Minggu, 11 Mei 2014

SEBAGIAN KEARIFAN LOKAL DAN KEBUDAYAAN ARU[1]



Oleh: Pdt. DR. Nick Sedubun, M. Th

Konflik di Dobo dan Perdamaian Sekarang
Konflik di Dobo[2] terjadi karena perkelahian di antara dua kelompok pemuda. Bermula dari kegiatan pembersihan dan penyiapan masjid dalam rangka menyambut Lebaran tanggal 19 Desember 1999. Ada beberapa pemuda Kristen yang bergaul baik dengan pemuda Islam yang berkelahi dengan kelompok pemuda Islam lainnya karena cemburu soal persiapan ke Lebaran di antara mereka. Perkelahian itu berakibat rusaknya kaca pintu sebuah masjid, yang sudah dibenahi untuk menyambut Idulfitri, di Dobo. Berita ini disampaikan ke dua desa besar Islam di Aru Utara, yaitu desa Samang dan desa Ujir. Inti pesannya bahwa masjid di kota Dobo sudah rata dengan tanah. Lantas sejumlah besar penduduk kedua desa itu datang dengan beberapa perahu besar. Rombongan besar itu tidak datang langsung singgah di kota Dobo, tetapi mereka menurunkan penumpang yang dapat disebut “pasukan perang,” di pantai sekitar tanjung ular. Mereka berjalan kaki ke kota Dobo. Di  tengah jalan ke kota Dobo, mereka bertemu dengan mantri kesehatan Yoseph Mesakh. Lalu mereka membunuhnya pada tanggal 16 Januari 1999. Orang Kristen di kota Dobo memakamkan Yoseph Mesakh hari minggu tanggal 18 Januari 1999. Usai ibadah pemakaman, mereka mulai menyerang dan membantai orang Islam di kota Dobo mulai senin 19 Januari 1999, bertepatan dengan hari Lebaran. Hari itu juga pecah Konflik di Ambon. Dari situ ia menyebar ke banyak wilayah di propinsi Maluku, di Maluku Tengah, Maluku Tenggara, Tanimbar, Maluku Utara dan lain-lain.
Dalam waktu sebulan setelah Kerusuhan itu, upaya perdamaian mulai dibuat atas prakarsa bapak W. Barends[3] dan seluruh masyarakat Aru, Kristen-Islam. Mereka sepakat untuk mengukuhkan perdamaian abadi di bumi jargaria[4] atau tanah Aru, pada tanggal 17 Februari 1999. Diskusi berhasil menguak peran pertemuan adat yang menghasilkan suasana perdamaian dari Konflik 19 Januari 1999 lalu. Bahwa di kepulauan Aru ada beberapa ikatan perjanjian adat; ada dua kelompok besar masyarakat, yaitu : kelompok lima atau ur-lima dan kelompok Sembilan atau ur-sia (di Maluku Tenggara ur-siuw dan lor-lim; di Maluku Tengah-Ambon-Lease ada pata-siwa dan pata-lima). Bapak W. Barends, berupaya mempertemukan ur-sia ngom-ngom, yang berasal dari desa Ujir dan desa Samang, semuanya adalah desa-desa Islam, dengan kelompok ur-sia kada-kada, yang berasal dari desa-desa Kristen Protestan yang umumnya ada di daerah belakang tanah, yaitu di Warjukur, Warloy, Kojabi dan Balatan. Wakil mereka datang dengan membawa tanda hubungan persaudaraan. Dari perjumpaan itu, bisa tercipta perdamaian dan pemulihan dari Kerusuhan di Aru.
Setelah itu, di Aru pernah diupayakan supaya ada satu Lembaga Masyarakat Adat (LMA), yang mampu memimpin dan menghimpun semua potensi adat-budaya masyarakat. Namun, upaya itu gagal, sebab di dalamnya diupayakan satu orang yang memimpin kedua persekutuan suku besar itu, ur-lima dan ur-sia. Padahal mestinya dibentuk kepemimpinan bersama di mana ada dua ketua, yaitu satu wakil dari kelompok ur-lima dan satu wakil dari kelompok ur-sia.
Saya melihat sendiri rupanya masa kejayaan kerajaan Islam Ternate di masa lalu telah meluaskan wilayahnya sampai ke kepulauan Aru. Ini terbukti dengan adanya desa-desa Islam yaitu : Ujir, Samang, Leting di Aru utara; desa Gulili di Aru tengah bagian depan; dan desa-desa Jambuair, Lola, Mariri, Kobror dan lain-lain di Aru belakang (belakang tanah). Kehadiran pengaruh Islam Ternate itu telah menjalin pakta persaudaraan dengan membentuk bagian persaudaraan di belakang tanah dengan desa-desa Kristen Protestan di Warjukur, Warloy, Kojabi dan Balatan. Ini terlihat dengan adanya ur-sia ngom-ngom, dari desa Ujir dan desa Samang, yang semuanya adalah Islam, dengan ur-sia kada-kada, yang berasal dari desa-desa Kristen Protestan di Warjukur, Warloy, Kojabi dan Balatan.
Pendapat saya ini bertolak dari kenyataan bahwa ikatan ur-lima, berpusat dan tersebar di Aru selatan dan Aru tengah. Di pakta ini tidak ada semacam bentukan persaudaraan dengan kelompok desa-desa tertentu di bagian lain di pulau Aru. Dalam ikatan desa-desa ur-lima ini ada juga yang Islam, tetapi bukan dari latarbelakang politis, seperti yang terjadi di antara kelompok Ujir dan Samang dengan kelompok Kristen Protestan di Warjukur, Warloy, Kojabi dan Balatan.
Konflik yang pecah di Aru, pada kenyataannya telah melibatkan kelompok ur-sia ngom-ngom dari desa-desa Samang dan Ujir, yang Islam. Sementara satu saudaranya, yaitu ur-sia kada-kada, yang beragama Kristen Protestan, yang meliputi desa-desa Warjukur, Warloy, Kojabi dan Balatan, tentu berada pada posisi serba salah. Sebab Konflik itu telah terbawa ke konflik antar agama, Kristen-Islam. Oleh sebab itu, ketika terwujud pertemuan di antara ur-sia ngom-ngom, yang Islam dengan saudaranya ur-sia kada-kada, yang Kristen Protestan, dan keduanya bersatu menuju perdamaian, maka konflik bernuansa agama, Kristen-Islam itu teratasi.
Saya sempat melihat dokumentasi foto perdamaian di antara kedua saudara itu; betapa takluk dan bersujud wakil ur-sia ngom-ngom dari desa-desa Samang dan Ujir. Ia  bersujud seperti orang mati, ketika simbol perdamaian diletakan oleh wakil dari ur-sia kada-kada di hadapannya. Ia terus menunduk diam seperti orang mati tanpa berani memandang simbol persaudaraan di antara keduanya itu. Sikap ini adalah tanda ketaklukan seorang prajurit kepada sultan atau rajanya.

Bela Sebuah Kearifan Lokal di Aru
Pada umumnya kata bela di kepulauan Aru, baik di Aru Utara, Aru Tengah dan Aru Selatan, berarti saudara, saudaraku, teman[5] atau teman karib. Di Aru Tengah ada di sungai Manumbai, terutama di desa Vavakula dan sekitarnya, kata abela, yang berarti saudaraku. Kata ini berarti ada hubungan adat di antara desa-desa terkait. Di desa Vavakula, yang warga masyarakatnya heterogen: Protestan mayoritas, Katolik dan Islam, ada kata jabu yang berarti saudara. Tetapi kata ini ditujukan kepada saudara-saudara Muslim yang berasal-usul dari desa-desa Samang dan Udjir. Dua desa ini terletak di Aru Utara yang berasal dari Ternate. Bela berarti sama dengan pela di Maluku Tengah, Ambon dan Lease. Ada bela (pela) di antara desa Lor-Lor dengan desa Ngaibor, desa Jelia dengan desa Beltubur. Seorang informan[6] menjelaskan bahwa kata bela, juga punya kaitan dengan pembagian peran dalam mendayungkan belang adat di Aru. Peran yang terbagi menurut fungsinya melukiskan persaudaraan dan kerja sama masyarakat sesuai pembagian menurut adat di masyarakat.

Tabel desa-desa Muslim di Aru
No
Desa-Desa Muslim
Penjelasan
Aru Utara
Aru Tengah
Aru Selatan
1
Kumul
Mesiang
Tabarfani ®)
Z) =  mayotitas Ternate
2
Kabalsiang-Benjuring
Gomu-gomu
Batugoyang
*)   = Ternate bercampur
3
Marlasi
Lola *)
Kalar-kalar
®)   = Bekas perusahaan
4
Leting Z)
Mariri *)
Kabalukin
          plywood
5
Samang Z)
Jambuair *)
Rebi

6
Udjir Z)
Kobror *)
Meror

7
Londe
Gulili Z)
Karei

8
Karangguli

Gomarmeti




Beltubur

Tabel di atas menjelaskan bahwa desa-desa Muslim di Aru Utara dan Aru Tengah yang berada dalam kelompok ur-sia, dipengaruhi oleh Islam dari utara atau dari Ternate; misalnya  desa-desa Samang, Udjir, Lating di Aru Utara dan desa Gulili di Aru Tengah. Tiga desa di Aru utara ini seluruh penduduknya Muslim. Demikian juga dengan desa Gulili di Aru Tengah di muka pintu masuk sungai Manumbai setelah desa Selilau, Namara dan tiba di sana. Di desa-desa Muslim lain penduduknya bercampur; ada Ternate, Kei, Geser, Jawa, Ambon, Buton, Bugis, Makasar dll. Hal menariknya, desa-desa itu letaknya berada atau posisinya mengarah ke utara. Kondisi ini sedikit banyak punya kaitan dengan pelayaran para serdadu Sultan Ternate dalam meluaskan pengaruhnya atau juga pelayaran mencari mualaf baru berkait perluasan dakwah Islam dari Ternate. Tampaknya pengaruh angin membawa pelayaran para serdadu Ternate itu berlayar mengikuti tiupan angin utara dan bisa tiba di sana dan mereka membangun desa-desanya. Tentang serdadu kesultanan Ternate atau anggota pasukan tentara Ternate, terlihat dalam pemberian pulau Labobar menjadi milik keturunan keluarga Sahabudin di Larat.[7]
Kondisi desa-desa Muslim di Aru Utara dan Aru Tengah yang masuk dalam kelompok ur-sia, berbeda dari desa-desa Muslim di Aru Selatan, yang termasuk kelompok ur-lima. Penduduk desa-desa ini  heterogen, bercampur Kristen dan Islam dalam satu desa. Seorang  informan[8] menjelaskan kenyataannya demikian bahwa penduduk Muslim adalah hasil perkawinan di antara seorang Muslim dari luar Aru dengan penduduk pribumi, sehingga anak-anaknya jadi mualaf dan kemjudian menganut Islam. Contoh bisa dilihat di desa Batugoyang. Di sini penduduk mayoritas Kristen hidup bersama-sama dengan saudara-sudara dan ipar-iparnya asli Batugugoyang. Rumah-rumah mereka berbaur satu dengan lainnya. Pendatang asli Muslim berasal dari Jawa, Makasar, Bugis, Buton, Ambon, Geser, Gorom dan beberapa daerah lainnya. Mereka pada umumnya adalah pedagang atau pelaut yang bekerja pada pedagang Cina dengan perahu-perahu layar atau perahu perahu motor laut.
Kondisi bentukan masyarakat seperti di desa Batugoyang juga ditemukan di desa-desa Gomarmeti, Karei, Rebi, dll. Contoh lain di desa Tabarfani, sebuah desa yang terbentuk oleh perusahan Plywood. Desa ini mayoritas penduduknya Muslim dengan penduduk berasal dari Buton, Makasar, Banda, Jawa, Ambon dll. Sepeninggal perusdaha kayu, desa ini mulai mengerucut menjadi kecil dan tertinggal hanya sedikit saja penduduk.

Beberapa Bentuk Kebudayaan di Aru
Di Aru ada tarian disebut mare atau ma’re. Berupa tari penyambutan yang ditarikan oleh ibu-ibu dengan menari berkeliling, kiri-kanan kemudian menyamping diikuti dengan suara membunyikan lidah, semacam siutan panjang dan diiringi dentangan tifa-gong. Makna dari tiap gerakan tarian itu adalah persatuan, persaudaraan dan solidaritas. Nyanyian dengan seruan siulan bersambutan bersambung disebut silir. Makna teriakan lidah bergelombang panjang dan saling berlanjut atau silir berarti setuju, mendukung atau mengiakan. Hikmat yang dirasakan adalah ketenangan jiwa, solidaritas dan rasa sukacita di hati.
Selain tari ma’re, ada juga tari lola, yang mencirikan suasana heroisme-perang. Tetapi tari ini jarang ditampilkan. Selain itu ada juga pantun-pantun dan nyanyian-nyanyian tanah. Di Aru ada dikenal sebutan jir-jir duai, atau Tuhan Yang Mahabesar. Ada sebuah kebiasaan bernyanyi sambil memukul tifa pada desa-desa di sungai Manumbai yang disebut tambaroro. Si penyanyi sekaligus penabuh tifa, bisa seorang saja atau berkelompok. Tambaroro bisa dilakukan sejak pagi sampai sore, bahkan sampai pagi hari besok. Biasanya untuk menguatkan daya tahan penabuh, penyanyi dan penari tambaroro, maka pesertanya menenggak sopi atau arak. Syair dalam tambaroro berisi pantun-pantu penuh makna. Dalam keadaan setengah sampai sedang mabuk, si penyanyi dan juga penari biasa melantunkannya. Pantun berisi nasehat kepada anak muda, peringatan supaya umat taat kepada TUHAN, jangan membuat onar dan bertindak kekerasan, dll.


-------nseb-------




[1] Tulisan ini ditujukan bagi bahan kuliah mahasiswa Fakultas Teologi UKIM, Ambon dan pembaca lainnya.
[2] Wawancara dengan bapak B. Rattu, tanggal 27 Januari 2010.
[3] Wawancara tanggal 20 September 2009. Beliau seorang Tokoh Adat Aru yang disegani
[4] Jargaria terdiri dari dua kata yaitu : jar = Aru dan garia = pulau, tanah, kadang diartikan kehidupan. Kata ini adalah bahasa tua masyarakat di Trangan Barat, atau Aru Selatan bagian Barat. Jadi, Jargaria artinya pulau Aru, tanah Aru atau kehidupan Aru. Wawancara dengan Bapak W. Barends, 20 September, 2009 di Dobo.-
[5] Wawancara tanggal 15 November 2012, dengan G. Gutandjala tokoh masyarakat Aru, di Tepa.-
[6] Wawancara dengan Bapak J. Badidi, Juni 2009 di Dobo
[7] Lihat Nick Sedubun: Sebuah Pembelajaran Mengenai Perdamaian antara Agama, Islam-Kristen di Tanimbar Utara, dalam I. W. J. Hendriks (ed): Kemurahan Allah Yang Mengampuni (Festschrift Pdt. Dr. A. N. Radjawane), Program Pascasarjana Agama dan Kebudayaan Fak. Filsafat UKIM, Ambon 2008, halaman 781-793.-
[8] Wawancara dengan Pdt. M. Waitau, Juni 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar