Kamis, 15 Mei 2014

Pela Di Maluku Tengah[1]



Oleh: Pdt. Nicodemus Sedubun, M, Th

Pendahuluan
Paper ini berupaya mengungkap ulang apa itu pela dan isi falsafah yang dikan. Thdungnya, yang dalam periode waktu yang cukup lama mampu menyatukan masyarakat Maluku, khususnya di Maluku Tengah, dengan segala perbedaannya terutama perbedaan hidup beragama, Islam-Kristen. Sejak datangnya penjajah bangsa Barat, pertama Portugis dan kemudian Belanda di abad ke-15, masa kemerdekaan dan sampai sebelum tahun 1999 waktu meledaknya Kerusuhan bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan antar Golongan), pranata budaya ini berfungsi efektif menopang, mengarahkan dan memberi inspirasi kepada masyarakat untuk menghadapi hidup dengan segala tantangannya ke depan. Tapi dalam kenyataannya, buah sejarah memang tidak selamanya terasa manis untuk dinikmati. Ada buah pahit sejarah seperti Kerusuhan 19 Desember 1999 di Ambon, yang berjalan ganas sekitar enam tahun (19 Desember 1999-25 April 2005). Selama Kerusuhan dan Pasca Kerusuhan, lembaga pela dengan segala isi kearifan lokalnya mengalami kegoncangan. Kondisi ini makin kacau karena konflik antarmasyarakat telah merambat ke mempertentangkan penganutan agama. Ikatan pela yang berisi relasi heterogen agama, mengalami tantangan berat. Anggota sesama pela yang terikat bersatu dalam perbedaan agama, Islam-Kristen, saling menyerang, membakar dan membunuh. Selama Kerusuhan, baik di pihak Kristen maupun di pihak Islam, ada sinyalemen yang menghendaki supaya pela dihapuskan saja, sebab pebantaian, pembunuhan dan pemusnahan harta benda yang terjadi di antara sesama desa yang ada dalam ikatan pela terus berlangsung. Sekalipun demikian tetapi di pihak lain, ada juga yang tidak menghendaki supaya ikatan pela dihentikan (pela putus), karena ia berakar dalam adat yang masih kuat menghubungkan masyarakat. Harapan kelompok ini demikian, sebab mereka yang berperang itu melakukannya atas nama pribadi atau kelompok-kelompok kecil yang tidak bertanggungjawab. Mereka bukan berperang atas nama desa-desa yang terikat dalam satu ikatan pela. Tetapi mereka telah melupakan ikatan janji pada awal mula terbentuknya pela. Pernyataan-pernyataan seperti di atas itu begitu kuat dan saling berbeda sebab terlihat bahwa pada awal Kerusuhan, yang ikut ‘perang’ dalam Kerusuhan masih dalam batas orang-perorang. Pengaruh partisipasi komunitas desa dan agama baru mulai menggumpal di tahun kedua Kerusuhan (2000 ke atas), apalagi dengan  kedatangan ‘orang luar’ yaitu Laskar Jihad dari pulau Jawa. Pasca Kerusuhan lembaga pela dengan aktifitasnya mulai tampil lagi mengisi kehidupan masyarakat pemiliknya. Terdengar suara-suara individu, tokoh-tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat, menyatakan : “Berenti jua, katong su cape deng Kerusuhan,” artinya, : “Berhentilah, cukuplah (penderitaan), kami sudah capek dengan Kerusuhan.”
Karena itu, Paper ini bermaksud mendapatkan sebuah diskusi tentang eksistensi, potensi dan resistensi pela di Maluku Tengah. Diskusi ini diusahakan secara mendalam berpusat pada pela selama masa kedatangan penjajah Portugis dan Belanda sampai masa sebelum Kerusuhan 19 Desember 1999. Pendalaman dalam batas waktu sebelum Kerusuhan ini bermaksud untuk melihat apa hakekat dan makna kearifan lokal dalam pela bagi masyarakat yang ada di dalamnya. Selain itu, penulis juga berupaya menguraikan ikatan pela selama Kerusuhan dan Pasca Kerusuhan dengan beberapa contoh operasionalnya supaya sedapat mungkin memperoleh gambaran sebenarnya tentang pela. Dikatakan demikian, sebab dokumen-dokumen tertulis tentang pela yang beredar, ditulis mengomentari pela selama masa Kerusuhan dan Pasca Kerusuhan, di dunia akademis sekarang ini belum dapat dikatakan sebagai sebuah fakta representatif. Menurut penulis, dokumen-dokumen itu masih perlu diuji lagi klaim ilmiahnya.
Penulis berupaya menemukan hakekat dan makna pela dalam masa kedatangan Penjajah sampai tahun 1999 sebagai pengenalan dasar untuk melihat gambaran identitas pela yang terguncang selama kerusuhan dan Pasca Kerusuhan. Dari situ deskripsi dan refleksi apa yang bisa dibangun ke depan demi mendapatkan gambaran keberadaan pela sebagai sebuah jati diri Masyarakat Maluku Tengah: pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Sekalipun upaya yang terakhir ini masih darurat karena pasti sangat subyektif sifatnya, tapi diharapkan dari uraian itu paling sedikit ada dorongan untuk menemukan di manakah ‘gluedaya ikat pela yang hancur berantakan, tapi tidak musnah itu, sehingga optimisme dan antusiasme masyarakat warga pela bisa membenahi hidupnya kembali sebagai masyarakat beradat dan berbudaya ‘orang basudara’ atau sebagai orang bersaudara.
Supaya bisa mencapai tujuan penulisan Paper ini, maka Sistematika penguraiannya adalah seperti berikut ini :
·         Pendahuluan
·         Pela di Maluku Tengah, berisi
o   Pengertian dan ruang lingkup Pela
o   Kondisi Pela sejak kedatangan Penjajah dari Eropah sampai tahun 1999
o   Kondisi Pela selama Kerusuhan 1999 – 2005
o   Kondisi Pela Pasca Kerusuhan.
o   Kesimpulan
·         Refleksi Teologis
·         Penutup

Pela di Maluku Tengah
1.      Pengertian dan Ruang Lingkup
            Secara etimologis pengertian pela berasal dari beberapa makna kata di daerah asalnya. Bahasa asli Seram menyebut kata pela berasal dari kata papelae, berarti harus diakhiri, mengakhiri, sudah berakhir atau sudah pada akhirnya. Misalnya dalam bagian kalimat papelae tuae, artinya mari minum sageru (sebagai tanda pengesahan sebuah kesepakatan yang sudah berakhir, sudah disetujui).  Di pulau Nusalaut ada kata pelania, yang berarti harus berakhir.  Di desa Kailolo di pulau Haruku, ada kata pelaya, yang berarti sudah atau habis. Di desa Amahai di pulau Seram, dikenal bagian kalimat sou-sou pelania……, yang diucapkan atau diteriakan sebagai akhir dari kesepakatan berdamai dari dua belah pihak yang bertikai. Di beberapa daerah di pulau Ambon dikenal kata pela-u, yang berarti saudara. Di masyarakat suku asli pulau Seram, Kakehan, dikenal kata pela-pela sebagai sebutan persaudaraan, yang diikuti kemudian dengan pematrian tatoo di bagian tubuh anggotanya yang baru.
            Menurut Stresmann (1923 : 417-dikutip dari Bartels halaman 57-59), di daerah lain ada juga kata yang punya arti mirip sama; bela yang berarti teman atau sahabat. Kata ini ditemukan di Maluku Tenggara : bela di Banda Elat-Kei Besar, belano di desa Wokam di pulau Aru, bel atau tea-bel di Kei Kecil. Ada juga kata balbela di wilayah pulau Fordata di pulau Yamdena, Tanimbar. Menurut Draabe, kata bela atau kida-bela di Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) punya arti yang sama dengan pela di Maluku Tengah, yang berarti sahabat atau bersaudara (Draabe 1932 : 13 dan 43-dikutip dari Bartels halaman 60). Semua arti kata-kata di atas menuju pada satu arti habis atau sudah. 
Kata lain dengan pengertian yang mirip sama yang berarti membatasi atau merintangi, misalnya ditemukan di suku Naulu dengan kata pena, yang berarti jangan atau dilarang. Selain itu, ada juga kata wake, wate, wake ou, di Maluku Tengah; di pulau Seram, di pulau Ambon dan di pulau-pulau Lease. Kata-kata itu berarti jangan potong kepalaku dan juga berarti menjauhlah atau tetap (berdiri) di batas.
Dari berbagai pengertian di atas, pela punya asal-usul kata yang banyak sekali ; dari Maluku Tengah : pulau Seram, Pulau Amboin dan pulau-pulau Lease ada kata-kata papelae, pelaya, pelania, pela-u, pela-pela, yang bermakna sama dengan kata-kata di kepulauan Kei, kepulauan Aru dan kepulauan Maluku Tenggara Barat seperti : bela, belano, bel atau tea-bel, balbela, kida-bela. Pela juga punya makna sama dengan kata-kata yang berbeda seperti : wake, wake ou dan wate, yang dikenal di Maluku tengah : pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Dari semua kata-kata yang melukiskan pengertian pela itu muncul sejumlah arti : harus diakhiri, mengakhiri, sudah berakhir, sudah pada akhirnya, sudah, habis, teman, sahabat, membatasi atau merintangi, jangan potong kepalaku, menjauhlah atau tetap (berdiri) di batas.
Pengertian-pengertian itu mengandung aspek pembatasan, perlindungan dan larangan. Pembatasan yang dimaksudkan berpusat batas akhir bertikai dan membentuk ikatan persaudaraan dalam ikatan pela. Pembatasan ini juga menyangkut hal hidup yang berpusat pada batas tanah, yang mengartikan bahwa sampai di sini batas-mu dan di situlah batas-ku. Jangan melintasi atau melewati batas itu. Oleh karennya batas-batas hak atas tanah ini adalah hak hidup yang tidak boleh dilanggar. Menurut hemat penulis makna batas ini adalah pengartian ikatan pela yang tertua, yang terjadi di pedalaman pulau Seram. Perlindungan mengartikan adanya sebuah tanggungjawab hubugan persaudaraan yang erat dan saling mendukung. Di dalamnya, tolong-menolong, saling memberi, saling melindungi dan saling merasakan suka dan duka sesama ikatan pela, terikat menjadi satu. Larangan menjadi satu makna inti dalam ikatan pela, di mana ada dasar utama yang harus dihormati, yaitu tidak boleh kawin dan tidak boleh melakukan penindasan terhadap sesama pela. Dalam tiga aspek pengertian ikatan pela itu hubungan persaudaraan dipahami sebagai sentralnya. Artinya, ikatan persaudaran pela ada dalam hak hidup, ada dalam perlindungan dan ada dalam menaati larangan.
Menyangkut ruang lingkup pela di Maluku Tengah dapat dilihat dalam tiga pembatasan. Pertama, pembatasan pela sebagai ikatan persaudaraan antara desa-desa dalam kesatuan pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Dalam pembatasan ini, yang dimaksud dengan pulau Seram adalah desa-desa di pulau Seram bagian depan[2] ; mulai dari desa Tamilou di ujung barat Masohi, ibukota Kabupaten Maluku Tengah, dengan semua desa di dalamnya; Kecamatan Kairatu dengan semua desa-desanya, Kecamatan Piru dengan semua desa-desanya dan sampai Kecamatan Taniwel dengan desa-desanya di Kabupaten Seram Barat. Kumpulan desa-desa ini disebut Seram bagian depan, karena ikatan budaya dan kedekatan lainnya, seperti ekonomi dan sosial. Kedua, pembatasan dalam hubungan dengan suku-suku kecil terasing lainnya; seperti suku Naulu, yang sudah ada sejak lama dan mengakui bahwa mereka berasal dari gunung Binaya, sebuah gunung tertinggi di pulau Seram, di Seram bagian Timur. Mereka menetap di desa-desa dekat pantai Masohi bagian barat. Sementara suku asli besar di pulau Seram adalah suku Wemale dan suku Alune. Suku Wemale mendiami sebelah barat sungai Sapalewa dan suku Alune mentap di sebelah timur sungai Sapalewa sampai batas sungai Tala. Ketiga, pembatasan dalam bagian Seram bagian belakang yang mencakup wilayah Seram Utara dengan desa-desa di dalam Kecamatan Seram Utara di Wahai dan Kecamatan Bula, wilayah Seram Selatan meliputi desa-desa dalam Kecamatan Tehoru dan Kecamatan Werinama dan wilayah Seram Timur meliputi desa-desa dalam Kecamatan Geser, Kecamatan Gorom dan sekitarnya. Wilayah di pembatasan ini lebih dekat dengan masyarakat di Kei, wilayah Kabupaten Maluku Tenggara. Orang Kei punya ikatan pela dengan orang Seram umumnya dan khususnya dengan orang Seram Timur : Geser dan Gorom. Bahasa mereka juga sama di beberapa desa di Gorom dengan bahasa Kei. Di mana saja, ketika seorang Kei berbicara dan tahu bahwa lawan bicaranya adalah orang Seram Timur umumnya, dan khususnya yang berasal dari Geser atau Gorom, maka ia serentak akan menyapanya dengan sebutan : “Pela, ……………” dan seterusnya pembicaraan terus bersubyek dengan “………pela……..” Sebutan Nyong pela …… atau Oom Pela atau Pela….. saja, adalah penghalus kata dan ungkapan rasa hormat dalam berbicara di antara sesama saudara pela. Sapaan seperti ini juga berlaku bagi semua warga ikatan pela di Maluku Tengah : pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Bagi yang punya hubungan pela-gandong, mereka akan saling menyapa sesamanya dengan “Gandong………..”

2.      Kondisi Pela Sejak Kedatangan Penjajah Sampai Tahun 1999
Di bagian ini akan diuraikan Pembentukan dan Kategorisasi Pela; Penyebaran Penduduk di Pulau Seram, Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease ; dan Hikmat dalam pela dan Panas pela.

Pembentukan dan Kategorisasi Pela
A.    Asal-Usul Pembentukan Pela
Dari asal-usulnya, pela berasal dari tiga daerah, yaitu ikatan pela yang diyakini sebagai bentuk tertua ialah pela dari penduduk asli Alifuru di pedalaman pulau Seram, Pela dari Maluku Utara dan Pela-Gandong.

Pela dari penduduk asli Alifuru di pedalaman pulau Seram.
Ikatan pela ini bermula dari perburuan kepala dan perang antar kelompok, suku atau desa, orang Alifuru di pedalaman pulau Seram. Akibatnya, suku atau desa yang merasa terancam keamanannya akan berupaya membentuk ikatan pela dengan desa lain. Biasanya, desa atau desa-desa yang lemah akan bergabung dengan desa yang lebih kuat. Jalinan persaudaraan antardesa dalam ikatan pela di kategori ini bertujuan untuk mendapatkan perlindungan keamanan. Pemimpin perang yang sangat berpengaruh adalah seorang kapitan. Ia punya kekuatan magis tertentu yang mampu mengalahkan lawan. Karena itu biasanya perang yang terjadi bukan perang di antara rombongan melawan rombongan, atau main keroyok. Tapi, perang antara dua kapitan, dua jagoan yang menguji kedigjayaannya dengan senjata tajam maupun dengan kekuatan magisnya, sedangkan anak buah dalam rombongan hanya menanti siapa dari kedua kapitan itu yang menang. Si pemenang menjadi pemimpin yang ditakuti, demikian juga kelompoknya. Si yang kalah dengan kelompoknya akan berusaha untuk mencari perlindungan kepadanya. Dalam upaya mencari perlindungan ini, selalu diakhiri dengan ikatan sumpah pela. Keduanya menjadi satu ikatan bersaudara yang saling melindungi dan membantu dalam situasi aman maupun perang. Syarat lainnya adalah tidak boleh ada perkawinan di antara kedua kelompok dan keturunannya. Sumpah ikatan pela di antara kedua belah pihak berpusat pada minum darah bersama. Biasanya darah seorang dari anggota kelompok yang kalah diambil dan dicampur lalu diminum bersama, mulai dari kapitan-nya kemudian diikuti oleh anggota kedua kelompok.  
Ikatan pela asli suku Alifuru di pedalaman pulau Seram ini tidak mengenal kanibalisme dan balas dendam. Tentang waktunya pembentukannya tidak diketahui secara pasti. Tapi sangat mungkin ia terbentuk jauh sebelum kedatangan pengaruh kekuasaan dari kesultanan Ternate dan Tidore sebelum abad ke lima belas.

Pela dari Maluku Utara.
Pela ini terbentuk dari ikatan antara desa Hitu dengan Kerajaan Ternate yang beragama Islam. Setelah kehadirannya, ikatan pela ini berkembang menjalin persaudaraan dengan desa-desa yang beragama non-Muslim di pulau Ambon dan di pulau Seram. Orientasi ikatan pela di kategori ini lebih menekankan pada aspek ekonomi, khususnya perdagangan cengkih. Petunjuk atas aspek ini menjelaskan bahwa ketika penjajah Eropah datang, pada mulanya mereka berdamai dengan Kesultanan Ternate. Tapi lama-kelamaan, ketika perhatian mereka berpindah ke bidang ekonomi, pembelian rempah-rempah cengkih, maka permusuhan perang pecah melawan kesultanan Ternate. Terkenal di Kesultanan Ternate tokoh Kolano, seorang kapitan kepala (Hubert Th & M Jacobs, S.J 1971 : 113-115 ; 121-129), yang perannya mirip sama dengan seorang menteri, atau tangan kanan Sultan, dalam menjalankan kekuasaanya di daerah jajahannya. Jabatan kolano ini punya hubungan erat dengan jabatan galarang, yang adalah jabatan di ‘kerajaan kecil’ di bawah Kesultanan Ternate yang ada di jasirah Leihitu. Jabatan kekuasaan ini juga berkaitan dengan jabatan keturunan bangsawan Ternate, Gimelaha. Terkenal Gimelaha Leliato, yang banyak bersama desa-desa di pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease, berperang melawan VOC-Belanda (Leirissa 1975 : 3-5; 33-40). Salah satu pusat Kesultanan Ternate di pulau Seram adalah di desa Gamsungi. Bekas desanya ada di dekat desa Luhu sekarang ini.
Aspek lain yang tidak tegas kelihatan (diperlihatkan oleh para peneliti) adalah aspek dawah Islam. Sebab di mana-mana kecenderungan kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan yang bercirikan agama (Islam, Kristen), selain menekankan aspek politik, tapi juga selalu membawa misi mengagamakan daerah jajahan atau daerah afiliasinya menurut agama yang dianut (bandingkan Leirissa 1975: 6-9). Sekali pun demikian harus diakui bahwa ada juga motivasi lain pembentukan pela dengan ikatan desa-desa campuran agama, Islam, Kristen, dan kafir, demi keamanan bersama. Inti yang menjadi dasar ikatan pela mereka berpusat pada sumpah matakau. Sumpah matakau adalah sumpah yang dinyatakan di atas media mesiu dan kepala peluru yang di rendam dalam air atau sageru (sari air nira dari pohon enau atau kelapa) lalu mencelupkan semua senjata tajam dan moncong senjata api, kemudian campuran itu diminum bersama sebagai tanda ikatan pela.
Ikatan pela ini sangat kuat dengan kanibalisme dan upaya balas dendam, seperti yang ditunjukan dalam beberapa desa dalam ikatan pela di Leitimor. Waktu pembentukannya adalah pada masa kedatangan pertama bangsa Eropah, Portugis di abad ke lima belas. Pela ini mulai terbentuk di Hitu dan menyebar di Leitimor, dibawa dari Maluku Utara dari pengaruh kesultanan Ternate pada masa setelah Sultan Zainulabidin yang berkuasa mulai sekitar tahun 1495. Penetapan waktu ini bisa diterima bertolak dari pemakain kepala peluru, yang menyatakan bahwa senjata api dan pelurunya baru dikenal pada masa penjajahan. Sebelumnya, orang Alifuru atau penduduk pribumi Maluku, khususnya penduduk di Maluku Tengah : pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease, hanya mengenal senjata tradisional seperti panah, anak panah, parang dan tombak.

Pela dari Irian.
Ikatan pela ini bermula dari satu keluarga yang datang dari Irian, Papua, dan menetap di Hatumete, Seram selatan. Ia punya lima anak, tiga anak laki-laki : Temanole, Simanole dan Silaloi; dan dua anak perempuan : Nyai Intan dan Nyai Mas. Anak laki-laki yang tua, Temanole, menetap di desa Tamilou, anak laki-laki kedua, Simanole, menetap di desa Sirisori dan anak laki-laki yang ketiga, Silaloi, menetap di desa Hutumuri. Kedua anak perempuannya, seorang yang bernama Nyai Intan, kawin di desa Wa’ai dan seorang saudaranya yang lain bernama Nyai Mas, kawin di desa Haria. Ikatan pela saudara sekandung, kakak-adik, ini di Ambon disebut pela-gandong, yang lebih dikenal dengan sebutan gandong saja. Proses ikatan pela mereka berpusat dalam janji setia seorang saudara dengan saudara-saudara lainnya ketika mereka akan berpisah mencari tempat tinggal baru. Di atas janji itu, dibarengi kerinduan untuk bertemu membuat pertemuan baru yang lebih mengingatkan mereka tentang janji setia persaudaraan ketika berpisah dulu. Misalnya ketika saudara tertua Temanole hendak menetap di Tamilou, bersama kedua adiknya melukai tangan dan meminum darah bersama, mengatakan janji setia persaudaraan dan mengingatkannya kepada kedua adiknya Simanole dan Silaloi sebelum keduanya melanjutkan perjalanan ke tempat tinggal baru mereka masing-masing. Lama berselang, kerinduan kedua saudara perempuan mereka, Nyai Intan dan Nyai Mas berujung ke perjumpaan kembali dengan ketiga saudara laki-laki mereka. Setelah Nyai Intan kawin di desa Wa’ai dengan Bakarbessi dan Nyai Mas kawin di desa Haria dengan Manuhuttu, maka terjadi hubungan ikatan pela-gandong di antara desa-desa Tamilou, Sirisori, Hurumuri, Wa’ai dan Haria. Lima desa ini menjadi satu ikatan pela-gandong. Karena mereka adalah saudara se-gandong, atau sekandung, maka tidak boleh ada kawin di antara keturunannya.
Waktu pembentukan pela-gandong ini adalah pada masa penjajahan Portugis, yaitu sekitar abad ke lima belas.

B.     Jenis-Jenis Pela
Selama masa penjajahan, Bartels menyebut ada tiga jenis pela (Bartels 1977 : 181-190), yaitu pela keras atau pela batu karang, pela tempat sirih (pela longgar) dan pela gandong. Di Ambon, pela keras juga disebut pela tuni (bahasa Ambon, tuni berarti keras). Berbeda dengan Bartels, Cooley menyebut hanya ada dua jenis pela saja yaitu pela batu karang dan pela tempat sirih (Cooley 1962 : 72-74). Pela-gandong dimasukannya ke dalam ikatan pela keras, sebab di dalamnya dilarang kawin di antara angota-anggotanya. Penulis lebih setuju memakai pembagian menurut uraian Bartels, karena ia lebih rinci dan mudah dipahami. Uraian singkat tiga jenis pela itu seperti berikut ini :

Pela keras. Disebut demikian, karena ikatannya yang sangat keras dengan dasar sumpah yang tidak boleh dilanggar. Inti ikatannya ada pada minum darah bersama, yang mengikat mereka sebagai saudara. Darah yang diambil berasal dari mengorbankan salah satu anggota (terutama) kelompok yang kalah perang. Karena mereka telah menjadi bersaudara, maka tidak boleh ada perkawinan di antara keturunannya. Masuk dalam ikatan pela ini adalah pela tumpah darah dan pela batu karang. Pela tumpah darah terbentuk dari perang antara dua belah pihak yang berakhir dan diikuti dengan mengorbankan salah satu anggotanya. Darah korban anggota itu diminum oleh pemimpin dan anggota kedua belah pihak dan ditegaskan dengan sumpah sebagai saudara di antara keduanya. Pela batu karang bermula dari bantuan material berupa bantuan ekonomi, tentara dan peralatan perang. Kuatnya ikatn ini di samakan dengan batu karang, maka dinamakan pela batu karang.

Pela longgar. Disebutkan demikian, sebab dasar mengikatnya longgar. Ikatan pela ini sering juga disebut pela tempat sirih. Disebut begitu sebab dari proses berjumpa dan ditandai dengan saling mengajukan sirih-pinang dan dimakan, lalu kedua belah pihak sepakat untuk menjalin ikatan persaudaraan. Di ikatan pela ini, anggotanya boleh kawin dengan desa pela-nya.

Pela-gandong, yang ikatan pela-nya karena ada hubungan bersaudara kandung, karena itu dilarang kawin di antara keturunannya.
           
C.    Penyebaran Penduduk
Ada beberapa saja penulis tentang pela[3] yang menggambarkan ikatan kehidupan bersaudara masyarakat di Maluku Tengah. Ikatan hidup masyarakat itu berkaitan erat dengan bagian-bagian masyarakat pulau Ambon, pulau-pulau Lease dan masyarakat di pulau Seram bagian depan. Konon menurut sejarah, dalam hubungan dengan pela, ikatan masyarakat di pulau Seram khususnya masyarakat di Seram bagian depan lebih dekat dengan masyarakat di pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Masyarakat di pulau Seram bagian belakang, yang lebih dominan dikenal dengan nama Seram Timur, yaitu wilayah Tehoru, Werinama, Wahai sampai di pulau-pulau Geser dan Gorom, lebih dekat hubungan masyarakatnya dengan masyarakat di kepulauan Kei.
Ikatan pela yang semula kuat dan berpusat di pulau Seram, mulai mengalami tekanan yang dahsyat ketika jasirah Huamual dengan keharuman rempah-rempah cengkih tercium oleh penjajah Belanda. Hongitochten mulai menggila dengan perang dan penindasan di sana demi mendapatkan cengkih masyarakat. Hukuman dikenakan kepada desa-desa pemilik cengkih bila tidak menjual cengkihnya kepada Belanda dan menjualnya kepada pihak lain. Monopoli ekonomi mulai menggurita di jasirah luas dan strategis ini. Dampak sosial, politik dan ekonomi dirasakan desa-desa di sana. Dampak sosial politik adalah ketidak-tentraman penduduk, sedangkan dampak ekonomi adalah monopoli perdagangan cengkih. Apalagi pernah ada kemunduran harga cengkih yang sangat murah, sehingga penduduk di pulau Ambon dan pulau-pulau Lease tidak mampu membeli beras untuk makanannya sehar-hari. Mereka harus beralih dari membeli beras dengan membeli sagu dari pulau Seram untuk kehidupannya sehari-hari.
Pengaruh Hongitochten membuat penduduk mulai merasa tidak aman dan mengakibatkan migrasi penduduk dari pulau Seram ke tempat lain di pulau Seram maupun ke pulau Ambon dan pulau-pulau Lease, makin meluas. Migrasi terjadi karena masyarakat tidak mampu bertahan menghadapi kekuatan senjata Hongitochten-Belanda yang berusaha menguasai perdagangan cengkih di jasiran Huamual. Perang pecah di sentra-sentra kecil potensial penghasil cengkih. Penduduk desa-desa dipaksa mengungsi keluar; kampungnya dibakar dan semua pohon cengkih mereka di kupas supaya nanti kering dan mati (Keuning 1973 : 56). Dengan cara ini Belanda bisa memusatkan perhatiannya hanya di sentra-sentra potensi besar penghasil cengkih. Tekanan ini mengakibatkan dua hal, yaitu pertama : tercatat desa Piru, yang semula punya hubungan pela dengan desa-desa di pulau Ambon dan di pulau Seram, hancur. Akhirnya Belanda berhasil menjadikan Piru sebagai pusat ekonominya. Pada kenyataannya rencana monopoli ekonomi Belanda berhasil dan dengan demikian, penderitaan ekonomi rakyat semakin menjadi-jadi. Hidup semakin sulit sebab kebebasan menjual hasil cengkih di blokir dengan hanya menjual kepada Belanda. Dengan cara monopoli seperti ini, maka pembatasan bisa ditebak yaitu hak menentukan harga ada di tangan pedagang Belanda.
Sekitar tahun 1605, Van der Hagen ditetapkan sebagai penguasa Belanda di Ambon. Ia bertanggungjawab atas pemerintahan dan perdagangan waktu itu (Keuning 1973 : 30-32). Pada masanya kora-kora (perahu arumbae raksasa) adalah alat vital transportasi untuk mengurus misi hongitochten atas perdagangan cengkih. Paling sedikit setiap setahun sekali ia harus mengispeksi jasirah Huamual sampai pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Dengan jumlah 100 pendayung pada setiap kora-kora, dalam setiap pelayarannya, armada pengawas dagang Belanda ini mengerahkan sekitar 30 sampai 40 buah kora-kora. Itu berarti satu kali pelayaran hongitochten dibutuhkan 3000-4000 pendayung. Dijelaskan juga bahwa harga cengkih turun menjadi 60 real untuk setiap bahr (takaran Portugis waktu itu satu bahr=550 pon), dari harga semula yang cukup tinggi jika dibeli oleh pedagang Makasar atau Jawa seharga 90, 100 bahkan 120 real per-bahrnya. Akibatnya secara sembunyi-sembuni masyarakat menjual hasil cengkihnya kepada pedagang Makasar atau Jawa. Sebab selain berjualan, masyarakat juga bisa membeli barang-barang bagus dan berbagai jenis yang mereka bawakan seperti : beras, gong, barang tenunan, dan barang-barang perhiasaan.
Kedua, akibat selanjutnya dari pendudukan atas desa Piru menjadi pusat ekonomi menimbulkan migrasi penduduk. Dampaknya berlanjut melahirkan pembentukan ikatan-ikatan pela baru di desa-desa di pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Pembentukan ikatan-ikatan pela baru ini untuk mempekuat diri dalam gabungan beberapa desa untuk menghadapi Belanda. Dengan adanya ikatan-ikatan pela baru itu sekaligus makin memperkuat terbentuknya kesatuan masyarakat pribumi secara lebih luas dan mengikat. Kesatuan ini mengartikan lahirnya ikatan persekutuan desa-desa yang semula kecil dalam kelompok yang sedikit jumlahnya, satu-dua desa, mulai meningkat menjadi banyak dan menyebar meluas. Secara kuantitas perubahan ini menggembirakan, karena terbentuk sebuah kekuatan yang berani melawan penindas. Akan tetapi secara kualitas dalam fakta sejarah pela, ia tidak mempan terhadap Belanda yang terus menindas dengan senjata dan politik perangnya yang lebih maju. Artinya, persatuan masyarakat secara kuantitas harus juga dipadukan dengan nilai kualitas baru bisa menghadapi gempuran asing yang mengancam identitas lokal, yaitu jati diri masyarakat Maluku Tengah sebagai ‘orang basudara’- orang bersaudara.
Sekalipun kecil dan kalah dalam banyak hal ketika berhadapan dengan Belanda, namun desa-desa yang bergabung dalam ikatan pela, simbol persaudaran masyarakat lokal pernah menggalang kekuatan sebagai masyarakat pribumi Maluku Tengah dengan identitas nilai-nilai luhur pela dan adat-nya untuk menghadapi Belanda. Sejarah mencatat bahwa kekuatan pribumi selalu kalah. Mereka seperti seekor serangga belalang melawan seekor bengkarung. Sekalipun demikian, tetapi harus diakui bahwa perjuangan telah dibuat demi menikmati hak hidup, harga diri dan martabat sebagai orang Maluku Tengah : pulu Seram, pulau Ambondan pulau-pulau Lease.

D.    Eksistensi, Potensi dan Resistensi Pela
Telah diuraikan di bagian depan bahwa pela terbentuk di pedalaman pulau Seram bermula dari kebutuhan akan rasa aman dari perburuan kepala dan perang. Mengapa dalam masyarakat tradisional seperti orang Alifuru mesti berburu kepala, dan bukan melakukan kekerasan atau pekerjaan lainnya ? Apa kaitannya dengan rasa takut dan apa dasar dari berburu kepala itu. Pertanyaan-pertanyan ini penting untuk menguak motivasi hidup dalam berburu kepala sampai berhubungan dengan terbentuknya ikatan pela.
Nampaknya dalam kebiasaan masyarakat primitif atau masyarakat tradisional berburu kepala, kanibalisme dan makan daging manusia adalah sebuah kebiasaan mulia yang dilakukan di banyak suku-suku primitif di dunia. Berburu kepala dan mengorbankannya menurut pandangan masyarakat tradisional adalah sebuah ketinggian adat atau kemuliaan yang meninggikan harga diri si orang yang melakukan dan memperolehnya (Jensen 1962 : 162-168). Pemahaman ini bermula dari pandangan bahwa manusia dipandang lebih mulia dari hewan. Dalam tradisi masyarakat tertentu selain mengorbankan kepala manusia, ada juga yang mengambil alat kelaminnya. Selain mulia, kedua organ tubuh manusia ini mengandung potensi substansi magis. Oleh sebab itu, dapat dimengerti bahwa jika seseorang berhasil memotong kepala atau mengambil kemaluan manusia, seperti dalam kisah kapitan Sou Nusa yang berhasil membunuh kapitan Maatitah-meten dan membawanya pulang (Bartels 1977: 85), maka ia dipandang hebat dan dihormati, baik di kelompoknya sendiri maupun oleh kelompok lawan. Dalam tradisi Kakehan di masyarakat pedalaman pulau Seram, pelaksanaan berburu kepala adalah sebuah ketinggian dan kemuliaan lambang heroisme dan keberanian. Jika ia sukses mencapai cita-cita mulianya di dalam kelompoknya, maka ia dipandang sebagai pahlawan dan dengan demikian ia sekaligus sangat dihormati.  
Pandangan yang berkaitan dengan pemahaman berburu kepala yang dianggap mulia bagi yang mendapatkannya sebagai sebuah kemuliaan, juga ditemukan di banyak tradisi masyarakat Maluku lainnya. Dalam pemahaman masyarakat di Maluku Tenggara dan Maluku Tenggara Barat (MTB), kepala itu melambangkan kuasa, kepemimpinan dan wibawa. Sebagai contoh pandangan orang Kei dalam falsafah Hukum adat Larwul Ngabal, kepala dipandang sebagai Uud entauk advunad (Ohoitimur 1983 : 62-66). Artinya, kepala kita bertumpu pada tengkuk kita. Falsafah yang terkandung di dalamnya adalah : kepala sebagai ‘organ tubuh yang terletak paling tinggi’ yang harus memperhatikan, memikirkan, melihat, menjaga dan melindungi keselamatan anggota-angota tubuh lainnya.
Pemahaman kemuliaan dan kepahlawanan dibalik praktek perburuan kepala secara harafiah, telah berubah dilupakan atau sama sekali hilang. Penyebab utamanya disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, ada beberapa faktor lain yang turut juga mempenga-ruhinya seperti tuntutan penganutan agama, penerapan hukum negara dan rasionalisasi di bidang ekonomi.
Dulu, ikatan pela dan pembaruan janji setia bersaudara dalam upacara panas pela hanya dilakukan dengan apa yang ada dimiliki warga desa-desa se-pela. Maksudnya, upacara pela dan panas pela dilakukan oleh warganya dengan kekuatan harta-benda dan niat mereka sendiri. Yang tetap hebat adalah bahwa dengan kesederhanaan dari apa yang mereka miliki itu mereka mampu kokoh terikat dengan memahami dan melaksanakan apa isi falsafah hidup sebagai orang bersaudara. Dalam pengamatan penulis, sekarang ini sejak dekade sembilan puluhan sampai sekarang, ritual ikatan pela dan pembaruan ikatan persaudaraan dalam panas pela selalu dilakukan dengan campur tangan formal pemerintah. Konsekuensi logis pelaksanaannya pasti berkaitan dengan motivasi dibalik tujuan pelaksanaannya. Mudah ditebak motivasinya adalah demi pasar pariwisata yang menaikan devisa negara dan perbaikan raport dinas pariwisata. Biaya besar pasti harus dikucurkan demi niat elitis ini. Sangat disayangkan bahwa ketidakmampuan hidup pemilik pela yaitu masyarakat ‘dipaksa’ rela atau tidak, mereka tetap harus melakukannya. Kondisi ini terasa telah membuat pelaksanaan ritual pela dan panas pela kurang menjadi kebutuhan masyarakat pemiliknya. Nilai hikmah moral-etis sebagai identitas dasar bagi kehidupan masyarakat telah dieksploitir sebagai komoditi ekonomi. Tragis sekali, tapi pilihan lain sangat sulit diambil.
Aspek lain yang bisa disebutkan di sini juga adalah tentang pengaruh penganutan agama, baik Islam, Kristen dan agama resmi lainnya di Indonesia. Peranan ajaran agama menegaskan pemahaman tentang berburu kepala adalah sebagai pembunuhan yang melawan hukum Tuhan dan sekaligus juga melawan hukum negara. Pernah terjadi di tahun 2004 peristiwa perburuan kepala, yang dilakukan oleh seorang warga masyarakat suku asli di pulau Seram. Diketahui bahwa perburuan kepala itu masih berhubungan dengan inisiasi warga masyarakat, sebuah upacara Kakehan yang sudah lama tidak terdengar lagi. Pada akhirnya pemburunya diketahui dan ditangkap polisi. Ketika ia diinterogasi dan ditanya alasan memburu dan memenggal kepala warga desa tetangganya, seorang warga desa migran dari pulau Lease, ia menjawab dengan tenang dan sangat yakin bahwa perbuatannya tidak melawan hukum sebab itu adalah sebuah tuntutan adat, inisiasi Kakehan.
Dalam hubungan dengan upaya menjaga ketentraman dan kedamaian hidup masyarakat, sanksi adat salele dan bailele dalam kehidupan sesehari masyarakat, sudah jarang bahkan tidak ditemukan dalam desa-desa ikatan pela. Kondisi ini bisa demikian sebab setelah masuknya agama Islam dan Kristen, peran sosial kontrol atas norma-norma hidup masyarakat telah banyak ditangani oleh peran agama. Di jemaat-jemaat atau desa-desa Kristen, bentuk sanksi adat bailele dan salele telah digantikan dan berpusat di pelaksanaan disiplin gereja. Salele telah mendapat makna apresiasi positif yang baru. Ia tidak lagi hanya ditujukan sebagi sanksi bagi pesakitan yang melanggar adat desa. Sekarang salele dipakai untuk mengalungkan kain atau ikat leher berupa sapu tangan besar ke leher peserta di Persidangan Gereja, tamu panas pela, pelantikan raja baru dan di kegiatan mulia lainnya.
Tentang pelestarian sumber alam atau sasi, biasanya dilakukan secara adat desa, yang lebih dikenal dengan sebutan sasi negeri.[4] Pelaksanaannya di beberapa desa masih dipertahankan, terutama di desa-desa yang tidak langsung terkena dampak Kerusuhan. Dulu sebelum Kerusuhan terjadi, salah satu desa yang mendapat penghargaan sasi sumber alam laut adalah desa Haruku di pulau Haruku. Sasi yang dilakukan adalah atas ikan laut, ikan lompa, sejenis ikan sardens, yang hidup berkelompok di laut tepat di muara sungai. Sekarang sasi sudah diambil alih seluruhnya oleh Gereja. Baik tutup sasi maupun buka sasi, semuanya ditangani oleh Gereja. Dalam banyak pengalaman sebagai Pendeta di sebuah Jemaat di pulau Seram, warga masyarakat yang adalah warga Jemaat lebih percaya kepada sanksi yang nyata dialami ketika seseorang melanggar sasi Gereja daripada sasi negeri.
Bagaimana pun kenyataannya, pada satu pihak hikmah pela sebagai simpul ikatan persaudaraan bisa tetap ada dan berdaya hidup dalam interaksi warga pemiliknya. Di lain pihak ia sekaligus mendorong hidup yang lebih mendasar dalam perjumpaannya dengan masyarakat luas. Selanjutnya penegasan ini akan diupayakan untuk dibahas dalam bagian berikutnya. 

 E.     Hikmat Dalam Ikatan Pela, Panas-Pela.
Bagi pembaca yang mencari apa kaitan pela dengan pedoman hidup masyarakat Maluku Tengah sehingga disebut sebagai sebuah pengikat dan penyatu hidup mereka, akan kecewa atau bingung, sebab kata pela bukanlah sebuah falsafat atau amsal hidup. Ia hanya berupa satu rumusan kata, pela, yang berupa inti sari pati dari sebuah pengakuan dan perbuatan adat di masyarakat Maluku Tengah. Dengan mengikuti proses upacaranya melalui sebuah jalan panjang, mistis dan berat baru bisa ditemukan makna falsafinya. Makna falsafi itu muncul atau berpusat pada rangkain ritus upacara pela yang ketat. Inti dari semua ritus upacara pela adalah pada rumusan sumpah pela sebab di situlah sumpah pengikat itu disepakati. Ia mengikat, baik di antara sesama anggota pela, yaitu masyarakat desa-desa se-pela, maupun keterikatan mereka dengan para leluhur. Hal ini tersimpul di dalam sumpah pela, yang dalam sebuah upacara ikatan pela biasanya diulang juga dalam kegiatan panas pela, atau pembaruan pela. Sebagai contoh, baiklah kita lihat rumusan upacara sumpah ikatan pela antara desa Hunitetu dan desa Lohiatala di pulau Seram, seperti berikut ini :
Oooi ! …..tuniai-lasatale, pulane, leamatai, Tuwale. Rabike, lanite, tapele, selu jami ooo !
Kinu kwate kurule , pela jurule : Saka mimise, noa mimise, lesi kena lumaio, sapu kena lumaio. Ooo……
Saa marele tetu matao ; saa malau soa tetu peisoa, iane kete matao ; timule keri matao ; halite likio matao.
Mata sakalale pelene kinu kwate kurule , pelekurule; saka mimise, noa mimise, saka nunu rupu kena patu, patu rupu kena nunuee, nunu pale tolase, tolase pali nunuee, hioooo……………..!
Artinya :
Ciptaan tertinggi, bulan dan matahari, Rabike dan Twale, langit dan Bumi, tiliklah kami yang minum sumpah dengan Lohia-Tala, sumpah yang abadi, sumpah yang kuat. Lihatlah dan ingat jangan marah dan jangan bertengkar satu dengan lainnya. Sebaliknya jika engkau hendak memanjat pohon atau menangkap kus-kus engkau harus jatuh mati atau lebah madu menyengatmu sampai mati ; engkan pasti mati ketika makan papeda, engkau pasti mati ketika mengunyah tembakau; di lautan engkau pasti tenggelam dan diselamatkan oleh seekor ikan, engkau pasti mati ketika angin barat bertiup, mati seperti api berhembus. Kami sedang minum sumpah abadi, sumpah kekuatan; perhatikanlah, ingatlah ; kita harus bersatu sekuat pohon beringan dengan karang terjal, sama seperti karang terjal ditumbuhi pohon beringin, seperti sebatang pohon (tolase) yang tumbuh bersama pohon beringan, hiooo………….!

Dalam upacara angkat pela atau panas pela, ada tiga hal yang perlu dipenuhi yaitu : sebuah pesta umum, tanda pela dan yang terpenting adalah pengangkatan sumpah pela. Tiga aspek dalam ikatan pela ini tidak ada pada ikatan pela mula-mula atau pela tradisional orang Alifuru di pedalama pulau Seram. Ia hanya ada dalam pela sekarang, yang lebih maju ikatannya. Pesta umum pela biasanya berisi kegiatan-kagiatan sukacita ketika dua atau lebih desa yang ada dalam ikatan pela itu mulai berjumpa untuk mengadakan acara panas pela, sampai berpisah. Kegiatan itu berupa penyambutan, pesta tari-tarian, malam sukacita, makan bersama (makan patita)[5] ibadah di gereja (bagi tuan rumah yang Kristen) sampai penglepasan saudara-saudara pela untuk berpisah pulang ke desa mereka masing-masing.
Tanda pela biasanya berupa upacara seremonial di baileu desa. Di situ ada sambutan, kapata (pantun atau nyanyian bahasa tanah) dan rapat-rapat untuk membicarakan kelangsungan hubungan ikatan pela berupa evaluasi dan tindak lanjut ke depan demi kehidupan bersama sesuai kesepakatan awal pada saat pembentukan pela. Yang sangat sakral adalah sumpah pela, yang merupakan bagian terpenting, sangat hikmat dan istimewa.
Kemudian sumpah pela, yang dibacakan oleh seorang tokoh adat, biasa disebut alemanan yang mengangkat sumpah dengan mengucapkannya dalam bahasa tanah yaitu bahasa tua asli Seram. Sesudah mengucapkan sumpah itu, peserta upacara di baileu meminum minuman berupa sopi atau sageru pengganti darah seorang laki-laki perkasa yang pada awal pembentukan pela harus dipakai sebagai korbannya. Pada abad ke-19, di banyak ikatan pela, mereka memakai cara menyembelih seekor ayam jantan. Darahnya dipakai menggantikan darah manusia yang mesti dikorbankan untuk diminum. Selain itu, ada juga yang menoreh tangan sehingga mengeluarkan darah sebagai tanda transformasi persaudaraan. Cara ini biasa dilakukan oleh wakil desa-desa yang bersekutu dalam ikatan pela, yang biasanya diwakilkan oleh para kapitan. Perbuatan simbolis mencelupkan alat-alat perang menandakan pemusatan hukuman yang pasti diterima oleh si yang tidak setia kepada sumpah pela. Minum campuran mesiu dengan sageru dan sopi menandakan keyakinan akan kekebalan tubuh dari peluru senjata api dan senjata tajam lainnya. Ada juga yang membubuhi garam di tubuh atau di campuran minuman sumpah dengan keyakinan bahwa yang meminumnya akan kebal terhadap racun yang mematikan. Di desa Sahulau, cairan sumpah hanya di minum oleh para kapitan dari desa-desa se-pela, dan sisa minuman sumpah dikibaskan atau dipancarkan kepada semua peserta upacara sumpah pela itu.
Acara minum sumpah pela dimulai dari para raja, Saniri dan diikuti oleh semua peserta upacara di baileu. Minuman ini sudah disiapkan sebelumnya, sebelum sumpah pela diucapkan oleh alemanan. Sumpah pela ini diyakini sangat sakral karena sewaktu mengucapkannya, alemanan mengundang roh leluhur[6] sebagai saksinya, bersama pemimpin kedua belah pihak, dan warga masyarakatnya. Mengundang roh leluhur ini terlihat dari ucapan mengundang : Oooi ! …..tuniai-lasatale, pulane, leamatai, Tuwale. Rabike, lanite, tapele, selu jami ooo ! Kata tuniai-lasatale, pulane, leamatai, Twale Rabike. Artinya, Ciptaan tertinggi, bulan dan matahari, Rabike dan Twale, langit dan bumi diikuti kata-kata Kinu kwate kurule, yang artinya tiliklah kami yang minum sumpah…… Langit dan bumi, bulan dan matahari adalah represntasi kuasa kosmos, yang adalah leluhur, yang dalam kosmologi masyarakat adat, adalah roh leluhur atau dewa penguasa atas hidup dan mati. Ia diundang melihat, menyaksikan dan memberkati sumpah pela itu, sehingga siapa saja anggota pela yang melanggarnya akan kena hukuman, mati. Tentang posisi langit dan bumi, terkadang kedua posisi kosmis ini melambangkan atas-bawah, laki-laki-perempuan, dua kekuatan yang saling kontras, tapi juga saling menguatkan. Misalnya dalam mitos parpara yang membedakan laki-laki dan perempuan. Pertentangan ini tidak selamanya berakhir dengan kebinasaan dan kehancuran. Tapi sesungguhnya pertentangan itu adalah sebuah pencarian untuk mendapatkan harmoni yang harus dipenuhi dalam ritus-ritus adat, seperti dalam doa yang dikutip di atas itu (van Wouden 1985 : 137-140).
Kata terakhir hiooo…. ! adalah respons berupa jawaban peserta upacara yang mesti diteriakan oleh setiap orang yang hadir sebagai tanda setuju atas ikatan sumpah yang mengesahkan pela itu. Roh leluhur diundang hadir sebab dipercaya bahwa leluhur adalah pengawas dan pemberi sanksi atas nilai-nilai moral yang diperjuangkan untuk ditegakan oleh warga ikatan pela-nya (Redfield 1953 : 54-57). Karena itu warga dalam ikatan pela sangat takut akan sanksi bila melanggar sumpah ini. Biasanya sumpah pela itu diucapkan di atas sebuah batu keramat, batu pamali, di halaman baileu. Di situ langit dan bumi, lambang kekuatan alam atas dan kekuatan alam bawah, dipanggil hadir sebagai saksinya untuk menyaksikan dan memperkuatkan sumpah pela itu. Kekuatan sumpah pela, yang ada dalam rumusan doa dan disaksikan oleh anggota yang ada kelihatan maupun anggota yang tidak kelihatan, leluhur, adalah intinya. Kekuatan yang meyakini inti sumpah pela itu yang mengikat angota masyarakat dalam desa-desa se-pela.
Apa yang ia punya, seadanya itulah yang dimanfaatkan bila ada upacara panas pela. Dalam tradisi sebelum tahun sembilan puluhan di desa-desa, bila acara ini dilaksanakan, maka biasanya hal yang istimewa dalam hal makan, adalah tuan rumah biasanya pergi berburu rusa atau babi atau juga mencari di laut dengan menebar jaring ikan. Protein ini yang dipandang istimewa untuk melengkapi kebutuhan lauk bagi makan tamu saudara-saudara se-pela yang datang. Daging rusa bagi warga yang beragama Islam dan babi bagi yang beragama Kristen. Ruang makan biasanya berupa ruang makan umum yang luas. Di dalamnya ada meja, kursi bersama dengan meja sajian yang panjang menyatu. Semua saudara dalam ikatan pela akan makan bersama di dalamnya. Menu daging babi, yang haram bagi warga Muslim, biasanya disajikan di rumah penduduk Kristen kepada tamunya yang Kristen saja. Perilaku saling menghormati tamu yang lain agama ini selalu dijaga.
Penulis masih ingat betul kejadian di bulan November 1983. Waktu itu ada kegiatan pengresmian Gereja baru Jemaat Kampungmahu di jasirah Hatawano di pulau Saparua. Penulis bersama seorang teman berlibur, mengikuti seorang teman mahasiswa asal desa Kampungmahu. Dua hari menjelang pengresmian Gereja Baru, saudara-saudara pela dari desa-desa Kristen Hulaliu dan Paperu dan desa Islam Tulehu, sudah berdatangan. Di rumah, tuan rumah kami menerima saudara pela-nya yang Islam dari desa Tulehu. Semua ternak babi dan anjing peliharan yang ada di rumah, diungsikan untuk sementara waktu ke kebun di hutan. Rumah kami menjadi bagian bagi saudara-saudara pela dari Tulehu. Setelah empat hari, mereka pulang baru ternak ungsian kembali lagi ke rumah.
Barang istimewa lainnya yang bisa dijumpau juga adalah kue-kue berbahan dasar terigu. Selain itu, terlihat bahwa semua ornament upacara pela dan panas pela, sama saja, mendesa atau merakyat. Sayang bahwa intensitas pela dan panas pela ini tidak sesering dilakukan seperti keranjingan oleh dinas pariwisata. Biasanya indikasi pelaksanaan perbaikan hubungan keluarga desa-desa se-pela ini berjumpa dalam acara-acara pelantikan raja, pembangunan dan pengresmian tempat-tempat ibadah seperti Gereja atau Masjid. Sekalipun sederhana, terkesan apa adanya, tapi daya ikatnya tetap kuat. Sebab ia dilakukan dengan kesadaran dan ketaatan penuh, tanpa rasa ‘terpaksa’ karena perintah pembesar atau karena daya pikat uang.
Nampaknya kepolosan dan kesederhanaan hidup ala desa sedang berjuang keras dalam menghadapi gempuran globalisasi dengan individualisme dan konsumerisme yang melanda. Dengan pandangan hidup saling menghormati dan saling menghargai sebagi saudara, masyarakat warga ikatan pela berjuang mempertahankan identitas hidupnya. Karena itu, pemaknaan konteks adalah penting untuk melihat hubungan pela dari sisi ekonomi, agama dan hukum. Konteks yang dimaksud adalah konteks perkembangan hidup manusia dengan segala kaitannya. Di sini terletak dasar gerakan untuk memahami hikmat pela sebagai pengikat masyarakat warga pela. Apakah relasi persaudaraan tidak hancur ketika mereka ‘dipaksa’ merayakan panas pela untuk konsumsi pariwisata, atau hajatan orang besar. Termasuk pertanyaan besar yang muncul juga ialah apakah pela masih tetap kuat mengikat ketika rasionalisasi hidup yang alami mesti lepas dari kosmologi hidup sebagai sebuah harmoni. Semua pertanyaan ini akan dibahas di akhir paper ini.

3.      Kondisi Ikatan Pela Selama Kerusuhan 19 Desember 1999-25 April 2005[7]
Uraian dalam bagian ini tentu saja sangat subyektif, sebab penulis hanya berpijak pada hasil observasi mulai dari awal Kerusuhan 19 Desember 1999 sampai 25 April 2005. Semua kejadian tragis yang terjadi di Ambon dengan segala dampaknya di bidang kehidupan beragama, kehidupan ekonomi, sosial dan politik selama enam tahun itu tidak bisa diuraikan secara terinci satu persatu. Penulis berupaya untuk mengemukakan beberapa peristiwa yang dianggap penting dan dapat memberikan dorongan kepada masyarakat yang ada dalam ikatan pela untuk membangun kembali kehidupan ‘orang basudara’ di Ambon khususnya dan di Maluku pada umumnya.
Waktu itu tanggal 19 Desember 1999, masyarakat umum dan masyarakat dalam ikatan pela, umumnya geram dan marah. Kedua belah pihak, Islam-Kristen, marah dengan pusat perhatian pada kasus sepele pemalakan uang dari seorang sopir angkot jurusan Batu Merah – Pasar kota Ambon. Waktu itu pemisahan kelompok agama, Islam-Kristen belum terpecah, khususnya dalam ikatan pela antara desa Batu Merah (Islam) dengan saudara pela-nya desa Passo (Kristen). Ikatan pela kedua desa ini penting dikemukakan karena desa Batu Merah adalah pintu masuk jalan darat satu-satunya ke dan dari kota Ambon. Demikian juga dangan desa Passo adalah desa yang menjadi pintu masuk jalan darat bagi semua kendaraan dari jalur angkutan dari dan ke jasirah Leihitu. Di daerah ini semua desanya beragama Muslim, yaitu desa-desa Hitu, Hila, Mamala, Morela, Wakal, Seit, Ureng, Asilulu, Wakasihu, Larike dan Negeri Lima. Passo juga menjadi pintu masuk dan keluar kendaran dari desa Tulehu (Islam), desa Wa’ai (Kristen) dan desa Liang (Islam). Desa Tulehu adalah pelabuhan pendaratan penumpang dari pulau-pulau Lease dan Mosohi, sedangkan desa Liang adalah pelabuhan pendaratan Kapal Ferri yang menghubungkan pulau Seram dan pulau Ambon.
Setelah Kerusuhan berjalan sekitar dua bulan, pemecahan ke kelompok agama mulai merebak; kelompok putih–Islam dan kelompok ungu-Kristen. Di kemudian hari identitas kelompok dengan tanda warna ini berganti, Islam tetap putih dan merah untuk Kristen. Di tingkat ini, konflik dengan kontras agama masih berupa penyerangan dengan pemusnahan rumah penduduk. Dalam tahap berikutnya beberapa bulan kemudian baru dimulai dengan penangkapan, penyanderaan dan pembantaian. Pola ini berjalan lancar di kedua belah pihak. Sampai tahun pertama Kerusuhan, kedua saudara pela Batu Merah-Passo, masih ditemukan saling melindungi sesama saudaranya. Tercatat ada beberapa kali penghadangan kendaraan dari luar kota yang harus melewati Batu Merah, bisa bebas lewat, sebab itu kendaraan penumpang milik orang Passo.
Selama kerusuhan, selain pembantaian, pengrusakan gedung-gedung ibadah, tetapi juga pengrusakan sarana umum, seperti sekolah, kampus dan kantor-kantor yang bisa dijangkau oleh kelompok penyerang. Sarana umum terbesar yang musnah diserang dan dijarah oleh kelompok penyerang bersama dukungan Laskar Jihad adalah Kampus Universitas Pattimura di Poka dan Kampus UKIM (Universitas Kristen Indonesia Maluku) di Tanah Lapang Kecil Ambon. Pemblokiran jalan terjadi secara besar-besaran di kedua belah pihak, Islam-Kristen. Batu Merah, yang harus dilewati oleh semua kendaraan angkutan apa saja, tertutup dengan halangan batu dan drum-drum bekas. Yang bisa lewat hanya kendaraan militer, tentara dan polisi. Akibatnya semua orang yang mau ke kota Ambon untuk bekerja atau keperluan lainnya, harus melalui jalan darat yang sulit dan rusak, mengitari sebelah timur pulau Ambon melewati desa Hutumuri dan beberapa desa lainnya, semuanya desa Kristen. Setelah suasana agak aman terkendali, masyarakat Kristen bisa melewati jalan laut dari desa Galala-Hative Kecil ke kota Ambon melalui pelabuhan Gudang Arang.
Perlu digambakan juga bahwa selama tahun pertama Kerusuhan berjalan, pintu-pintu masuk dari luar ke kota Ambon untuk kelompok Kristen dari desa-desa di pulau-pulau Lease dan pulau Seram adalah lewat laut dan semua mendarat di pantai Passo. Dari Passo mereka naik angkot menuju Galala. Di Galala, yang adalah pelabuhan penyeberangan kapal Ferri, baru mereka naik angkutan laut seperti Speed boat dan motor pencari ikan ‘Skipjack’ ke kota Ambon. Kelompok Islam dari pulau-pulau Lease semula semuanya singgah di Tulehu dan Liang. Tapi oleh karena biaya angkutan terlalu mahal sebab perjalanan harus melalui jalan darat melingkari pulau Ambon sebelah utara, yang cukup jauh. Karena itu alat angkutan laut yang dipakai biasanya langsung menuju ke desa Hitu. Dari Hitu mereka menuju desa Poka melalui jalan darat dengan angkot, lalu naik angkutan laut speed boat, ke kota Ambon. Masyarakat Islam dari daratan pulau Seram mulai dari kota Kabupaten Masohi dan dari desa-desa di sekitar desa Tala, yaitu desa Latu dan desa Hualoi, dan desa-desa Islam lainnya di jasirah Huamual, semuanya harus melalui desa Hitu. Biaya transportasi sangat mahal. Selain itu, ancaman penembakan di laut juga sering merebak mengancam keselamatan perjalanan di laut. Aksi pemburu bersenjata, dengan memakai speedboat berkecepatan tinggi melebihi kecepatan rata-rata angkutan laut lainnya, di teluk Hunimua yang terletak di antara pulau Seram, pulau Ambon dan pulau Haruku, sering terjadi dengan korban mati. Oleh karena itu speed boat yang melintasi laut dengan jarak yang cukup jauh selalu harus menyewa aparat keamanan, tentara atau polisi. Karena itu, selama masa ini masyarakat, baik Islam maupun Kristen, lebih memilih tidak bepergian kalau tidak ada keperluan yang sangat penting.
Sekitar akhir tahun kedua masuk tahun ketiga Kerusuhan membara di kota Ambon, ada fakta bentuk interaksi sosial baru antara dua komunitas, Islam-Kristen. Di titik-titik perbatasan tertentu[8] antara dua komunitas, mulai ada perjumpaan orang-perorang untuk duduk bercerita dan saling tukar jasa angkutan. Dua teman atau lebih, yang duduk bercerita ini biasanya teman lama, yang semasa aman sebelum Kerusuhan, sering berjumpa untuk kepentingan kerja atau sekedar berbasa-basi, atau masih punya hubungan keluarga. Tempat berjumpa seperti ini berpusat paling sedikit berlangsung di dua tempat, yaitu di di perempatan tugu Trikora, tepat di depan seberang Gereja Silo, yang tinggal puing-puing saja. Titik perjumpaan yang lain lagi terjadi di ujung jembatan sebelum masuk ke desa Galala dari dalam kota Ambon. Sambil duduk merokok, teman-teman lama ini berbagi cerita lama nostalgia persahabatan atau sekedar ingin tahu tentang keadaan komunitasnya masing-masing. Dari bentuk perjumpaan seperti ini, banyak cerita menyebar ke masing-masing komunitas tentang rindu hidup damai. Tapi di lain pihak tidak sedikit juga prasangka dan kecurigaan masyarakat kedua komunitas, Islam-Kristen, jangan-jangan itu hanya trik rahasia untuk menyiapkan penyerangan dari pihak lawan.
Selain itu, di dua tempat yang sama, para sopir truk angkutan barang dagangan Cina mulai menempuh satu jalur kerjasama bersambung. Truk-truk atau mobil-mobil boks ini mengangkut barang dagangan Cina dari pelabuhan laut Yosudarso dan menyuplainya ke toko-toko di semua wilayah, Kristen dan Islam, di dalam kota Ambon. Selama truk itu berada di wilayah Muslim, sopirnya adalah warga Muslim; ketika sampai di perbatasan untuk masuk ke wilayah Kristen, teman sopir Kristen mengambil alih tugas meneruskan suplai barang dagangan ke swalayan dan toko-toko yang membutuhkannya. Cara kerja bersambung seperti ini menjadikan dua tempat itu sebagai sebuah pusat transaksi ekonomi dan juga sebagai pintu perjumpaan sosial bagi kedua komunitas.
Di tahun ke tiga 2002, terjadi perkembangan yang lebih maju lagi, yaitu mulai muncul ‘pasar baku bae’ atau pasar kaget yang terbentuk di depan Hotel Manise. Bermula dari hasrat antara penjual dan pembeli di pasar Mardika Ambon. Selama Kerusuhan, praktis pasar ini dikuasai komunitas Muslim. Barang-barang yang dijual di pasar, terutama komoditi konsumsi sesehari, seperti : sayur, ikan, bumbu-bumbu dan kebutuhan pokok lainnya. Produsen terbesarnya adalah orang Islam, terutama saudara-saudara dari Buton sebagai penghasil sayuran dan saudara-saudara dari Bugis dan Makasar sebagai penghasil ikan. Orang Bugis dan Makasar terkenal sebagai pengusaha bagan, atau bagang, (rompong atau jaring apung untuk menangkp ikan). Di wilayah Kristen ada juga tiga pasar, yaitu pasar Batu Gajah di wilayah Batu Gajah, pasar Tagalaya di Batu Gantung dan pasar Gudang Arang di wilayah Gudang Arang-Air Salobar. Tetapi konsumen Kristen lebih suka berbelanja di pasar Mardika, yang dikuasai Muslim, karena harganya lebih murah daripada bahan-bahan yang dijual di pasar-pasar Kristen. Kejadiannya bisa demikian, sebab bahan yang dijual di pasar Kristen itu terbanyak dibeli dari pedagang Muslim, lalu dijual ulang di pasar Kristen dengan harga yang lebih mahal. Prakteknya cukup lihai, misalnya se ikat kangkung yang dibeli di pasar Mardika seharga seribu lima ratus rupiah, di pasar Kristen ikatan itu dibagi menjadi dua ikat dan dijual dua ribu lima ratus rupiah se ikat. Oleh karena itu, dalam suasana Kerusuhan yang mulai rada-rada aman, membuat pembeli Kristen ‘berani’ ke pasar Mardika untuk berbelanja. Intensitas jual-beli yang besar terjadi di perbatasan pemukiman Mardika dan Pasar Mardika, tepatnya di depan Hotel Manise. Sentra pasar baru tempat berjual dan membeli ini yang mengakibatkan munculnya ‘pasar kaget’ yang dikenal sebagi ‘Pasar baku bae.’
Pusat pendaratan dan penampungan bahan-bahan yang dijual di pasar, terutama sayur dan ikan terpusat pada desa-desa Islam, sehingga di pasar Mardika, harganya murah. Surplus produk ini membuat konsumen Kristen selalu ingin berbelanja ke sana. Pernah terjadi beberapa penyerangan mendadak di sekitar pasar Mardika yang membuat pedagang dan pembeli ketakutan. Kejadian ini mengakibatkan sehari penuh transaksi jual-beli tidak tercapai. Akhirnya, sayur-sayur menjadi layu dan kering terkena sinar matahari, lalu dibuang saja ke laut, sebab pasar Mardika terletak di pantai Batu Merah. Ikan-ikan juga  menjadi rusak, melek, karena pembeli berkurang.
Setelah interaksi masyarakat Kristen-Islam ini berlangsung selama dua-tiga bulan, pemerintah mengambil inisiatif untuk menyebutnya sebagai ‘Pasar baku bae,’ sebuah pasar yang menjadi tempat di mana kedua warga komunitas Islam-Kristen berbelanja dan berjualan sambil berbagi kangen dengan cerita nostalgia tentang perdamaian dalam Ambon yang manise. Demi keamanan bersama, perjumpaan itu tetap berada di bawah pengawasan moncong senjata dari pos-pos keamanan dan patroli jalan kaki tentara dan polisi.
Selain perjumpaan horisontal-merakyat di atas, upaya-upaya formal-struktural juga sangat banyak dibuat oleh pemerintah. Tidak terbilang jumlahnya; mulai dari mempertemukan wakil-wakil dari kedua komunitas sampai bentuk-bentuk dialog dan upaya pendampingan lainnya. Salah satunya adalah Parjanjian Malino-2, yang dilaksanakan dalam bulan Februari 2002 di Malino, Sulawesi Selatan. Tetapi sebanyak prakarsa besar dengan kuasa formal itu dibuat, tidak terbilang juga banyaknya kekerasan dan pembantaian baru yang terjadi. Akibatnya tidak asing terdengar di telinga masyarakat Ambon ucapan dan pembicaraan sinis yang menghakimi bahwa kegiatan itu dibuat hanya demi melaksanakan proyek cari uang saja. Memang ada benarnya juga pendapat itu, sebab setelah Ambon aman banyak pejabat, terutama pejabat Kantor Sosial dan Kependudukan yang ditangkap dengan tuduhan korupsi.
Dari paparan di atas, terlihat bahwa upaya mempertemukan dua komunitas yang bertikai nampaknya tidak mudah berhasil dengan pendekatan vertikal berdasarkan target tertentu. Dari fakta upaya formal pemerintah bersama lembaga-lembaga keagamaan dan wadah-wadah sosial lainnya, terjadi juga. Tapi hanya sebatas pertemuan di meja diskusi dan forum-forum elit. Penegasan penulis seperti itu karena ada dua alasan di dalam ketidak berhasilannya; pertama : pesertanya terbanyak adalah para pemuka kedua komunitas yang terdiri dari orang-orang penting saja, sedangkan kalangan bawah, anggota-anggota yang rentan kekerasan sampai pembunuhan, tidak tersentuh. Upaya sosialisasi banyak kali terkendala pada letak geografis dan suasana ketegangan yang terus menerus membuat orang malas berkumpul dengan sukarela, apalagi untuk bertahan duduk berjam-jam untuk mendengar pengarahan hasil pertemuan seperti itu. Gereja memang banyak memberitakan dorongan perdamaian lewat khotbah dan pengarahan. Tetapi tensi kerusuhan yang dengan cepat berubah, tegang, panas dan membara, membuat upaya sosialisasi dan menanamkan pemahaman sangat sulit. Ia butuh banyak waktu. Belum lagi ditambah dengan keberpihakan Pendeta yang belum bisa netral sepenuhnya. Kedua, tidak aneh bahwa selama Kerusuhan, dana yang dikucurkan pemerintah pusat untuk upaya perdamaian mencapai trilyun rupiah. Dengan serentak perhitungan matematis berkembang bahwa seberapa banyak dibuat diskusi, dialog atau pertemuan tentang upaya perdamaian dari Kerusuhan, maka sebanyak itu juga uang akan mengalir. Artinya, tidak selalu benar bahwa pertemuan-pertemuan demi perdamaian dari Kerusuhan itu tidak jauh dari sekedar mengejar proyek demi uang saja. Jadi, target perdamaian antar manusia dengan pendekatan vertikal tidak mudah berhasil membuahkan perdamaian. Lain halnya jika dibandingkan dengan perkembangan ‘pasar baku bae,’ pasarnya orang kecil, tempat pejuang makan, minum dan pakai secukupnya untuk batas tertentu, terlihat jelas sekali hasilnya. Mungkin karena statusnya yang konsentrasi penuh dengan kepala pusing utamanya adalah pada bagaimana mengurus kebutuhan pokok, jadi mereka tidak keburu panas dan marah untuk segera berperang. Bagaimanapun fakta memperlihatkan bahwa damai itu lahir dari keterbukaan dan ketulusan hati orang-orang yang karena emosi dan salah sangka, mau terbuka menerima dan menemukan dirinya di tengah perbuatannya sendiri.
Sementara kedua desa pela, Passo dan Batu Merah, yang merupakan barometer hubungan ikatan pela di sekitar kota Ambon, berjalan dengan kemajuan yang semakin membaik. Perkembangan awal yang baik nampak dengan perjumpaan Ibu Raja Passo yang mendatangi Raja Batu Merah dan dibalas dengan kunjungan Raja Batu Merah ke Passo. Pendekatan ini makin mencerahkan ketegangan Kerusuhan di Ambon. Karena bagaimana pun, kedua desa ini memegang peran penting sebagai pintu masuk distribusi dan suplai bahan kebutuhan ekonomi dan lalu lintas mayarakat kedua komunitas. Sementara itu, di batas desa Suli (Kristen) dan desa Tulehu (Islam) mulai ada transit penumpang dan barang produk konsumsi yang perlu dijual ke pasar di Ambon. Barang-barang ini adalah bahan jualan hasil kebun yang dihasilkan oleh penduduk desa-desa Islam di dekat Tulehu dan juga desa-desa lainnya. Pertanda ini menunjukan bahwa pelabuhan Tulehu sudah terbuka untuk semua masyarakat yang datang dan kemudian dari Tulehu mereka bisa menuju ke Ambon. Itu berarti jalan panjang dengan transportasi biaya besar ke desa Hitu sudah berakhir. Sementara Passo dan Batu Merah sudah tak ada masaalah. Desa-desa Kristen dari Passo ke kota seperti Lateri, Lata, Halong dan Galala, sudah leluasa masuk ke kota Ambon tanpa ancaman atau pun penyerangan. Beberapa bulan berselang, angkot dari Tulehu dan Liang sudah masuk lewat Passo. Begitu juga dengan angkot dari desa-desa Islam di jasirah Leihitu yaitu desa-desa Hitu, Hila, Mamala, Morela, Wakal, Seit, Ureng, Asilulu, Wakasihu dan Negeri Lima, semuanya sudah bebas masuk ke dalam kota Ambon dan sebaliknya.
Berkaitan dengan perkembangan pasar ’Pasar baku bae’ yang menjadi pusat pertemuan dua komunitas, Islam-Kristen, ia di kemudian hari menjadi cikal-bakal perdamain. Buktinya, sampai tercapainya perdamaian yang langgeng di Ambon, pasar baku bae perlahan-lahan dilebur hilang dengan terbukanya pasar Mardika yang mulai berfungsi lagi sebagaimana biasanya.
Selain itu, ada fakta lain yang juga menarik untuk diperhatikan. Selama Kerusuhan, terjadi perubahan sikap mental yang nyata di kalangan orang Kristen, orang Maluku umumnya dan orang Ambon pada khususnya, terhadap pekerjaan kasar dan keras seperti berdagang dan menarik becak. Banyak orang Ambon mulai berdagang dengan mendirikan kios-kios kecil di trotoar pinggir jalan di daerah Kristen. Mereka juga mulai sudi menjadi penarik becak, sebuah pekerjan yang sejak dulu hanya digeluti oleh saudara-saudara Islam dari Buton, Bugis dan Makasar. Kondisi kontras terhadap sikap warga Ambon seperti itu, karena sudah sejak lama mereka dicekoki oleh penjajah Belanda dengan pekerjaan yang bersih, necis dan mulia saja. Pekerjaan itu umumnya adalah menjadi tentara atau pegawai negeri (amtenaar).[9] Akibatnya, pekerjaan berdagang, kuli pemikul barang dan penarik becak, tidak ditekuni. Memang bagi orang asli Ambon seperti para wanita dari desa-desa pegunungan Kilang, Naku, Ema, Hatalai, Hukurila, Kusu-Kusu Sereh, dan desa-desa lainnya, mereka juga berdagang. Tapi barang dagangannya hanya berupa jualan buah-buahan. Para wanita ini biasanya memakai pakaian khas Ambon kain sarung merah dan kebaya merah muda, menjual bahan buah-buahan, seperti salak, mangga, gandaria, jeruk, langsa, dukuh, rambutan, jambu, dan buah-buahan musiman lainnya. Bahan jualan ini biasanya di-keku (dipikul di atas kepala) di atas dulang (baki dari kayu). Buah-buahan ini biasanya dijajakan di emper-emper toko-toko Cina, di jalan A.J. Patti, jalan utama di kota Ambon.
Dari gambaran selama Kerusuhan di Ambon dan benih-benih perdamaian berawal, terlihat bahwa dorongan utamanya adalah pada faktor ekonomi. Oleh karena kebutuhan ekonomi, maka orang-orng kecil, rakyat biasa, yang berjuang demi mengisi perut dengan satu-dua rupiah, yang berjuang demi bisa menjual satu dua ikat sayur atau ikan demi mendapatkan uang belanja kecil, merekalah peletak dasar kekuatan perdamaian di Ambon. Kegiatan mereka yang tanpa kursi dan meja dalam ruangan ber-AC, mereka yang kepanasan bemandikan keringat sampai menjadi korban peluru, mereka jugalah yang pertama merasakan betapa perlunya perdamaian itu. Damai bukan hanya sebutan yang kandas di bibir tapi ia mesti mendapat tempat di hati; “Sampe jua, katong su lalah deng Kerusuhan” atau “Cukuplah penderitaan di Kerusuhan , kami sudah capek menderita dengannya” adalah ungkapan yang tulus dan mesti hidup di hati semua pihak, Islam-Kristen, pemerintah-masyarakat, yang berkuasa, tentara, polisi, rakyat jelata dan semua umat manusia, masyarakat Ambon-masyarakat Maluku.

4.      Kondisi Pela Pasca Kerusuhan (sampai Agustus 2007)[10]
Batasan waktu Pasca kerusuhan dimulai dari peristiwa tanggal 25 April 2005 ke depan. Sebuah peristiwa sebagai puncak kekerasan terjadi pada tanggal 25 April 2005 berkenaan dengan hari ulang tahun Republik Maluku Selatan (RMS). Peristiwa itu bermula dari sebarisan orang simpatisan FKM-RMS (Forum Kedaulatan Maluku-Republik Maluku Selatan) yang secara bergerombol berbaris dari Kudamati menuju ke Kodam XVI Pattimura. Di depan Kodam, mereka memprotes beberapa kekerasan yang terjadi beberapa hari lalu di mana menurut mereka ada ketidakadilan aparat dalam menanganinya. Karena khawatir akan terjadi anarkisme, tentara bertindak tegas dengan menembakan senjata, sehingga ada beberapa korban yang mati tertembak. Bertepatan dengan barisan demo di atas, ada hal menarik lain yang terjadi di komunitas Muslim Waehaong ; bertepatan dengan adu mulut di Tugu Trikora antara beberapa warga Muslim dengan rombongan FKM-RMS. Dari situ berondongan tembakan pecah untuk menghalangi langkah maju mereka ke Kodam. Akan tetapi bersamaan dengan berondongan senjata itu, beberapa warga Muslim di Waehaong, yang sedang berjalan di jalan atau berada di luar rumah, sudah jatuh ke tanah bersimbah darah. Mereka sudah mati tertembak, kebanyakan dari mereka tertembak di testa dan daerah kepala. Oleh karena susasana di Ambon sudah aman beberapa hari sebelumnya, beberapa teman kerja sekantor di Waehaong menelpon teman sekantornya di komunitas Kristen menanyakan keadaan apakah di komunitas Kristen ada orang yang tertembak tepat pada peristiwa demo FKM-RMS ke Kodam. Ternyata tidak. Jawaban atas kecurigaan itu menyatakan bagamana mungkin orang Kristen datang ke Waehaong lalu menembak mati mereka ? Bukankah itu berarti orang Kristen datang menyerahkan diri untuk mati sia-sia saja ??! Demikian jawaban teman sekantornya yang Kristen. Akhirnya, pihak-pihak penelpon itu  makin curiga dan mulai meyakini bahwa itu berarti ada pihak lain, atau pihak ketiga yang bermain di Kerusuhan Maluku, atau paling kurang di kejadian 25 April 2005.
Berkaitan juga dengan peristiwa keributan di Tugu Trikora itu, serentak warga Muslim dari Galunggung dan Batu Merah Pantai[11] dalam rombongan demonstrasi berbaris menuju ke Tugu Trikora. Tujuan mereka adalah untuk memprotes atas terjadinya kejadian itu kepada aparat keamanan. Mereka mengajak warga Waehaong untuk ikut berdemo, akan tetapi ajakan mereka ditolak oleh warga Waehaong. Biasanya ajakan ini serentak dipenuhi, tapi kali ini tidak sebab ada kejadian yang diceritakan di atas.
Setelah peristiwa yang terjadi di Waehaong itu banyak diskusi-diskusi perorangan bahwa jangan sampai benar bahwa Kerusuhan ini adalah permainan orang ketiga atau orang luar. Sebab  yang menderita bukan hanya satu komunitas saja, entah Muslim atau Kristen. Tetapi kedua-duanya menderita di segala bidang kehidupan.
Dari sikap kontras terhadap tanggapan saudara-saudara Muslim Waehaong atas kejadian 25 April 2005 itu ke depan, mulai terjadi pemisahan di kelompok Muslim. Waehaong mulai sendiri dan hampir tidak pernah lagi ikut demo-demo yang dilakukan atas nama umat Muslim. Yang tinggal hanya kelompok Galunggung dan Batu Merah Pantai. Lama ke lamaan kelompok-kelompok Muslim mengecil ditandai dengan komentar-komentar resmi pemerintah atau pimpinan Muslim yang sudah mulai menyebutkan bahwa ulah kekerasan atau sikap yang ditunjukan oleh kelompok Muslim itu hanya sebagai “kelompok kecil Muslim” atau “kelompok keras Muslim.” Istilah-istilah ini semakin melahirkan pengaruh bagi keamanan dalam bentuk interaksi yang semakin terbuka di mana kedua komunitas mulai berjumpa dan seterusnya. Pasar Mardika semakin ramai dan mulai memacetkan pasar musiman di wilayah Kristen lainnya.
Setelah kondisi aman,[12] hidup pela seakan tenggelam dalam teduhnya suara senjata dan genderang perang di antara kedua komunitas, Islam-Kristen. Menurut penulis ada dua hal dalam suasana tenang itu, yaitu Pertama  masyarakat yang ada dalam ikatan pela sedang berupaya kembali ke ikatannya yang semula. Upaya kembali ini tentu sangat berat karena ikatan pela dengan campuran warganya yang Islam-Kristen baru saja keluar dari keganasan perang, ada banyak korban, ada rasa balas dendam, ada trauma atas kekejaman yang terjadi dan berbagai kecurigaan dan ketakutan yang bercampur dengan harapan baik ke depan. Gambaran suasana derita ini tidak berarti pela telah hancur berkeping-keping, sebagaimana ditegaskan Farneubun (Farneubun 2003 : 61-70; cf 32). Memang nampak pada tahun pertama Kerusuhan ada banyak pernyataan yang menolak dan menyangkali manfaat dan kekuatan ikatan pela sebagai dasar hidup orang basudara di Maluku. Ungkapan seperti ini dapat dipahami sebab saat itu banyak kejadian tragis yang menimpa warga ikatan pela di kota Ambon, seperti pembantain, penjarahan dan pemusnahan manusia, dan harta benda. Tapi pasca Kerusuhan bagaikan bistungkir[13] yang terbakar, dikira mati karena kobaran api. Tapi ketika hujan melanda, ia bertunas dan tegar lagi berisi. Ketika kebun singkong baru ditanam dan penduduk desa kekurangan makanan, dia banyak menolong penduduk sebagai makanan tambahan. Itulah elegi pela, tragis dalam air mata, tapi bangkit dalam optimisme dengan sukacita.
Untuk dua desa pela Batu Merah-Passo, yang berperan sebagai pintu masuk jasa ekonomi dan penumpang dengan segala keperluannya, telah sangat aman. Desa-desa seperti Hitu, Hila dan sekelilingnya, sudah lancar ke dan pulang dari kota Ambon; pintu pelabuhan laut Tulehu tempat pendaratan kapal dan motor penumpang dari Masohi dan pulau-pulau Lease (Haruku, Saparua dan Nusalaut) sudah lancar; demikian juga dengan pelabuhan Feri yang menghubungkan pulau Seram dengan pulau Ambon, sudah terbuka dan aman dilalui. Tapi kondisi ‘aman terkendali’ ini tetap membuat masyarakat masih tetap merasa was-was. Sikap ini terlihat jelas sekali jika ada terdengar letusan senjata atau orang berlari atau ada orang mengetok tiang listrik, maka mereka serentak melihat ke kanan atau ke kiri, siapa teman duduknya di mobil, atau di kapal Feri, atau di pasar, apakah ia orang sesama Kristen atau Islam. Rasa wasapada akan ancaman yang serentak meledak tragis masih sangat kuat. Dalam bicara sehari-hari orang Ambon, suasana aman terkendali itu adalah karena “provokator” tidak bergerilya, jadi untuk sementara suasana aman.
Contoh berikut menyatakan perjuangan masyarakat untuk merajut kembali ikatan pela dan perdamain yang didambakan itu. Tulehu adalah sebuah desa Muslim, terletak di bagian timur pulau Ambon. Ia adalah pelabuhan laut tempat mendaratnya penumpang dari ibukota Kabupaten Maluku Tengah, Masohi, desa-desa di pesisir Seram Barat seperti : Seruawan, Kamarian, Tihulale, Rumahkai, Latu dan Hualoi dan juga penduduk dari desa-desa di pulau-pulau Lease. Selain pelabuhan resmi dengan jembatan laut, yang terletak di dusun Mamokin, desa Tulehu juga sebagai tempat pendaratan motor-motor laut. Tempatnya tepat di pantai desa Tulehu. Pendaratan ini disediakan bagi motor-motor bertonase kecil, yang khusus mengangkut penumpang dari desa-desa terdekat di pulau-pulau Lease.
Selama Kerusuhan berkobar, Tulehu benar-benar menderita sebab dengan putusnya hubungan laut maka penduduk tidak bisa mengembangkan ekonominya. Uang yang semula banyak beredar karena jasa angkutan penumpang, jasa angkut barang dan jasa jual beli murah, tidak berjalan. Sebab penduduk Tulehu tidak ada yang berkebun, semua kebutuhan hidup didapat dari uang hasil jual beli. Kesulitan berat ekonomi ini nampaknya membuat raja Tulehu segera bertindak bijak. Sejak awal tahun 2005,[14] ia mulai menggalang hubungan dengan saudara-saudara pela-nya di pulau-pulau Lease seperti desa-desa Paperu dan Kampungmahu di pulau Saparua dan desa Hulaliu di pulau Haruku. Beliau juga mengunungi saudara gandong-nya desa Aboru di pulau Haruku. Perkunjungannya ia perluas hampir ke seluruh desa di pulau-pulau Lease, terutama desa-desa Kristen. Dengan tim olahraga seperti bola kaki dan bola voli ditambah tim kesenian untuk menyajikan malam kesenian, beliau berprakarsa membuka dan membangun kembali hubungan hidup pela-gandong dan hubungan hidup ala orang Maluku Tengah. Prakarsa beliau benar-benar menyentuh hidup masyarakat, sebab dengan perkunjungannya, beliau sendiri mengundang penduduk desa-desa di pulau-pulau Lease untuk datang singgah di desanya, Tulehu, dan beliau bersama masyarakatnya menjamin keamanan dan keselamatan mereka.
Hasilnya mengejutkan sekali. Sementara kehidupan was-was di kota Ambon masih dalam kecurigaan, masyarakat pulau-pulau Lease yang datang lewat desa Tulehu sudah dengan tenang bisa tiba di Ambon. Begitu juga dengan pelabuhan laut Tulehu di dusun Mamokin, sudah terbuka dengan didarati motor-motor besar yang membawa penumpang dari desa Haria, pelabuhan laut di pulau Saparua dan dari Masohi, ibukota Kabupaten Maluku Tengah. Perkembangan positif ini mendorong desa Liang yang adalah pusat pelabuhan penyeberangan Feri yang menghubungkan pulau Seram dan Pulau Ambon, juga mulai terbuka kembali. Begitu juga dengan desa Liang yang penduduknya beragama Islam, pola hidupnya juga sama seperti penduduk desa Tulehu. Mereka menjamin keamanan dan keselamatan penumpang Feri. Akhirnya, hubungan laut membuka lalu lintas manusia dan sekaligus lalu lintas ekonomi yang memulihkan kehidupan masyarakat. Sementara itu desa Wa’ai (Kristen) yang terjepit di antara dua desa Muslim Liang dan Tulehu, juga dengan sendirinya punya akses untuk melewati desa Tulehu, yang pernah menyerang dan memusnahkan mereka, bisa leluasa ke kota Ambon. Perkembangan yang kondusif ini mendorong interaksi masyarakat, Islam-Kristen semakin menyatu berkomunikasi dan menatap kedamain cara hidup orang Ambon, orang Maluku yang kental dengan pola persaudaraan.
Sebuah perhatian yang penting dikemukakan di sini adalah apa yang selalu dibicarakan oleh masyarakat kecil, Islam-kristen, yaitu pengaruh provokator. Oleh masyarakat kecil gelar ini serentak tertuju kepada pemimpin penyerangan selama Kerusuhan, seperti Agus Loupati,[15] sempalan yang katanya mewakili kelompok Kristen dan tokoh lain yang memimpin kelompok Islam. Lama sekali sejak tahun pertama Kerusuhan pecah sampai suasana pasca Kerusuhan, gelar ini menjadi buah bibir masyarakat. Tercatat bahwa hampir semua peristiwa langsung atau tidak langsung yang terjadi berkaitan dengan ledakan kerusuhan lokal yang sudah lama atau baru saja terjadi, selalu disebutkan oleh pemerintah sebagai “Itu karena peran provokator, jadi masyarakat jangan terpengaruh.” Semula sebagian masyarakat percaya dan membangun tuduhan dan kecurigaannya kepada kelompok lawannya. Tapi sikap dan pemahaman masyarakat mulai membelok tentang si provokator, sejak kejadian penembakan di Waehaong yang terjadi bertepatan dengan demo FKM-RMS ke markas Kodam pada tanggal 25 April 2005. Pada satu pihak, pemerintah dengan pendapat resmi menyebut provokator itu seorang atau sekelompok orang yang gerakannya bertujuan mengacaukan kehidupan masyarakat Maluku, Islam-Kristen. Tapi masyarakat mulai memahami bahwa provokator itu tokoh yang sengaja ada atau diadakan ke Maluku dengan tujuan tertentu. Fakta yang ada ialah dalam “perang Agama” antar Islam-Kristen, tidak ada yang menang. Semua menderita, sengsara dan melarat. Yang lebih menyedihkan ialah sampai hari ini tuntutan masyarakat, Islam-Kristen, supaya pemerintah menegaskan siapa provokator itu, tapi tetap tak ada jawaban. Pemerintah membisu saja bersama suasana Ambon yang makin damai dan bersaudara kembali seperti semula.
Kedua, masyarakat dalam ikatan pela sedang bergumul dengan bentukan baru pola interaksi karena benturan sejarah Kerusuhan. Sebelum Kerusuhan, masyarakat di kota Ambon dan di beberapa desa, masih hidup secara heterogen, campuran agama. Tapi selama Kerusuhan sampai pasca Kerusuhan kehidupan masyarakat di Ambon dan sekitarnya berubah menjadi masyarakat homogen satu agama, Islam saja atau Kristen saja. Begitu juga dengan desa-desa yang semula masyarakatnya heterogen agama, berubah menjadi homogen agama. Contohnya desa Larike di jasiran Leihitu, semula penduduknya bercampur mayoritas Islam dan minoritas Kristen. Selama Kerusuhan pecah penduduk Kristen lari mengungsi ke luar desa aslinya dan tinggal di tempat lain. Di bagian-bagian kota Ambon selama Kerusuhan sampai sekarang ini terjadi relokasi dengan penduduk homogen satu agama.
Dalam observasi dan hasil tugas-tugas penelitian mahasiswa Fakultas Teologi[16] tentang hidup plural heterogen agama, Islam-Kristen, informan terbanyak adalah warga masyarakat biasa, para penjual sayur, ikan, buah-buahan, hasil kebun, penarik becak, kuli bangunan, selain itu ada warga intelek seperti pegawai dan pejabat. Jawaban terbanyak dari kalangan warga masyarakat biasa menyatakan kerinduan akan hidup membaur seperti dulu sebelum Kerusuhn pecah. Informan berpendidikan memberi tanggapan berimbang dengan tekanan pada melihat keadaan: “apakah keamanan bisa menjamin untuk mewujudkannya.”
Gambaran sekilas tentang demografi penduduk homogen satu agama adalah bias dari pola hidup asli masyarakat Maluku yang sejak dulu sudah heterogen, apalagi untuk kota Ambon. Yang menarik dari tanggapan informan dilihat dari asal daerah adalah bahwa bagi warga pendatang dari luar Maluku seperti : Bugis, Makasar, Buton, Padang dan Jawa; rata-rata jawaban mereka yang sudah lama menetap menghendaki pembauran seperti dulu. Pendatang yang baru datang berbagi relatif sama; ada yang setuju menurut tradisi masyarakat Maluku, tapi ada yang keras menolak pembauran. Analisa ini menunjuk kepada perjuangan warna atau bentukan baru pembauran masyarakat dari daya hisab ikatan pela. Artinya, masyarakat yang sudah hidup dalam batasan relokasi homogen berhadapan dengan pola atau bentukan baru bagaimana bisa tetap dalam memaknakan hidup sebagai warga Ambon manise, yang bersaudara. Kata sederhananya, daya ikat pela yang hanya mengikat desa-desa tertentu dengan segala keragamannya masih mewarnai pola interaksi masyarakat Islam-Kristen. Pada satu pihak, relokasi penduduk telah menetapkan hidup keragaman bisa berjumpa dalam batas skala besar; misalnya Galunggung dengan Galala. Di sini terlihat semacan kondisi melawan tradisi yang sudah lama terbentuk ialah dulu dalam ingrup itu pembauran agama bertemu; di galunggung ada orang Islam dan ada orang Kristen. Sekarang di outgruplah pembauran itu bertemu : Galunggung total Islam dan Galala Total Kristen.  Pada pihak lain, warna ikatan hidup pela dalam masyarakat adalah pergaulan sehari-hari dengan intensitas tinggi; misalnya lewat sapaan di lorong jalan sebelum masuk rumah, lewat berkunjung di lingkungan sendiri. Sekarang intensitas itu sudah jauh dan sangat formal, di kantor, di pasar, di acara pelantikan raja atau resepsi tertentu.
Meghadapi kondisi pasca Kerusuhan ini, maka upaya membangun hidup antarkomunitas perlu dibuat. Upaya ini oleh Banawiratma disebut sebagai membangun komunitas basis manusiawi yang lahir dari pengalaman-pengalaman kepedulian hidup bersama (Banawiratma 2000: 192). Sebab kedua belah pihak, baik Islam maupun Kristen, sama-sama mengalami derita, kalah, hancur, susah dan sakit. Di sinilah upaya menghadirkan pesan Kerajaan Allah secara terbuka bisa dilakukan. Pesan terbuka berarti orang Kristen terpanggil untuk membangun relasi dengan sesama Muslimnya, tanpa wacana iman. Ia cukup berbuat dan berkarya sebagai tanda solidaritas sosial-kultural, sebagai orang berbudaya Maluku, orang basudara, orang Ambon manise.

5.      Kesimpulan
Dari uraian pela dan makna interaksinya sebelum, selama dan pasca Kerusuhan, ada beberapa kesimpulan yang bisa dikemukakan seperti berikut ini : pertama : ikatan pela sebelum Kerusuhan, masih tetap menjadi kekuatan relasional masyarakat warga pela. Sekalipun intensitasnya terbatas, karena tergantung pada momentum penting yang ada seperti pengresmian Gereja, Mesjid dan pelantikan Raja. Tapi makna dari pelaksanaan ‘upacara kecil' itu masih memberi dasar persaudaraan yang kuat. Penulis menyebut ‘upacara kecil’ maksudnya untuk memisahkannya dari upacara pela yang membutuhkan ritual dan persyaratan ketat, yang selalu sangat perlu dalam acara panas pela. Jika itu hanya hadir dalam pengresmian gedung Gereja atau Mesjid atau pelantikan Raja, maka partisipasi hanya sebatas, menyaksikan dan mendemostrasikan hidup bersama selaku orang bersaudara. Penampakan ini terlihat dalam makan patita bersama, bersukacita bersama dengan menari atau menyanyi dan kegiatan partisipatif lainnya. Tata ritual di ‘upacara kecil’ ini hampir tidak ada. Lain halnya di ‘upacara besar’ seperti bikin panas pela, tata ritualnya sangat ketat berkaitan satu dengan lainnya; ada doa sumpah pela, ada rapat di baileu dan ritual suci lainnya.
Kedua, selama Kerusuhan, saudara-saudara se-pela mesti terpisah dan bermusuhan karena ‘terpaksa’ harus berdiri di atas keyakinan agamanya. Bukan berdiri di atas sumpah setia pela-nya. ‘Keterpaksaan’ ini penting dijalani demi surviva dalam ikatan bentukan kelompok darurat.[17] Betapa tidak ?! Kelompok-kelompok darurat ini, Islam-Kristen, tidak berdaya dan tidak berkuasa melawan tangan dunia yang mengaturnya. Apalagi ketika mereka tidak tepat memahami sentuhan keyakinan baru yang berupaya memisahkan mereka karena alasan benturan agama. Ada banyak indoktrinasi untuk membuat warga ikatan pela meyakini ajaran agamanya sebagai satu-satunya kebenaran eksklusif. Tidak ada kebaikan di luar agamanya sendiri. Dengan cara ini, masyarakat dipisahkan dari ikatan persaudaraan dalam pela. Kejadian tragis tertentu selalu dipakai sebagai simpul pembenaran doktrin agama yang eksklusif itu. Karena itu dapat dipahami bahwa waktu selama enam tahun Kerusuhan (1999-2005) telah membentuk pengaruh kegoncangan ikatan pela. Tapi, salah atau ketidaktepatan memahami belum berarti hilang identitas selaku ‘orang basudara.’ Fakta ini terlihat muncul ke depan ketika prakarsa sadar identitas terjalin lagi menjelang akhir Kerusuhan dan pasca Kerusuhan : contohnya pada pasar baku bae dan relasi pulih antar-pela desa Batu Merah dan desa Passo, saudara-saudara Islam desa Larike yang mulai memanggil saudara-saudaranya yang Kristen untuk kembali pulang dan interaksi desa-desa se-pela yang Islam dan Kristen..  
Ketiga, upaya untuk memahami konteks hidup yang dihadapi sebagai ‘orang basudara’ tidak mudah. Sebab, memahami konteks itu bertolak dari teks, dirinya sendiri, sebagai ‘orang basudara.’ Di manakah esensi kearifan lokal pela yang menekankan pentingnya dasar-dasar saling menghormati, saling melindungi dan saling membantu, yang adalah inti dari sumpah pela itu ? Terlihat bahwa di pasca Kerusuhan baru mereka menemukan pengaruh kepentingan luar yang mengendalikan mereka. Oleh karena itu ungkapan “Berenti jua, katong su cape deng Kerusuhan,” yang artinya, : “Berhentilah, cukuplah (penderitaan), kami sudah capek dengan Kerusuhan.” Keluhan  ini bukan sekedar karena dorongan kebutuhan ekonomi, yang seperti semula sebelum Kerusuhan tidak terpenuhi, seperti keadaan lapar, sakit, hilang rumah, hilang orang tercinta dan lain-lain. Tapi terutama adalah hilang rasa damai, aman dan perlindungan. Jika rasa damai, aman dan terlindungi tercipta, sebagaimana yang ada dalam hekakat hubungan pela, maka masyarakat-warga pela bisa melakukan, mengekspresikan dan membangun hidup dalam relasi sebagai ‘orang basudara.’


Refleksi Teologis
Hidup Persaudaraan
Pela adalah ikatan hubungan persaudaraan sosial-kultural. Dasar hidup ini menjamin bertumbuhnya relasi-relasi luas lainnya, seperti ekonomi, politik, ekologi, dan juga agama. Kekuatannya ada pada memahami makna isi sumpah pela, yang mengandung aspek pembatasan, pelindungan dan larangan. Makna sumpah pela mengikat warga masyarakat yang masih hidup dan juga para leluhur. Keduanya, yang hidup dan yang mati (para leluhur), ada dalam satu relasi erat. Di sini hubungan sosial-kultural mesti menjadi jalan masuk untuk membangun dan mengembangkan kehidupan yang utuh jasmani dan rohani. Untuk itu penguatan diri dengan dasar-dasar kultural dalam ikatan pela mesti kokoh. Penguatan ini menjadi penting sebab media pewarisan daras-dasar ikatan pela hanya bisa dilihat, dikenal, dan dihayatai ketika ada pelaksanaan upacara pela atau panas pela. Selama ritual itu tidak dilaksanakan, orang -terutama anak-anak muda- hanya sekilas tahu nama pela saja. Tapi tidak tahu apa dasarnya, bagaimana momentum penting yang menjadi dasar ikatan persaudaraan itu, di simbol apa, di media apa, waktu mana dan dengan siapa saja ikatan bersaudara itu terbentuk (manusia hidup dan roh leluhur, orang mati).
Dalam pengamatan dan pengalaman penulis,[18] intensitas pelaksanaan pela konvensional,[19] atau ikatan pela dalam kegiatan panas pela dengan pembaruan sumpah pela yang dilakukan sendiri oleh warga pela-nya, sangat jarang terjadi. Biasanya ada perjumpaan kecil yang sedikit berkaitan dengan pela ini, misalnya ketika ada pengresmian Gereja, Mesjid atau pelantikan raja. Di perjumpaan ini masyarakat, tua muda, laki-laki perempuan, besar kecil, tahu bahwa ada perjumpaan yang ramai, yang terjadi di tempat mereka karena mereka ada dalam satu ikatan pela. Tapi anak-anak muda tidak tahu secara utuh, apa motivasi dan tekad dalam sumpah pela, yang menjadi dasar sehingga mereka berkumpul ramai dalam sebuah peringatan bersama sebagai saudara. Tentu perjumpaan seperti ini ada baiknya juga, yaitu untuk membangun pengenalan dan pelestarian ikatan pela kepada anak-anak muda. Tapi motivasi dasar, sejarah terbentuk dan inti pembentukan pela itu tidak diketahui dengan benar.
Menurut penulis, sesungguhnya ada media-media lokal untuk pewarisan nilai-nilai ikatan pela itu. Di Maluku Tengah pada umumnya masyarakat sudah melupakan tempat garam. Tempat ini biasanya diletakan di atas meja makan ketika keluarga akan bekumpul untuk makan. Kegiatan makan hanya bisa dimulai jika sudah ada tempat garam di meja makan. Falsafahnya mengartikan bahwa kehadiran roh leluhur mesti menjadi dasar dari rasa syukur dalam suka cita bersantap. Orang Ambon mengistilahkannya sebagai penghomatan kepada orangtua; makan baru bisa berarti dan lengkap jika kita menghormati orangtua. Oleh karena itu tempat garam melambangkan kehadiran roh leluhur yang turut menyertai dan memberkati makanan yang disantap. Dibalik sikap ini, diyakini bahwa kebaikan, keberhasilan dan kesejahteraan yang diperoleh dalam hidup, yang disimbolkan dalam menikmati kelesatan makanan, semuanya itu bisa diperoleh karena pengajaran yang telah diberikan oleh orangtua, yang ada hidup sekarang dan juga leluhur. Merekalah penganjur etika hidup dari hari ke hari dan anak-cucu harus meneruskannya. Oleh karena itu kehadirannya yang diwakili dalam sebuah tempat garam, harus dihormati. Etika ini membuat orangtua kita selalu menegur agar menjaga suasana, bahwa pada waktu makan tidak boleh rebutan, tidak boleh cerewet, harus disiplin, dan teratur. Pokoknya selama masih ada tempat garam di meja makan, sikap tertib, tenang dan taat mutlak harus dijamin. Setelah tempat garam diangkat baru kegiatan makan telah selesai. Tempat garam ini dengan sisa garamnya bisa di simpan di lemari makan atau di cuci saja.
Menurut penulis, di media seperti tempat garam dan sejenisnya, transformasi edukasi kultural bisa diwariskan dengan menjelaskan kepada anak-anak kita mengapa mesti diam, tertib dan taat. Apa makna dibaliknya, yang sama tegasnya dengan makna kehadiran roh leluhur di upacara pela atau panas pela. Penjelasan yang menegaskan kehadiran kuasa leluhur ini juga bisa ditegaskan dalam beberapa kebiasaan lokal lainnya. Di Maluku Tengah, ketika kita sedang ber-bicara dan tiba-tiba ada decak cecak atau suara tokek di dinding atau atap rumah, maka itu diyakini sebagai suara mengiakan, atau mengesahkan dari leluhur. Begitu juga dengan tanda kokok ayam di depan pintu, yang menandakan firasat akan datangnya tamu, atau ketika memasak dan terdengar suara api atau api bicara (bahasa sesehari Maluku), semua tanda ini diyakini sebagai tanda perkenaan leluhur. Di kepulauan Aru, ketika berlayar dengan perahu dan tidak ada angin, maka biasanya awak perahu meniup tafuri (kulit siput) atau bersiul panjang untuk memanggil angin. Perlakuan ini diyakini sebagai tanda memanggil kekuatan leluhur lewat angin yang meniup layar perahu dan mengantar dengan selamat sampai ke tujuan. Selain itu ada juga sesajen di kepulauan Kei, yang dipersembahkan dan ditaruh di loteng rumah atau di tempat tertentu. Di Tanimbar dan di wilayah Pulau-Pulau Terselatan (Babar, Marsela, Luang-Sermatang, Roma, Damer, Wetar, Kisar, Leti, Moa dan Lakor) ada upacara buka kebun baru dan upacara menuai hasil kebun. 
Media-media ritual ini menyatakan adanya kehadiran dan perkenaan leluhur dalam sebuah gejala atau peristiwa dalam hidup. Menurut penulis melaluinya, transformasi edukasi kultural bisa ditempuh untuk memperkenalkan, mengingatkan dan membentuk rasa memiliki kepada generasi muda tentang ikatan pela, wadah ikatan persaudaraan tempat mereka berada. Di setiap media itu hendaknya orangtua berinisiatip untuk menjelaskan, membagi pengetahuan dan memberi motivasi dasar tentang hakekat ikatan pela supaya anak-anak muda dalam keluarga atau di masyarakat punya pengetahuan. Ketika pada saatnya ia atau mereka mendengar, apalagi menghadiri ritual pela atau panas pela, maka pembentukan pribadi yang kokoh sebagai orang bersaudara menjadi makin utuh.
Dari sisi iman, sikap memaknakan simbol atau akta-akta sosial kultural seperti yang disebutkan di atas, sejak lama ditantang mati-matin oleh Gereja, khususnya Gereja Protestan Maluku. Kerasnya teologi kaku seperti itu membuat banyak identitas lokal, yang sangat berguna demi upaya transformasi dan kontekstualisasi berteologi, menghadapi tembok baja yang banyak kali juga sebagai bumerang bagi Gereja sendiri. Di banyak perjumpaan upaya kontekstualisasi, gereja mendapat kritik. Sebab bukankah karena Gereja yang menganggap semua praktek adat kafir, sehingga banyak pemusnahan batu pamali, banyak bahasa daerah asli yang hilang, banyak kebiasaan hidup seperti tempat garam dan sejenisnya yang ditinggalkan, karena semua praktek itu adalah kafir dan melawan kehendak Tuhan ??!!
Bahwa Jemaat sebagai basis misi gereja dan identitas lokal adalah arena menemukan karya Allah, telah membuka perspektif baru memperbaiki teologi warisan Barat yang lama membentuk konsep keselamatan gereja, menjadi pergumulan tersendiri bagi GPM. Paradigma berteologi dengan misi transformasi dan kontekstualisasi berteologi, baru ditabur di Fakultas Teologi secara gencar pasca Kerusuhan. Harapan pendasaran konsepsi dan motivasi kepada mahasiswa untuk menjadi agen pembaruan teologi baru bisa dilihat secepat-cepatnya sepuluh tahun ke depan. Generasi pendekar iman di lapangan, pendeta-pendeta di Jemaat-Jemaat, yang ada sekarang, masih berkutat dengan teologi tebang tanpa pilih, semua yang berkaitan dengan praktek adat adalah kafir dan melawan kehendak Tuhan.
Di sini Gereja Protestan Maluku, juga berjuang membenahi dan memperbaiki Dogmanya, Teologinya, Tata Gerejanya dan Cara Pandang Misinya. Bahwa Teologi yang kontekstual bukanlah sepenuhnya aplikasi warisan Pekabar Injil masa lalu. Tetapi menghargai, menghormati dan berinspirasi dalam perjumpan karya keselamatan Tuhan dalam berbagai aneka-ragam praktek hidup warganya.
Contoh kecil berikut terjadi dalam sebuah Ujian Vikaris. Kisahnya seperti berikut : di Laporan Vikariatnya ia menyimpulkan bahwa adalah pemborosan besar ketika lima orang anak mengumpulkan begitu banyak barang dan uang hanya untuk bertemu, membangun dan mensyukuri pembangunan kubur ayah mereka yang berukuran satusetengah kali satu kali satu setengah meter. Seorang anak membawa tiga ekor kerbau, seorang membawa puluhan ekor ayam, seorang lain membawa sepuluh ekor babi, yang lain membawa puluha ekor kambing dan yang terakhir memberikan bantuan jutaan rupiah, sebab ia pegawai negeri, seorang Camat. Secara ekonomis, semua barang itu bisa dipakai untuk memberi makan lima desa, kata Nona Vikaris. Pendeta setempat, yang adalah mentor dari Nona Vikaris, bertambah marah sebab amplop syukur yang diberikan ke Gereja cuma lima puluh ribu rupiah saja.
Fokus ujian Vikariatnya hanya satu pertanyaan diskusi yang berpusat pada kasus ini. Penulis meminta tanggapannya sebagai calon Pendeta muda yang baru saja sekitar enam tahun lulus dari Fakultas Teologi. Dengan tegas ia menjawab bahwa benar perbuatan itu sama saja dengan menyembah orang mati, sebab bukankah ada kata Yesus : “Ikutlah Aku dan biarlah orang mati menguburkan orang mati” (Matius 8:22). Ketika penulis membuka pikirannya tentang kembali ke pusat moral di mana mereka melakukan itu bukan penyembahan tetapi karena apresiasi dan respek atas semua kebaikan dalam bentuk materi dan ajaran moral dari si mati, ayah mereka, yang dari ajarannya itulah anak-anaknya berhasil hidup dengan baik, bahagia dan sejahtera, barulah Nona Vicaris tersentak dan menjawab : “Berarti saya belum membawa pemahaman mereka kembali berpusat kepada Tuhan, sebagai pusat ajaran moral tertinggi yaitu keselamatan yang telah Ia anugerahkan kepada kita, umat-Nya.” Penulis langsung mengatakan : “Nona, ujian Vicarismu selesai. Selamat sukses” !
Banyak kali kita (termasuk penulis) lupa bahwa ekspresi perbuatan masyarakat sangat erat berkaitan dengan konteks hidup di mana ia berasal dan berada. Karena itu polesan upacara membangun kubur orangtua dan sejenisnya biasanya diisi juga dengan peran tokoh adat lokal. Pasti juga ada doa adat, atau mantra-mantra pemanis ketenaran si tokoh adat. Sayangnya Gereja berdiri jauh dan menjadi hakim saja atas pameran ritual adat itu. Diskusi dengan Vikaris di atas menyimpulkan ketertutupan Gereja lewat agennya di Jemaat yaitu si mentor Pendeta. Mengapa ia tidak membawa pemahaman Jemaatnya, bahwa kalau bisa mensyukuri nilai kebaikan dalam warisan ajaran etika moral seorang almarhum saja bisa sebegitu glamor, mengapa tidak dilakukan bagi pendidikan anak atau kebersamaan lainnya ?! Di sinilah inti perjuangan kontekstualisasi teologi yang terlupakan oleh Gereja, terutama Gerja Protestan Maluku (Schreiter 1993; Singgih 2000; Darmaputra 1998 : 3-20; 47-64 : 225-234).

“Terpaksa” Mengingkari Persaudaraan.
            Siapa pun pasti tidak suka secara sadar berada dalam suasana ‘terpaksa.’ Tapi kondisi ini adalah bagian dari hidup yang nyata. Selama Kerusuhan di Ambon, kedua belah pihak tidak menyadari sedikitpun bahwa ada suasana ‘terpaksa’ yang mesti mereka lakukan ketika masing-masing dari mereka harus saling menyerang, menjarah, membakar rumah dan membunuh lawannya. Dapat dibayangkan betapa malu dan rasa bersalah yang selalu menjadi hantu yang mengiringi hari-hari hidup kedua belah pihak warga Islam dan warga Kristen, pada masa setelah Kerusuhan seperti sekarang ini. Baik di pihak Islam maupun di pihak Kristen yang ada dalam ikatan pela, pasti rasa malu, rasa bersalah, rasa rendah diri dan rasa negatif lainnya berkecamuk dalam perasaan. Suasana hati yang tidak pernah ada selama Kerusuhan berkecamuk.
Setelah Kerusuhan berakhir, dalam perjalanan waktu, baru mereka sadar bahwa sesungguhnya mereka ‘terpaksa’ melakukan kekejaman karena sebuah kebenaran yang mutlak, yaitu kebenaran agama. Nilai agama adalah kebenaran yang pada dirinya sendiri tidak bisa dan tidak boleh dipertentangkan. Sebab kebenaran ada di agama Islam dan demikian juga kebenaran ada di agama Kristen. Di lain pihak mereka, Islam-Kristen, bersama punya nilai kebenaran dalam pembatasan, perlindungan dan larangan yang adalah isi falsafah di dalam ikatan pela, sebagai orang basudara. Kondisi nyata yang dialami tidak bisa dijawab hanya dengan kata siapa salah dan siapa yang benar. Tapi kondisi ini harus dihadapi bersama dengan mencari untuk menemukan kembali di mana simpul yang bisa mengikat dan mengangkat mereka kembali dari kekerasan dan pelanggaran yang secara ‘terpaksa’ telah mereka lakukan, kepada hidup sebagai orang basudara.
Kebenaran yang sudah ‘terpaksa’ di lakukan adalah kebenaran yang tanpa disadari bahwa kebenaran itu salah adanya. Dalam hal ini ada dua sikap yang perlu dikembangkan untuk menanggapinya. Sikap pertama adalah setelah mengetahuinya bahwa apa yang sudah dilakukan adalah salah, maka tidak cukup kembali dengan mempersalahkan diri saja. Tapi berupaya menemukan kekuatan hikmah dan kebenaran yang universal dalam ikatan pela sebagai orang basudara. Kembali ke ikatan ini berprinsip pada pembuktian hidup yang tidak lagi mudah terpengaruh dengan hasutan dan daya pikat sepihak, sekalipun itu berdasarkan pada agama. Sebab hakekat kebenaran agama tidak meruncing pada konflik, tapi pada apa yang terbaik yang bisa dilakukan kepada sesama manusia. Sikap kedua berkaitan erat dengan sikap pertama, yaitu menemukan diri, yang berpusat pada hati sebagai pusat pengenalan rasa berdasarkan ajaran agama. Kekuatan besar di sini dalam perjalanan sejarah adalah goncangnya seseorang dalam memahami agama sehingga hatinya galau dan mudah terhasut, lalu ia melakukan pelanggaran dan kekerasan. Hati itu pusat rasa untuk menyatakan dan melakukan kebenaran (Sitompul 1974 : 42-43). Hati itu juga yang membuat rasa bersatu, rasa bersaudara dengan sumpah di dalam ikatan pela, yang menyatakan mesti saling melindungi dan menolong ketika saudara pela ada dalam kesulitan dan bahaya. Mengobati suasana yang telah ‘terpaksa’ melukai sesama pela adalah dengan menjalani hari-hari mengasihi. Demonstrasi mengasihi ini bukan lahir dari sapaan, tutur-kata manis saja ketika bersua. Tapi terutama perilaku tulus pada setiap kesempatan berjumpa dan perilaku yang sama juga mesti dinampakan bukan saja kepada saudara-saudara se-pela, tetapi kepada siapa saja. Tegasnya, mengobati kesalahan yang ‘terpaksa’ itu adalah dengan berlaku dan bertutur kata tulus dan jujur dalam semua interaksi dengan siapa saja, di mana saja dan kapan saja. Untuk mencapai perdamaian kembali dan kembali ke komunitas ikatan pela, maka menjalani hidup dalam ruang dan waktu adalah penting. Sebab rasa bersalah atas pelanggaran dalam perbuatan ‘terpaksa’ selama Kerusuhan itu sudah dijalani (Albers 1995 : 33-48). Tanpa sengaja mereka kedua belah pihak, Islam-Kristen, telah merusak ikatan komunitasnya dalam ikatan pela. Dalam sejarah hidup melintasi perjalanan ruang dan waktu ini, akan terbukti apakah hati mereka tetap terhisab dalam sumpah pela sebagai orang basudara atau tidak. Biarlah perjalanan waktu yang mengujinya : panjang-lamakah atau juga pendek-cepat sajakah, yang penting mereka yang sudah ‘terpaksa’ berlaku kejam dan sadis kepada sesama pela, harus menjalaninya. Di medan perjalanan waktu itu apa jawabannya. Hikmat dari suasana ‘terpaksa’ adalah memberi diri (tutur kata dan perbuatan) untuk dinilai dalam lembaran sejarah perjalanan hidup sehari-hari ke depan.
Di kehidupan masyarakat Kei, ada pepatah tradisonal yang mengatakan ken sa faak, atau ‘benar betul, salah empat’ atau yang salah dan yang benar sama-sama mendapat empat. Di masyarkat Kei angka empat adalah angka pembagi bilangan dua yang mudah dan sama hasilnya. Para pemuka adat Kei memakai pengertian ini untuk mencari pemecahan masaalah dan bukan mempersulitkannya. Maksudnya, bukan hanya pengertian rasional yang dipakai dalam memecahkan persoalan pelik. Tapi juga soal rasa, rasa adil yang mesti sama diterapkan, baik bagi si ‘yang bersalah’ maupun si ‘yang benar.’ Arti pepatah ini kedua belah pihak tidak ada yang benar maupun tidak ada yang salah. Di masyarakat Kei pepatah ini dikenakan dalam masaalah ketidaksengajaan atau ketidaktahuan melakukan sebuah pelanggaran atau kekerasan (Pattikayhatu 1983 : 53-54).
Dari sisi teologi, kondisi ‘terpaksa’ ini harus dibenahi dengan mencari pengampunan dan sudi memberi pengampunan. Bagi orang-orang yang ‘terpaksa’ melakukan kekerasan dan kekejaman, hal mencari pengampunan dari Tuhan adalah mutlak. Ia mesti mencari untuk menemukan diri di hadapan Tuhan, mengaku dosa-dosanya dan memohon ampun. Mencari pengampunan berarti ia tahu bahwa ia bersalah karena telah menyakiti saudara pela-nya sendiri. Mencari pengampunan membuat si yang ‘terpaksa’ itu harus berinisiatif pergi menjumpai Tuhan di kekudusan-Nya, supaya kembali berkenan kepada Tuhan, Juruselamat, yang sudah melepaskan dia dari angkara murka Kerusuhan. Tetapi bukan sampai di situ saja. Sebab mencari pengampunan punya kaitan langsung dengan memberi pengampunan. Prasyarat ini jelas dikatakan Tuhan Yesus bahwa untuk mendapatkan berkat dan pengampunan, maka orang itu terlebih dulu harus mengampuni orang lain yang adalah musuhnya (Matius 5 : 23-25) dan harus mengasihinya (Matius 5:44-45). Mendapat pengampunan dan memberi pengampunan itu tidak hanya dalam doa atau angan-angan saja. Tapi mesti nampak dalam tutur kata dan perilaku hidup (Amsal 25 : 21-22). Oleh karena itu, pertobatan dan empati adalah jawaban untuk pulang kembali kepada jalan hidup sebagai orang basudara.

Memahami Konteks Dari Diri Sendiri                   
            Ada pepatah mengatakan : “Pengalaman adalah Guru yang paling bijak.” Nampaknya pepatah itu terpulang juga kepada ikatan pela di masyarakat Maluku Tengah : pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Pengalaman hidup sebelum Kerusuhan berbanding pengalaman selama dan pasca Kerusuhan, menampilkan sebuah warna tersendiri. Konteks sebelum Kerusuhan menunjukkan bahwa landasan ikatan pela masih kokoh melindungi, mengarahkan dan menjadi motivasi bagi kehidupan. Selama Kerusuhan, ikatan pela terguncang dan banyak pihak, baik Islam maupun Kristen, yang menjadi pesimis bahwa jati diri “orang basudara,” yang dibanggakan orang Maluku Tengah itu akan kokoh berdiri.
Sekalipun demikian, kondisi pasca Kerusuhan sampai sekarang ini, terlihat bahwa pesimisme semua pihak mulai berganti ke sikap optimis yang sangat antusias, bahwa institusi itu masih ada dan masih punya jiwa yang nampaknya mampu memberi pencerahan kepada kehidupan ‘orang basudara.’ Antusiasme itu nampak dari peningkatan relasi dan interaksi masyarakat di kota Ambon maupun di desa-desa yang punya hubungan pela. Fakta-fakta interaksi pasca Kerusuhan seperti pasar baku bae dan relasi positif dua desa pela Batu Merah-Passo, memberi gambaran meyakinkan tentang harapan ini. Namun, untuk mewujudkan harapan itu perlu memperhitungkan dampak lanjutan Kerusuhan dan dampak perkembangan globalisasi yang ada. Dampak lanjutan Kerusuhan yang terberat di dalam dan di pinggiran kota Ambon adalah interaksi hidup dalam trauma Kerusuhan dan kondisi relokasi. Di desa-desa, dampak Kerusuhan yang sangat berpengaruh adalah trauma Kerusuhan. Di kota dan di pinggiran kota Ambon, interaksi masyarakat yang homogen agama kurang mendukung lancarnya perbaikan hubungan antara pela, sebab warga ikatan pela itu plural, ada Islam dan Kristen. Kondisi ini di dukung juga oleh fakta relokasi masyarakat pasca Kerusuhan di mana di setiap lokasi pemukiman hanya di huni oleh warga beragama Islam atau Kristen saja. Kesulitan kedua yang sama dihadapi di kota, di pinggiran kota Ambon dan di desa-desa adalah trauma dari kekejaman Kerusuhan. Sampai hari ini, entah di rumah, di kantor atau sementara di perjalanan, ketika melihat ada orang berlarian, ada ketukan tiang listrik atau dentuman senjata, maka orang langsung ingin bertindak menyelamatkan diri. Jadi, sekali pun sementara duduk ‘ngopi’ di warung kopi dengan teman lama yang beda agama atau sedang bersama dalam suatu bentuk keakraban lainnya, tapi ketika terlihat atau terdengar tanda-tanda tersebut, maka inisiatif mengambil langkah menyelamatkan diri masih dominan.
Menghadapi kondisi di atas, terlihat ada indikator positif ke depan yang terbangun dan tidak di sadarai dari warga masyarakat sendiri, baik yang di kota dan pinggirn kota begitu juga yang di pedesaan. Indikator itu ialah sikap saling percaya. Seperti contoh berikut; seorang ibu Muslim penjual ikan keliling terkejut, panik dan merasa takut ketika anak-anak mengetok tiang listrik berturut-turut dengan cepat dan dalam waktu lama. Betapa ia tidak panik dan takut ? Sebab ketika itu ia ada di lokasi pemukiman Kristen. Namun dalam kondisi itu, pembeli ikan yang melihat rona wajah dan gerak tubuh si ibu, segera tahu apa yang mesti dibuatya. Penjual ikan itu diajak masuk ke dalam rumah. Dengan sedikit enggan, tapi akhirnya ia masuk juga, lalu pembeli ikan berkata : “Jangan takut, ale ada di beta punya rumah” artinya jangan takut anda ada di rumahku (saya melindungimu). Besok harinya si penjual ikan datang menjaja ikan lagi. Dengan sedikit seloroh pembeli itu bertanya : “Balom tobat lai” ?! Artinya, tidak kapok (ketakutan) dari peristiwa kemarin ?! Ia menjawab “Sebab beta percaya ale” atau saya sepenuhnya percaya kepada anda (yang dapat melindungi jika memang benar masih ada ancaman keselamatanku).
Dari akal sehat pembaca pasti serentak akan melahirkan diskusi dengan berbagai argumen. Satu di antara banyak argumen itu adalah alasan ekonomi yang membuat ibu itu ‘nekat’ dan ‘tidak tobat’ atau ‘takut’ untuk datang berjualan ikan lagi di pemukiman Kristen. Sebab bukankah ia, suami dan anaknya perlu makan ??! Perlu dijelaskan, di kota Ambon selain di pasar ikan, ada banyak penjual ikan keliling dan terbanyak dilakukan oleh ibi-ibu. Dengan keku ikan, mereka berkeliling sambil berteriak : “Ikan,  ikan………” lalu menyebutkan nama jenis ikan yang dijualnya. Kaum laki-laki sangat jarang dijumpai melakukan pekerjaan ini.
Sekilas pembaca pasti tidak yakin bahwa contoh interaksi kecil itu bisa menjadi sebuah ukuran yang menjamin pulihnya hubungan hidup orang basudara di Ambon khususnya dan di Maluku pada umumnya. Itu sah-sah saja. Tapi peristiwa serupa juga terjadi di lokasi kedua komunitas dengan dorongan melindungi yang sama, dalam kasus lain. Prakarsa memberi perlindungan itu ada yang terjadi dengan cara dipanggil masuk ke dalam rumah  atau kalau sedang berada di dalam rumah dan terjadi contoh-contoh seruan kerusuhan, tuan rumah akan menyatakan menjamin keselamatan tamunya; atau juga kalau sedang dalam perjalanan di angkot dan berada di lingkungan mayoritas, maka jaminan perlindungan akan diberikan oleh sopir atau sesama penum-pang dari mayoritas komunitas yang kebetulan ada bersama. Kondisi memberi perlindungan ini banyak dikisahkan dari mulut ke mulut pada masa pasca 25 April 2005.
Sekilas terlihat bahwa saling percaya yang terbentuk dari sikap saling melindungi itu terjadi karena pengaruh mereka merasa sudah terlalu lelah dan menderita dalam Kerusuhan. Hasil perang yang disebut ‘perang agama’ antara Islam dan Kristen itu tidak membawa satu manfaat pun. Yang  mereka dapat hanyalah penderitaan, kemiskinan dan penyakit. Pendidikan anak-anak terbengkalai, pekerjaan terganggu dan hidup tidak tentram. Tapi menurut hemat penulis jika digali lebih ke dalam lagi, maka akan didapat bahwa mereka tanpa sadar telah memaknakan rindu akan hidup yang aman dan damai sebagai bagian dari keluarga orang Ambon manise. Pengertian manise bagi masyarakat Maluku, khususnya Maluku Tengah : pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease, adalah sebuah pemaknaan dalam pembatasan, perlindungan dan larangan yang sesungguhnya adalah makna hakekat ikatan hubungan pela. Tanpa disadarai orang-orang itu sudah memaknakan hubungan pela, sekalipun ia itu orang bukan pribumi Maluku. Dengan diam-diam tanpa disadari, ia telah melaksanakan dan mendukung sebagian kalimat dalam falsafah hidup orang Maluku Tengah, yaitu ikatan hidup orang basudara atau pela. Makna Ambon manise, bukan saja terlukis pada wajah gadis berkain-kebaya merah muda yang melenggang dengan keku jualan buah-buahan di kepalanya saja. Tapi arti kata Ambon manise terutama berpusat pada menjaga, melindungi dan memiliki relasi antarpenduduknya, siapapun dia, baik penduduk pribumi maupun pendatang. Jika dikaji, maka makna pela dalam pembatasan, perlindungan dan larangan adalah sebuah misi yang tersirat dalam falsafah manise itu. Sebab di dalamnya orang harus saling melindungi, orang harus saling menjaga batas-batas interaksi dan juga orang mesti sedia memahami bahwa ada privasi di antara dia dengan orang lain dan sebaliknya.
Memang seruan tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama dan pemerintah, bahkan seluruh masyarakat Ambon, selalu menyebut Ambon manise dalam hubungannya dengan kerinduan akan suasana aman dan damai dalam berbagai kesempatan. Tapi makna manise yang mendasar sebenarnya ada dalam memaknakan falsafah ikatan pela. Sesungguhnya dua kata Ambon manise itu adalah amsal hidup, simpul relasional orang Ambon, orang Maluku. Artinya, secara tidak sadar si pelindung kepada orang yang terancam itu sudah memaknakan falsafah hidup sebagai orang basudara. Tanpa disadari, saling percaya sudah mulai terbangun dari orang-orang yang merindukan hidup berdampingan dalam rasa aman, tentram dan damai. Dengan memaknakan isi falsafah Ambon manise, maka sebenarnya mereka bersama-sama, orang pribumi dan pendatang sementara berjuang menemukan kembali harga dirinya, harga diri yang terbentuk dari nilai-nilai budaya sebagi orang basudara (Banawiratma 2000 : 21-22).
            Dengan demikian, maka sesungguhnya mereka, orang-orang itu, si pelindung dan yang dilindungi sedang memaknakan identitas dirinya di tengah-tengah dampak perubahan besar yang sedang mengepung dan menghajar mereka. Sebenarnya mereka sedang berproses dalam upaya memahami kembali jati-dirinya sebagai orang Maluku. Sayangnya, sadar (atau tidak sadar) akan identitas diri ini baru datang ketika derita mendera. Upaya menemukan jati diri dalam menghargai identitas lokal setempat adalah tindakan bijak dalam berhadapan dengan pengaruh monster globalisasi bagi sebuah adaptasi hidup berpengharapan (lihat Singgih 2004 : 1-7). Hal ini sudah ditunjukan oleh orang warga Ambon, Islam-Kristen, pribumi dan pendatang. Dengan adanya perilaku saling memberi perlindungan dari orang pribumi dan pendatang Muslim Buton, Bugis, Makasar dan yang lainnya, maka sebenarnya adaptasi sosial-kultural tanpa di sadari sudah ditunjukan. Kalau orang pendatang saja sudah mendemonsrasikan isi falsafah pela, maka tentu saja penduduk pribumi yang mesti semakin gigih memperjuangkannya supaya menjadi bagian hidupnya ke masa depan (Singgih 2000 : 37, 39-40). 
Saling percaya atau membangun hidup percaya di antara satu dengan lainnya bisa mudah dilakukan, tetapi bisa juga sulit dilakukan. Bisa mudah dilakukan, jika kedua belah pihak tulus dan jujur untuk membentuk dan membangun sebuah suasana hidup ke depan. Tapi ia sulit atau semakin sulit, jika keragu-raguan, tertutup dan ingin menang sendiri, ada di antara salah satunya. Kekuatan yang mendukung sikap dan keputusan untuk saling percaya jembatannya ada pada relasi hidup. Menurut penulis sikap saling percaya dalam membangun relasi hidup ini yang perlu ditumbuhkan. Ia sangat menentukan dalam memahami konteks diri sendiri mengisi masa hidup pasca Kerusuhan ke depan. Pribadi orang Kristen, atau orang-orang Kristen yang adalah Gereja Tuhan, selaku agen perdamaian, mesti menjadi dan menyediakan ruang dan waktu untuk berdirinya saling percaya ini. Tanpa menyadari dan sedia melakukan keprihatinan konteksnya, baik dengan sesama manusia, dengan penderitaan, dengan sesama yang tidak seiman, dengan kehilangan identitas, maka ia tidak bisa berguna sebagai Gereja yang adalah milik Tuhan (Singgih 2004 :56-73).
            Oleh karena saling percaya itu adalah bagian erat dari amsal hidup sebagai orang basudara di Maluku Tengah khususnya dan di Maluku pada umumnya, maka kedua belah pihak, Islam-Kristen, mesti belajar untuk mendapat pengetahuan akan sikap dan kepribadian yang sebenarnya dalam hormat-menghormati, tolong-menolong dan saling melindungi. Di sini terletak inti hikmat dari hidup sebagai orang basudara. Sebab hikmat (Ibrani, hokma’) itu berarti pengertian, pengetahuan dan sikap kebijaksanaan (von Rad 1972 : 53-55). Itu berarti dengan menyebutkan atau memberi diri berada dan hidup di dalam persekutuan sebagai orang Ambon manise, maka dibutuhkan proses saling mengertian, mau belajar dari satu dengan yang lainnya dan juga mau mengambil hikmat dari pengalaman hidup yang sudah terjadi untuk bersama membangun hidup damai, aman dan sejahtera ke masa depan.

Penutup
Setelah menguraikan Pela di Maluku Tengah: pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease, maka penulis memenarik beberapa kesimpulan dan saran seperti berikut :
 Kesimpulan
  1. Pela adalah ikatan kekeluargaan antara warga masyarakat dalam beberapa desa. Inti ikatan pela ada pada sumpat adat-nya. Sebelum Kerusuhan, ikatan pela sangat kuat berperan mengikat, mengarahkan dan memberi motivasi hidup bagi warganya. Selama Kerusuhan, pela memgalami kegoncangan sebab pengaruh intervensi dari luar. Pasca Kerusuhan warga ikatan pela mulai kembali berupaya membangun hidup menurut tatalakunya.
  2. Hikmat pela dalam isi sumpahnya mengikat hidup warga Maluku Tengah : pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease sebagai orang basudara. Ikatan ini mengecil dalam sapaan kata-kata yang mencintai hidup dalam damai, aman dan tentram sebagai orang Ambon manise. Pengertian kata-kata hikmat ini mengharuskan warganya untuk belajar hidup dari satu dengan lainnya untuk kebali ke ikatan pela sebagai dasar hidup orang basudara.
  3. Kelestarian pela sebagai wadah bersatunya orang basudara mesti diwariskan kepada anak-anak muda. Tanpa upaya pewarisan, maka mereka hanya kenal, tapi tidak tahu tentang pela dan tidak bisa hidup di dalamnya.
  4. Di Gereja Protestan Maluku, praktek dan nilai-nilai adat belum seutuhnya dilihat sebagai sebuah konteks berteologi. Konteks hidup warga gereja, yang adalah warga masyarakat dengan segala aspek pemahaman dan praktek hidupnya, belum menjadi basis membangun dan mengembangkan teologi.
A.    S a r a n
1.      Upaya menghidupkan kembali ikatan pela, hendaknya dilakukan dengan sadar oleh dan demi warga pela sendiri dan juga bagi kepentingan yang lebih luas. Intervensi dari luar, seperti pemerintah atau lembaga mana pun, haruslah sebagai pelengkap pembentukan ikatan pela saja. Dengan demikian keberadaan dan hikmatnya menjadi dasar kehidupan bagi warganya dan juga bagi masyarakat banyak.
2.      Pewarisan pengertian dan makna pela mesti ditanamkan dalam keluarga-keluarga warga masyarakat supaya anak-cucu mengetahuinya. Media yang bisa dipakai adalah dengan memakai bentuk-bentuk wadah lokal, seperti tempat garam, tiup tafuri, upacara buka kebun baru dan upacara penuaian, sesajen dan lain-lain.
3.      Gereja Protestan Maluku perlu mengubah paradigma berteologi sebagai upaya menemukan karya keselamatan Tuhan dalam hidup se-hari-hari umat, yang adalah warga gerejanya.
----nseb----

Kepustakaan  

Alber, Robert. H
                1995        Malu, Sebuah Perspktif Iman, Kanisius, Yogyakarta
Banawiratma, J. B (Ed)
                2000        Gereja Indonesia, Qua Vadis ? Hidup Menggereja Kontekstua, Kanisius, Yogyakarta
Bartels, Dieter
                1977        Guarding The Invisible Mountain : Intervillage Alliance, Religious
Syncretism and Ethnic Identity Among Ambonese Christian and Moslem in The Moluccas (Tesis Ph. D), Cornel University, New York
Cooley, Frank. L
                1962        Ambonese Adat : A General Description, Yale University, New Haven
                1987        Mimbar dan Takhta ; Hubungan Lembaga-Lembaga Keagamaan dan
Pemerintahan di Maluku Tengah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Darmaputera, Eka (Ed)
                1998        Kontekls Berteologi Di Indonesi, BPK, Jakarta
Farneubun, Longginus,
2003        Hancurnya Sebuah Kerukunan, Pengaruh Interpretasi Teologi Terhadap Konflik Agama (Thesis), UKDW,
Yogyakarta
Hubert, Th. Th. M.Jacobs, S. J
                1971        A Treatise On The Moluccas, Arti Grafiche Citta Di Castello, St. Louis
Jensen, Adolf
                1963        Myth and Cult Among Primitive Peoples, Univ. Chicago Press, Chicago
Keuning, J
                1973        Sejarah Ambon Sampai Pada Akhir Abad Ke-17, Bhratara, Jakarta
Leirissa, Richard
                1975        Maluku Dalam Perjuangan Nasional Indonesia, Lembaga Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta
Levi-Strauss, Claude
                1967        The Elementary Structures of Kinship, Beacon Press, Boston               
Ngelow, Zakaria. J
                1993        Kekristenan dan Nasionalisme : Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan
Pergerakan Nasional Indonesia 1900-1950, BPK, Jakarta
Ohoitimur, J
                1983        Beberapa Sikap hidup Orang Kei Antara ketahanan Diri Dan Proses
                                Perubahan (Tesis) Sekolah Tinggi Seminari, Pineleng-Menado
Redfield, Robert
                1953        The Primitive World and Its Transformation, Cornel Univ. Press, New York
Schreiter, Robert. J
                1993        Rancang Bangun Teologi Lokal, BPK, Jakarta
Singgih, E. Gerrit
                2000        Berteologi Dalam Konteks, Kanisius, Ygyakarta
                2004        Mengantisipasi Masa Depan, Berteologi Dalam Konteks Di Awal Milenium III BPK, Jakarta
Sitompul, A. A
                1974        Pengendalian Diri Menurut Amzal Sulaiman Dan Raja-Raja Mesir Purbakala BPK, Jakarta
Subagya, Rahmat
                1979        Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia, Nusa Indah, Jakarta
Van Wouden, F. A. E
                1985        Klen, Mitos dan Kekuasaan, Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur, Grafiti Press, Jakarta
Von Rad, Gerhard
                1972        Wisdom In Israel, SCM Press, London



[1] Tulisan ini dibuat sebagai syarat Paper Kerja untuk penyiapan kelanjutan Studi S-3 pada Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta September 2008.
[2] Seram Bagian Depan adalah mencakup wilayah Kecamatan-Kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Barat.
[3] Cooley Frank, Bartel Dieter, dll. Diketahui bahwa ada sejumlah penelitian sejarah dalam bentuk Laporan dan juga Skripsi dari Universitas Pattimura, Fakultas Teologia UKIM, dan berbagai Perguruan Tinggi Swasta di Ambon. Tapi oleh karena Kerusuhn 1999-2005, semua dokumen bersejarah itu hilang karena terbakar, atau tepatnya dibakar selama Kerusuhan.
[4] Di Maluku Tengah : pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease, pelaksanaan sasi negeri adalah sasi yang dilakukan menurut adat desa setempat.
[5] Makan patita adalah kegiatan makan bersama tetapi biasanya dibuat di atas meja panjang yang terbuat dari bentangan daun nyiur ditebarkan di atas tanah, sebuah meja panjang dan dihadiri oleh seluruh warga masyarakat yang ada. Semua orang membawa makanannya sendiri-sendiri lalu di kumpulkan dan disajikan secara bersama-sama untuk disantap.
[6] Di Maluku Tengah, roh leluhur disebut dengan roh nene-moyang (nenek moyang) yang sduah mati, atau roh orang mati.
[7] Batas akhir Kerusuhan di Ambon pada tanggal 25 April 2005 sebab setelah peristiwa kekerasan di tanggal itu, suasana Ambon praktis tenang dan benar-benar aman sampai sekarang. Selama pasca 25 April ada beberapa kekerasan sporadis dalam skala kecil yang terjadi. Namun respons masyarakat di dua komunitas, Islam-Kristen, sudah netral dan mengharapkan peristiwa itu ditangani oleh polisi saja. Upaya politisasi kekerasan sporadis itu untuk digiring ke kekerasan agama ternyata gagal sebab para pemuka agama dan warga sudah tidak meresponsnya lagi. Tanggapan-tanggapn mereka lebih menjurus kepada soal kriminal yang mesti ditangai saja oleh polisi. Bukan oleh aparat keamanan tentara. 
[8] Titik-titik interaksi dua komunitas ini ada juga di banyak tempat lain, seperti di Pohon Mangga (kompleks Islam), yang menjadi pintu masuk bagi masyarakt dari desa-desa Kristen di Nusanive (Amahusu, Eri, Seri, Airlou dan Latuhalat), di belakang Rumah sakit tentara, dr. Latumeten, dan lain-lain.
[9] Penulis masih ingat ketika pertama kali datang di Ambon tahun 1973, waktu  itu ada banyak orang dengan pakaian ; baju kurung dan celana gombrang sebatas lutut “ala Jojon’ pelawak, semuanya putih, memikul keranjang besar berkeliling dari desa ke desa untuk membeli botol bekas. Biasanya mereka berjalan kaki berkeliling sambil berteriak : “Botol, botol ……. Mereka terbanyak adalah orang Islam dari desa Kailolo dan desa-desa Islam di sekitarnya. Di kota Ambon, mereka juga bertaburan menjajakan dagangan kecilnya, terutama sirih, pinang, kapur dan gambir. Dari pakaian yang sederhana dan wajah yang polos tak terurus karena lelah menanti jualan, membuat lahirnya sebuah pameo atau ucapan orang Ambon Kristen kepada mereka atau hinaan kepada sesama Kristennya: “ Bikin muka persis orang Kailolo (logat Ambon : “Biking muka parsis Kailolo …….) Ungkapan ini mengandung sinisme dengan isi penghinaan yang merendahkan, sebab orang Ambon biasanya suka yang necis, bersih dan berbunyi besar, hebat, tapi sesungguhnya kosong. Hal yang kontras terjadi ketika pertama kali Gubernur asli Islam Ambon memimpin; orang Kailolo pembeli botol seakan hilang ditelan bumi. Sejak itu mereka tampil di pemerintahan, swasta, tokoh-tokoh pemuda, tentara, polisi dll. Lalu pameo itu perlahan saja terdengar di wilayah Kristen, tapi sudah tanpa gregetan dan makna.
[10] Batas waktu sampai Agustus 2007, adalah ketika penulis sudah berada di Yogyakarta untuk memulai studi ini.
[11] Batu Merah Pantai atau lebih dikenal dengan Ruko Batu Merah (wilayah ini sebelum Kerusuhan adalah bangunan Rumah Toko pedagang) didiami oleh saudara-saudara Muslim dari Bugis, Makasar dan luar Ambon. Penduduk asli Batu Merah berdiam di desa yang letaknya jauh ke darat.
[12] Kondisi aman pada waktu itu, adalah kondisi tanpa desingan senjata. Istilah terkenal adalah ‘aman terkendali’ yang mengartikan pengendalian keamanan sukses bersama aparat keamanan tentara dan polisi. Tapi di mata rakyat kecil, kondisi aman ini terjadi karena orang dari kedua belah pihak, Islam-Kristen, sudah lelah menderita dari perang yang mereka sendiri tidak tahu apa tujuannya.
[13] Bistungkir adalah bekas batang singkong (kasbi-Maluku) yang biasanya setelah dicabut dan diambil isinya lalu dibuang saja ke tempat bebas sesuka hati. Ketika musim paceklik datang, tanpa disangka bistungkir itu berisi;dari batang terbuang dan tak berarti, tapi ia berisi dan berguna sebagai makanan ketika hidup masyarakat pedesaan sulit. 
[14] Penulis mendapat fakta informasi  ini ketika sedang membawa mahasiswa Fakultas Teologi UKIM melaksanakan praktek Live in, program Laboratorium Sosial Pedesaan dan Pengalaman Berteologi, serupa KKN UKIM ke Jemaat-jemaat/desa-desa di pulau Nusalaut, bulan Maret 2005.
[15] Orang ini warga Kudamati Ambon, ia pemimpin sepasukan sempalan bersenjata kelompok Kristen dengan angotanya sekitar sepulurh orang. Banyak gerakannya ‘diketahui’ memihak kelompok Kristen. Tapi belakangan baru diketahui  bahwa ia punya kerjasama dengan aparat (Kopasus). Setelah lama berselang baru diketahui bahwa ia yang membuka penyerangan ke desa Poka dan Rumahtiga tempat di mana kampus Universitas Pattimura berada. Kampus ini habis terbakar dan semua isinya ludes dijarah. Ia juga belakangan diketahui membuka jalan bagi penyerangan kampus UKIM di Tanah Lapang Kecil Ambon sampai rata dengan  tanah. Ia juga mendalangi beberapa penyerangan dan peledakan bom di wilayah Kristen, yang semula dituduhkan kepada kelompok Islam. Duitnya banyak sebab di leher dan tangannya bergantungan kalung dan gelang emas dalam ukuran besar, padahal pekerjaannya hanya penjual eceran minyak bensin saja.
[16] Penulis mengasuh Matakuliah Agama Islam sejak 2002 dan Misiologi sejak 2003. Di setiap akhir semester ada tugas kepada mahasiswa berupa Studi Eksplorasi Islam dan Adat untuk Matakuliah Agama Islam dan tugas Studi Eksplorasi Misi dalam Konteks Pluralisme Agama untuk Matakuliah Msiologi. Tujuannya adalah untuk membiasakan dan mengkomunikasikan para mahasiswa peserta matakuliah-matakulih itu dengan fakta kehidupan nyata, yang menjadi medan pengabdian dan kesaksiannya ke depan nanti. Rangsangan ini dibangun dengan membahas setiap Hasil Laporan Tugas Studi Eksplorasi mereka.
[17] Penulsi memakai istilah ini untuk menunjukan bahwa kelompok-kelompok pela telah tercerai-berai menjadi kelompok baru : kelompok Islam dan kelompok Kristen yang terbentuk selama Kerusuhan. Mereka adalah saudara se-pela, tetapi karena kondisi dan situasi, sehingga mereka terpaksa harus saling menyerang, membakar dan membunuh di antara sesama pela-nya.
[18] Pengalaman penulis selama hampir Sembilan tahun di Jemaat/desa Kamal-Klasis Kairatu di Seram Barat, dan dua setengah tahun sebagai Ketua Klasis Buru Utara di Namlea-pulau Buru, menunjukan bahwa pela konvensional tidak pernah dilaksanakan. Panas pela tidak pernah terjadi antara desa-desa ikatan pela di sana. Hanya ada sentuhan berupa perjumpaan antarwarga se-pela ketika ada pelantikan raja, pengresmian Gereja atau Mesjid.
[19] Penulis mengartikan pela konvensional adalah pela atau pembaruan pela yang dilakukan dari dan untuk warga ikatan pela itu sendiri. Kegiatan mereka tanpa dipaksakan oleh siapapun.

1 komentar:

  1. Pada dasarnya masyarakat Maluku sangat terbuka akan adanya perbedaan keyakinan dan sangat bersahabat dengan yang berbeda keyakinan

    BalasHapus