Minggu, 13 April 2014

Kisah Dari Holath sebagian Gambaran Kasta di Kei



Oleh: DR. Nick Sedubun, M. Th

Seorang mantri[1] Pustu (Puskesmas Pembantu) di Holath, Kecamatan Kei Besar Utara-Timur, bercerita kepada saya. Kesan awal yang langsung bisa ia lihat ketika pertama kali tiba di sana adalah pada bentuk, ukuran dan keindahan rumah. Rumah harus berbeda dalam bentuk dan ukuran; rumah yang terbaik, besar dan bagus haruslah milik orang-orang mel-mel, berikut milik ren-ren dan yang ‘terbawah’ adalah milik iriri. Ia pernah melihat sendiri bagaimana seorang mel-mel datang memarahi seorang iriri, yang mau membuat rumahnya sebagus dan sebesar rumah milik orang mel-mel seperti pada umumnya. Dengan berat hati orang iriri itu mengubah bentuk dan ukuran rumahnya setara dengan sesama iriri lainnya, sekalipun dari segi biaya ia sangat mampu untuk membuat rumah terbaik, terbagus dan terbesar. Dijelaskan bahwa warga desa Holath mempertahankan dengan keras pembagian strata mel-mel, ren-ren dan iriri.   
Sebagai mantri, sejak tiba dan mulai bertugas sampai sekarang, ia melihat perlakuan yang membeda-bedakan pelayanan kesehatan dari petugas kesehatan, mantri dan bidan mel-mel, kepada warga masyarakat orang iriri. Perlakuan itu terjadi baik di Pustu dan juga pelayanan di rumah sampai panggilan pelayanan di tengah malam. Kalau si pasien itu orang mel-mel, petugas kesehatan pasti akan datang melayani. Akan tetapi kalau si pasien orang iriri, dipastikan petugas kesehatan tidak akan datang. Kepada informan mereka menumpahkan keluhan dan persungutan diam-diam yang mereka tanam dalam hatinya. Ia mengatakan bahwa jarak rumah orang iriri dengan rumahnya lebih jauh, jika dibandingkan dengan rekan-rekan petugas kesehatan mel-mel-nya. Tetapi entah siang ataupun tengah malam, mereka rela datang menyampaikan kebutuhan pelayanan kesehatan kepada informan. Seorang iriri Holath yang baru tiba dari Holath mengatakan kepada saya : “Sebab dengan mantri (informan) boleh katong (kami) rasa senang, katong (kami) bisa datang minta pelayanan, biar siang ka (atau) tenga (tengah) malam, sama saja. Kalo (kalau) mantri Tjemu (Semuel, nama mantri-informan) ini boleh, katong (kami) datang semua dilayani. Dia suka cerita-cerita (bercerita, berkomunikasi). Tapi (tetapi) kalo yang lain (petugas medis mel-mel) dorang (mereka) marah-marah, mengeluh deng (dengan, bahkan berlaku) kasar.”[2]
Informan mantri Pustu itu bercerita, pada satu malam di bulan November 2010, ia dipanggil oleh seorang anggota keluarga pasien iriri. Setelah selesai melayani pasien, waktu sudah hampir pagi ditandai dengan kokok ayam. Lalu keluarga pasien itu mengucapkan terima kasih kepadanya dengan menangis. Sebab menurut mereka, “......kalo (jika) mantri (informan) seng (tidak) datang, saya pung (punya)sudara (saudara) ini pasti su (sudah) mati.” Setelah panggilan pertama di atas dan diikuti dengan berbagai panggilan berikutnya, ia baru sadar sepenuhnya bahwa rupanya perilaku petugas kesehatan mel-mel yang pilih kasih itu menjadi penyebab pasien iriri itu berterima kasih dengan cucuran air mata.
Informan menceritakan, ketika pertama kali datang, karena belum ada rumah dinas untuk ditempati, ia harus tinggal dengan teman sesama mantrinya orang mel-mel bermarga Beruatwarin. Sewaktu makan siang bersama temannya, ibu temannya bertanya ke anaknya tentang status informan. Temannya menjawab : “Tjemu (informan) itu bukan orang Kei, tetapi orang Tanimbar.” Maksudnya, di Tanimbar sana tidak ada strata mel-mel, ren-ren atau iriri. Beberapa hari kemudian informan pindah tinggal di rumah Kaur Pemerintahan desa Holath. Suatu ketika ia dilarang minum dengan memakai gelas plastik yang ada di rak piring, tetapi mesti memakai gelas kaca. Waktu informan bertanya mengapa tidak boleh, ibu rumah mengatakan bahwa gelas plastik itu untuk tempat minum orang rumah, iriri-nya.
Seorang informanmel-mel [3] pegawai Kecamatan di Holath, Kecamatan Kei Besar Utara-Timur mengatakan bahwa perlakuan membeda-bedakan pegawai mel-mel terhadap masyarakat iriri sangat kentara di kantornya. Selama bertugas di sana 2003 - 2008, ia menangani urusan surat-surat pengantar keterangan untuk kartu penduduk, akte kelahiran dan beberapa surat pengantar lainnya, bagi masyarakat yang membutuhkan. Ternyata banyak masyarakat yang datang mengakui bahwa pada waktu informan bertugas baru mereka sempat bisa mengurus kepentingannya. Sebab dengan petugas lama, yang orang mel-mel dan sudah pindah, mereka sangat sulit mengurus, bahkan dipersulit. Informan mengatakan kepada mereka bahwa itu adalah tugas pokoknya sebagai pegawai negeri sipil, yang harus mengabdi bagi masyarakat. Orang iriri yang datang itu mengatakan : “Tapi (tetapi) pak dia itu orang mel-mel, mar (sedangkan) katong (saya, kami) ini orang iriri.” Maksudnya, karena si pegawai itu orang mel-mel dan ia orang iriri, sehingga ia tidak bisa dilayani, bahkan dipersulit.   
Informan mengatakan bahwa di Holat ada yang disebut kepala marga yaitu seorang mel-mel yang mengepalai sejumlah orang rumah iriri, sama seperti yang ada di desa-desa Mu’un Warfan dan Ad, di Kei Besar utara dan di desa-desa Weduar, Ohoirenan, Ohoiel dan Ohoiwait, di Kei Besar selatan. Mereka adalah orang kerja yang siap berbakti bagi kepentingan tuan mel-mel-nya. Lebih jauh ia menjelaskan, jabatan kepala marga sangat menentukan bagi orang rumah iriri. Ia yang membuat semacam surat keterangan tentang orang iriri, baru Orangkai atau Kepala Desa mempercayainya. Sebab, ia adalah orang kepercayaan Orangkai. Karena ia tahu dan lebih mengenal bawahannya, orang iriri. Dengan demikian, orang iriri yang tidak disukai oleh kepala marga, maka urusan terkait kepentingannya tidak akan dipenuhi. Misalnya dalam hal mengurus raskin (beras untuk orang miskin). Namanya tidak akan dibaca sewaktu pembagian raskin, sekalipun namanya terdaftar, ia ada hadir di pertemuan pembagian raskin dan ia sudah membayarnya. Ia juga tidak bisa mengurus surat-surat penting bagi kelanjutan studi anak-anaknya, seperti : Surat Akte Kelahiran, KTP dan Kartu Keluarga. Kewenangan seperti itu, membuat kepala marga lebih makmur hidupnya dari orang rumah iriri, yang dikuasainya. Perlakuan kepala marga orang mel-mel terhadap orang ren-ren, tidak seperti kepada orang iriri. Orang ren-ren kurang mendapat tekanan, sebab mereka masih dipandang sebagi tuan tan (tuan tanah di Kei) atau mel-nangan. Mereka menjadi kepanjangan tangan mel-mel dengan ‘sering melapor’ keadaan orang iriri ke kepala marga, mel-mel-nya.
Informan lain seorang Guru,[4] yang lama bertugas di Kei Besar menceritakan kepada saya bahwa perilaku yang sama seperti di uraikan di pelayanan kesehatan dan pelayanan kantor Camat, terjadi juga di dunia pendidikan. Guru-guru mel-mel biasanya berlaku ‘sewenang-wenang’ memperlakukan siswa-siswi iriri. Berbeda dengan siswa-siswi mel-mel. Demikian juga dengan guru ren-ren atau iriri, ia tidak boleh salah memperlakukan siswa-siswi orang mel-mel. Jika terjadi, keluarga dan orang tua mel-mel akan mengumpat dan mencaci-maki, menghina sampai memukul guru ren-ren atau iriri itu.

-------nseb-------


Catatan:
[1] Wawancara dengan Semuel Batlayar, tanggal 29 Agustus 2011. Ia orang Adaut di pulau Selaru, Tanimbar Selatan, Maluku Tenggara Barat dan mulai bertugas di Holat 16 Agustus 2010 sampai sekarang.
[2] Wawancara dengan J. B, tanggal 11 Agustus 2011. Informan meminta namanya diberi inisial saja.-
[3] Wawancara dengan Pitje S, tanggal 7 September 2011. Informan orang Ohoira, Kei Kecil, meminta nama marganya disamarkan.
[4] Wawancara dengan Rein Masbait, tanggal 18 Agustus 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar