Oleh: Pdt.Nicodemus Sedubun, M.
Th
Pendahuluan
Paper ini
berupaya untuk melihat nilai kearifan lokal masyarakat Kei yang mengikat
hubungan di antara mereka dengan segala perbedaan latarbelakang hidupnya,terutamaperbedaan
agama. Penekanan diutamakan pada perbedaan latar belakang agama, karena sejarah
Kerusuhan Maluku yang terjadi sejak 1999 sampai dengan 2005 memberi pelajaran
hidup bagi warganya untuk menghidupkan, menghargai dan membagikan nilai-nilai
kearifan lokal yang adalah jati dirinya sendiri dengan sesamanya, sebagai suku Kei,[2]
dan juga kepada orang lain. Tragedi itu berlangsung di tanah Kei dalam waktu
yan cukup singkat dan tidak sampai setahun berlangsung.Puncaknya, hanya terjadi
dalam dua bulan, yaitu di bulan April dan bulan Juni tahun 1999. Sekalipun
ledakannya hanya singkat, tapi ia cukup mengguncangkan pranata adat yang
mengikat dan menghubungakan hidup orang Kei, yaitu ikatan kekeluargaan masyarakat
dalam Hukum Adat Larvul Ngabal. Inti
dari ikatan itu tersimpul dalam amsal ain
ni ain; vuut ain mehe ngifun, manut
ain mehe tilor, yang artinya satu
punya satu, kita semua orang
bersaudara yang berasal dari satu sumber. Amsal ini biasa disebutkan dengan
singkat ain niainsaja.[3]
Goncangan yang
mengancam simpul identitas hidup orang Kei ini akan dibahas dengan upaya
optimal, baik dari aspek pemahaman maupun juga dari aspek praktisnya. Dalam
upaya ini, penulis mengakui bahwa sumber-sumber tertulis yang menguraikan
tentang amsal orang Kei itu hampir
tidak ada.Pada kenyataannya, amsal itu ia lebih nyata ada dan hidup ‘dalam
mulut’ dan sikap hidup pemiliknya. Karena itu uraian Paper ini akan
menghadirkan aspek pemahaman dan perilaku amsal
itu dengan beberapa tokoh masyarakat orang Kei. Diharapkan dari pendekatan
tersebut, akan diperoleh sebuah gambaran tentang identitas hidup orang Kei,
yang sampai hari ini mampu mengikat hidup mereka secara ‘ingroup-orang Kei’
maupun dengan ‘outgroup-para pendatang’ di tanah Kei. Pada kenyataannya, mereka
telah mampu menaklukan kekerasan Kerusuhan dengan ‘hatinya’ sendiri, tanpa
banyak mengeluh dan berharap pada besarnya uluran tangan ‘bapanya’ yaitu
pemerintah dalam Negara ini, pemerintah Indonesia.
Paper ini juga
bukan sekedar sebuah upaya membuktikan bahwa amsal hidup yang mengikat pemiliknya, orang Kei, itu masih ada dan
hidup. Tetapi penulis mau mengemukakan aspek-aspek apa saja yang perlu
dicermati demi sumbangsihnyabagi hidup masyarakat lokal yang berjuang keras
menghadapi hidup dengan perubahan-perubahan yang menghadangnya. Aspek-aspek itu
juga kiranya menjadi arena bagi Gereja untuk berteologi secara kontekstual.
Untuk mendalami
uraian Paper ini selanjutnya, maka sistematika penulisannya adalah seperti
berikut ini :
-
Pendahuluan
-
Kerusuhan dan Falsafah Hidup Hukum Adat Larvul Ngabal
-
Ain Ni Ain,
Amsal Hubungan Hidup Orang Kei
-
Refleksi
-
Penutup
Kerusuhan dan Falsafah Hidup Hukum Adat Larvul Ngabal
a. Gambaran Kerusuhan di Kei
Mengawali
uraian tentang bagian ini, penulis hendak mengemukakan sekelumit gambaran
Kerusuhan di tanah Kei, Nuhu Evav,[4]
yaitu di pulau Kei Kecil dan Kei Besar.Uraian ini tentu saja lebih banyak
paparan subjektifnya.Tapi penulis hendak menegaskan bahwa lebih dari delapan
puluh persen uraiannya adalah tertangungjawab.Penulis menyatakan demikian,
sebab di mata penulis dan kami orang asli Kei, kerusuhan bernuansa agama itu
tidak mungkin terjadi jika tidak ditunggangi dan didukung oleh aparat “baju
hijau.”Di mana-mana dengan sangat kentara, mereka ada dibelakang komunitas
tertentu sebagai penyerang dan penghancur komunitas Kristen.Karena sangat sadar
akan bahaya ini, maka upaya membangun perdamaian pasca Kerusuhan, yang
dilakukan oleh para tokoh adat dan pemuka masyarakat lokal, mereka menolak
dengan halus tapi tegas akan keikutsertaan aparat “baju hijau” untuk turut
serta menangani upaya perdamaian di Maluku Tenggara (Laksono & Rum Topatimasang 2004 :106). Hasilnya luar biasa
tersaksikan sampai sekarang ini bahwa perdamaian itu hadir dengan jatidirinya sendiri.
Jika dibandingkan keadaan di Kei dengan keadaan di Maluku Tengah, kondisinya
sangat jauh berbeda. Kondisi di Maluku Tengah sangat rentan isu Kerusuhan.Dari
banyak sebab terkait dengan pemberitaan media, ledakan kekerasan yang terjadi
di sana banyak yang selalu dihubungkan dengan gerakan separatis RMS.Padahal
sebenarnya masyarakat Maluku tengah, Islam Kristen, sudak lelah dengan
dikhotomi wacana separatis dan Negara Kesatuan Indonesia. Pada kenyataannya, perlahan
tetapi pasti masyarakat secara bersama-sama, Islam-Kristen, sudah masuk ke
pintu pembenahan dan pembangunan hubungan masyarakat dalam ikatan pela seperti sediakala.
Kerusuhan
bernuansa Agama yang pecah di Maluku terjadi di kota Ambon pada tanggal 19 Januari
1999 dan menyebar membara sampai 2005/2006. Ia menyebar dengan cepat ke seluruh
wilayah Propinsi Maluku dan Maluku Utara, seperti wabah penyakit menular. Di
Maluku Tenggara, kerusuhan itu berpusat di Tual, ibukota Kabupaten Maluku
Tenggaradan menyebar menghantam desa-desanya.Bermula dari perkelahian pemuda
Muslim dan pemuda Kristen di Kelurahan Kiom dengan inti masaalah pada
penghinaan Nabi Muhammad dan Tuhan Yesus Kristus, maka Kerusuhan itu serentak
menyebar dengan perlahan tapi pasti. Bagaikan bara api di dalam sekam yang baru
diketahui manusia karena ia tiba-tiba muncul dan meledak-membakar ke permukaan
bumi. Begitulahledakan-ledakan peluru, bom dan senjata api lainnya yang meletus
mewarnai bumi Larvul Ngabal, tanah
Kei. Kerusuhan itu mulai pecah di bulan Maret dan klimaks kekejaman Kerusuhan
itu terjadi di bulan April dan bulan Juni 1999.
Di Kei Kecil ;
kota Tual benar-benar merah-membara dengan ledakan bom dan senjata organik,
mulai tanggal 31 Maret 1999. Dua jemaat di pusat Kota : Jemaat Sion dan Jemaat
Anugrah-Ohoijang, harus berjuang mati-matian menghalau dan meneduhkan warga
jemaatnya, sambil juga membangun pertahanan untuk melindungi diri dan menjaga
bangunan gedung Gerejanya. Selain itu, Jemaat besar satu-satunya di pulau Dula,
tempat ibukota Kabupaten kota Tual, yaitu Jemaat Ta’ar, harus mengirimkan
relawan perangnya membantu perlindungan di kedua Jemaat Kota. Saudara tuanya
orang Protestan, umat Katolik yang mayorits di desa Langgur,[5]
yang hanya sebatas dua ratus meter dipisahkan oleh Jembatan”Usdek” (Jembatan
yang menghubungkan pulau Dula, tempat kota Tual berada, dengan pulau Kei Kecil)
belum bergeming atas panasnya Kerusuhan, apalagi membantu. Sebab waktu itu
entah bagaimana dan darimana asalnya, tapi ada seruan agar umat Katolik tidak
boleh terjerumus dan ikut campur dalam Kerusuhan : “………….Kerusuhan itu tidak terjadi antara orang Katolik dengan orang Islam”
(Penulis : jadi, pasti hanya terjadi di
antara orang Protestan dengan orang Islam. Bandingkanawal pertikaian di antara dua
pemuda itu: pemuda Protestan dan pemuda Islam, bukan dengan pemuda Katolik). Kira-kira
demikianlah bunyi seruan itu, yang disampaikan oleh tokoh-tokoh agama Katolik
di Langgur dan desa-desa Katolik terdekat di sekitar Tual. Perubahan sikap
saudara Tua kita, Katolik, mulai berubah ketika mereka menyadari bahwa sebagian
desa-desa Katolik mereka di Kei Besar juga telah diganjang oleh kekejaman
Kerusuhan.Salah satunya seperti desa Holath Atas.
Kerusuhandi Kei mengalami klimaks
pertama dalam bulan April 1999, di mana ada upaya sistematis dari kelompok
penyerang bersama aparat[6]
menyerang pemukiman Kristen dan kedua Gereja yang dijaga ketat oleh relawan
pemuda.Di jemaat Anugrah, yang masuk dalam wilayah desa Langgur, penjagaan juga
melibatkan pemuda-pemuda Katolik bercampur dengan pemuda Protestan.Pertahanan
ini bukan cuma di Gereja, tapi juga di perbatasan jalan dan akses-akses masuk
ke tempat pemukiman warga. Pada waktu menjelang klimaks Kerusuhan pertama ini,
sebuah Pesantren milik mantan Bupati Maluku Tenggara yang baru saja lengser
yang terletak di wilayah Kristen, diratakan dengan tanah oleh relawan pemuda
dan warga Kristen.
Sementara desaberpenduduk heterogen
agama, Ohoitel, yang jaraknya sekitar dua ratus meter dari kota Tual, dengan
penduduk beragama Islam, Protestan dan Katolik, mengalami kehancuran, karena
diserbu oleh kelompok penyerang. Warga Katolik dan Protestan harus lari
tunggang-langgang menyelamatkan diri dari ancaman kematian. Mereka mengungsi ke
komunitas Protestan di kotaTual dan ke pingiran Jemaat Ta’ar. Perlu dijelaskan
juga, bahwa hanya ada tiga Jemaat Protestan di dekat Tual, yaitu : Jemaat/desa
Ohoitel, Jemaat Sion di Kota Tual dan Jemaat Anugrah, yang juga masuk di pusat
kota Tual, tapi letaknya di dalam Desa Langgur. Setelah melewati desa-desa
Katolik sampai jarak sekitar sembilan kilometer baru ada beberapa jemaat
Protestan lainnya, seperti Jemaat Dian Darat di sebelah timur dan Jemaat Ela’ar
di sebelah Barat.
Klimaks
Kerusuhan kedua terjadi dalam bulan Juni 1999. Upaya sistematis penyerang yang
di dukung ‘aparat baju hijau’ menghimpun kekuatan dengan armada puluhan motor
laut. Mereka berpangkalan di sebuah pulau kecil,yang agak terpencil di laut
dekat pulau Tanimbar Kei, pulau Tam, dan pada pagi-pagi buta mulai menyerang
Jemaat/desa asal penulis, Ohera di pulau Kei Kecil sebelah timur. Tapi pendaratan
serangan itu salah sasaran.Akhirnyamereka mendarat dan menyerang Jemaat Wa’ab,
sebuah Jemaat tidak jauh dari Jemaat Ohera. Seorang warga Jemaat Wa’ab tewas
karena terkena ledakan bom. Tapi puluhan motor laut dan semua laskar perang
yang ada bersama ditangkap oleh kapal Angkatan Laut yang waktu itu berpatroli.
Ada informan yang mengatakan bahwa beruntung waktu itu Komandan Pangkalan
Angkatan Laut Wilayah Timur di Ambon adalah seorang ‘anak Tuhan.’ Demikianjuga
dengan Komandan Kapal Patroli Angkatan Laut pada waktu itu, juga beragama
Kristen.Jika tidak, maka kebinasaaan hebat bisa terjadi khususnya di pulau Kei
Kecil.Rupanya strategi penyerangan dimulai dari sebelah timur sebab di sana ada
tiga Jemaat Protestan besar, yaitu Jemaat Ohera, Jemaat Watngil dan Jemaat
Wa’ab. Selain itu ada Jemaat Dian Darat, yang dikepung oleh desa Dian pulau (Islam)
dan desa Debut yang Katolik.Sisa tiga jemaat kecil lainnya terletak di
pula-pulau, yaitu Jemaat Tanimbar Kei, Jemaat Ur-pulau dan Jemaat
Warbal.Harapan penyerang, dengan menaklukan tiga Jemaat besar, tanpa mengusik
desa-desa Katolik sekitarnya sampai ke Tual, maka bereslah misi perang agama
itu.Sebab sisanya hanya Jemaat-Jemaat kecil dan minoritas penduduknya.Mayoritas
penduduknya beragama Islam, seperti Jemaat Ohoiseb, yang bergabung dengan desa
Danar.
Sementara itu,
di pulau Kei Besar pun tidak kalah serunya. Jika di kei Kecil sampai waktu
klimaks Kerusuhan kedua pecah, tapi masih banyak warga Katolik yang kurang
peduli dengan ganasnya Kerusuhan, sebab desa mereka tidak diserang. Lain halnya
di Kei Besar yang benar-benar ‘manyala’-terbakar dan membara. Desa-desa Muslim
hampir semuanya diganjang gabungan desa Protestan dan Katolik. Akhirnya banyak
umat Muslim yang lari mengungsi ke kota Tual dan desa-desa Muslim kuat dan
mayoritas di dekat Tual.
b. Hukum Adat Larvul Ngabal sebagai Dasar
Hidup Kekerabatan
Namun,kecamuk
Kerusuhandi tanah Kei tidak bertahan lama.Sebab para orangtua, pemuka adat dan
tokoh masyarakat mulai berpikir dan bertindak untuk mengatasinya. Mereka yakin
bahwa ada yang salah dengan perilaku kehidupan adat dalam masyarakat. Kepekaan
dan perenungan mereka semakin mendesak untuk ditindaklanjuti dengan
langkah-langkah cepat. Pada waktu Kerusuhan pertama, berdasarkan fakta bahwa
pusat tempat pengesahan dan penetapan pertama Hukum Adat Larvul Ngabal di Siran-Siryen
di sebuah daerah dekat pantai di desa Ela’ar Lamagorong di Kei Kecil, sudah
dihancurkan oleh orang-orang tak dikenal.[7] Dengan
segera upacara pemulihan dan pembenahan tempat keramat itu dilaksanakan pada
bulan Oktober 1999. Tempat itu dipandang keramat dan beresejarah sebab di situlah
pengesahan Hukum Adat Larvul Ngabal
dilakukan dengan penyembelihan Kerbau yang ditumpangi Dit Sakmas dan dagingnya
dibagikan kepada sembilaan Halaai
(pemimpin-kepala masyarakat, lihat Ohoitimur
1983 :51-55 ; Sedubun 2001:21-24).
Orang Kei menghargai dan meyakini akan keramatnya tempat itu dan sampai
sekarang ini, kubur tempat tokoh awal terbentuknya Hukum Adat Larvul Ngabal-Dit Sakmas-dimakamkan yang
terlatak di bawah sebuah pohon rimbun, masih terjaga dan dirawat dengan baik.
Langkah kedua
yang diambil sebagai upaya untuk meredakan Kerusuhan adalah dengan kunjungan
Adat dari keluarga Katolik dari desa Langgur ke desa Tual. Kunjungan ini lebih
bersifat spiritual-adat, sebagai upaya mengingat kembali awal penyerbaran
agama-agama besar di tanah Kei. Kunjungan spiritual ini dalam adat Kei disebut vehe belan, dilaksanakan dalam Februari
2000. Menurut beberapa tokoh agama[8]
kunjungan itu mengingatkan kembali orang Keitentang sejarah masuknya
agama-agama besar ke sana. Ketikaagama pertama datang di tanah Kei, agama
Islam, lalu orangtua-tua menyuruh membawanya ke raja Tuvle, di Tual, sehingga Tual memeluk agama Islam.Ketika agama
Katolik, yang kedua masuk ke tanah Kei, para orangtua menyuruh dibawa ke desa
Langgur, sehingga Langgur memeluk Katolik.Ketika agama ketiga, Kristen
Protestan masuk, para orangtua menyuruh membawanya ke desa Ta’ar.Dari latar
pikir penyebaran agama seperti itulah tokoh adat dari desa Katolik Langgur
mendatangi desa Muslim, Tual. Setelah itu misi perdamaian berjalan menyebar
dengan melibatkan orangtua-tua di desa-desa untuk menuturkan asal-mula menyebar
dan penganutan agama-agama dan diikuti dengan membacakan isi tujuh fasal Hukum
Adat Larvul Ngabal. Komunikasi dalam
upaya seperti ini cukup efektif, sebab bahasa Kei masih dipahami oleh semua
penduduk dari desa sampai ke kota-kota Kecamatan dan Kabupaten.
Peristiwa vehe belan, kunjungan spiritual adat Katolik
dari desa Langgur, sudah terjadi dan membuahkan perdamaian di tanah Kei. Tapi
warga dan tokoh-tokoh Protestan dari Jemaat pertama di Kei, Jemaat Ta’ar, masih
bertanya-tanya : “Mengapa misi vehe belan
itu hanya dibawa oleh warga beragama Katolik dari desa Langgur saja? Bukankah
ada “adiknya” warga Protestan di desa Ta’ar, yang bisa dan layak diajak ikut
serta untuk maksud mulia itu?! Jawaban atas pertanyaan ini sulit di dapat. Tetapi
beberapa tokoh Protestan masih melihat ada hubungnya yang kental dengan upaya “membersihkan
nama” dari lembar hitam fakta Kerusuhan yang ‘katanya’ hanya terjadi antara
orang Protestan dengan orang Islamsaja. Tidak dengan orang Katolik. Ada pendapat
lokal yang mengatakan bahwa krisis ini juga punya kaitan dengan sejarah
Kemerdekaan, yang menanyakan tentang kaitan antara orang/gerakan orang
Protestan dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Mereka ada di mana dan dengan
bobot apa, terlibat ataukah hanya jadi penonton saja (lihat Ngelow 1994:266-279).
Bagaimana pun,
bagi orang Kei, dua peristiwa adat itu yang menggugah warga lokal Kei, yang berperang
untuk duduk, merenung dengan hatinya dan menemukan jalan untuk berdamai dan
membangun hidup bersama dengan saudaranya, baik yang Islam maupun Kristen(Protestan
dan Katolik). Tapi lain halnya berita perdamaian di Kei yang membahana, secara
nasional dan internasional. Dunia Indonesia dan dunia internasionalhanya dan
selamanya tahu bahwa perdamaian dari Kerusuhan di Kei bisa tercipta hanya karena
ada sumpah perdamaian dengantanda Hawear di
Lapangan Lodar-El Tual.Perdamaian dari Kerusuhan bisa dicapai hanya atas
prakarsa pemerintah dengan kehadiran Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri
(lihat Sedubun 2001:28-30). Perdamaian
ini pada kenyataannya kurang diresapi karena diprakarsai oleh ‘orang luar.’Yang
dimaksudkan di sini dengan ‘orang luar’ adalah tangan pemerintah dan aparat
bersenjatanya, yang hanya memakai kekayaan adat lokal demi mencapai sebuah
target formal tertentu. Padahal kebenaran yang sesungguhnya adalah pada
membangun kesadaran adat-budaya orang Kei sendiri, alias bukan karena
pendampingan apalagi penanganan oleh kekuatan dan wibawa pemerintah.
Perlu disebutkan
dengansangat tegas tentang hal menarik
yang ditampilkan dalam peran menghimpun kebersamaan kembali orang Kei untuk
berdamai dari perang Kerusuhan. Mereka bukan dengan mengundang orang-orang Kei
yang pintar dan berkedudukan tinggi, di eksekutif atau di legislatif.Tapi yang
diundang untuk berbicara adalah para orangtua-renta,
yang berjalannya bisa jatuh jika di tiup angin.Mereka diminta bukan bercerita
tentang silsilah sejarah, tapi untuk melantunkan nyanyian tanah dan pantun-pantun
tua ber-bahasa tanah lalu
menguraikan isinya yang memaparkan tentang asal-usul hidup persaudaraan orang
Kei. Kemudian acara diakhiri dengan membaca isi pasal-pasal dari Hukum Adat Larvul Ngabal.Rombongan penyebar misi
perdamaian yang terdiri dari tokoh adat, tokoh masyarakat dan mantan
orang-orang penting di pemerintahan dan legislatif bersama seluruh warga yang
ada hanya duduk diam dan meratapi kesalahan yang sudah dilakukan bersama, yaitu
saling memerangi saudaranya sendiri, yang beragama Islam dan yang beragama
Kristen. Di simpul ini mereka semua, Islam-Kristen, bertobat dan berjanji hidup
kembali dalam damai seperti sediakala sebagaimana diwasiatkan oleh para
leluhurnya seperti kata-kata bersyair dalam pantun dan nyanyian tanah yang
disampaikan oleh para orangtua renta
itu.[9]
Mengapa dan
untuk apa melibatkan orangtua renta,
yang bisa jatuh jika tertiup angin, dalam menggalang keberanian untuk berdamai
melawan perang di antara sesama saudara? Rupanya ada ikatan yang mendalam
antara orang muda, yaitu penggiring
misi perdamaian bersama warga desa, dan kelompok orangtua renta dalam tradisi dan pandangan hidup orang Kei. Orang muda bukan cuma menyangkut usia
saja, sekalipun ada di antara rombongan itu yang berumur tua dan berpangkat
tinggi dalam masyarakat, tapi lebih daripada itu mereka masih muda dalam
sejarah hidup dan juga muda dalam mengetahui dan mewarisi makna Hukum Adat yang
diwariskan oleh orangtua-leluhur mereka kepadanya. Di lain pihak, orangtua renta bukanlah kelompok ‘tidak
laku’ dalam pandangan dan tradisi hidup orang Kei. Mereka sangat ‘berharga
mahal’ karena mengetahui asal-usul hadirnya Hukum Adat Larvul Ngabal; mereka malah tahu pantun-pantun tua dan nyanyian-nyanyian
tua yang tertutur lewat syair-syair suci penuntun hidup kekerabatan
keluarga besar orang Kei, yang berasal dari satu sumber saja, atau ain ni ain; vuut ain mehe ngifun, manut
ain mehe tilur. Karena itu kita bisa mengerti mengapa tokoh-tokoh cerdik
pandai dan berpangkat yang menyertai rombongan adat perdamaian keliling itu tak
berarti apa-apa dan mereka hanya menempatkan diri ‘sama dengan’ rakyat desa
biasa saja, ketika syair dan pantun suci pengulas sumber kekerbatan orang Kei
itu dinyanyikan dan disyairkan. Para orangtua
renta itu dihormati di dalam desanya sebab mereka tahu dan mengusai bahasatua atau bahasa tanah dengan ungkapan-ungkapan berhikmat dan penuh arti,
yang makin terkikis dan dilupakan oleh kehidupan masyarakat modern, terutama
oleh kalangan orang muda Kei
(bandingkan dengan Misil-Masal, Liat-Dalil, Sukat-Sarang-perumpamaan, pepatah dan peri-bahasa-(Renyaan 1974; Pattikayhattu 1983).Bobot para
orangtua renta ini bukan saja dikarenakan
adanya perjalanan kompetisi alam di mana karena perjalanan waktu, maka yang tua
pasti lengser, luluh,layu lalu kemudian mati dan harus digantikan dengan mekar
semerbaknya bunga menjadi buah-buah generasi baru, generasi muda orang Kei.Tapi
itulah salah satu hakekat dari sikap dan kepribadian hidup orang Kei yang
menghormati dan takluk kepada orangtua.Sebab mereka adalah wakil Tuhan Allah di
dunia, duad kebav. Sebutan duad kebav dalam pandangan orang Kei
melukiskan tradisi itu dengan sisi positifnya. Maksudnya, sebagai wakil Allah,
maka orangtua itu sumber kebaikan dan hikmat, sehingga anak-anak yang patuh dan
taat kepada orangtua, akan mewarisi
bumi. Penegasan ini terlihat
jelas kaitannya dengan falsafah hidup orang Kei yang berpusat pada hidup
persaudaraan sebagai masyarakat adat. Inti ikatannya adalah pada faham tentang
kosmologinya (Ohoitimur 1983 : 93-96).
Dijelaskan bahwa dunia hidup orang Kei terdiri dari dunia mikro dan dunia makro.Dunia mikro adalah wilayah hidup dan
kerjanya sehari-hari, yaitu tempat berkebun/berladang (dan memancing). Ini
adalah dunia terang, dunia nyata manusia yang sangat terang karena dikenal
dengan baik, dunia yang nyata ada di sekitar kampung/desanya. Dunia makro adalah dunia luar, yang
gelap dan membuatnya ditakuti, tidak dikenal, dunia roh-roh. Roh-roh ini
berdiam di puncak-puncak bukit, di angin, di sungai, di pohon-pohon, di batu
karang dan di goa-goa, di semua tempat “pamali,” tempat yang tabu untuk
didatangi manusia.
Sekalipun dunia mikro dan dunia makro berbeda, tapi keduanya ada dalam satu kesatuan
hubungan, yaitu kerinduan akan eksistensi
manusia untuk bekerjasama dengan tata dunia roh, yang dipadang sakral.
Kerinduan ini nampak dalam sikap petani Kei yang selalu mengejar satu
partisipasi tetap dan penyatuan lestari dengan dunia ilahi agar kesuburan
ladangnya baik dan kehidupan sehari-harinya dipenuhi rasa aman dan
bahagia.Karena itu, kerjasama dengan keluarga besar kosmos, selalu dijaga.Upaya
ini nampak ketika mereka mulai menanam, menuai, melaksanakan upacara pengucapan
syukur kelahiran, kematian, perkawinan dll.
Pengikat
keterpautan harmoni hidup keluarga besar kosmos manusia Kei itu ada pada Hukum
Adat Larvul Ngabal.Hukum ini yang
mengandung citra ideal hubungan kekerabatan keluarga besar kosmos.Karena itu
ketaatan dan kepatuhan kepada Hukum Adat sangat menentukan harmoni hidup
masyarakat. Sebab ia mengandung nilai-nilai imanen yang mengatur perbuatan dan
tingkah laku manusia Kei dan sekaligus mengarahkan kepada nilai-nilai
transenden yang melambangkan tata dunia sakral-ilahi.Jadi, orang Kei memahami
bahwaketika amsal dalam bentuk syair pantun
tua dan nyanyian tanah
dilantunkan, maka komunikasi, kehadiran dan pengesahan dari leluhur itu ada.
Di sini mereka
semua, Islam-Kristen, yang telah berperang dan saling membunuh, dibawa kembali
ke pusat hubungan hidupnya yang semula sebagai satu keluarga.Mereka diingatkan
kembali tentang motivasi dan tujuan membentuk tata hukum untuk hidup, baik
sebagai warga masyarakat adat maupun sebagai warga sebuah agama.Mereka pun
diingatkan tentang arti hubungan hidupkekerabatan sebagai orang Kei yang
terinti dalam Hukum Adatnya.Menurut Ohoitimur (Ohoitimur 1983 : 98-99), pada waktu Hukum Adat Larvul Ngabal itu disepakati, tidak dikodifikasi atau dibuat secara
tertulis menjadi sebuah dokumen. Tapi iahanya disahkan secara lisan saja dalam
abad ke-15 dan ke-16, dan diberlakukan. Karena itu Hukum Adat itu hanya
ditempatkan di lingkungan kekerabatan orang Kei saja.Motivasi ketaatan ini nampak
dalam kehidupan orang Kei yang selalu bercita-cita memutlakan Hukum Adatnya
demi hidup kekerabatannya.Sekalipun tidak tertulis, tetapi ia hidup dalam
relasi antarwarga orang Kei, sebab bahasa daerah, bahasa Kei, masih hidup
sebagai alat komunikai dalam masyarakat.
Hubungan Hukum Adat Larvul Ngabal
Dengan Amsal Ain Ni Ain
Hubungan
antara Hukum Adat dengan amsal ini terlihat dalam pemaknaan pasal-pasal Hukum
Adat Larvul Ngabal itu sendiri di dalam
kehidupan masyarakat Kei. Telah dikatakan di atas bahwa Hukum Adat Larvul Ngabal ini tidak dikodifikasi,
tapi ia tetap menjadi dasar perekat kekerabatan masyarakat Kei. Karena itu
dapat dipahami bahwa sekalipun tidak dikodifikasi dan tidak ada teks asli/kuno
yang tertulis tentang Hukum Adat Larvul
Ngabal.Tetapi masyarakat, terutama para pemuka adat dan tokoh masyarakat,
sangat mengetahui isi Hukum Adat Larvul
Ngabal itu. Mereka menghafalnya di luar kepala, baik pasal-pasal Hukum Adat
maupun sanksi-sanksi berlapis yang terdapat dalam pasal-pasal Sa Sor Fit. Hal
ini terlihat ketika ada pelanggaran yang dilakukan oleh warga masyarakat dan
mesti diatasi melalui sebuah Sidang Adat untuk menentukan sanksi atas kasus
itu.
Hal lain yang
sangat menunjang daya ingat yang menghidupkan daya ikat Hukum Adat Larvul Ngabal itu adalah dengan masih
hidupnya bahasa daerah, bahasa Kei, yang dipakai secara dinamis oleh masyarakat
Kei. Media bahasa ini yang memberi perekat dan motivasi bagi pelaksanaan dan
penerapan sanksi atas pelanggaran terhadap Hukum Adat itu. Bahasa ini juga yang
tetap memberikan dasar dan ruang gerak bagi pemaknaan falsafah hidup dan makna
relasional secara prinsipil dan secara praktis terhadap unsur-unsur dari isi
Hukum Adat itu.
Jika
dikaji secara mendalam, maka sesungguhnya hubungan amsal ain ni ain dengan Hukum Adat Larvul
Ngabal, adalah sebuah keterkaitan yang utuh menyeluruh. Sebab dengan
melakukan isi Hukum Adat itu dengan penuh, tekun dan termotivasi, maka
pembentukan sikap saling memiliki sebagai saudara itu terintegasi dalam
penampilan hidup seorang warga Kei. Citra pembentukan sikap dan penampakan
praktisnya sudah tersimpul dalam amsal ain
ni ain; vuut ain mehe ngifun, manut ain mehe tilor, yang artinya satu punya satu, kita semua orang bersaudara yang berasal dari satu sumber. Fakta
pembentukan sikap dan relasi hidup itu tertata dalam sikap hidup orang Kei yang
taat dan memutlakan Hukum Adat.Apa yang diatur oleh leluhur menurut isi Hukum
Adat Larvul Ngabal, maka akan diikuti
oleh seluruh warga masyarakat Kei dengan sebaik-baiknya. Contohnya dalam apa
yang dinamakan maren, yang adalah
sebuah aliansi kerja gotong-royong cara hidup orang Kei. Pola ini sama dengan masohi di Maluku Tengah. Dalam maren, semua warga masyarakat se desa
datang membawa yelim, atau bahan
bantuannya, baik yang punya hubungan erat dengan yang punya hajat maupun kaum
kerabat se desa saja, baik yang Kristen maupun yang Muslim. Seorang tokoh
masyarakat Kei mengatakan bahwa persekutuan kebersamaan ini adalah wujud nyata
dari hidup sebagai masyarakat yang ada dalam ikatan keluarga ain ni ain.[10] Sebab
di dalamnya relasi orang bersaudara, adik-kakak, lintas perbe-daan-perbedaan
hidup-terutama perbedaan agama, dipatahkan di dalam memaknai isifasal-fasal
dalam HukumAdat Larvul Ngabal.Kegiatan
dalam bentuk maren ini juga
menyangkut keluarga kandung, keluarga dekat sampai ke saudara, ipar dan
keluarga yang tinggal jauh di luar daerah. Jika mereka mengetahuinya, maka
mereka akan dengan segera mengirim yelim-nya.
Orang sekampung akansegera berdatangan membantu sebuah maksud dalam maren.
Sikap lain
yang berkaitan dengan pemaknaan hubungan hidup dalam amsal ain ni ain, adalah sikap taat kepada Tuhan. Sikap ini nampak dalam
memutlakkan nasehat orangtua, Bapak dan Ibu, sebagai wakil Tuhan Allah (duad kebav) di dunia.Dalam perspektif
ini, anak-anak wajib mendengar nasehat orangtua, sebab anak yang melawannya
pasti akan terkena musibahdan malapetaka dalam mengarungi hidupnya. Keharusan kepada
orangtua ini nampak dalam mendengar dan menaati aturan perka-winan yang
disampaikan, menaati nasehat beribadah, sekolah dan bekerja jika merantau.Orangtua,
Bapak dan Ibu, dalam keluarga orang Kei, selalu memberi nasehat berulangkali
kepada anak-anaknya; mengingakan mereka tentang ajaran-ajaran moral-etika yang
bersumber dalam Hukum Adat Larvul Ngabal.
Nasehat dan ajaran dari orangtua itu adalah kemudi hidup mereka ke hari depan (Sitompul 1974). Mendengar nada kewajiban
kepada duad kebav ini, maka seseorang
akan menuduh orang Kei sebagai keluarga-keluarga yang kejam dan egois; para
orangtua tidak demokratis dan cendrung bertindak tirani. Tetapi kelihatannya
sisi keras dan wajib ini juga muncul sebagai akibat dari kondisi alam tempat
olah hidup orang Kei. Kondisi alam dan tanahnya, yang sangat gersang dengan
musim hujan yang sangat pendek. Oleh karena itu petani Kei tidak bisa berpangku
tangan, tapi ia harus mengolah tanah dengan gigih.Ia harus berupaya keras
mengolah tanah yang sedikit di celah-celah batu karang, ia harus mencangkul
dengan hati-hati tanah tipis setebal sekitar 15 senti meter di atas dasar batu
karang dan ia harus dengan cermat memperhitungkan datangnya musim hujan demi
keberhasilan kebunnya. Perhitungan musim ini berlaku bagi mata pencaharian
sebagai petani maupun juga sebagai nelayan.Bagi seorang nelayan,
memperhitungkan musim angin dan musim tenang penting untuk menangkap ikan di
laut.Pada umumnya musim laut tenang selama setahun adalah pada bulan April dan
bulan Oktober. Selama waktu dua bulan ini keadaan laut sangat memungkinkan
nelayan menangkap ikan. Dalam bulan lainnya, kondisi alam sulit diprediksi. Biasanya
musim pancaroba dengan angin kencang dan gelombang tinggi terjadi pada bulan
Februari dan September.
Di propinsi
Maluku, orang Kei terkenal dengan makanan pokoknya yang disebut enbal (en = makanan/roti, dan bal=bali,
dari Bali). Makanan ini adalah hasil dari parutan singkong beracun, yang
diperas untuk membuang airnya berupa senyawa racun, kemudian dianginkan selama
sehari baru bisa diolah menjadi makanan yang digongseng atau dibakar, seperti
sagu bakar dari Maluku Tengah. Anehnya, jenis singkong dengan kadar racun
tertinggi ini mempan hidup dalam kondisi alam Kei yang tandus dan gersang dan
ia menjadi makanan pokok orang Kei. Singkong ini konon dibawa dari Bali
bersamaan dengan kedatangan pertama orang-orang Bali bernama Kasdew degan
saudara-saudaranya, yang di kemudian hari mereka berjasa menghadirkan tata
hukum bagi hidup orang Kei.
Selain bekerja
keras demi mempertahankan hidup, tetapi hidup orang Kei juga harus teratur dan
tekun memperhitungkan musim secara tepat untuk menanam dan menuai. Mereka harus
cerdas memperhitungkan siklus alam dengan pergantian musim yang tepat untuk
menanami ladang dengan padi, jagung, kacang-kacangan, umbi-umbian dan tanaman
lainnya. Bukan cuma itu saja, tapi hidup sosial orang Kei juga harus menurut
struktur sosial yang ada. Dalam struktur itu ada kepala kampung, kepala fam,
kepala keluarga dan kepala soa; ada raja, tuan
tan (tuan tanah), kepala adat dan kepala agama (imam agama asli) dan tata
sosial yang lainnya. Bagi orang Kei, hidup teratur mengikuti siklus alam dan
menuruti tata interaksi sosial dan adat adalah penting untuk bisa hidup ke
depan.
Dengan melihat
keharusan dari orangtua dalam mendidik anak-anaknya itu dan kewajiban manjaga
tata hidup relasi sosial, maka tidak dapat disangkal bahwa ketaatan kepada duad kebavitu yang melandasi peran orangtua renta, yang dengan syair pantun tua dan nyanian tanah mampu meneduhkan ‘naga-angkara murka’ perang
antarsaudara orang Kei, yang Islam dan yang Kristen. Dalam peran yang sama juga
orangtua renta itu mengingatkan orang-orang muda tentang hubungan-hubungan
hidup adatis, yang tulus, hormat-menghormati, hidup dalam rasa bukan dengan
rasio, semuanya itu melandasi upaya misi perdamaian di tanah Kei bisa berhasil.
Dari tanggungjawab yang menghendaki agar anak-anaknya hidup rukun dan saling
menyayangi dan juga dari sikap saling menjaga relasi sosial-adatis itulah si orangtua renta dihormati dan
dipatuhi.Lalu mereka yang pernah saling berperang, saling membakar dan membunuh,
dapat hidup kembali dalam damai dan hidup dengan sukacita.Mereka dibawa kembali
ke pusat dan inti peradabannya sebagai anak-anak adat dalam suasana hidup baru
di tanah Kei yang baru (cf. Watloly
2005:95-193).
Dari uraian-uraian
terdahulu, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan seperti berikut ini :pertama, bahwa makna amsal ain ni ain sebenarnya bersumber dalam
penjabaran dan penerapan isi pasal-pasal dalam Hukum Adat Larvul Ngabal. Memang dalam kenyatannya, tidak semua orang Kei
memahami dengan baik urutan pasal-pasalnya, terutama kaum muda.Tapi sikap dan
orientasi hidup mereka menampilkan citra pemaknaan hukum adat itu. Dengan kata
lain, mereka tidak mengenal secara hurufiah Hukum Adatnya. Hukum Adat itu hanya
dikenal dengan baik oleh para tokoh-tokoh adat dan orang-orangtua, yang mengetahui
dan menguasainya.Sekalipun demikian, tapi perilaku mereka mencerminkan
pemahaman, ketaatan dan kepatuhannya.Kedua,
perdamaian di tanah Kei bisa tercapai oleh
karenaorang Kei mengolah dan menemukan kembali identitas hidupnya dalam
nilai-nilai kearifan lokalnya sendiri. Falsafah hidup yang menjadi rambu
lalu-lintas hubungan hidup sosial dan hidup spiritual mereka ada dan hidup
dalam interaksi mereka sendiri. Karena itu mereka benar dalam menghidupkan
kembali daya ikat adatnya, bukan dengan kemampuan pengetahuan, intelektual dan
kuasa saja.Tapi dengan hati, dengan rasa persaudaraan yang sudah ditanamkan
oleh para leluhur orang Kei sendiri. Ketiga,
peran orangtua-tua menjadi panutan dan meninggikan martabat hidup orang Kei. Dengan
sikap dan kemampuan berhikmat-nya, mereka layak diteladani dan dicontohi.
Refleksi
Orang Kei
adalah orang yang hidup dalam tatanan adat-istiadat lokal.Identitas khasnya itu
mewarnai refleksi hidupnya sebagai anak-anak Tuhan. Dengan cara mempertahankan
nilai-nilai luhur dari adatnya, mereka menapaki hidup dengan segala
romantikanya. Jika ditelaah lebih dalam, seseorang akan melihat betapa sikap
iman sebagai orang-orang yang sudah diselamatkan oleh pengorbanan Juruselamat
kita, Yesus Kristus, kurang tegas dan juga kurang menonjol. Mungkin lebih tegas
dikatakan bahwa dalam sikap ini adat dan ritualnya menghilangkan sikap iman.Hal
ini terlihat ketika mereka mengelola responsnya terhadap bencana ‘perang agama’
dalam Kerusuhan di Kei.Ritual dan seruan memangil roh leluhur (roh nenek
moyang) menjadi simpul pertama tanda penyerahan diri dalam menghadapi kecamuk
perang itu. Sekalipun begitu mesti disebutkan juga bahwa di banyak kesempatan
lain, sebelum merespons kondisi dan situasi ledakan Kerusuhan, Pendeta setempat
biasanya mengumpulkan jemaatnya, terutama yang laki-laki, di Gereja untuk
berdoa dan menyerahkan diri dalam mengahadapi kelompok penyerang. Lantas kita
bertanya : “Mengapa orang-orang beriman itu mesti mengandalkan rirual adatnya
ketimbang keyakinannya kepada Tuhannya ?Dan masih ada banyak pertanyaan
lainnya.
Dari berbagai
jawaban atas pertanyaan itu, makasalah satu di antaranya adalah bahwa mereka
bertindak merespons Kerusuhan seperti itu karena mereka bertolak dari pemahaman atas dirinya sendiri. Pemahaman
ini berdsarkan kenyataan bahwa identitasnya selaku masyarakat adat adalah penting.Oleh
sebab itu seruan dan pemanggilan roh leluhur sebagai bagian dari keluarga besar
kosmosnya diundang. Bukti sikap ini terlihat menonjol ketika doa di
Gereja-Gereja mengawali tugas jaga atau tugas mempertahankan Gereja atau
pemukiman Kristen, biasanya Pendeta meminta mereka meletakan ‘perkakas’
perangnya di atas meja doa, barulah doa dipanjatkan. Terlihat di sana : ada
senjata rakitan, pedang, panah, bom, fan terutama berbagai jenis dan ukuran
tali kain, batu keramat dan berbagai simbol magis lainnya, yang diyakini
sebagai restu leluhur. Beberapa rekan Pendeta sampai bersitegang dengan laskar
ini, karena teguran jangan menjadikan Tuhan seperti sebuah kalewang magis,
diprotes dengan kasar. Akhirnya, sang Pendeta dengan sedih berdoa saja tanpa mempedulikanapa dan siapa
teman bela diri tiap-tiap laskar itu. Kondisi seperti ini terjadi hampir di
setiap Jemaat yang terkena ledakan Kerusuhan, baik di Maluku dan begitu juga di
Maluku Utara.Penggabungan simbol-simbol adat dalam alat-alat pertahanan di atas
dengan doa oleh Pendeta dilihat sebagai wujud nyata dari penyimpangan pemahaman
tentang berdoa dan bekerja, ora et labora.
Di bagian ini,
diskusi yang hendak penulis tonjolkan bukanlah mengenai sisi etis-Kristianinya,
tetapi mengenai pemahaman diri sendiri. Dalam memahami dirinya itu, seseorang melihat
karya Tuhan dalam semua fakta hidup yang terjadi dan disitulah ia memberi
responsnya. Memang seseorang pasti bertindak merespons suatu kejadian biasanya
bertolak dari pemahaman dirinya sendiri. Pemahaman itu terbentuk dari
nilai-nilai adat-budaya yang diturunkan oleh orangtua (dari leluhur,
nenek-moyangnya) dan lingkungan masyarakatnya, apalagi seperti orang Kei, pasti
dari lingkungan adat-budayanya. Lingkungan dekat ini yang biasanya dipahami
sebagai arena pembentukan pemahaman dan sikapnya. Untuk itu, bisa disimpulkan
bahwa sikap adat dan sikap iman diwarnai oleh warisan pemahaman yang ada.
Istilah-istilah yang sangat mirip sama adalah adaptasi, inkulturasi atau dapat
juga kontekstualisasi (Schreiter 1993).
Segi positif
dari orang Kei yang memahami dirinya sendiri dan berhasil menciptakan
perdamaian ditanah tumpah darahnya sendiri, adalah karena mereka bertolak dari
pemahaman tentang dasar-dasar adat, yang mengikat semua orang Kei. Fakta
sosiologis ini menggugah para Teolog dalam melihat kesuksesan upaya damai dari
kerusuhan di tanah Kei berdasarkan sendi-sendi adat itu, apakah karena campur
tangan Tuhan. Pertanyaan ini mengganggu sebab di satu sisi, di mata orang Kei
kesusksesan itu bertolak dari pemenuhan relasi adat dengan semua
ritus-ritusnya, yaitu : pemulihan tempat Hukum Adat Larvul Ngabal di Siryan-Siryen
dan kunjungan spiritual-adat vehe belan
dari keluarga Katolik Langgur ke Tuvle,
raja Tual-Islam. Sementara di sisi lain sebagai orang beriman, kita akanmengatakan
bahwa di dalam kesuksesan pencapaian perdamaian di tanah Kei itu adalah bagian
nyata dari karya Tuhan Allah bagi orang Kei pada umumnya, dan khususnya bagi
orang Kristen Kei. Bagaimana belajar dari karya keselamatan Allah yang
universal (tradisi besar) dan karya
keselamatan Allah bagi pribadi dan Jemaat Protestan (tradisi kecil) bagi gereja untuk mengobati luka internal relasi
ekumenis Katolik dan Protestan terhadap misi spiritual-adat vehe belan Katolik Langgur ke Tuvle-raja Tual/Islam, yang sepihak saja
(Banawiratma 1990).Relasi antara
denominasi Gereja, yang sekaligus relasi antara anggota kedua Gereja, Katolik
dan Protestan ini, perlu untuk mendukung perdamaian di tanah Kei itu.
Menurut
penulis, pendapat yang menantang Teologi Kristen di sini adalah apakah Gereja
berani mengakui bahwa sikap adatis orang Kei, yang erat dengan harmoni
kosmologinya itu, dapat dipahami sebagai medan berjumpa dengan anugrah Tuhan
yang telah menyelamakan mereka dari ganasnya Kerusuhan dan sekaligus dengan itu
bahwa pengakuan seperti itu adalah modal iman untuk secara bersama-sama
(Katolik-Protestan) membangun Gereja Tuhan menapaki masa depan (Singgih 2004:56-73; 124-157, cf. Garang
1989:109-289 & Singgih 2000: 161-169)
Hal berikut
yang melandasi keberhasilan orang Kei membangun perdamaian dari Kerusuhan
adalah pada kesediaan mendengar suara
hati sesamanya. Almarhum J. P Rahail[11]
bersama para tua-tua adat dan ditemani para tokoh pemerintahan dan tokoh
politik, setelah kunjungan spiritual-adat Katolik dari Langgur ke Tuvle, raja Tual, berkelana dari satu
desake desa berikutnya tanpa kenal lelah,singah dan berteduh di sana untuk
mendengar suara isi hati sesamanya. Di desa Isamkah atau di desa
Kristen-Protestan dan Katolik-kah, rombongan dengan setia membuka hatinya
setelah mendengar tuturan si tokoh orangtua
renta dengan pantun tua dan nyanyian tanah-nya lalu mereka
mengutarakan murka dan sedihnya, penyesalan dan harapannya. Duka dan suka
bertemu menjadi satu dalam uraian hati yang sedih bercampur marah, tapi gembira
sebab saudaranya ada datang membawa suara mohon ampun dan maaf. Ken sa fa’ak, adalah media filosofis
lokal yang dihadirkan kepada semua hati yang hancur dan rusuh di desa-desa yang
dikunjungi itu (lihat Laksono &
Topatimasang 2004:113-135). Arti hurufah ken sa fa’ak adalah empat kesalahan yang kedua-duanya dimaafkan.
Falsafahnya mengartikan bahwa dua pihak yang berperang dan bertikai itu
sama-sama salahnya dan sama-sama benarnya; tidak ada kebenaran sepihak di satu
pihak,yang lebih mulia dari kesalahan sepihak di pihak lain; kedua belah pihak
sudah salah dan begitu juga kedua belah pihak wajib menerima dan membagi
nilai-nilai kebanaran supaya dapat membangun hidup bersama lagi ke hari esok.
Ini ajaran adat yang ditinggalkan dari para leluhur untuk anak-cucunya supaya
manakala mereka bertikai, berperang dan saling membinasakan, maka di simpul ini
mereka mesti bisa saling mengampuni dan memaafkan sesamanya. Hanya dengan cara
ini, maka tidak ada seorang pun yang menang, entahkah dia itu orangMuslim
ataukah dia itu orang Kristen.
Keluhuran isi
falsafah ken sa fa’ak bisa saja
membuat para Teolog manggut-manggut atau berupaya mencari jalan lain untuk
upaya kontekstualisasi. Atau mungkin juga mereka menemukan jalan untuk
menghadirkan sebuah teologi kontektual pluralistik-Islam Kristen-untuk membina
relasi antar agama dalam ikatan akar budaya lokal (Azra 1999).Dari perspektif
Islam, falsafah ken sa fa’ak juga
melebihi kewajiban penerapan Hukum Sharia
yang juga mencakup relasi keluarga, perkawinan, perceraian dan juga dalam hal wakf. Dalam pandangan ini hal mengampuni
dan menerima saudara itu penting sebab mereka itu adalah sesama Muslim.Tetapi
yang terjadi di orang Kei adalah perdamaian lintas agama, Islam-Kristen(cf Schacht 1964: 77-85). Pasti ada juga
pendapat yang menekankan pada kesamaan asal-usul manusia dalam perjalanan
sjarah keselamatannya, baik Yahudi, Kristen dan juga Islam, yang dari situ maka
hidup bersama dan saling menerima bisa terwujud (Kuschel 1993). Di sini peraudaraan sejati akan terbentuk sebab
kedua belah pihak memahami dan memberi tempat bagi kebersamaan sebagai orang
Kei (Banawiratma 2000:71-88)
Tapi menurut
penulis, di dalam falsafah ken sa fa’ak
ada nilai kontekstual adat yang perlu di kaji secara arif. Nilai itu adalah
kesediaan menerima dan kesediaan mengampuni.Iaadalah simpul dari ajaran kasih
yang diwariskan oleh Tuhan Yesus, jauh melebihi pengampunan dan penerimaan duniayang
penuh perhitungan pamrih. Sekalipun begitu, persesuaian langkah dan upaya
berteologi kontekstual dalam hubungan ini perlu mencermati dua hal. Pertama: menghindarkan diri dari
melegalkan, dengan begitu mudah saja, nilai-nilai adat yang cendrung mirip-sama
atau mengandung arti dan makna sejajar. Sebab bagaimana pun mirip-sama-nya,
tetapi teologi tetaplah teologi dan falsafah adat tetaplah falsafah hidup adat.Keduanya
punya titik start dan tempat perhentiannya berbeda, bagaikan ‘jauh langit dari
bumi.’ Kedua, dalam pengalaman
melayani di Jemaat, pemaknaan simbol-simol dan pandangan-pandangan hidup
masyarakat, yang kebanyakan berpusat pada adat lokal, maka seorang Teolog harus
mampu mengkomunkasikan apa itu teologi sebagai prinsip iman dan praktis iman
dalam tugas pemberitaan keselamatan kepada manusia di dunia. Sebab orang
Kristen mudah dan setuju mengartikan prinsip iman itu hanya dalam batas ruang
dan waktu yang bercirikan rohani, seperti : di tempat dan jam ibadah. Di luar
itu, dunia praktis iman, bukanlah bagian integral dari misi panggilan imannya (Matius 28:18-20; Kisah Para Rasul 2:39)
Perhatian lain
yang tak kalah pentingnya dalam mencapai perdamaian dari Kerusuhan di Kei
adalah dalam peran orang tua sebagai
panutan. Telah dikemukakan di depan, mengapa kakek tua-renta itu yang ditampilkan untuk mendemonstrasikan kemampuannya
supaya didengar dan dipatuhi. Bukankah ada sekian banyak kaum intelktual yang
cerdas, berkedudukan dan berkuasa, yang lebih layak di dengar karena mereka
kaya akan strategi dan wawasan untuk berdialog menuju perdamaian? Di sini dunia
modern dilumpuhkan dengan pujaan intelektualitas dan sistematika berpikirnya. Di
dunia tradisi, mereka si tua-renta
ini ada dan dipuja karena memiliki warisan keluhuran budi, pekerti dan perilaku.
Nilai-nilai keteladanan dalam taat adat dan taat hukum, berupaya menjaga
harmoni dengan alam, yang biasanya dipandang remeh dan ditertawakan oleh dunia
maju.Namun sekali lagi, kepintaran roboh dilindas hikmat dan rendah hati. Siapa
sangka kakek tua-renta seperti itu
mampu meluluh lantahkan kerasnya tembok amarah dan dendam, ia mampu mengubahnya
menjadi pendamai dan pemersatu! Kekuatannya ada pada hikmat dan keteladanannya.
Di titik ini batas kekuatan dan kearifan adat berhenti.Sebab jauh ke atas danke
atas lagi di ketinggian kemuliaan, yang disembah adalah Tuhan yang menciptakan
dan memberikan kemampuan untuk membedakan mana nilai-nilai yang baik dan mana
nilai-nilai yang buruk (lihat Von Rad
1972: 186-189). Karena itu dapat dimengerti, betapa susahnya keteladanan
orangtua diakui dan disadari sebagai nilai yang mutlak berasal dari hikmat
Tuhan (Amsal 1:7). Hanya orang yang
mau merendahkan dan membuka hatinya, yang mampu memahami keteladanan dengan
semua kandungan nilai luhur hidup warisan orangtua sebagai jalan menuju
keselamatan dalam mutu hidup yang damai, sejahtera dan bermartabat.
Penutup
a. Kesimpulan
Perdamaian
dari Kerusuhan agama di Kei sudah berakhir dengan berhasil membawa orang Kei kembali
hidup seperti sediakala. Mereka bisa membangun hidup bersama di atas dasar
ikatan hidup kekerabatan seprti yang ada dalam fasal-fasal Hukum Adat Larvul Ngabal. Penjabaran makna hukum
adat itu muncul dalam relasi hidup sesehari dengan bentuk amsal-falsafah hidup.
Bahasa Kei menjadi alat komunikasi efektif bagi hidupnya kembali falsafah hidup
orang Kei :ain ni ain; vuut ain mehe ngifun, manut ain mehe tilur.
Kesediaan
memahami, rasa hati dan keluhuran budi menjadi buah-buah sulung untuk membagi
dan menanam benih-benih perdamaian di tanah Kei.Semua pihak, baik yang
tua-muda, besar-kecil, kuat-lemah, kaya miskin, kota-desa, maju-udik, bersimpuh
takluk kepada makna ikatan keluarga dalam kosmologinya. Harmoni adat dengan
ritus-ritus sucinya masih kuat berisi dan mengikat semua yang orang Kei, Islam
dan Kristen.
Teologi
kontekstual yang pluralis dan ransformatif, kiranya dapat membuka pandangan dan
perilaku iman orang Kristen untuk berjumpa dalam kebersamaan di tengah
perbedaan dengan agama lain : Katolik dan Islam. Begitujuga dengat kuatnya
pengaruh adat.
b.
Saran
Sebagai masyarakat adat, orang Kei mesti
bisa tetap dengan jati dirinya sebagai orang yang patuh, taat dan menghormati
nilai-nilai luhur adat. Kesungguhan dan keseriusan mewaris-kan nilai-nilai adat
itu mesti diturunkan kepada anak-anak, terutama anak-anak muda. Untuk itu
pengajaran dan pendidikan bahasa daerah, bahasa Kei, mesti menjadi perhatian
pemerintah, pendidik dan terutama sekali orangtua.
Kepustakaan:
Azra,
Azyumardi
1999 Konteks Berteologi di
Indonesia ; Pengalaman Islam, Jakarta, Paramadina
Banawiratma, J. B
1990 Spiritualitas Transformatif, Suatu
pergumulan Ekumenis, Yogyakarta, Kanisius
Banawiratma, J. B (Ed)
2000 Gereja Indonesia, Qua Vadis ? Hidup
Menggereja Kontekstual, Kanisius, Yogyakarta
Darmaputera, Eka (Ed)
1998 Konteks Berteologi Di Indonesi, BPK,
Jakarta
Garang, Phil. J (Ed)
1989 Memasuki Masa Depan Bersama, Tugas &TanggungJawab
Bersama Agama-Agama di Indonesia, Jakarta, BPP-PGI
Jensen, Adolf
1963 Myth and Cult Among Primitive Peoples,
Univ. Chicago Press, Chicago
Kuschel, Karl-Josef
1993 Abraham, A Symbol of Hope for Jews, Christians
and Moslems, London, SCM Press
Laksono, P. M& Roem
Topatimsang
2004 Ken Sa Faak Benih-Benih Perdamaian Dari
Kepulauan Kei, INSIST Press, Yogyakarta
Ngelow, Zakaria. J
1993 Kekristenan dan Nasionalisme : Perjumpaan
Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan
Nasional
Indonesia 1900-1950, BPK, Jakarta
Ohoitimur, J
1983 Beberapa Sikap hidup Orang Kei Antara
ketahanan Diri Dan Proses Perubahan (Tesis)
Sekolah Tinggi Seminari, Pineleng-Menado
Pattikayhattu, J
1983 Peribahasa Orang Kei, Ambon,
Universitas Pattimura
Renyaan, Ph
1974 1200
Misil-Masal, Liat-Dalil, Sukat-Sarang Evav, Yayasan Wliborordus, Tual
Romero, Mgr. Oscar
2000 Spiral Kekerasan, Yogyakarta, INSIST
Press (model tulis Pustaka-Baru)
Schacht, Joseph
1964 An Introduction to Islamic Law, Oxford,
The Clarendon Press.
Schreiter, Robert. J
1993 Rancang Bangun Teologi Lokal, BPK,
Jakarta
Sedubun, Nicodemus
2001 Kalimat-unSawa
Dalam Qur’an, Sebuah Sumbangan Pemahaman Aqidah IslamTerhadap Sumpah
Perdamaian Hawear (Tesis),
Yogyakarta, PPS-T UKDW
Singgih, E. Gerrit
2000 Berteologi Dalam Konteks, Kanisius, Yogyakarta
2004 Mengantisipasi Masa Depan, Berteologi Dalam
Konteks Di Awal Milenium 3, BPK, Jakarta
Sitompul, A. A
1974 Pengendalian Diri Menurut Amzal Sulaiman
Dan Raja-Raja Mesir Purbakala, BPK, Jakarta
Subagya, Rahmat
1979 Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia,
Nusa Indah, Jakarta
Van Wouden, F. A. E
1985 Klen, Mitos dan Kekuasaan, Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur,
Grafiti Press,Jakarta
Von Rad, Gerhard
1972 Wisdom In Israel, SCM Press, London
Watloly, Aholiab
2005 Maluku Baru, Bangkitnya Mesin Eksistensi
Anak Negeri, Yogyakarta, Kanisius
[1] Tulisan ini dibuat sebagai syarat Paper
Kerja untuk penyiapan kelanjutan Studi S-3 pada Universitas Kristen Duta
Wacana, Yogyakarta Oktober 2008.
[2] Sebutan suku Kei tidak seluruhnya mengandung pengertian yang eksklusif
mengenai sikap kesukuan atau fanatisme kesukuan.Ia lebih menekankan pada
kekhasan relasi internal orang Kei yang cendrung memutlakan adat demi hubungan
kekerabatan dalam masyarakat. Dalam memutlakan adat ini, maka perbedaan agama
tidak boleh menjadi hambatan bagi ketaatan kepada adat. Sikap ini terlihat
ketika orang Kei bertemu di suatu tempat, terutama di rantau, mereka tidak
menanyakan apa marga atau fam, asal kampung atau woma dan juga agama kedua belah pihak. Tapi mereka akan menanyakan
siapa kakek, nenek sampai ke leluhur (nenek moyang) kedua belah pihak, baik
dari keluarga ayah maupun juga dari keluarga ibu. Dari situ baru diketahui
asal-usul mereka apakah kedua belah pihak hanya orang seasal dari Kei saja
ataukah ada hubungan keluarga yang lebih dekat lagi.
[3] Manurut Yohanes Ohoitimur (penulis Tesis
Beberapa SikapHidup OrangKei;Antara
Ketahanan Diri dan Proses Perubahan, Manado, STSPineleng 1983), bahasa Kei
tidak mengenal konsonan W, tetapi V. Jadi amsal orang Kei mestinya tertulis :
Ain ni ain; Vuut ain mehe ngifun, manut ain tilur. Dibaca, Ain ni ain; Wuut ain mehe ngifun manut ain mehe
tilur. Kata yang tebal Vuut menjadi Wuut; ngifun ada yang membacanya dengan nifun dan tilur ada yang
membacanya tilor.Harus dibaca tilur sebab berasal dari mantilur.
[5] Desa Langgur adalah pusat umat Katolik
di Maluku Tenggara, ada pendidikan tingakt TK, SD, SLTP, SMU/SMK dan Pendidikan
Seminary/Pastor.Di sini berkedudukan Wakil Uskup untuk wilayah pelayanan Maluku
Tengara, Aru dan Maluku Tenggara Barat.
[6] Katanya untuk mengantisipasi Kerusuhan,
maka tentara dikirim dalam jumlah banyak ke lokasi potensial terjadi
Kerusuhan.Pada kenyatannya, semakin banyak tentara, semakin sulit dan kompleks
masaalah Kerusuhan.Terbukti dengan jelas bahwa dengan memakai baju putih
panjang menutupi seragam hijaunya, mereka membantu penyerangan ke wilayah
Kristen.
[7] Kelihatannya, ada upaya sistematis untuk
mengadu-domba masyarakat Kei dalam hubungan adatnya. Menurut beberapa orangtua
terpercaya, situs itu sangat disucikan, karena di situ orang Kei, baik di Kei
Kecil maupun dari Kei Besar, tahu bahwa sejarah Hukum Adat LarvulNgabal bermula
di situ.-
[8] Husni Rahayaan, tokoh Muslim.
[9] Amir Rahayaan, tokoh Muslim dan orangtua
bagi orang Kei di Ambon mengatakan bahwa nasehat dalam isi pantun dan nyanyian tanah
itu adalah amsal Ain Ni Ain, “Semua
kita orang Kei itu bersaudara…”. Jadi, siapa yang menyangkalinya, maka itu sama
saja dengan ia menyangkali orangtuanya sendiri.
[10] O. Labetubun, seorang Guru SMA dan
mantan Kepala Dinas Pendidikan di Kabupaten Maluku Tenggara dan di Kota Ambon,
mengatakan bahwa maren adalah wujud
nyata dari pemaknaan amsal ain ni ain.
Wawancara tanggal 7 Januari 2008 di rumahnya di Ambon.
[11] J. P Rahail (Almarhum) adalah seorang
Raja dan Kepala Adat yang berpusat di desa Wata’ar di Kei Besar. Beliau
mengepalai wilayah adat Maur Ohoivut
(Ratschaap Watla’ar) meliputi 46 kampung/dusun yang tergabung dalam sebelas
desa.Desa-desa Islam yang ada di dalam wilayan adatnya dilindungi selama
Kerusuhan pecah di Kei.Beliau selalu dengan setia menguts pembawa berita dan
perlindungan keamanan bagi warganya yang Muslim.Desa-desa Muslim di wilayah
adatnya saja yang selamat dan tidak terkena imbas kehancuran selama Kerusuhan.
----nseb----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar