Kamis, 15 Mei 2014

Ain ni ain di Maluku Tenggara[1]



Oleh: Pdt.Nicodemus Sedubun, M. Th

Pendahuluan
Paper ini berupaya untuk melihat nilai kearifan lokal masyarakat Kei yang mengikat hubungan di antara mereka dengan segala perbedaan latarbelakang hidupnya,terutamaperbedaan agama. Penekanan diutamakan pada perbedaan latar belakang agama, karena sejarah Kerusuhan Maluku yang terjadi sejak 1999 sampai dengan 2005 memberi pelajaran hidup bagi warganya untuk menghidupkan, menghargai dan membagikan nilai-nilai kearifan lokal yang adalah jati dirinya sendiri dengan sesamanya, sebagai suku Kei,[2] dan juga kepada orang lain. Tragedi itu berlangsung di tanah Kei dalam waktu yan cukup singkat dan tidak sampai setahun berlangsung.Puncaknya, hanya terjadi dalam dua bulan, yaitu di bulan April dan bulan Juni tahun 1999. Sekalipun ledakannya hanya singkat, tapi ia cukup mengguncangkan pranata adat yang mengikat dan menghubungakan hidup orang Kei, yaitu ikatan kekeluargaan masyarakat dalam Hukum Adat Larvul Ngabal. Inti dari ikatan itu tersimpul dalam amsal ain ni ain; vuut ain mehe ngifun, manut ain mehe tilor, yang artinya satu punya satu, kita semua orang bersaudara yang berasal dari satu sumber. Amsal ini biasa disebutkan dengan singkat ain niainsaja.[3]
Goncangan yang mengancam simpul identitas hidup orang Kei ini akan dibahas dengan upaya optimal, baik dari aspek pemahaman maupun juga dari aspek praktisnya. Dalam upaya ini, penulis mengakui bahwa sumber-sumber tertulis yang menguraikan tentang amsal orang Kei itu hampir tidak ada.Pada kenyataannya, amsal itu ia lebih nyata ada dan hidup ‘dalam mulut’ dan sikap hidup pemiliknya. Karena itu uraian Paper ini akan menghadirkan aspek pemahaman dan perilaku amsal itu dengan beberapa tokoh masyarakat orang Kei. Diharapkan dari pendekatan tersebut, akan diperoleh sebuah gambaran tentang identitas hidup orang Kei, yang sampai hari ini mampu mengikat hidup mereka secara ‘ingroup-orang Kei’ maupun dengan ‘outgroup-para pendatang’ di tanah Kei. Pada kenyataannya, mereka telah mampu menaklukan kekerasan Kerusuhan dengan ‘hatinya’ sendiri, tanpa banyak mengeluh dan berharap pada besarnya uluran tangan ‘bapanya’ yaitu pemerintah dalam Negara ini, pemerintah Indonesia.
Paper ini juga bukan sekedar sebuah upaya membuktikan bahwa amsal hidup yang mengikat pemiliknya, orang Kei, itu masih ada dan hidup. Tetapi penulis mau mengemukakan aspek-aspek apa saja yang perlu dicermati demi sumbangsihnyabagi hidup masyarakat lokal yang berjuang keras menghadapi hidup dengan perubahan-perubahan yang menghadangnya. Aspek-aspek itu juga kiranya menjadi arena bagi Gereja untuk berteologi secara kontekstual.
Untuk mendalami uraian Paper ini selanjutnya, maka sistematika penulisannya adalah seperti berikut ini :
-          Pendahuluan
-          Kerusuhan dan Falsafah Hidup Hukum Adat Larvul Ngabal
-          Ain Ni Ain, Amsal Hubungan Hidup Orang Kei
-          Refleksi
-          Penutup

Kerusuhan dan Falsafah Hidup Hukum Adat Larvul Ngabal
a.      Gambaran Kerusuhan di Kei
Mengawali uraian tentang bagian ini, penulis hendak mengemukakan sekelumit gambaran Kerusuhan di tanah Kei, Nuhu Evav,[4] yaitu di pulau Kei Kecil dan Kei Besar.Uraian ini tentu saja lebih banyak paparan subjektifnya.Tapi penulis hendak menegaskan bahwa lebih dari delapan puluh persen uraiannya adalah tertangungjawab.Penulis menyatakan demikian, sebab di mata penulis dan kami orang asli Kei, kerusuhan bernuansa agama itu tidak mungkin terjadi jika tidak ditunggangi dan didukung oleh aparat “baju hijau.”Di mana-mana dengan sangat kentara, mereka ada dibelakang komunitas tertentu sebagai penyerang dan penghancur komunitas Kristen.Karena sangat sadar akan bahaya ini, maka upaya membangun perdamaian pasca Kerusuhan, yang dilakukan oleh para tokoh adat dan pemuka masyarakat lokal, mereka menolak dengan halus tapi tegas akan keikutsertaan aparat “baju hijau” untuk turut serta menangani upaya perdamaian di Maluku Tenggara (Laksono & Rum Topatimasang 2004 :106). Hasilnya luar biasa tersaksikan sampai sekarang ini bahwa perdamaian itu hadir dengan jatidirinya sendiri. Jika dibandingkan keadaan di Kei dengan keadaan di Maluku Tengah, kondisinya sangat jauh berbeda. Kondisi di Maluku Tengah sangat rentan isu Kerusuhan.Dari banyak sebab terkait dengan pemberitaan media, ledakan kekerasan yang terjadi di sana banyak yang selalu dihubungkan dengan gerakan separatis RMS.Padahal sebenarnya masyarakat Maluku tengah, Islam Kristen, sudak lelah dengan dikhotomi wacana separatis dan Negara Kesatuan Indonesia. Pada kenyataannya, perlahan tetapi pasti masyarakat secara bersama-sama, Islam-Kristen, sudah masuk ke pintu pembenahan dan pembangunan hubungan masyarakat dalam ikatan pela seperti sediakala.
Kerusuhan bernuansa Agama yang pecah di Maluku terjadi di kota Ambon pada tanggal 19 Januari 1999 dan menyebar membara sampai 2005/2006. Ia menyebar dengan cepat ke seluruh wilayah Propinsi Maluku dan Maluku Utara, seperti wabah penyakit menular. Di Maluku Tenggara, kerusuhan itu berpusat di Tual, ibukota Kabupaten Maluku Tenggaradan menyebar menghantam desa-desanya.Bermula dari perkelahian pemuda Muslim dan pemuda Kristen di Kelurahan Kiom dengan inti masaalah pada penghinaan Nabi Muhammad dan Tuhan Yesus Kristus, maka Kerusuhan itu serentak menyebar dengan perlahan tapi pasti. Bagaikan bara api di dalam sekam yang baru diketahui manusia karena ia tiba-tiba muncul dan meledak-membakar ke permukaan bumi. Begitulahledakan-ledakan peluru, bom dan senjata api lainnya yang meletus mewarnai bumi Larvul Ngabal, tanah Kei. Kerusuhan itu mulai pecah di bulan Maret dan klimaks kekejaman Kerusuhan itu terjadi di bulan April dan bulan Juni 1999.
Di Kei Kecil ; kota Tual benar-benar merah-membara dengan ledakan bom dan senjata organik, mulai tanggal 31 Maret 1999. Dua jemaat di pusat Kota : Jemaat Sion dan Jemaat Anugrah-Ohoijang, harus berjuang mati-matian menghalau dan meneduhkan warga jemaatnya, sambil juga membangun pertahanan untuk melindungi diri dan menjaga bangunan gedung Gerejanya. Selain itu, Jemaat besar satu-satunya di pulau Dula, tempat ibukota Kabupaten kota Tual, yaitu Jemaat Ta’ar, harus mengirimkan relawan perangnya membantu perlindungan di kedua Jemaat Kota. Saudara tuanya orang Protestan, umat Katolik yang mayorits di desa Langgur,[5] yang hanya sebatas dua ratus meter dipisahkan oleh Jembatan”Usdek” (Jembatan yang menghubungkan pulau Dula, tempat kota Tual berada, dengan pulau Kei Kecil) belum bergeming atas panasnya Kerusuhan, apalagi membantu. Sebab waktu itu entah bagaimana dan darimana asalnya, tapi ada seruan agar umat Katolik tidak boleh terjerumus dan ikut campur dalam Kerusuhan : “………….Kerusuhan itu tidak terjadi antara orang Katolik dengan orang Islam” (Penulis : jadi, pasti hanya terjadi di antara orang Protestan dengan orang Islam. Bandingkanawal pertikaian di antara dua pemuda itu: pemuda Protestan dan pemuda Islam, bukan dengan pemuda Katolik). Kira-kira demikianlah bunyi seruan itu, yang disampaikan oleh tokoh-tokoh agama Katolik di Langgur dan desa-desa Katolik terdekat di sekitar Tual. Perubahan sikap saudara Tua kita, Katolik, mulai berubah ketika mereka menyadari bahwa sebagian desa-desa Katolik mereka di Kei Besar juga telah diganjang oleh kekejaman Kerusuhan.Salah satunya seperti desa Holath Atas.
Kerusuhandi Kei mengalami klimaks pertama dalam bulan April 1999, di mana ada upaya sistematis dari kelompok penyerang bersama aparat[6] menyerang pemukiman Kristen dan kedua Gereja yang dijaga ketat oleh relawan pemuda.Di jemaat Anugrah, yang masuk dalam wilayah desa Langgur, penjagaan juga melibatkan pemuda-pemuda Katolik bercampur dengan pemuda Protestan.Pertahanan ini bukan cuma di Gereja, tapi juga di perbatasan jalan dan akses-akses masuk ke tempat pemukiman warga. Pada waktu menjelang klimaks Kerusuhan pertama ini, sebuah Pesantren milik mantan Bupati Maluku Tenggara yang baru saja lengser yang terletak di wilayah Kristen, diratakan dengan tanah oleh relawan pemuda dan warga Kristen.
Sementara desaberpenduduk heterogen agama, Ohoitel, yang jaraknya sekitar dua ratus meter dari kota Tual, dengan penduduk beragama Islam, Protestan dan Katolik, mengalami kehancuran, karena diserbu oleh kelompok penyerang. Warga Katolik dan Protestan harus lari tunggang-langgang menyelamatkan diri dari ancaman kematian. Mereka mengungsi ke komunitas Protestan di kotaTual dan ke pingiran Jemaat Ta’ar. Perlu dijelaskan juga, bahwa hanya ada tiga Jemaat Protestan di dekat Tual, yaitu : Jemaat/desa Ohoitel, Jemaat Sion di Kota Tual dan Jemaat Anugrah, yang juga masuk di pusat kota Tual, tapi letaknya di dalam Desa Langgur. Setelah melewati desa-desa Katolik sampai jarak sekitar sembilan kilometer baru ada beberapa jemaat Protestan lainnya, seperti Jemaat Dian Darat di sebelah timur dan Jemaat Ela’ar di sebelah Barat.
Klimaks Kerusuhan kedua terjadi dalam bulan Juni 1999. Upaya sistematis penyerang yang di dukung ‘aparat baju hijau’ menghimpun kekuatan dengan armada puluhan motor laut. Mereka berpangkalan di sebuah pulau kecil,yang agak terpencil di laut dekat pulau Tanimbar Kei, pulau Tam, dan pada pagi-pagi buta mulai menyerang Jemaat/desa asal penulis, Ohera di pulau Kei Kecil sebelah timur. Tapi pendaratan serangan itu salah sasaran.Akhirnyamereka mendarat dan menyerang Jemaat Wa’ab, sebuah Jemaat tidak jauh dari Jemaat Ohera. Seorang warga Jemaat Wa’ab tewas karena terkena ledakan bom. Tapi puluhan motor laut dan semua laskar perang yang ada bersama ditangkap oleh kapal Angkatan Laut yang waktu itu berpatroli. Ada informan yang mengatakan bahwa beruntung waktu itu Komandan Pangkalan Angkatan Laut Wilayah Timur di Ambon adalah seorang ‘anak Tuhan.’ Demikianjuga dengan Komandan Kapal Patroli Angkatan Laut pada waktu itu, juga beragama Kristen.Jika tidak, maka kebinasaaan hebat bisa terjadi khususnya di pulau Kei Kecil.Rupanya strategi penyerangan dimulai dari sebelah timur sebab di sana ada tiga Jemaat Protestan besar, yaitu Jemaat Ohera, Jemaat Watngil dan Jemaat Wa’ab. Selain itu ada Jemaat Dian Darat, yang dikepung oleh desa Dian pulau (Islam) dan desa Debut yang Katolik.Sisa tiga jemaat kecil lainnya terletak di pula-pulau, yaitu Jemaat Tanimbar Kei, Jemaat Ur-pulau dan Jemaat Warbal.Harapan penyerang, dengan menaklukan tiga Jemaat besar, tanpa mengusik desa-desa Katolik sekitarnya sampai ke Tual, maka bereslah misi perang agama itu.Sebab sisanya hanya Jemaat-Jemaat kecil dan minoritas penduduknya.Mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Jemaat Ohoiseb, yang bergabung dengan desa Danar.
Sementara itu, di pulau Kei Besar pun tidak kalah serunya. Jika di kei Kecil sampai waktu klimaks Kerusuhan kedua pecah, tapi masih banyak warga Katolik yang kurang peduli dengan ganasnya Kerusuhan, sebab desa mereka tidak diserang. Lain halnya di Kei Besar yang benar-benar ‘manyala’-terbakar dan membara. Desa-desa Muslim hampir semuanya diganjang gabungan desa Protestan dan Katolik. Akhirnya banyak umat Muslim yang lari mengungsi ke kota Tual dan desa-desa Muslim kuat dan mayoritas di dekat Tual.

b.      Hukum Adat Larvul Ngabal sebagai Dasar Hidup Kekerabatan
Namun,kecamuk Kerusuhandi tanah Kei tidak bertahan lama.Sebab para orangtua, pemuka adat dan tokoh masyarakat mulai berpikir dan bertindak untuk mengatasinya. Mereka yakin bahwa ada yang salah dengan perilaku kehidupan adat dalam masyarakat. Kepekaan dan perenungan mereka semakin mendesak untuk ditindaklanjuti dengan langkah-langkah cepat. Pada waktu Kerusuhan pertama, berdasarkan fakta bahwa pusat tempat pengesahan dan penetapan pertama Hukum Adat Larvul Ngabal di Siran-Siryen di sebuah daerah dekat pantai di desa Ela’ar Lamagorong di Kei Kecil, sudah dihancurkan oleh orang-orang tak dikenal.[7] Dengan segera upacara pemulihan dan pembenahan tempat keramat itu dilaksanakan pada bulan Oktober 1999. Tempat itu dipandang keramat dan beresejarah sebab di situlah pengesahan Hukum Adat Larvul Ngabal dilakukan dengan penyembelihan Kerbau yang ditumpangi Dit Sakmas dan dagingnya dibagikan kepada sembilaan Halaai (pemimpin-kepala masyarakat, lihat Ohoitimur 1983 :51-55 ; Sedubun 2001:21-24). Orang Kei menghargai dan meyakini akan keramatnya tempat itu dan sampai sekarang ini, kubur tempat tokoh awal terbentuknya Hukum Adat Larvul Ngabal-Dit Sakmas-dimakamkan yang terlatak di bawah sebuah pohon rimbun, masih terjaga dan dirawat dengan baik.
Langkah kedua yang diambil sebagai upaya untuk meredakan Kerusuhan adalah dengan kunjungan Adat dari keluarga Katolik dari desa Langgur ke desa Tual. Kunjungan ini lebih bersifat spiritual-adat, sebagai upaya mengingat kembali awal penyerbaran agama-agama besar di tanah Kei. Kunjungan spiritual ini dalam adat Kei disebut vehe belan, dilaksanakan dalam Februari 2000. Menurut beberapa tokoh agama[8] kunjungan itu mengingatkan kembali orang Keitentang sejarah masuknya agama-agama besar ke sana. Ketikaagama pertama datang di tanah Kei, agama Islam, lalu orangtua-tua menyuruh membawanya ke raja Tuvle, di Tual, sehingga Tual memeluk agama Islam.Ketika agama Katolik, yang kedua masuk ke tanah Kei, para orangtua menyuruh dibawa ke desa Langgur, sehingga Langgur memeluk Katolik.Ketika agama ketiga, Kristen Protestan masuk, para orangtua menyuruh membawanya ke desa Ta’ar.Dari latar pikir penyebaran agama seperti itulah tokoh adat dari desa Katolik Langgur mendatangi desa Muslim, Tual. Setelah itu misi perdamaian berjalan menyebar dengan melibatkan orangtua-tua di desa-desa untuk menuturkan asal-mula menyebar dan penganutan agama-agama dan diikuti dengan membacakan isi tujuh fasal Hukum Adat Larvul Ngabal. Komunikasi dalam upaya seperti ini cukup efektif, sebab bahasa Kei masih dipahami oleh semua penduduk dari desa sampai ke kota-kota Kecamatan dan Kabupaten.
Peristiwa vehe belan, kunjungan spiritual adat Katolik dari desa Langgur, sudah terjadi dan membuahkan perdamaian di tanah Kei. Tapi warga dan tokoh-tokoh Protestan dari Jemaat pertama di Kei, Jemaat Ta’ar, masih bertanya-tanya : “Mengapa misi vehe belan itu hanya dibawa oleh warga beragama Katolik dari desa Langgur saja? Bukankah ada “adiknya” warga Protestan di desa Ta’ar, yang bisa dan layak diajak ikut serta untuk maksud mulia itu?! Jawaban atas pertanyaan ini sulit di dapat. Tetapi beberapa tokoh Protestan masih melihat ada hubungnya yang kental dengan upaya “membersihkan nama” dari lembar hitam fakta Kerusuhan yang ‘katanya’ hanya terjadi antara orang Protestan dengan orang Islamsaja. Tidak dengan orang Katolik. Ada pendapat lokal yang mengatakan bahwa krisis ini juga punya kaitan dengan sejarah Kemerdekaan, yang menanyakan tentang kaitan antara orang/gerakan orang Protestan dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Mereka ada di mana dan dengan bobot apa, terlibat ataukah hanya jadi penonton saja (lihat Ngelow 1994:266-279).
Bagaimana pun, bagi orang Kei, dua peristiwa adat itu yang menggugah warga lokal Kei, yang berperang untuk duduk, merenung dengan hatinya dan menemukan jalan untuk berdamai dan membangun hidup bersama dengan saudaranya, baik yang Islam maupun Kristen(Protestan dan Katolik). Tapi lain halnya berita perdamaian di Kei yang membahana, secara nasional dan internasional. Dunia Indonesia dan dunia internasionalhanya dan selamanya tahu bahwa perdamaian dari Kerusuhan di Kei bisa tercipta hanya karena ada sumpah perdamaian dengantanda Hawear di Lapangan Lodar-El Tual.Perdamaian dari Kerusuhan bisa dicapai hanya atas prakarsa pemerintah dengan kehadiran Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri (lihat Sedubun 2001:28-30). Perdamaian ini pada kenyataannya kurang diresapi karena diprakarsai oleh ‘orang luar.’Yang dimaksudkan di sini dengan ‘orang luar’ adalah tangan pemerintah dan aparat bersenjatanya, yang hanya memakai kekayaan adat lokal demi mencapai sebuah target formal tertentu. Padahal kebenaran yang sesungguhnya adalah pada membangun kesadaran adat-budaya orang Kei sendiri, alias bukan karena pendampingan apalagi penanganan oleh kekuatan dan wibawa pemerintah.
Perlu disebutkan dengansangat tegas tentang  hal menarik yang ditampilkan dalam peran menghimpun kebersamaan kembali orang Kei untuk berdamai dari perang Kerusuhan. Mereka bukan dengan mengundang orang-orang Kei yang pintar dan berkedudukan tinggi, di eksekutif atau di legislatif.Tapi yang diundang untuk berbicara adalah para orangtua-renta, yang berjalannya bisa jatuh jika di tiup angin.Mereka diminta bukan bercerita tentang silsilah sejarah, tapi untuk melantunkan nyanyian tanah dan pantun-pantun tua ber-bahasa tanah lalu menguraikan isinya yang memaparkan tentang asal-usul hidup persaudaraan orang Kei. Kemudian acara diakhiri dengan membaca isi pasal-pasal dari Hukum Adat Larvul Ngabal.Rombongan penyebar misi perdamaian yang terdiri dari tokoh adat, tokoh masyarakat dan mantan orang-orang penting di pemerintahan dan legislatif bersama seluruh warga yang ada hanya duduk diam dan meratapi kesalahan yang sudah dilakukan bersama, yaitu saling memerangi saudaranya sendiri, yang beragama Islam dan yang beragama Kristen. Di simpul ini mereka semua, Islam-Kristen, bertobat dan berjanji hidup kembali dalam damai seperti sediakala sebagaimana diwasiatkan oleh para leluhurnya seperti kata-kata bersyair dalam pantun dan nyanyian tanah yang disampaikan oleh para orangtua renta itu.[9]
Mengapa dan untuk apa melibatkan orangtua renta, yang bisa jatuh jika tertiup angin, dalam menggalang keberanian untuk berdamai melawan perang di antara sesama saudara? Rupanya ada ikatan yang mendalam antara orang muda, yaitu penggiring misi perdamaian bersama warga desa, dan kelompok orangtua renta dalam tradisi dan pandangan hidup orang Kei. Orang muda bukan cuma menyangkut usia saja, sekalipun ada di antara rombongan itu yang berumur tua dan berpangkat tinggi dalam masyarakat, tapi lebih daripada itu mereka masih muda dalam sejarah hidup dan juga muda dalam mengetahui dan mewarisi makna Hukum Adat yang diwariskan oleh orangtua-leluhur mereka kepadanya. Di lain pihak, orangtua renta bukanlah kelompok ‘tidak laku’ dalam pandangan dan tradisi hidup orang Kei. Mereka sangat ‘berharga mahal’ karena mengetahui asal-usul hadirnya Hukum Adat Larvul Ngabal; mereka malah tahu pantun-pantun tua dan nyanyian-nyanyian tua yang tertutur lewat syair-syair suci penuntun hidup kekerabatan keluarga besar orang Kei, yang berasal dari satu sumber saja, atau ain ni ain; vuut ain mehe ngifun, manut ain mehe tilur. Karena itu kita bisa mengerti mengapa tokoh-tokoh cerdik pandai dan berpangkat yang menyertai rombongan adat perdamaian keliling itu tak berarti apa-apa dan mereka hanya menempatkan diri ‘sama dengan’ rakyat desa biasa saja, ketika syair dan pantun suci pengulas sumber kekerbatan orang Kei itu dinyanyikan dan disyairkan. Para orangtua renta itu dihormati di dalam desanya sebab mereka tahu dan mengusai bahasatua atau bahasa tanah dengan ungkapan-ungkapan berhikmat dan penuh arti, yang makin terkikis dan dilupakan oleh kehidupan masyarakat modern, terutama oleh kalangan orang muda Kei (bandingkan dengan Misil-Masal, Liat-Dalil, Sukat-Sarang-perumpamaan, pepatah dan peri-bahasa-(Renyaan 1974; Pattikayhattu 1983).Bobot para orangtua renta ini bukan saja dikarenakan adanya perjalanan kompetisi alam di mana karena perjalanan waktu, maka yang tua pasti lengser, luluh,layu lalu kemudian mati dan harus digantikan dengan mekar semerbaknya bunga menjadi buah-buah generasi baru, generasi muda orang Kei.Tapi itulah salah satu hakekat dari sikap dan kepribadian hidup orang Kei yang menghormati dan takluk kepada orangtua.Sebab mereka adalah wakil Tuhan Allah di dunia, duad kebav. Sebutan duad kebav dalam pandangan orang Kei melukiskan tradisi itu dengan sisi positifnya. Maksudnya, sebagai wakil Allah, maka orangtua itu sumber kebaikan dan hikmat, sehingga anak-anak yang patuh dan taat kepada orangtua, akan  mewarisi bumi. Penegasan ini terlihat jelas kaitannya dengan falsafah hidup orang Kei yang berpusat pada hidup persaudaraan sebagai masyarakat adat. Inti ikatannya adalah pada faham tentang kosmologinya (Ohoitimur 1983 : 93-96). Dijelaskan bahwa dunia hidup orang Kei terdiri dari dunia mikro dan dunia makro.Dunia mikro adalah wilayah hidup dan kerjanya sehari-hari, yaitu tempat berkebun/berladang (dan memancing). Ini adalah dunia terang, dunia nyata manusia yang sangat terang karena dikenal dengan baik, dunia yang nyata ada di sekitar kampung/desanya. Dunia makro adalah dunia luar, yang gelap dan membuatnya ditakuti, tidak dikenal, dunia roh-roh. Roh-roh ini berdiam di puncak-puncak bukit, di angin, di sungai, di pohon-pohon, di batu karang dan di goa-goa, di semua tempat “pamali,” tempat yang tabu untuk didatangi manusia.
Sekalipun dunia mikro dan dunia makro berbeda, tapi keduanya ada dalam satu kesatuan hubungan, yaitu kerinduan akan eksistensi manusia untuk bekerjasama dengan tata dunia roh, yang dipadang sakral. Kerinduan ini nampak dalam sikap petani Kei yang selalu mengejar satu partisipasi tetap dan penyatuan lestari dengan dunia ilahi agar kesuburan ladangnya baik dan kehidupan sehari-harinya dipenuhi rasa aman dan bahagia.Karena itu, kerjasama dengan keluarga besar kosmos, selalu dijaga.Upaya ini nampak ketika mereka mulai menanam, menuai, melaksanakan upacara pengucapan syukur kelahiran, kematian, perkawinan dll.
Pengikat keterpautan harmoni hidup keluarga besar kosmos manusia Kei itu ada pada Hukum Adat Larvul Ngabal.Hukum ini yang mengandung citra ideal hubungan kekerabatan keluarga besar kosmos.Karena itu ketaatan dan kepatuhan kepada Hukum Adat sangat menentukan harmoni hidup masyarakat. Sebab ia mengandung nilai-nilai imanen yang mengatur perbuatan dan tingkah laku manusia Kei dan sekaligus mengarahkan kepada nilai-nilai transenden yang melambangkan tata dunia sakral-ilahi.Jadi, orang Kei memahami bahwaketika amsal dalam bentuk syair pantun tua dan nyanyian tanah dilantunkan, maka komunikasi, kehadiran dan pengesahan dari leluhur itu ada.
Di sini mereka semua, Islam-Kristen, yang telah berperang dan saling membunuh, dibawa kembali ke pusat hubungan hidupnya yang semula sebagai satu keluarga.Mereka diingatkan kembali tentang motivasi dan tujuan membentuk tata hukum untuk hidup, baik sebagai warga masyarakat adat maupun sebagai warga sebuah agama.Mereka pun diingatkan tentang arti hubungan hidupkekerabatan sebagai orang Kei yang terinti dalam Hukum Adatnya.Menurut Ohoitimur (Ohoitimur 1983 : 98-99), pada waktu Hukum Adat Larvul Ngabal itu disepakati, tidak dikodifikasi atau dibuat secara tertulis menjadi sebuah dokumen. Tapi iahanya disahkan secara lisan saja dalam abad ke-15 dan ke-16, dan diberlakukan. Karena itu Hukum Adat itu hanya ditempatkan di lingkungan kekerabatan orang Kei saja.Motivasi ketaatan ini nampak dalam kehidupan orang Kei yang selalu bercita-cita memutlakan Hukum Adatnya demi hidup kekerabatannya.Sekalipun tidak tertulis, tetapi ia hidup dalam relasi antarwarga orang Kei, sebab bahasa daerah, bahasa Kei, masih hidup sebagai alat komunikai dalam masyarakat.

Hubungan Hukum Adat Larvul Ngabal Dengan Amsal Ain Ni Ain
Hubungan antara Hukum Adat dengan amsal ini terlihat dalam pemaknaan pasal-pasal Hukum Adat Larvul Ngabal itu sendiri di dalam kehidupan masyarakat Kei. Telah dikatakan di atas bahwa Hukum Adat Larvul Ngabal ini tidak dikodifikasi, tapi ia tetap menjadi dasar perekat kekerabatan masyarakat Kei. Karena itu dapat dipahami bahwa sekalipun tidak dikodifikasi dan tidak ada teks asli/kuno yang tertulis tentang Hukum Adat Larvul Ngabal.Tetapi masyarakat, terutama para pemuka adat dan tokoh masyarakat, sangat mengetahui isi Hukum Adat Larvul Ngabal itu. Mereka menghafalnya di luar kepala, baik pasal-pasal Hukum Adat maupun sanksi-sanksi berlapis yang terdapat dalam pasal-pasal Sa Sor Fit. Hal ini terlihat ketika ada pelanggaran yang dilakukan oleh warga masyarakat dan mesti diatasi melalui sebuah Sidang Adat untuk menentukan sanksi atas kasus itu.
Hal lain yang sangat menunjang daya ingat yang menghidupkan daya ikat Hukum Adat Larvul Ngabal itu adalah dengan masih hidupnya bahasa daerah, bahasa Kei, yang dipakai secara dinamis oleh masyarakat Kei. Media bahasa ini yang memberi perekat dan motivasi bagi pelaksanaan dan penerapan sanksi atas pelanggaran terhadap Hukum Adat itu. Bahasa ini juga yang tetap memberikan dasar dan ruang gerak bagi pemaknaan falsafah hidup dan makna relasional secara prinsipil dan secara praktis terhadap unsur-unsur dari isi Hukum Adat itu.
            Jika dikaji secara mendalam, maka sesungguhnya hubungan amsal ain ni ain dengan Hukum Adat Larvul Ngabal, adalah sebuah keterkaitan yang utuh menyeluruh. Sebab dengan melakukan isi Hukum Adat itu dengan penuh, tekun dan termotivasi, maka pembentukan sikap saling memiliki sebagai saudara itu terintegasi dalam penampilan hidup seorang warga Kei. Citra pembentukan sikap dan penampakan praktisnya sudah tersimpul dalam amsal ain ni ain; vuut ain mehe ngifun, manut ain mehe tilor, yang artinya satu punya satu, kita semua orang bersaudara yang berasal dari satu sumber. Fakta pembentukan sikap dan relasi hidup itu tertata dalam sikap hidup orang Kei yang taat dan memutlakan Hukum Adat.Apa yang diatur oleh leluhur menurut isi Hukum Adat Larvul Ngabal, maka akan diikuti oleh seluruh warga masyarakat Kei dengan sebaik-baiknya. Contohnya dalam apa yang dinamakan maren, yang adalah sebuah aliansi kerja gotong-royong cara hidup orang Kei. Pola ini sama dengan masohi di Maluku Tengah. Dalam maren, semua warga masyarakat se desa datang membawa yelim, atau bahan bantuannya, baik yang punya hubungan erat dengan yang punya hajat maupun kaum kerabat se desa saja, baik yang Kristen maupun yang Muslim. Seorang tokoh masyarakat Kei mengatakan bahwa persekutuan kebersamaan ini adalah wujud nyata dari hidup sebagai masyarakat yang ada dalam ikatan keluarga ain ni ain.[10] Sebab di dalamnya relasi orang bersaudara, adik-kakak, lintas perbe-daan-perbedaan hidup-terutama perbedaan agama, dipatahkan di dalam memaknai isifasal-fasal dalam HukumAdat Larvul Ngabal.Kegiatan dalam bentuk maren ini juga menyangkut keluarga kandung, keluarga dekat sampai ke saudara, ipar dan keluarga yang tinggal jauh di luar daerah. Jika mereka mengetahuinya, maka mereka akan dengan segera mengirim yelim-nya. Orang sekampung akansegera berdatangan membantu sebuah maksud dalam maren.
Sikap lain yang berkaitan dengan pemaknaan hubungan hidup dalam amsal ain ni ain, adalah sikap taat kepada Tuhan. Sikap ini nampak dalam memutlakkan nasehat orangtua, Bapak dan Ibu, sebagai wakil Tuhan Allah (duad kebav) di dunia.Dalam perspektif ini, anak-anak wajib mendengar nasehat orangtua, sebab anak yang melawannya pasti akan terkena musibahdan malapetaka dalam mengarungi hidupnya. Keharusan kepada orangtua ini nampak dalam mendengar dan menaati aturan perka-winan yang disampaikan, menaati nasehat beribadah, sekolah dan bekerja jika merantau.Orangtua, Bapak dan Ibu, dalam keluarga orang Kei, selalu memberi nasehat berulangkali kepada anak-anaknya; mengingakan mereka tentang ajaran-ajaran moral-etika yang bersumber dalam Hukum Adat Larvul Ngabal. Nasehat dan ajaran dari orangtua itu adalah kemudi hidup mereka ke hari depan (Sitompul 1974). Mendengar nada kewajiban kepada duad kebav ini, maka seseorang akan menuduh orang Kei sebagai keluarga-keluarga yang kejam dan egois; para orangtua tidak demokratis dan cendrung bertindak tirani. Tetapi kelihatannya sisi keras dan wajib ini juga muncul sebagai akibat dari kondisi alam tempat olah hidup orang Kei. Kondisi alam dan tanahnya, yang sangat gersang dengan musim hujan yang sangat pendek. Oleh karena itu petani Kei tidak bisa berpangku tangan, tapi ia harus mengolah tanah dengan gigih.Ia harus berupaya keras mengolah tanah yang sedikit di celah-celah batu karang, ia harus mencangkul dengan hati-hati tanah tipis setebal sekitar 15 senti meter di atas dasar batu karang dan ia harus dengan cermat memperhitungkan datangnya musim hujan demi keberhasilan kebunnya. Perhitungan musim ini berlaku bagi mata pencaharian sebagai petani maupun juga sebagai nelayan.Bagi seorang nelayan, memperhitungkan musim angin dan musim tenang penting untuk menangkap ikan di laut.Pada umumnya musim laut tenang selama setahun adalah pada bulan April dan bulan Oktober. Selama waktu dua bulan ini keadaan laut sangat memungkinkan nelayan menangkap ikan. Dalam bulan lainnya, kondisi alam sulit diprediksi. Biasanya musim pancaroba dengan angin kencang dan gelombang tinggi terjadi pada bulan Februari dan September.
Di propinsi Maluku, orang Kei terkenal dengan makanan pokoknya yang disebut enbal (en = makanan/roti, dan bal=bali, dari Bali). Makanan ini adalah hasil dari parutan singkong beracun, yang diperas untuk membuang airnya berupa senyawa racun, kemudian dianginkan selama sehari baru bisa diolah menjadi makanan yang digongseng atau dibakar, seperti sagu bakar dari Maluku Tengah. Anehnya, jenis singkong dengan kadar racun tertinggi ini mempan hidup dalam kondisi alam Kei yang tandus dan gersang dan ia menjadi makanan pokok orang Kei. Singkong ini konon dibawa dari Bali bersamaan dengan kedatangan pertama orang-orang Bali bernama Kasdew degan saudara-saudaranya, yang di kemudian hari mereka berjasa menghadirkan tata hukum bagi hidup orang Kei.
Selain bekerja keras demi mempertahankan hidup, tetapi hidup orang Kei juga harus teratur dan tekun memperhitungkan musim secara tepat untuk menanam dan menuai. Mereka harus cerdas memperhitungkan siklus alam dengan pergantian musim yang tepat untuk menanami ladang dengan padi, jagung, kacang-kacangan, umbi-umbian dan tanaman lainnya. Bukan cuma itu saja, tapi hidup sosial orang Kei juga harus menurut struktur sosial yang ada. Dalam struktur itu ada kepala kampung, kepala fam, kepala keluarga dan kepala soa; ada raja, tuan tan (tuan tanah), kepala adat dan kepala agama (imam agama asli) dan tata sosial yang lainnya. Bagi orang Kei, hidup teratur mengikuti siklus alam dan menuruti tata interaksi sosial dan adat adalah penting untuk bisa hidup ke depan.
Dengan melihat keharusan dari orangtua dalam mendidik anak-anaknya itu dan kewajiban manjaga tata hidup relasi sosial, maka tidak dapat disangkal bahwa ketaatan kepada duad kebavitu yang melandasi peran orangtua renta, yang dengan syair pantun tua dan nyanian tanah mampu meneduhkan ‘naga-angkara murka’ perang antarsaudara orang Kei, yang Islam dan yang Kristen. Dalam peran yang sama juga orangtua renta itu mengingatkan orang-orang muda tentang hubungan-hubungan hidup adatis, yang tulus, hormat-menghormati, hidup dalam rasa bukan dengan rasio, semuanya itu melandasi upaya misi perdamaian di tanah Kei bisa berhasil. Dari tanggungjawab yang menghendaki agar anak-anaknya hidup rukun dan saling menyayangi dan juga dari sikap saling menjaga relasi sosial-adatis itulah si orangtua renta dihormati dan dipatuhi.Lalu mereka yang pernah saling berperang, saling membakar dan membunuh, dapat hidup kembali dalam damai dan hidup dengan sukacita.Mereka dibawa kembali ke pusat dan inti peradabannya sebagai anak-anak adat dalam suasana hidup baru di tanah Kei yang baru (cf. Watloly 2005:95-193).
            Dari uraian-uraian terdahulu, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan seperti berikut ini :pertama, bahwa makna amsal ain ni ain sebenarnya bersumber dalam penjabaran dan penerapan isi pasal-pasal dalam Hukum Adat Larvul Ngabal. Memang dalam kenyatannya, tidak semua orang Kei memahami dengan baik urutan pasal-pasalnya, terutama kaum muda.Tapi sikap dan orientasi hidup mereka menampilkan citra pemaknaan hukum adat itu. Dengan kata lain, mereka tidak mengenal secara hurufiah Hukum Adatnya. Hukum Adat itu hanya dikenal dengan baik oleh para tokoh-tokoh adat dan orang-orangtua, yang mengetahui dan menguasainya.Sekalipun demikian, tapi perilaku mereka mencerminkan pemahaman, ketaatan dan kepatuhannya.Kedua, perdamaian di tanah Kei bisa tercapai oleh  karenaorang Kei mengolah dan menemukan kembali identitas hidupnya dalam nilai-nilai kearifan lokalnya sendiri. Falsafah hidup yang menjadi rambu lalu-lintas hubungan hidup sosial dan hidup spiritual mereka ada dan hidup dalam interaksi mereka sendiri. Karena itu mereka benar dalam menghidupkan kembali daya ikat adatnya, bukan dengan kemampuan pengetahuan, intelektual dan kuasa saja.Tapi dengan hati, dengan rasa persaudaraan yang sudah ditanamkan oleh para leluhur orang Kei sendiri. Ketiga, peran orangtua-tua menjadi panutan dan meninggikan martabat hidup orang Kei. Dengan sikap dan kemampuan berhikmat-nya, mereka layak diteladani dan dicontohi.

Refleksi
Orang Kei adalah orang yang hidup dalam tatanan adat-istiadat lokal.Identitas khasnya itu mewarnai refleksi hidupnya sebagai anak-anak Tuhan. Dengan cara mempertahankan nilai-nilai luhur dari adatnya, mereka menapaki hidup dengan segala romantikanya. Jika ditelaah lebih dalam, seseorang akan melihat betapa sikap iman sebagai orang-orang yang sudah diselamatkan oleh pengorbanan Juruselamat kita, Yesus Kristus, kurang tegas dan juga kurang menonjol. Mungkin lebih tegas dikatakan bahwa dalam sikap ini adat dan ritualnya menghilangkan sikap iman.Hal ini terlihat ketika mereka mengelola responsnya terhadap bencana ‘perang agama’ dalam Kerusuhan di Kei.Ritual dan seruan memangil roh leluhur (roh nenek moyang) menjadi simpul pertama tanda penyerahan diri dalam menghadapi kecamuk perang itu. Sekalipun begitu mesti disebutkan juga bahwa di banyak kesempatan lain, sebelum merespons kondisi dan situasi ledakan Kerusuhan, Pendeta setempat biasanya mengumpulkan jemaatnya, terutama yang laki-laki, di Gereja untuk berdoa dan menyerahkan diri dalam mengahadapi kelompok penyerang. Lantas kita bertanya : “Mengapa orang-orang beriman itu mesti mengandalkan rirual adatnya ketimbang keyakinannya kepada Tuhannya ?Dan masih ada banyak pertanyaan lainnya.
Dari berbagai jawaban atas pertanyaan itu, makasalah satu di antaranya adalah bahwa mereka bertindak merespons Kerusuhan seperti itu karena mereka bertolak dari pemahaman atas dirinya sendiri. Pemahaman ini berdsarkan kenyataan bahwa identitasnya selaku masyarakat adat adalah penting.Oleh sebab itu seruan dan pemanggilan roh leluhur sebagai bagian dari keluarga besar kosmosnya diundang. Bukti sikap ini terlihat menonjol ketika doa di Gereja-Gereja mengawali tugas jaga atau tugas mempertahankan Gereja atau pemukiman Kristen, biasanya Pendeta meminta mereka meletakan ‘perkakas’ perangnya di atas meja doa, barulah doa dipanjatkan. Terlihat di sana : ada senjata rakitan, pedang, panah, bom, fan terutama berbagai jenis dan ukuran tali kain, batu keramat dan berbagai simbol magis lainnya, yang diyakini sebagai restu leluhur. Beberapa rekan Pendeta sampai bersitegang dengan laskar ini, karena teguran jangan menjadikan Tuhan seperti sebuah kalewang magis, diprotes dengan kasar. Akhirnya, sang Pendeta dengan sedih  berdoa saja tanpa mempedulikanapa dan siapa teman bela diri tiap-tiap laskar itu. Kondisi seperti ini terjadi hampir di setiap Jemaat yang terkena ledakan Kerusuhan, baik di Maluku dan begitu juga di Maluku Utara.Penggabungan simbol-simbol adat dalam alat-alat pertahanan di atas dengan doa oleh Pendeta dilihat sebagai wujud nyata dari penyimpangan pemahaman tentang berdoa dan bekerja, ora et labora.
Di bagian ini, diskusi yang hendak penulis tonjolkan bukanlah mengenai sisi etis-Kristianinya, tetapi mengenai pemahaman diri sendiri. Dalam memahami dirinya itu, seseorang melihat karya Tuhan dalam semua fakta hidup yang terjadi dan disitulah ia memberi responsnya. Memang seseorang pasti bertindak merespons suatu kejadian biasanya bertolak dari pemahaman dirinya sendiri. Pemahaman itu terbentuk dari nilai-nilai adat-budaya yang diturunkan oleh orangtua (dari leluhur, nenek-moyangnya) dan lingkungan masyarakatnya, apalagi seperti orang Kei, pasti dari lingkungan adat-budayanya. Lingkungan dekat ini yang biasanya dipahami sebagai arena pembentukan pemahaman dan sikapnya. Untuk itu, bisa disimpulkan bahwa sikap adat dan sikap iman diwarnai oleh warisan pemahaman yang ada. Istilah-istilah yang sangat mirip sama adalah adaptasi, inkulturasi atau dapat juga kontekstualisasi (Schreiter 1993).
Segi positif dari orang Kei yang memahami dirinya sendiri dan berhasil menciptakan perdamaian ditanah tumpah darahnya sendiri, adalah karena mereka bertolak dari pemahaman tentang dasar-dasar adat, yang mengikat semua orang Kei. Fakta sosiologis ini menggugah para Teolog dalam melihat kesuksesan upaya damai dari kerusuhan di tanah Kei berdasarkan sendi-sendi adat itu, apakah karena campur tangan Tuhan. Pertanyaan ini mengganggu sebab di satu sisi, di mata orang Kei kesusksesan itu bertolak dari pemenuhan relasi adat dengan semua ritus-ritusnya, yaitu : pemulihan tempat Hukum Adat Larvul Ngabal di Siryan-Siryen dan kunjungan spiritual-adat vehe belan dari keluarga Katolik Langgur ke Tuvle, raja Tual-Islam. Sementara di sisi lain sebagai orang beriman, kita akanmengatakan bahwa di dalam kesuksesan pencapaian perdamaian di tanah Kei itu adalah bagian nyata dari karya Tuhan Allah bagi orang Kei pada umumnya, dan khususnya bagi orang Kristen Kei. Bagaimana belajar dari karya keselamatan Allah yang universal (tradisi besar) dan karya keselamatan Allah bagi pribadi dan Jemaat Protestan (tradisi kecil) bagi gereja untuk mengobati luka internal relasi ekumenis Katolik dan Protestan terhadap misi spiritual-adat vehe belan Katolik Langgur ke Tuvle-raja Tual/Islam, yang sepihak saja (Banawiratma 1990).Relasi antara denominasi Gereja, yang sekaligus relasi antara anggota kedua Gereja, Katolik dan Protestan ini, perlu untuk mendukung perdamaian di tanah Kei itu.
Menurut penulis, pendapat yang menantang Teologi Kristen di sini adalah apakah Gereja berani mengakui bahwa sikap adatis orang Kei, yang erat dengan harmoni kosmologinya itu, dapat dipahami sebagai medan berjumpa dengan anugrah Tuhan yang telah menyelamakan mereka dari ganasnya Kerusuhan dan sekaligus dengan itu bahwa pengakuan seperti itu adalah modal iman untuk secara bersama-sama (Katolik-Protestan) membangun Gereja Tuhan menapaki masa depan (Singgih 2004:56-73; 124-157, cf. Garang 1989:109-289 & Singgih 2000: 161-169)
Hal berikut yang melandasi keberhasilan orang Kei membangun perdamaian dari Kerusuhan adalah pada kesediaan mendengar suara hati sesamanya. Almarhum J. P Rahail[11] bersama para tua-tua adat dan ditemani para tokoh pemerintahan dan tokoh politik, setelah kunjungan spiritual-adat Katolik dari Langgur ke Tuvle, raja Tual, berkelana dari satu desake desa berikutnya tanpa kenal lelah,singah dan berteduh di sana untuk mendengar suara isi hati sesamanya. Di desa Isamkah atau di desa Kristen-Protestan dan Katolik-kah, rombongan dengan setia membuka hatinya setelah mendengar tuturan si tokoh orangtua renta dengan pantun tua dan nyanyian tanah-nya lalu mereka mengutarakan murka dan sedihnya, penyesalan dan harapannya. Duka dan suka bertemu menjadi satu dalam uraian hati yang sedih bercampur marah, tapi gembira sebab saudaranya ada datang membawa suara mohon ampun dan maaf. Ken sa fa’ak, adalah media filosofis lokal yang dihadirkan kepada semua hati yang hancur dan rusuh di desa-desa yang dikunjungi itu (lihat Laksono & Topatimasang 2004:113-135). Arti hurufah ken sa fa’ak adalah empat kesalahan yang kedua-duanya dimaafkan. Falsafahnya mengartikan bahwa dua pihak yang berperang dan bertikai itu sama-sama salahnya dan sama-sama benarnya; tidak ada kebenaran sepihak di satu pihak,yang lebih mulia dari kesalahan sepihak di pihak lain; kedua belah pihak sudah salah dan begitu juga kedua belah pihak wajib menerima dan membagi nilai-nilai kebanaran supaya dapat membangun hidup bersama lagi ke hari esok. Ini ajaran adat yang ditinggalkan dari para leluhur untuk anak-cucunya supaya manakala mereka bertikai, berperang dan saling membinasakan, maka di simpul ini mereka mesti bisa saling mengampuni dan memaafkan sesamanya. Hanya dengan cara ini, maka tidak ada seorang pun yang menang, entahkah dia itu orangMuslim ataukah dia itu orang Kristen.
Keluhuran isi falsafah ken sa fa’ak bisa saja membuat para Teolog manggut-manggut atau berupaya mencari jalan lain untuk upaya kontekstualisasi. Atau mungkin juga mereka menemukan jalan untuk menghadirkan sebuah teologi kontektual pluralistik-Islam Kristen-untuk membina relasi antar agama dalam ikatan akar budaya lokal (Azra 1999).Dari perspektif Islam, falsafah ken sa fa’ak juga melebihi kewajiban penerapan Hukum Sharia yang juga mencakup relasi keluarga, perkawinan, perceraian dan juga dalam hal wakf. Dalam pandangan ini hal mengampuni dan menerima saudara itu penting sebab mereka itu adalah sesama Muslim.Tetapi yang terjadi di orang Kei adalah perdamaian lintas agama, Islam-Kristen(cf Schacht 1964: 77-85). Pasti ada juga pendapat yang menekankan pada kesamaan asal-usul manusia dalam perjalanan sjarah keselamatannya, baik Yahudi, Kristen dan juga Islam, yang dari situ maka hidup bersama dan saling menerima bisa terwujud (Kuschel 1993). Di sini peraudaraan sejati akan terbentuk sebab kedua belah pihak memahami dan memberi tempat bagi kebersamaan sebagai orang Kei (Banawiratma 2000:71-88)
Tapi menurut penulis, di dalam falsafah ken sa fa’ak ada nilai kontekstual adat yang perlu di kaji secara arif. Nilai itu adalah kesediaan menerima dan kesediaan mengampuni.Iaadalah simpul dari ajaran kasih yang diwariskan oleh Tuhan Yesus, jauh melebihi pengampunan dan penerimaan duniayang penuh perhitungan pamrih. Sekalipun begitu, persesuaian langkah dan upaya berteologi kontekstual dalam hubungan ini perlu mencermati dua hal. Pertama: menghindarkan diri dari melegalkan, dengan begitu mudah saja, nilai-nilai adat yang cendrung mirip-sama atau mengandung arti dan makna sejajar. Sebab bagaimana pun mirip-sama-nya, tetapi teologi tetaplah teologi dan falsafah adat tetaplah falsafah hidup adat.Keduanya punya titik start dan tempat perhentiannya berbeda, bagaikan ‘jauh langit dari bumi.’ Kedua, dalam pengalaman melayani di Jemaat, pemaknaan simbol-simol dan pandangan-pandangan hidup masyarakat, yang kebanyakan berpusat pada adat lokal, maka seorang Teolog harus mampu mengkomunkasikan apa itu teologi sebagai prinsip iman dan praktis iman dalam tugas pemberitaan keselamatan kepada manusia di dunia. Sebab orang Kristen mudah dan setuju mengartikan prinsip iman itu hanya dalam batas ruang dan waktu yang bercirikan rohani, seperti : di tempat dan jam ibadah. Di luar itu, dunia praktis iman, bukanlah bagian integral dari misi panggilan imannya (Matius 28:18-20; Kisah Para Rasul 2:39)
Perhatian lain yang tak kalah pentingnya dalam mencapai perdamaian dari Kerusuhan di Kei adalah dalam peran orang tua sebagai panutan. Telah dikemukakan di depan, mengapa kakek tua-renta itu yang ditampilkan untuk mendemonstrasikan kemampuannya supaya didengar dan dipatuhi. Bukankah ada sekian banyak kaum intelktual yang cerdas, berkedudukan dan berkuasa, yang lebih layak di dengar karena mereka kaya akan strategi dan wawasan untuk berdialog menuju perdamaian? Di sini dunia modern dilumpuhkan dengan pujaan intelektualitas dan sistematika berpikirnya. Di dunia tradisi, mereka si tua-renta ini ada dan dipuja karena memiliki warisan keluhuran budi, pekerti dan perilaku. Nilai-nilai keteladanan dalam taat adat dan taat hukum, berupaya menjaga harmoni dengan alam, yang biasanya dipandang remeh dan ditertawakan oleh dunia maju.Namun sekali lagi, kepintaran roboh dilindas hikmat dan rendah hati. Siapa sangka kakek tua-renta seperti itu mampu meluluh lantahkan kerasnya tembok amarah dan dendam, ia mampu mengubahnya menjadi pendamai dan pemersatu! Kekuatannya ada pada hikmat dan keteladanannya. Di titik ini batas kekuatan dan kearifan adat berhenti.Sebab jauh ke atas danke atas lagi di ketinggian kemuliaan, yang disembah adalah Tuhan yang menciptakan dan memberikan kemampuan untuk membedakan mana nilai-nilai yang baik dan mana nilai-nilai yang buruk (lihat Von Rad 1972: 186-189). Karena itu dapat dimengerti, betapa susahnya keteladanan orangtua diakui dan disadari sebagai nilai yang mutlak berasal dari hikmat Tuhan (Amsal 1:7). Hanya orang yang mau merendahkan dan membuka hatinya, yang mampu memahami keteladanan dengan semua kandungan nilai luhur hidup warisan orangtua sebagai jalan menuju keselamatan dalam mutu hidup yang damai, sejahtera dan bermartabat.

Penutup
a.      Kesimpulan
Perdamaian dari Kerusuhan agama di Kei sudah berakhir dengan berhasil membawa orang Kei kembali hidup seperti sediakala. Mereka bisa membangun hidup bersama di atas dasar ikatan hidup kekerabatan seprti yang ada dalam fasal-fasal Hukum Adat Larvul Ngabal. Penjabaran makna hukum adat itu muncul dalam relasi hidup sesehari dengan bentuk amsal-falsafah hidup. Bahasa Kei menjadi alat komunikasi efektif bagi hidupnya kembali falsafah hidup orang Kei :ain ni ain; vuut ain mehe ngifun, manut ain mehe tilur.
Kesediaan memahami, rasa hati dan keluhuran budi menjadi buah-buah sulung untuk membagi dan menanam benih-benih perdamaian di tanah Kei.Semua pihak, baik yang tua-muda, besar-kecil, kuat-lemah, kaya miskin, kota-desa, maju-udik, bersimpuh takluk kepada makna ikatan keluarga dalam kosmologinya. Harmoni adat dengan ritus-ritus sucinya masih kuat berisi dan mengikat semua yang orang Kei, Islam dan Kristen.
Teologi kontekstual yang pluralis dan ransformatif, kiranya dapat membuka pandangan dan perilaku iman orang Kristen untuk berjumpa dalam kebersamaan di tengah perbedaan dengan agama lain : Katolik dan Islam. Begitujuga dengat kuatnya pengaruh adat.

b.      Saran
Sebagai masyarakat adat, orang Kei mesti bisa tetap dengan jati dirinya sebagai orang yang patuh, taat dan menghormati nilai-nilai luhur adat. Kesungguhan dan keseriusan mewaris-kan nilai-nilai adat itu mesti diturunkan kepada anak-anak, terutama anak-anak muda. Untuk itu pengajaran dan pendidikan bahasa daerah, bahasa Kei, mesti menjadi perhatian pemerintah, pendidik dan terutama sekali orangtua.



Kepustakaan: 
Azra, Azyumardi
                1999       Konteks Berteologi di Indonesia ; Pengalaman Islam, Jakarta, Paramadina
Banawiratma, J. B
                1990       Spiritualitas Transformatif, Suatu pergumulan Ekumenis, Yogyakarta, Kanisius
Banawiratma, J. B (Ed)
                2000       Gereja Indonesia, Qua Vadis ? Hidup Menggereja Kontekstual, Kanisius, Yogyakarta
Darmaputera, Eka (Ed)
                1998       Konteks Berteologi Di Indonesi, BPK, Jakarta
Garang, Phil. J (Ed)
1989       Memasuki Masa Depan Bersama, Tugas &TanggungJawab Bersama Agama-Agama di Indonesia, Jakarta, BPP-PGI
Jensen, Adolf
                1963       Myth and Cult Among Primitive Peoples, Univ. Chicago Press, Chicago
Kuschel, Karl-Josef
1993       Abraham, A Symbol of Hope for Jews, Christians and Moslems, London, SCM Press
Laksono, P. M& Roem Topatimsang
                2004       Ken Sa Faak Benih-Benih Perdamaian Dari Kepulauan Kei, INSIST Press, Yogyakarta
Ngelow, Zakaria. J
                1993       Kekristenan dan Nasionalisme : Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan
Nasional Indonesia 1900-1950, BPK, Jakarta
Ohoitimur, J
                1983       Beberapa Sikap hidup Orang Kei Antara ketahanan Diri Dan Proses Perubahan (Tesis)
                                Sekolah Tinggi Seminari, Pineleng-Menado
Pattikayhattu, J
1983       Peribahasa Orang Kei, Ambon, Universitas Pattimura
Renyaan, Ph
1974       1200 Misil-Masal, Liat-Dalil, Sukat-Sarang Evav, Yayasan Wliborordus, Tual
Romero, Mgr. Oscar
                2000       Spiral Kekerasan, Yogyakarta, INSIST Press (model tulis Pustaka-Baru)
Schacht, Joseph
                1964       An Introduction to Islamic Law, Oxford, The Clarendon Press.
Schreiter, Robert. J
                1993       Rancang Bangun Teologi Lokal, BPK, Jakarta
Sedubun, Nicodemus
2001       Kalimat-unSawa Dalam Qur’an, Sebuah Sumbangan Pemahaman Aqidah IslamTerhadap Sumpah Perdamaian Hawear (Tesis), Yogyakarta, PPS-T UKDW
Singgih, E. Gerrit
                2000       Berteologi Dalam Konteks, Kanisius, Yogyakarta
                2004       Mengantisipasi Masa Depan, Berteologi Dalam Konteks Di Awal Milenium 3, BPK, Jakarta
Sitompul, A. A
1974       Pengendalian Diri Menurut Amzal Sulaiman Dan Raja-Raja Mesir Purbakala, BPK, Jakarta
Subagya, Rahmat
                1979       Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia, Nusa Indah, Jakarta
Van Wouden, F. A. E
                1985       Klen, Mitos dan Kekuasaan, Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur, Grafiti Press,Jakarta
Von Rad, Gerhard
                1972       Wisdom In Israel, SCM Press, London
Watloly, Aholiab
2005       Maluku Baru, Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri, Yogyakarta, Kanisius




[1] Tulisan ini dibuat sebagai syarat Paper Kerja untuk penyiapan kelanjutan Studi S-3 pada Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta Oktober 2008.
[2] Sebutan suku Kei tidak seluruhnya mengandung pengertian yang eksklusif mengenai sikap kesukuan atau fanatisme kesukuan.Ia lebih menekankan pada kekhasan relasi internal orang Kei yang cendrung memutlakan adat demi hubungan kekerabatan dalam masyarakat. Dalam memutlakan adat ini, maka perbedaan agama tidak boleh menjadi hambatan bagi ketaatan kepada adat. Sikap ini terlihat ketika orang Kei bertemu di suatu tempat, terutama di rantau, mereka tidak menanyakan apa marga atau fam, asal kampung atau woma dan juga agama kedua belah pihak. Tapi mereka akan menanyakan siapa kakek, nenek sampai ke leluhur (nenek moyang) kedua belah pihak, baik dari keluarga ayah maupun juga dari keluarga ibu. Dari situ baru diketahui asal-usul mereka apakah kedua belah pihak hanya orang seasal dari Kei saja ataukah ada hubungan keluarga yang lebih dekat lagi.
[3] Manurut Yohanes Ohoitimur (penulis Tesis Beberapa SikapHidup OrangKei;Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan, Manado, STSPineleng 1983), bahasa Kei tidak mengenal konsonan W, tetapi V. Jadi amsal orang Kei mestinya tertulis : Ain ni ain; Vuut ain mehe ngifun, manut ain tilur. Dibaca, Ain ni ain; Wuut ain mehe ngifun manut ain mehe tilur. Kata yang tebal Vuut menjadi Wuut; ngifun ada yang membacanya dengan nifun dan tilur ada yang membacanya tilor.Harus dibaca tilur sebab berasal dari mantilur.
[4] Nuhu Evav adalah nama umum dalam bahasa Kei untuk Kepulauan Kei, yang menggabungkan Kei Kecil dan Kei Besar secara keseluruhan. Nama terpisah untuk pulau Kei Kecil adalah Nuhu Roa, sedangkan untuk pulau Kei Besar adalah Nuhu Juut.
[5] Desa Langgur adalah pusat umat Katolik di Maluku Tenggara, ada pendidikan tingakt TK, SD, SLTP, SMU/SMK dan Pendidikan Seminary/Pastor.Di sini berkedudukan Wakil Uskup untuk wilayah pelayanan Maluku Tengara, Aru dan Maluku Tenggara Barat.
[6] Katanya untuk mengantisipasi Kerusuhan, maka tentara dikirim dalam jumlah banyak ke lokasi potensial terjadi Kerusuhan.Pada kenyatannya, semakin banyak tentara, semakin sulit dan kompleks masaalah Kerusuhan.Terbukti dengan jelas bahwa dengan memakai baju putih panjang menutupi seragam hijaunya, mereka membantu penyerangan ke wilayah Kristen.
[7] Kelihatannya, ada upaya sistematis untuk mengadu-domba masyarakat Kei dalam hubungan adatnya. Menurut beberapa orangtua terpercaya, situs itu sangat disucikan, karena di situ orang Kei, baik di Kei Kecil maupun dari Kei Besar, tahu bahwa sejarah Hukum Adat LarvulNgabal bermula di situ.-
[8] Husni Rahayaan, tokoh Muslim.
[9] Amir Rahayaan, tokoh Muslim dan orangtua bagi orang Kei di Ambon mengatakan bahwa nasehat dalam isi pantun dan nyanyian tanah itu adalah amsal Ain Ni Ain, “Semua kita orang Kei itu bersaudara…”. Jadi, siapa yang menyangkalinya, maka itu sama saja dengan ia menyangkali orangtuanya sendiri.
[10] O. Labetubun, seorang Guru SMA dan mantan Kepala Dinas Pendidikan di Kabupaten Maluku Tenggara dan di Kota Ambon, mengatakan bahwa maren adalah wujud nyata dari pemaknaan amsal ain ni ain. Wawancara tanggal 7 Januari 2008 di rumahnya di Ambon.
[11] J. P Rahail (Almarhum) adalah seorang Raja dan Kepala Adat yang berpusat di desa Wata’ar di Kei Besar. Beliau mengepalai wilayah adat Maur Ohoivut (Ratschaap Watla’ar) meliputi 46 kampung/dusun yang tergabung dalam sebelas desa.Desa-desa Islam yang ada di dalam wilayan adatnya dilindungi selama Kerusuhan pecah di Kei.Beliau selalu dengan setia menguts pembawa berita dan perlindungan keamanan bagi warganya yang Muslim.Desa-desa Muslim di wilayah adatnya saja yang selamat dan tidak terkena imbas kehancuran selama Kerusuhan.

----nseb----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar