berasal dari satu sumber.

2.      Teologi Konviven
Kerjasama, pengertian, saling tolong-menolong, saling hormat-menghormati demi kebaikan hidup bersama adalah keluhuran hidup desa yang menonjol dalam kekayaan kebijaksanaan lokal dan sistem nilai lokal di desa. Aspek-aspek kerjasama, pengertian, saling tolong-menolong, saling hormat-menghormati adalah kekuatan teologi hidup bersama atau teologi Konviven. Konviven berarti makan bersama. Ia pertama dikemukakan oleh Theo Sundermeyer di Brasil (lihat Prasetyo 2008). Dasar konviven adalah kemauan untuk hidup bersama kemudian belajar bersama dan memutuskan bersama untuk mendapatkan sesuatu yang baik bagi kelanjutan hidup bersama sekarang dan ke masa depan. Dalam membangun konviven, harus ada toleransi dengan dua komponen dasarnya yaitu menghargai dan menerima.
Teologi konviven menempatkan hubungan hidup bersama yang saling menghargai dan menerima dengan menyebut status budayanya mendahului status agamanya. Contohnya: menyebut orang Kei Kristen atau orang Kei Islam. Bukan orang Kristen Kei atau orang Islam Kei. Menurut saya teologi konviven harus menekankan kerangka identitas budaya yang di depan, bukan identitas agamanya. Sebab dengan menyebut status budaya, akan lebih mengikat hubugan keakraban sesunguhnya, yang sangat dikenal dan merupakan milik mereka sendiri. Hubungan keakraban seperti itu, yang penuh dengan aspek-aspek kerjasama, pengertian, tolong-menolong, hormat-menghormati, dibentuk oleh kebijaksanaan lokal dan sistem nilai lokal. Dengan Teologi konviven, orang Kei didekati dari kekayaan budaya lokalnya. Bagi orang Kei, pola dan kebiasaan hidup bersama adalah bagianutuh dalam interaksi sosialnya setiap waktu. Pola dan kebiasaan hidup bersama terlihat dalam konsep kerjasama atau maren dan pemberian bersama atau yelim.
Contoh lingkup Konviven bisa dijumpai dalam tokoh Abraham di Alkitab Perjanjian Lama, yang belajar dan hidup bersama dengan suku-suku lain. Dari hidup dengan suku-suku lain itu ia belajar mengenal Tuhan secara baru (Kej. 14, bnd. Maz. 110). Hidup bersama dan belajar untuk mengenal Tuhan secara baru supaya berkenaan bagi kehidupan bersama, tidak hanya dalam suasana dan hubungan yang baik. Tetapi juga dalam hubungan dan suasana hidup yang buruk, tertindas dan penuh kesulitan. Contohnya dalam hidup Hosea (2: 6). Hosea disuruh Tuhan untuk kawin dengan perempuan yang tidak setia. Dari perjuangan keteladanan untuk setia, Hosea belajar mengenal dan hidup dengan apa yang sesungguhnya menjadi inti kebaikan yang Tuhan Allah kehendaki ia miliki dan kemudian disebarkan kepada umat Israel.
Dalam Yohanes 1: 14: “Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita.” Artinya, Tuhan Allah sendiri berprakarsa untuk membuka komunikasi dengan manusia supaya menanggapinya. Dengan jalan manusia memberi respons terhadap prakarsa Tuhan Allah, maka itu menjadi bukti kehendaknya yang mau hidup di jalan keselamatan Tuhan. Di dalam Perjamuan Kudus, ide konviven diperdengarkan : “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu. Perbuatlah setiap kali kamu mengambil bagian di dalamnya menjadi peringatan akan aku” (1 Kor. 6: 22-23). Di Perjamuan Kudus, Tuhan Yesus mempersatukan para murid-Nya dan orang-orang yang percaya kepada-Nya dengan kematian dan kebangkitan-Nya. Di bagian lain Tuhan Yesus berkata : “Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang Kudengar dari Bapa-Ku (Yoh. 15:15).

3.      Teologi “Orang Basudara”
Telogi “orang basudara” muncul dari refleksi atas berbagai sistem nilai lokal dalam, bentuk berbagai kearifan lokal, yang menurut saya bersumber dari hubungan hidup yang saling menghargai, toleran dan inklusif.  Beberapa kearifan lokal bagi hubungan hidup “orang basudara” di Maluku :
-          Di Maluku Tengah, Ambon dan Lease, pela berarti hubungan hidup sebagai orang basudara;
-          Di pulau Buru, ada kai wait atau adik-kaka-wai berarti hubungan hiduip sebagai adik kakak.
-          Di Maluku Tenggara, ain ni ain berarti semua orang Kei berasal dari satu sumber
-          Di kepulauan Aru dan Tanimbar, ada bela berarti hidup “sudara.”
Hubungan hidup sebagai “orang basudara” ini penting untuk mengokohkan sebuah teologi hubungan antar agama Kristen-Islam. Banyak interaksi sosial dalam kekayaan nilai-nilai kearifan lokal yang lintas batas agama, berguna bagi orang Maluku untuk melihatnya sebagai jalan memiliki, membangun dan mengokohkan ikatan hidup silaturahim dalam kekayaan nilai-nilai budaya lokalnya.
Penutup
            Demikian sekilas pandangan saya tentang kearifan lokal dan sistem nilainya. Kiranya dieksplorasi lebih jauh dan dikokohkan sebagai bentuk teologi kontekstual dan teologi hubungan Kristen-Islam di Maluku. Semuanya itu demi kemaslahatan kita bersama ssebagai “orang basudara” di Maluku. 

------nseb------

Pustaka:
Abdullah Irwan, Ibnu Mujib, M. Iqbal Ahnaf
                2008       Agama dan Kearifan Lokal Dalam Tantangan Global, Pustaka Pelajar, Jakarta
Cooley, Frank
1987       Mimbar dan Takhta, Hubungan Lembaga-Lembag keagaman dan Pemerintahan di Maluku
Tengah, Jakarta, SH
Kissya, Elisa
1992          Sasi Aman Haruku, Jakarta, Yayasan Sejati
Laksono, P. M
1989          Wuut Ain Mehe Nifun, Manut Ain Mehe Tilor (Eggs from One Fish and One Bird, a Study of
the Maintenance of Social Boundaries in the Kei Island-Dessertation), Ithaca, Cornel University
Laksono, P. M &Roem Topatimasang
1999          Ken Sa Faak; Benih-Benih Perdamaian Dari Kepulauan Kei, Yogyakarta, INSIST
Manhitu Yohanes
                2007       Kearifan Lokal,Mutiara yang ditemukan kembali, (Makalah)
Mauss, Marcel
1992       Pemberian; Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno, Jakarta, Yayasan  Obor Indonesia

Ohoitimur, J
1981          Beberapa Sikap Hidup Orang Kei : Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan,/Thesis, Manado, STS Pineleng
Prasetyo Djoko
2008       Konviven dan Theologia Misi Interkultural Menurut Theo Sundermeyer, Jogjakarta Gema
Teologi, Universitas Kristen Duta Wacana, april 2008
Renyaan, Ph
1974       1200 Misil-Masal Liat Dalil, Sukat Sarang Evav, Tual, Yayasan Wilibrordus.
Sedubun, Nicodemus
2001       Kalimat-unSawa Dalam Qur’an, Sebuah Sumbangan Pemahaman Aqidah IslamTerhadap Sumpah Perdamaian Hawear (Tesis), Yogyakarta, PPS-T UKDW
                2008       Sebuah Pembelajaran Mengenai Perdamaian Antar Agama, Islam-Kristen, di Tanimbar
Utara, dalam Hendriks I. W. J, Elifas T. Maspaitella, Rudy Rahabeat : Kemurahan Allah Yang Mengamuni, Ambon, PPS AK, Fak. Filsafat UKIM
Sejarah Gereja Katolik Indonesia
1974       Jakarta, Keuskupan Agung Jakarta
Sitompul A. A.
1974       Pengendalian Diri Menurut Amsal Sulaiman dan Raja-Raja Mesir Purbakala, BPK-Jakarta,.
Timo, Eben Nuban
                2004       Anak Matahari; Teologi Rakyat Balelebo Tentang Pembangunan,Maumere, Ledalero
                2005       Sidik Jari Allah Dalam Budaya, Maumere, Ledalero
Von Rad Gerhard
                1970       Wisdom in Israel, London, SCM Press
Yunus, Ahmad. H & Suradi, p
                1985       Upacara Tradisional Yang Berkaitan Dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah
Maluku, Jakarta, P&K


Catatan:

[1] Tulisan ini dipentingkan sebagai bahan pengetahuan bagi mahasiswa Teologi.
[2] Rumah adat Maluku, bandingkan dengan balairung di Jawa
[3] Nyanyian tanah; kata tanah menekankan pengertian tua atau bertuah. Isi nyanyian tanah adalah nasehat dan petuah yang bernilai mengikat warga masyarakat pemiliknya, sehingga ketika didengar, si orang yang mendengar segera dapat memahaminya sebagai pedoman hidupnya ke masa depan.
[4] Tokoh-tokoh adat Cau Masbaitubun (desa Warbal) dan Cos Labetubun (desa Ela’ar) menyebutkan bahwa orang Key mewarisinya secara lisan saja dari para orangtua dan leluhurnya.Ungkapan-ungkapanlokal itu biasanya diucapkan ketika ada konflik antarorang-perorang atau desa dengan desa.Ia diucapkan sebagai alat perdamaian supaya yang bertikai menyadari keterikatannya sebagai masyarakat adat dan supaya mereka menampakanketaatannya kepada hukum adat yang bersumber pada hukum adat Larvul Ngabal.
[5] Ayah saya adalah seorang Guru-Jemaat atau sebutan Belanda Inlandsleraar, yang bertugas ganda yaitu melayani sebagai pendeta dan sekaligus juga mengajar di sekolah sebagai Guru di Jemaat atau desa tempat ia ditugaskan.
[6] Wawancara 12 September 2009 dengan ‘Herodes’ seorang tokoh Katolik dari desa Langgur dan keterangan yang sama juga disebutkan oleh Djafar, seorang tokoh Muslim dari Tual.
[7] Wawancara dengan Esau “Batrei” Masbait, di Warbal, tanggal 6 Juni 2009.-
[8] “Maluku Tenggara Raya” adalah sebutan untuk kesatuan wilayah pulau-pulau di Maluku Tenggara yang terdiri dari wilayah Kei, Aru, Tanimbar, Babar, Marsela, Lelang, Dae, Dawlor, Dawra, Luang-Sermatang, Romang, Damer, Wetar, Kisar, Leti, Moa dan Lakor. Ungkapan ini pertama kali dikemukakanoleh Edy Betaubun, seorang politisi dan tokoh pemuda Kei, pada tanggal 14 Maret 2008 dalam suasana menjelang kampanye pemilihan Gubernur Maluku periode 2008-2014.
[9] Ritual ini berbeda dalam simbol dan materinya, tetapi tujuannya hanya satu yaitu untuk memulihkan nama baik orang atau keluarga yang sudah dipermalukan. Contohnya, materi pemulihan nama baik di daerah kepulauan Babar (Babar, Marsela, Dawlor, Dawra, Dae, Luang dan Sermata) memakai sopi atau arak; di Tanimbar memakai kain tenun tua dan sejumlah uang; di Aru dengan membayar kain dan gong, dan ain lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar