Senin, 14 April 2014

STRATA SOSIAL



Oleh Pdt. DR. Nick Sedubun, M. Th

Dalam tulisan ini saya mengemukakan hasil pengamatan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di lapangan dalam masyarakat di Maluku Tenggara atau orang Kei.[1] Fokus pengamatan saya menyangkut kasta atau strata sosial atau pelapisan sosial (Laksono 2005:88-92). Lebih jauh saya menyebutnya pelapisan sosial. Data-data dalam tulisan ini bersumber dari hasil penelitian saya selama tahun 2009-2011 di Maluku Tenggara. Untuk pengamatan pelapisan sosial di Maluku Tenggara, lokusnya lebih banyak di Kei Besar, sebab di Kei Besar pelapisan sosial masih sangat kuat. Di Kei Kecil pelapisan sosial sudah ditempatkan pada posisinya yang sepatutnya. Maksudnya, pelapisan sosial mel-mel, ren-ren dan iriri, akan terlihat ketika ada peristiwa-peristiwa ritual adat, seperti rapat desa, pelantikan Rat (Raja), Orangkai (Kepala Desa) dan acara adat lainnya.[2] Dalam interaksi sosial masyarakat sehari-hari, hampir tidak terlihat pembedaan di antara mereka.
Saya melihat, ternyata pengaruh pelapisan sosial masih sangat kuat dipraktekkan dalam interaksi masyarakat Maluku Tenggara atau orang Kei. Hal itu sangat kuat terlihat di perkawinan; tidak boleh terjadi perkawinan lintas strata mel-mel dengan ren-ren atau mel-mel dengan iriri dan sebaliknya. Untuk keperluan itu, saya berupaya membagi pengamatan penelitian berada di tiga wilayah, yaitu : di wilayah Kei Besar Utara pada desa-desa : Mu’un Warfan dan Ad; di wilayah sekitar kota Elat pada desa-desa : Waurtahait, Yamtel, Ohoinangan, Ngurdu dan Fako; dan di wilayah Kei Besar Selatan pada desa-desa : Weduar, Ohoirenan, Ohoiwait dan Ohoiel.

A.      Kei Besar Utara.
Di wilayah ini, pengamatan berlangsung di desa-desa : Mu’un Warfan dan Ad. Ke dua desa ini berada di tepi pantai dengan mata pencaharian umum masyarakatnya adalah berkebun dan membuat kopra. Di bentangan dari pantai, jalan desa sampai ke batas hutan di kejauhan, masih terlihat pohon kelapa. Hasilnya setelah dikeringkan berupa kopra adalah salah satu komoditi ekonomi masyarakat. Selain mengolah kopra, pekerjaan berkebun menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan makan sesehari dengan menanam enbal [3] sebagai makanan pokoknya.
Saya menemukan adanya semacam jabatan ‘tuan’ orang mel-mel, yang menguasai sejumlah orang ren-ren dan iriri, yang disebut orang rumah.[4] Di Ad, ia disebut sebagai ‘kepala marga.’ Orang ren-ren dan terutama orang iriri, yang dikuasainya, biasanya dipakai untuk mengerjakan kebun atau mengolah kopra bagi kebutuhan ekonomi pribadinya. Karena kewenangan yang sewenang-wenang ini, kondisi hidupnya lebih baik dari orang ren-ren dan iriri, yang dikuasainya. Mereka juga merupakan tenaga kerja siap pakai bagi pekerjaan berskala besar di desa.
Para orang rumah, itu lebih tepat disebut sebagai budak, sebab banyak kali hak mereka dibatasi. Mereka hanya siap melakukan apa saja kehendak orang mel-mel yang menjadi tuannya. Ada kesan kuat bahwa strata iriri yang lebih banyak menjadi orang rumah atau budak bagi keluarga mel-mel, ketimbang strata ren-ren. Ren-ren yang menjadi orang rumah adalah orang kerja atau budak ren-ren yang bukan berasal dari gunung, atau bukan tuan tanah Kei. Orang Kei menyebut orang ren-ren yang adalah para tuan tanah (tuan tan) ini sebagai orang mel-nangan. Para tuan tan orang ren-ren adalah orang-orang yang sangat menguasai batas-batas tanah di Kei. Pengetahuannya memungkinkan mereka mampu mendudukan silsilah dan sejarah suatu wilayah, petuanan atau hak desa-desa adat. Selain mel-nangan ada mel-mel lain yang berasal dari luar Kei, yang disebut mel-roa. Indikasi lain yang mengikat strata iriri yang setia kepada mel-mel, yang tak bisa melarikan diri keluar desa atau tanah Kei sebagai upaya keluar dari sangkar penindasan, adalah ketakutan mereka terhadap sumpah setia mengabdi kepada mel-mel.
Seorang informan[5]  mengatakan bahwa strata mel-mel itu punya ren-ren dan iriri, bahwa mereka saling bergantung. Indikasi positif itu menyata kalau orang ren-ren dan iriri mengalami musibah korban angin tofan atau bencana alam lainnya. Dalam kesusahan seperti itu, tuan mel-mel -nya datang membawa bala bantuan yang tidak tanggung-tanggung. Tanggungjawab seperti ini baru saja dibuat oleh orang mel-mel kepada orang ren-ren dan iriri di desa Mu’un dan desa Ad, ketika seminggu yang lalu ada bencana alam ombak besar dan angin kencang yang menyerang dan merusak rumah-rumah dan tanaman-tanaman umur panjang mereka. Jadi, sebenarnya di antara mereka ada semacam hubungan simbiosis-mutualistis, atau hubungan yang saling menguntungkan.
Ia juga mecontohkan keterikatan pemahaman itu dalam pemberian yelim, yang biasanya diberikan di kejadian yang butuh partisipasi sesama, seperti : orang mati, orang kawin, membangun rumah baru dan di acara adat lainnya. Semua orang dalam desa wajib memberikan yelim, menurut kemampuannya. Ia mengatakan : “Di pemberian itu sebenarnya semua kasta  (mel-mel, ren-ren dan iriri) melepaskan batasann status kasta-nya dan datang bersama-sama memberikan dukungannya kepada keperluan yang dihadapi.” Menurut saya, pernyataan informan ini adalah bentuk dari solidaritas yang sesungguhnya. Di dalamnya batas-batas tinggi-rendah, tuan-hamba, berada-miskin, mulia-hina, berjumpa dan melihat hidup secara utuh dan berarti.
Menurut seorang informan lain,[6] dengan adanya sistem pelapisan sosial mel-mel, ren-ren dan iriri, lebih memudahkan dalam mengatur pekerjaan di desa. Sebab tiap mel-mel biasanya menjadi kepala marga atas kelompok ren-ren dan iriri, sehingga ketika ada pekerjaan, ia cukup memerintahkan mereka dan pekerjaan itu mudah terlaksana. Jeleknya jika kepala desa atau si yang punya pekerjaan tidak disukai karena bertindak tidak jujur dan tidak adil. Dalam suasana seperti itu, mereka bisa mogok kerja dan hancurlah semua rencana kerja yang sudah digagas. Pernah ada sikap pembangkangan dari orang ren-ren dan orang iriri, yang menghindarkan diri dari berbagai bentuk penindasan oleh pribadi mel-mel tertentu. Mereka tinggal saja di kebunnya di hutan dari hari senin sampai sabtu. Alasan mereka tinggal di hutan adalah untuk bekerja kebun selama berhari-hari. Padahal mereka kesana untuk menenangkan hati yang gundah dan kecewa atas sikap tuan mel-mel -nya. Pada hari minggu baru mereka kembali ke desa untuk ibadah minggu.
Di di desa Mu’un Warfan dan desa Ad, keuletan berkebun dengan menanam enbal untuk makanan pokok masyarakat, sudah mulai berubah. Hanya sebagian warga masyarakat yang masih setia berkebun. Sebagian lainnya sudah sangat bergantung kepada penyaluran beras ‘raskin, atau beras untuk orang miskin. Tidak bisa disangkal bahwa di desa-desa ini masyarakat sudah terjajah oleh pembagian beras ‘raskin.’ Ketika Saya berada di sana,  masyarakat mulai menyadari bahwa ‘raskin’ sudah seperti ‘hantu’ berbaju malaikat. Sebab beras ‘raskin’ biasanya mengalir lancar pada awal waktu menjelang pemilu legislatif dan pemilukada. Kelanjutan penyalurannya mulai molor, bahkan di tahun 2008-2009 pernah ‘terputus’ sampai lebih dari enam bulan. Akibatnya, masyarakat menderita, terutama bagi mereka yang sudah putus berkebun karena mengandalkan kemudahan raskin, yang mudah didapat dan mudah diolah menjadi makanan siap santap.
Terasa sekali raskin menghancurkan mental juang orang Kei yang biasanya ulet berkebun. Keuletan mereka tampak dalam berkebun dengan menanam enbal sampai mengolahnya menjadi produk akhir siap untuk disantap. Terlihat sekarang, mereka begitu mudah berubah menjadi penadah tangan menanti pengasihan negara dengan beras harga murah, tetapi memenderitakan rakyat. Bagaimana rakyat gampang terbius dengan mudahnya mengolah beras menjadi nasi, ketimbang banting tulang mandi keringat untuk tanam enbal kemudian mengolahnya menjadi makanan. Sementara dalam tenggang waktu beberapa bulan ‘raskin’ tidak muncul, lalu rakyat ‘mati lapar.’ Beras ‘raskin’ seakan bola politis ujian mental dari pemimpinnya sendiri bagi masyarakat desa yang lugu, polos dan mudah dibodohi.
Di kedua desa ini orang-orang mel-mel saja, yang lebih banyak punya kans untuk memajukan hidup. Kenyataannya bisa terlihat dengan pekerjaan mereka sebagai pemborong, anggota legislatif dan PNS di lokal Maluku Tenggara dan di Ambon. Bagi anak-anak mereka, setamat SMA, mereka bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Ambon. Keluarga mel-mel yang menonjol kedudukannya dari desa Ad misanya marga atau fam Watubun dan Siloinyanan. Tidak ada dari kedua fam ini yang berstrata ren-ren dan iriri. Keluarga mel-mel menonjol dari desa Mu’un Warfan adalah fam Renmaur. Fam ini ada juga yang berstrata ren-ren dan iriri.
Di luar Maluku, terutama di Papua, kondisi seperti yang digambarkan di atas berbeda sekali. Saya pernah tinggal cukup lama di sana[7] dan tahu bahwa terbanyak orang Kei yang ada di Papua, dulu Irian Barat, adalah orang ren-ren dan iriri. Mereka memperoleh kesempatan yang sama dan setara dengan sesamanya orang mel-mel, sehingga kedudukan sosial dan ekonominya sama saja. Kemampuan ekonomi seperti ini mendorong mereka untuk membantu saudara-saudara ren-ren dan iriri -nya yang ada di Kei. Misalnya seperti di desa Ohoiel dan desa Ohoiwait diKei Besar Utara. Bantuan seperti itu membuat saudara ren-ren atau iriri bisa punya rumah yang bagus dan lengkap dengan peralatannya, sama seperti yang kebanyakan hanya dimiliki oleh orang mel-mel.
Ada banyak anak-anak ren-ren dan iriri dari kedua desa ini yang bersekolah di SMP dan SMA. Sekolah-sekolah ini jauh dari desa mereka. Tetapi tekad dan semangat mengejar ilmu tidak pudar. Setamat dari SMA, hampir semua anak-anak ini kemudian melanjutkan kuliah atau mencari pekerjaan di Papua. Rupanya jarak yang mudah dijangkau dan kemudahan lain, misalnya karena sudah ada saudara di sana, yang mebuat mereka merantau saja ke sana. Hanya sedikit saja dari mereka yang melanjutkan studi atau mencari kerja ke kota Ambon. Saya mendengar tanggapan seorang informan iriri [8] tentang persoalan di atas, ia menjawab : “Pak katong (kami, para orangtua) skarang (sekarang) sudah mulai lia (melihat) masa depan anak-anak. Jadi biar katong (kami) seng (tidak) punya apa-apa, tapi harus usahakan supaya dorang (anak-anak kami) skolah (sekolah) sampe (sampai) dapa (dapat) hidup.”
Saya menemukan ada bentuk penindasan dari orang orang mel-mel terhadap orang ren-ren dan orang iriri. Jika seorang pria mel-mel menghamilkan seorang gadis ren-ren atau iriri, maka persoalannya tidak seheboh dan sesulit ketika seorang pria ren-ren atau iriri menghamilkan seorang gadis mel-mel. Jika seorang mel-mel menghamilkan seorang ren-ren atau iriri, ia cukup membayar denda kepada keluarga si wanita, lalu selesai; bahkan ada juga yang persoalannya dibiarkan menguap begitu saja. Akan tetapi jika seorang ren-ren atau iriri menghamilkan seorang mel-mel, ia akan disangkal atau diusir dari desa dan si wanita mel-mel itu menjadi warga strata darimana si pria berasal. Ia kehilangan haknya dan mulai hidup dalam komunitas baru. Jika keduanya sungguh saling mencintai, biasanya mereka melarikan diri ke luar desa dan meneruskan hidupnya di sana. Mereka jarang sekali atau bahkan tidak akan kembali lagi ke desanya.
Perubahan strata yang mengalir ke bawah seperti ini memungkinkan peningkatan populasi di strata bawah, ren-ren dan iriri, sedangkan di puncak strata, mel-mel, makin menyusut. “Seleksi alam” ini pada kenyataannya sangat menguntungkan dominasi mel-mel; mereka menjadi sedikit, tetapi makin berkuasa.
Pada desa-desa Mu’un Warfan dan Ad terlihat ada pembagian domisili secara berkelompok di antara orang mel-mel, orang ren-ren dan orang iriri. Kelompok mel-mel mendiami lokasi strategis bergengsi di desa; seperti di sekitar Gereja dan di sekitar simbol kekuasaan desa, baileo desa, rumah rat atau rumah orangkay, pelabuhan laut, dan lain-lain. Di desa Mu’un Warfan hanya ada sembilan kepala keluarga orang mel-mel. Semuanya fam Renmaur. Mereka menguasai keluarga ren-ren dan iriri. Ada juga marga Renmaur yang ren-ren dan iriri.
Lokasi pemukiman penduduk desa menampakan perbedaan yang cukup mencolok. Orang mel-mel berdiam di sekitar Gereja dan rumah adat, baileo desa, daerah pantai dan di sekitar pelabuhan laut. Orang ren-ren di sebelah kiri desa dan orang iriri di sebelah kanan belakang desa. Konstruksi rumah di antara ke tiganya rata-rata sama, terbuat dari beton. Hanya ada perbedaan dalam mutu, seni dan luasnya. Untuk mutu, seni dan luasnya, di mel-mel dan ren-ren mirip sama. Di iriri, perbedaannya kentara sekali dalam seni ventilasi, pintu dan jendela yang agak kecil dan sempit. Selain itu di strata ini, kesan sumpek dan sesak, masih kuat. Begitu juga dengan kondisi rumah iriri sebagian besar masih berdinding dan beratap daun rumbia saja.
Pembagian dan pemisahan strata tidak hanya di peta demografi desa, tetapi juga bagi tempat duduk dalam ibadah di Gereja. Warga mel-mel menduduki bagian depan dan tengah depan; ren-ren menempati sayap kiri dan kanan bagian depan, sedangkan iriri menempati bagian belakang. Konon, dulu warga iriri harus duduk di lantai Gereja. Tidak boleh duduk dibangku atau kursi, jika ia ada bersama dengan orang mel-mel. Sekarang mereka sudah boleh duduk sama-sama di kursi, tetapi di bagian belakang.
Di desa Protestan ini, tidak ada Majelis Jemaat dari orang iriri. Hanya ada dari orang mel-mel dan ren-ren. Tetapi orang ren-ren hanya menjabat sebagai diaken atau syamas. Penatua, tidak bisa. Dari Jemaat ini telah ada dua orang Pendeta, tamatan Fakultas Filafat-Teologi GPM UKIM Ambon pada tahun 1997 dan 2000. Tetapi jika mereka pulang ke Mu’un Warfan, mereka tidak bisa melayani ibadah Minggu, sekalipun tidak ada Pendeta Jemaat. Mereka masuk ibadah dan mendengar khotbah yang dilayani oleh seorang Majelis mel-mel. Pemisahan hak juga berlaku bagi mereka yang sudah mati. Di desa ini ada pembagian kubur dengan pemisahan mencolok; ada kuburan mel-mel, ren-ren dan iriri.
Di desa Ad juga ditemukan pembagian lokasi pemukiman secara eksklusif; ada lokasi orang mel-mel, orang ren-ren dan orang iriri. Saya bertanya kepada seorang ren-ren [9] tentang mengapa mereka senang hidup secara berkelompok, baik orang ren-ren dan begitu juga dengan orang iriri. Ia mengatakan : “Katong (kami) hidup bersama supaya bisa bicara (berbicara atau berdiskusi) satu deng (dengan) yang lain supaya bisa biking (kerjakan) tugas-tugas kerja yang ada.” Jawabannya menjelaskan bahwa pengelompokan eksklusif ini diperlukan demi konsolidasi internal dan pengamanan isu untuk keamanan kelompoknya. Sebab sering mereka diperlakukan dengan kasar, dibentak dan dipukul jika ada dari mereka yang malas atau berani protes terhadap tugas dari kepala marga orang mel-mel -nya.
Di desa Ad, mel-mel tidak semuanya hidup dalam satu lokasi secara berkelompok seperti di desa Mu’un Warfan. Mereka mulai hidup menyebar dan ada yang hidup bersisipan dengan orang ren-ren dan iriri. Pribadi-pribadi ini terutama adalah orang mel-mel yang sudah berasimilasi dengan jalan kawin dengan orang mel-mel dari luar desanya. Kenyataannya berbeda di kelompok orang ren-ren dan iriri. Mereka tetap hidup berkelompok secara terpisah. Tidak ada satu keluarga ren-ren atau iriri pun yang berani membangun rumah di lokasi domisili kelompok mel-mel.
Kondisi yang digambarkan seperti di atas berbeda sekali dengan kenyataan hidup orang mel-mel, ren-ren dan iriri di Kei Kecil. Di sana, ketiga-tiganya sudah hidup dalam satu kelompok berbaur dan hidup bertetangga dengan baik. Satu saja wilayah hidup yang tidak boleh dilanggar, yaitu wilayah adat.
Kekhasan lain yang menjadi wilayah dominasi orang mel-mel sampai hari ini, mereka saja yang banyak menduduki jabatan penting sebagai pemimpin di birokrasi di Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara. Orang ren-ren, dan iriri, sangat sulit dan belum pernah ada yang bisa tembus menempati jabatan-jabatan itu.

B.      Sekitar kota Elat
Pengamatan di sekitar kota Elat berlangsung di desa-desa : Ohoinangan, Ngurdu, Fako, Yamtel dan Waurtahait. Desa Ohoinangan letaknya ke arah barat ke selatan di daerah pegunungan. Jaraknya bisa ditempuh dengan motor ojek selama sepuluh menit dari kota Elat. Desa Yamtel dan Waurtahait posisinya bersambungan. Letaknya arah barat ke selatan dari kota Elat dan bisa ditempuh dengan angkot atau moror ojek selama sepuluh menit. Desa Fako, letaknya arah barat ke utara dari kota Elat dan bisa ditempuh dengan angkot atau motor ojek selama setengah jam. Desa Ngurdu yang paling dekat dengan kota Elat. Letaknya ke arah utara dan bisa ditempuh dengan angkot atau motor ojek hanya dalam waktu lima menit saja.
Di desa Ngurdu dan desa Waurtahait, tidak ada lagi perbedaan atau dominasi orang mel-mel atas orang ren-ren dan orang iriri. Seorang informan[10]  dengan tegas mengatakan : “Tidak ada lagi warga desa yang mengklaim ia orang mel-mel dan orang-orang itu ren-ren atau iriri.” Saya menemukan bahwa semua orang di desa ini sama statusnya dalam hidup sebagai masyarakat, baik di Gereja dan juga di dalam pemerintahan desa. Majelis Jemaat dan staf desa sudah dijabat oleh semua warga desa.
Ada kesamaan di antara desa Fako, desa Yamtel dan desa Ohoinangan. Di ke tiga desa ini masih ada strata mel-mel, ren-ren dan iriri. Orang mel-mel yang berkuasa di desa Yamtel adalah fam Elkel. Mereka punya hak menjadi orangkay. Orang mel-mel satu-satunya yang ada di desa Fako adalah fam Lutur. Di desa Ohoinangan orang mel-mel yang berkuasa adalah dari fam Rusbal beragama Islam. Mereka satu-satunya orang mel-mel warga Muslim yang hidup di tengah mayoritas orang Ohoinangan yang beragama Kristen Protestan.
Orang mel-mel di desa Fako dan Yamtel sudah hidup di antara orang ren-ren dan orang iriri. Mereka membangun rumah berhadap-hadapan atau berdampingan  hidup dengan orang ren-ren. Kondisi ini berbeda dengan orang mel-mel, yang beragama Islam, di desa Ohoinangan. Mereka semua tinggal ke arah hutan di wilayah ujung desa. Ada puing Masjid, sisa bukti Konflik Maluku Tenggara 1999-2000. Saya melihat Masjid dan Gereja di Ohoinangan sudah mulai dibangun ulang atas bantuan pemeritah dan swadaya bersama  masyarakat.
Di desa Fako hanya ada orang mel-mel dan orang ren-ren. Tidak ada orang iriri. Mereka tidak mau orang ren-ren berkembang maju dan selalu saja ada berbagai usaha untuk menghalanginya. Ada semacam semboyan sebagai upaya penyatuan orang mel-mel supaya jangan kalah dari orang ren-ren dan juga iriri di Kei Besar. Seorang mel-mel[11] berkata : “Kita mesti maju. Kalau orang ren-ren sudah maju, maka mel-mel harus lebih maju lagi. Jangan kalah dari mereka.” Sikap ini nampak ketika seorang tokoh muda ren-ren[12] mulai membangun dan  membenahi rumahnya menjadi baik. Berbarengan dengan itu se orang mel-mel yang tinggal di depan rumahnya dan seorang lagi yang lain, berupaya membenahi rumahnya dengan mengecat dan membuat jubin tegel porselin berwarna. Padahal itu cuma nampak di bagian luar di dinding dan teras rumahnya saja, sementara di bagian dalamnya berantakan.
Tokoh muda ren-ren itu berupaya memberdayakan sesama warga ren-ren -nya pada sebuah tempat usaha mebel miliknya. Ikut bergabung pula di kelompok usaha itu seorang mel-mel. Ia pernah diajak oleh sesama mel-mel lainnya supaya membangkang dan berhenti bekerja. Tetapi orang mel-mel itu menolaknya. Sebab, ia berpendapat bahwa mereka tidak memberikan makan dan gaji kepada keluarganya. Atas upaya tokoh muda ren-ren itu, ada-ada saja upaya orang mel-mel untuk menghalanginya. Dua hari lalu setelah saya tiba di desa Fako,  ada seseorang yang memasang hawear, atau sasi adat Kei, yang ditanamkan di depan los kerja mobilernya. Tujuan pemancangan hawear itu adalah supaya, tokoh muda ren-ren pemilik usaha mobiler itu, menyelesaikan pembayaran tanah yang di atasnya berdiri usaha mobilernya. Namun, tokoh muda ren-ren itu tenang-tenang saja. Sebab menurutnya perilaku seperti itu hanya perbuatan cari gara-gara saja dari orang mel-mel tertentu, yang tidak suka dengan usahanya. Ia bertekad untuk memberdayakan sesama ren-ren lainnya dan berupaya menunjukan kepada ‘lawan’-nya, orang mel-mel, bahwa mereka bisa melakukan banyak hal yang baik demi masa depan hidup bersama sebagai warga masyarakat dan warga Jemaat Fako.

C.      Kei Besar Selatan
Saya melakukan pengamatan di Kei Besar Selatan pada desa-desa : Weduar, Ohoirenan, Ohoiwait dan Ohoiel. Weduar adalah desa pertama dari tiga desa lainnya, yang menjadi tempat penelitian di wilayah ini. Kesan  pertama yang saya temukan ketika pertama kali tiba  di desa Weduar, adalah perbedaan perhatian pemerintah daerah Maluku Tenggara untuk pembangunan di Kei Besar. Sudah diketahui umum bahwa sarana-sarana utama pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat pedesaan adalah jalan dan listrik. Namun terlihat bahwa pemerintah daerah terkesan pilih kasih ketika mendaratkan pembangan di Kei Besar. Misalnya menyangkut pembangunan jalan aspal dan aliran listrik. Di bagian selatan dan timur Kei Besar sarana jalan dan lisrik seratus persen baik. Tetapi di bagian utara dan barat, kedua sarana ini sudah rusak sekali, bahkan di Kei besar utara bagian barat, dari desa Fako sampai ke ujung utara di desa Ohoimur, tidak ada listrik PLN. Jalan yang dibangun sejak tahun 1970-an sudah hancur dan belum pernah diperbaiki. Padahal semua Bupati yang pernah memerintah di Maluku Tenggara adalah orang mel-mel dari Kei Besar.
Perubahan lain juga adalah selama ini Bupati di Maluku Tengara adalah orang Protestan atau Islam. Baru kali ini Bupati Maluku Tenggara adalah seorang Katolik dari Kei Kecil; bahkan untuk pertama kali di Kabupaten Maluku Tenggara mayoritas anggota DPRD-nya adalah orang Katolik; sebanyak tujuh belas orang dari dua puluh lima kursi yang tersedia. Lima kursi diduduki orang Protestan dan tiga kursi diduduki oleh orang Islam. Semua anggota DPRD adalah orang mel-mel.
Para birokrat di kantor Bupati Maluku Tenggara dan juga di kantor Walikota Tual, semua Kepala Dinasnya orang mel-mel. Tidak ada yang ren-ren, apalagi iriri. Baru pada masa pemerintahan Bupati Maluku Tenggara sekarang, ada seorang Penjabat Kepala Dinas yang orang ren-ren. Sekali pun ia masih menjabat dan belum menjadi pejabat defenitif, tetapi warna perubahan nampaknya mulai berani ditampilkan dari dominasi mutlak mel-mel dan mulai membuka diri ke ren-ren.


Tabel 1. Sebaran Strata di Kei Besar
No
Desa
Marga/Fam
Mel-Mel
Ren-Ren
Iriri
1
Mun Warfan
Renmaur
Ada
Ada
Ada
2
Ohoirenan
Rahalus
Ada
Ada
Ada
3
Weduar
Hukubun
Ada
Ada
Ada
4
Ohoiel
Betaubun
Ada
Ada
Ada
Pemetaan lokasi domisili orang mel-mel, orang ren-ren dan orang iriri, di desa-desa Weduar, Ohoirenan, Ohoiwait dan Ohoiel, sama saja dengan yang ada di Kei Besar Utara pada desa-desa Mu’un Warfan dan Ad. Di ke empat desa ini, orang mel-mel tinggal di sekitar Gereja, daerah pantai terutama dekat pelabuhan, sedangkan orang ren-ren dan iriri, tinggal berkelompok di sisi kiri atau kanan arah ke belakang desa. Kelompok orang ren-ren dan iriri punya kepala dari internal mereka sendiri. Tetapi ada juga yang punya kepala marga dari seorang mel-mel sama dengan yang ada di Kei Besar Utara pada desa-desa Mu’un Warfan dan Ad.
Saya diberitahu sewaktu tiba di Ohoiwait,  bahwa dari ke empat desa ini, Weduar, Ohiorenan, Ohoiwait dan Ohoiel, hanya desa Ohoiwait yang tidak ada orang ren-ren. Di desa ini hanya ada orang mel-mel dan orang iriri. Karena waktu dulu tanah Ohoiwait terlalu luas, sehingga orang tua-tua menugaskan orang ren-ren pergi menjaganya, sesuai dengan fungsi mereka sebagai tuan tanah (tuan tan) yang banyak tahu tentang tanah. Orang iriri yang ada di Ohoiwait adalah orang-orang tebusan ketika mereka kena penindasan.
Hubungan hidup orang mel-mel dan orang iriri sudah baik dan membaur. Hal ini terlihat dalam pergaulan, makan, kerja maren (kerja gotong royong sama seperti masohi di Maluku Tengah) dan juga pelayanan ibadah Gereja. Saya sempat duduk makan malam bersama dengan dua orang Majelis Jemaat mel-mel dan disertai dua orang tuagama iriri. Di Ohoiwait ada Majelis Jemaat yang orang iriri. Mereka bisa memimpin ibadah di rumah orang mel-mel. Ada juga tuagama orang iriri dan orang mel-mel. Hanya kawin lintas strata tidak dibolehkan.
Di Ohoirenan,  tiap keluarga mel-mel ada punya orang ren-ren dan iriri. Mereka masing-masing bertindak sebagai kepala marga atas orang ren-ren dan iriri, yang adalah orang-orang kerja bagi kepentingan tuan mel-mel -nya. Pekerjaan itu bisa berupa mengerjakan kebun baru, kerja kopra dan berbagai pekerjaan lainnya. Sebagai contoh, mel-mel Rahayaan ada punya orang ren-ren dan iriri; mel-mel Rahalus ada punya ren-ren dan iriri; begitu juga Ubro, Ubra dan mel-mel lainnya. Di desa ini orang mel-mel, ren-ren dan iriri punya fam yang sama. Jadi, ada fam Rahalus yang mel-mel, ada yang ren-ren dan ada juga yang iriri. Begitu juga dengan Rahayaan, Ubro, Ubra dan fam-fam lainnya. Bagi orang luar yang baru datang, agak sulit untuk segera bisa membedakannya. Perbedaan akan nampak ketika kita sebagai tamu disuruh duduk dengan warga desa, atau ketika kita sebagai tamu turut mengajak mereka untuk duduk bersama. Mereka yang segera duduk bersama dengan tamu, dapat dipastikan adalah orang mel-mel. Tetapi yang enggan duduk dan biasanya berdiri agak jauh atau memilih untuk pergi, mereka adalah orang ren-ren atau iriri.
Perkawinan di antara orang ren-ren dan orang iriri sudah pernah ada dan tidak lagi menjadi soal. Hanya sulit bagi orang mel-mel dengan orang ren-ren dan orang mel-mel dengan orang iriri. Terkadang orang Oherenan tidak lagi menyebut orang iriri, tetapi cukup menyebut mereka bersama dengan ren-ren saja. Seorang informan  menjelaskan bahwa orang mel-mel tidak bisa bertindak keras kepada orang ren-ren yang ada di Kei Besar. Hal ini disebabkan karena orang ren-ren adalah tuan tanah. Mereka juga disebut sebagai mel-nangan, atau mel-mel orang asli, yang berasal dari gunung.
Orang ren-ren atau mel-nangan ini menguasai batas-batas tanah dan punya kemampuan supranatural dan digjaya, sehingga penjajah Belanda menjadikan mereka sebagai komandan perang dan pimpinan pasukan tentara, atau serdadu. mel-mel yang lain adalah mel-roa, atau mel-mel yang pada umumnya berasal dari luar Kei (Bali, Ternate, Jawa, Arab). Mereka ini punya kemampuan dalam administrasi pemerintahan, pandai memimpin dan bijak, sehingga oleh penjajah Belanda, mereka dijadikan pemimpin, kepala desa dan orang-orang terpercaya untuk memimpin masyarakat di desa. Setelah masa penjajahan Belanda berakhir, kondisi itu berjalan terus sampai sekarang. Demikian juga dengan keberadaan strata ren-ren.
Orang iriri adalah strata orang budak belian. Mereka bisa berasal dari  budak atau dari tahanan atas kejahatan tertentu. Mereka juga adalah budak yang ditebus oleh seorang mel-mel, sehingga ia menjadi budak bagi tuan mel-mel -nya yang baru. Mereka juga berasal dari hasil salah kawin. Misalnya mel-mel yang kawin dengan iriri, atau ren-ren yang kawin dengan iriri. Akibatnya mereka turun strata menjadi ren-ren baru atau iriri baru. Salah kawin di antara strata sangat dilarang di Oherenan. Jika terjadi salah kawin di antara mel-mel dengan ren-ren atau mel-mel dengan iriri dan seterusnya di mana semua orang mel-mel mau supaya ia tetap di stratanya, maka prosesnya diambil dengan membayar sekian harta denda dan yang bersangkutan dikembalikan ke stratanya seperti semula. Tetapi mereka tidak boleh kawin. Di desa ini fam Rahayaan adalah salah satu dari beberapa fam besar. Bahkan di Kei Besar fam ini ada hampir di tiap desa. Sebenarnya fam ini berasal dari dua fam, yaitu : Rahayaan asli dan Rahanyaan. Karena pengaruh penyebutan yang lebih mudah dan perlu untuk melancarkan komunikasi antar masyarakat, fam Rahanyaan atau Rahan + yaan, disebut dengan lebih mudah menjadi Raha + yaan = Rahayaan, yang berarti rumah tua.
Ada pola hidup yang sama di kalangan mel-mel tertentu pada ke empat desa ini, Weduar, Ohoirenan, Ohoiwait dan Ohoiel. Kondisi ekonomi mereka banyak bergantung dari suplai saudara-saudaranya yang menjadi PNS di Tual dan di rantau. Banyak saudaranya, adik atau kakak, yang menjabat kepala dinas dan banyak di antaranya juga yang menjadi anggota legislaif di Kabupaten Maluku Tenggara atau di Kota Tual. Indikator kelebihan hidup ekonomi mereka dari orang ren-ren atau iriri, nampak dalam gaya hidup mereka, yang bisa membeli  kebutuhan hidup, memberi kolekta dan ‘natsar’ persepuluhan di Gereja. Dengan ketersediaan sarana transportasi motor laut, mereka bisa bepergian pulang-balik Ohoiwait-Tual, Weduar-Tual, Ohoirenan-Tual dan seterus-nya, dalam waktu sehari saja. Biaya sekali jalan ± Rp 75.000,- Jadi, biaya perjalanan pergi-pulang adalah : 2 x Rp 75.000,- = Rp 150.000,- Jika dikalkulasi hasil kopra dan hasil kebun lainnya, pasti tidak bisa memenuhi tuntutan-tuntutan kebutuhan hidup seperti disebutkan di atas. Kondisi ini turut mendongkrak naik gengsi gaya hidup orang mel-mel di desanya.
Tabel. 2:  Sebaran Strata dalam desa
No
Strata 
Desa
Lokasi 
1
Mel-mel, ren-ren, iriri
Weduar, Ohoirenan, Ohoiel, Ohoiwait,
Kei Besar Selatan
Mun Warfan, Ad
Kei Besar Utara
Yamtel, Ohoinangan
Sekitar Elat
Ela’ar Lamagorong
Kei Kecil Timur
2
Mel-mel, ren-ren
Fako
Sekitar Elat
3
Mel-mel, iriri
Ohoiwait
Kei Besar Selatan
4
Tidak ada Strata
Ngurdu, Waurtahait
Sekitar Elat
Di Weduar, saya berdiskusi dengan Sekretaris Majelis Jemaat GPM Weduar, yang juga menjabat sebagai Sekretaris desa Weduar. Ia menjelaskan bahwa hubungan strata sosial mel-mel, ren-ren dan iriri sama saja; baik di pelayanan Gereja, pergaulan dan interaksi dalam masyarakat, semua berjalan dengan baik. Pemisahan akan terjadi bila ada kegiatan-kegiatan adat. Ia menjelaskan bahwa di Kei ada dua asal-usul mel-mel, yaitu mel-nangan yang sesungguhnya adalah orang asli Kei. Mereka menguasai adat dan juga punya kekebalan tubuh tertentu, sehingga biasanya mereka menjadi panglima perang atau serdadu digjaya. Mereka ini adalah orang ren-ren seperti sekarang, contoh : penduduk di desa Ohoinangan. Kedua, mel-roa, yang adalah orang pendatang dari luar. Mereka punya kemampuan administrasi dan kepemimpinan dalam masyarakat, sehingga mereka diangkat oleh penjajah Belanda sebagai pemimpin di desa-desa di Kei.
Di Ohoiwait saya melihat letak posisi desa dan penempatan antar strata mel-mel dan iriri. Desa induk ditempati oleh warga Protestan, terletak agak di bukit dan dipisahkan oleh jalan desa beraspal. Di bagian agak ke bawah di sebelah jalan adalah bagian desa Muslim. Di desa induk, warga mel-mel tinggal mengelilingi di sekitar dekat Gereja. Warga iriri tinggal agak jauh dari Gereja. Mereka tinggal terpisah dan berkelompok. Dari gambaran konstruksi rumah, tidak ada perbedaan secara mencolok. Ada seorang warga iriri yang punya rumah bagus dengan perabot mewah, sama seperti yang dimiliki banyak orang mel-mel. Rumahnya bisa begitu bagus karena selain ia gigih berkebun dan mengolah kopra, tetapi ia juga dibantu oleh saudaranya yang merantau bekerja di Papua. Kondisi ini sama dengan saudara-saudara Muslim Ohowait. Perbedaannya, rumah mereka sudah bercampur di antara mel-mel dan iriri.
Di Weduar dan di Ohoiwait masih ada saudara-saudara Muslim, yang bertahan hidup dengan saudara-saudara Kristen-nya. Ada tiga kepala keluarga Muslim di Weduar. Imam Masjidnya, Pak Hukubun, mengatakan bahwa sekalipun saudara-saudara Muslim lainnya enggan kembali ke Weduar pasca Konflik 1999-2000, tetapi ia tetap tinggal bersama beberapa orang Muslim lainnya. Sebab mereka adalah bersaudara dalam ikatan ain ni ain. Masjid mereka sedang dibangun atas bantuan pemerintah daerah.
Tempat tinggal orang Muslim di Ohoiwait agak terpisah dari orang Kristen. Posisi desa induk agak di atas bukit dan didiami oleh mayoritas orang Protestan, sedangkan posisi sebagian masyarakat Kriten dan Islam Ohoiwait berada di lembah di bawah sekitar bukit. Ketika Konflik 1999-2000 pecah, desa bagian bawah mengalami perusakan, baik orang Protestan maupun orang Islam. Sekalipun demikian, hubungan dengan saudara-saudara Islam sudah kembali terjalin dengan baik. Banyak keluarga Muslim yang mulai datang menempati bekas rumahnya yang lama. Saya melihat sendiri ada beberapa rumah yang sementara dibangun kembali.
Dalam acara-acara syukuran keluarga Islam atau Kristen, semua warga, baik orang mel-mel dan begitu juga orang iriri, datang membawa yelim, atau sumbangan bagi pelaksanaan kegiatan dimaksud. Bagi keluarga dekat, yelim yang dibawa lebih besar jumlah dan mutunya. Bagi semua warga lainnya, Muslim-Kristen, mereka membawa yelim sebagai tanda partisipasi sesuai kemampuannya. Hubungan Kristen-Islam di Ohoiwait nampak dalam kebersamaan hidup dalam bekerja membangun rumah, kebun atau maksud pembangunan lainnya, yang disebut maren. Di kegiatan ini, semua warga, Kristen-Islam, membawa ke yang punya hajat, bahan-bahan bangunan yang diperlukan, termasuk makanan, rokok dan lain-lain. Dengan partisipasi seperti ini, tuan rumah yang punya kerja tidak terbebani dan tidak ada penganguran tersamar berbanding volume pekerjaan.
Seorang informan[13]  mengatakan : “Supaya hubungan Kristen-Islam bisa baik dan lestari, harus melibatkan partisipasi Kristen-Islam dalam banyak kegiatan kemasyarakatan atau keagamaan, supaya mereka terbiasa hidup berdampingan dan bekerjasama. Perlu ada upaya mengajarkan nilai-nilai adat-budaya lokal kepada generasi muda di desa dan juga kepada mereka yang keluar belajar menuntut ilmu atau mencari kerja, supaya tidak hilang identitasnya.”
Selama di Ohoiwati Saya sempat ikut menyaksikan penyelesaian sebuah perkara pencurian. Perkara itu diselesaikan oleh Kepala Desa-nya yang beragama Islam, Abdul Galil Ingratubun. Semua orang, yang marah atas kasus itu, datang berkumpul di rumah Kepala Desa sambil membawa parang, penggalan kayu dan bahan keras lainnya. Pak Kepala Desa menyuruh semua warga duduk diam dan ia mengatasi masalah itu dengan penetapan denda pencurian kepada keluarga si pencuri. Semua pihak setuju dan mereka pulang dengan rasa puas.
Tabel. 3. Sebaran sikap diskriminasi strata dalam desa-desa.
No
Diskriminasi 
Lokasi Desa
Keterangan
1
Ekstrim
Weduar, Ohoirenan, Ohoiel, Ohoiwait,
Kei Besar Selatan
Mun Warfan, Ad
Kei Besar Utara
Yamtel, Ohoinangan
Sekitar Elat
Ela’ar Lamagorong
Kei Kecil Timur
2
Toleratif
Weduar, Ohoirenan, Ohoiel, Ohoiwait,
Kei Besar Selatan
Mun Warfan, Ad
Kei Besar Utara
Yamtel, Fako,
Sekitar Elat
Ela’ar Lamagorong
Kei Kecil Timur
3
Anti
Ngurdu, Waurtahait
Sekitar Elat

D.     Strata Sosial di Shalat  dan Ibadah  
Pengamatan strata sosial di shalat berlangsung di sebuah Masjid di kota Tual dan di ibadah berlangsung di Gereja Sion di Kota Tual dan Gereja Anugrah di Ohoijang-Langgur. Di dua Gereja besar, Gereja Sion di Kota Tual dan Gereja Anugrah di Ohoijang-Langgur, kehadiran dan partisipasi anggota Jemaat untuk beribadah sama saja, baik orang mel-mel, ren-ren dan iriri. Hal mencolok adalah orang ren-ren dan iriri, enggan duduk pada kursi di jejeran depan. Biasanya yang masuk dan langsung duduk di jejeran depan adalah orang mel-mel. Mereka itu adalah kepala-kepala dinas-jawatan pemerintah, anggota dan pimpinan DPR atau anggota Jemaat yang bukan orang Kei.
Tentang pemimpin ibadah, kalau orang Kei, ia haruslah seorang mel-mel. Sulit sekali diterima jika yang memimpin ibadah adalah seorang pendeta ren-ren atau iriri. Di tahun 1995 pernah seorang pendeta ren-ren, orang Ohoinangan,[14] diberi kesempatan melayani ibadah Minggu di Gereja Sion-Tual oleh Ketua Majelis Jemaat Sion-Tual yang berasal dari Tepa, Pendeta. T. J. Erlely. Hari itu,[15]  suasana ibadah minggu sangat ribut dengan persungutan dan keluhan dari orang-orang mel-mel. Karena biasanya mereka mengambil tempat duduk di jejeran depan, jadi sangat kentara sikap dan perilakunya yang tidak rela mendengar khotbah dari pendeta ren-ren. Pak Erlely menggambarkan perilaku mereka demikian : “Dorang (mereka) pung (punya) muka (wajah) merah, dong (mereka) marah sama (seperti) babi luka saja.” Demikian gambaran komentar mereka : “Dia bikin dia pung (punya) apa ini” ?? (wajah mereka menjadi merah karena marah, kemarahan itu sedemikian hebat seperti amukan babi yang terluka. Apa yang dilakonkannya (si pendeta ren-ren) di atas mimbar sana ??).  
Saya mengalami sendiri kejadian yang mirip sama di bulan November 1986, ketika pulang ke Tual hendak mohon pamit dari orangtua, sebab akan bertugas sebagai seorang Vikaris di Sorong, Irian Jaya (sekarang Papua). Ibu Pendeta Ivon Pattikawa, sebagai Ketua Majelis Jemaat Tual-Sion, menugaskan saya memimpin ibadah Minggu pagi, jam 09.00 dan Minggu sore, jam 17.00. Usai pelayanan ibadah pagi dalam perjalanan pulang melewati daerah Yarler-Kampung Mangga, tepat di sekitar belakang Gereja Sion-Tual, terdengar suara keras seorang Ibu dari dalam dapurnya: “Dia pung (punya) bapa (bapak) par sapaeee (siapa ya ?).”
Ketika ibadah sore berakhir dan Saya pulang menuju Werhir-Ta’ar, tempat tinggal saya, juga melewati jalur yang sama seperti ketika melayani Ibadah Minggu pagi tadi; lalu terdengar suara seorang Ibu dari dalam dapur di arah seberang jalan : “Oh seng (tidak) apa-apa (jadi soal, masalah). Turan (bapak) yang tinggal di Werhir pung (punya) anak.” Setelah di rumah baru Bapak saya menjelaskan bahwa tujuan Ibu-Ibu itu berteriak dengan bertanya di antara sesamanya adalah mengenai status saya, yang memimpin ibadah. Dengan bertanya melalui berteriak dan saling menjawab, sebenarnya mereka secara tidak langsung sedang bertanya-tanya, saya itu seorang dari strata mana : mel-mel, ren-ren ataukah iriri.
Ketika mereka mengetahui bahwa saya itu anak dari Turan (Bapak-Guru Jemaat), yang tinggal di Werhir-Ta’ar, baru mereka mengerti bahwa saya itu seorang yang bukan ren-ren atau iriri. Karena itu saya, tidak ‘ditolak’ untuk memimpin Ibadah Minggu. Seandainya saya seorang ren-ren atau iriri, maka pasti akan ramai sikap dan perilaku negatif umat (yang mel-mel) terhadap saya, ketika melayani di Ibadah Minggu pagi dan sore. Perilaku mereka akan sama seperti yang ditunjukkan di kejadian yang disebutkan di atas. Ternyata ibu-ibu, yang berteriak saling menyahut itu adalah juga orang mel-mel.
Pada kesempatan lain kepada beberapa pengurus Angkatan Muda GPM (AM GPM) Jemaat Anugrah, saya menanyakan tentang bagaimana dengan keadaan di umat Katolik. Salah seorang pengurus[16]  menjawab : “Pak kondisi sama saja, baik di katong (kita) Protestan, di Katolik dan juga di Islam. Saya sering ikut kegiatan teman-teman Katolik dan Islam, jadi saya tau (tahu).” Di kesempatan lain, saya bertanya tentang soal yang sama kepada seorang informan warga desa Somlaen.[17] Ia menjawab : “Pak, itu tidak bisa sama sekali.” Saya terus bertanya apa alasannya dan ia menjawab : “Sebab orang mel-mel tidak bisa berkumpul dengan orang ren-ren dan iriri. Itu semua sudah diatur dalam adat Kei.” 
Saya menanyakan seorang pemuda mel-mel Muslim[18] yang baru keluar shalat jumad dari sebuah Masjid di dusun tanah putih Tual. Ia mengatakan : “Pak, di shalat Jumad atau shalat berjamaah, biasanya yang menempati jejeran paling depan itu orang mel-mel dan orang mel-mel para pejabat pemerintah. Orang tengah dan orang bawah  biasanya mengambil tempat di bagian belakang sekali.” Sewaktu Saya bertanya lebih jauh lagi tentang mengapa bisa demikian, ia melanjutkan : “Ketika orang ren-ren dan iriri masuk mau shalat, mereka seakan menyediakan tempat kosong di bagian tengah Masjid supaya nanti kalau ada orang mel-mel yang datang shalat, masih ada tempat.” Apakah ada Imam bukan mel-mel yang membawa khotbah Jumad ? Ia menjawab : “Ada pak, tetapi dia bukan orang Kei. Kalau orang Kei, ia harus orang mel-mel.” Ia melanjutkan penjelasannya, ada sebuah surau atau langgar kecil yang agak terpencil dari jalan raya, biasanya saudara-saudara ren-ren dan iriri ber-shalat di sana. Gedungnya juga sederhana saja, tidak sekokoh dan sebagus Masjid tempat ia baru selesai shalat.
Rupanya tindakan dengan sengaja menyediakan tempat kosong di tengah bagi orang mel-mel yang terlambat datang shalat itu ada maksudnya. Sesungguhnya dengan berbuat seperti itu, mereka, orang ren-ren dan iriri, mau menyediakan sona bebas konflik di antara batas strata sosial mel-mel dengan ren-ren dan mel-mel dengan iriri, supaya jangan terjadi benturan konflik. Saya melihat konflik tentang batas sosial ini, yang memperkokoh pemisahan dan penindasan mel-mel terhadap ren-ren dan iriri. Batas sosial itu sudah dimutlakkan hampir di semua sendi gerak hidup, di kantor, di pasar dan bahkan sampai dalam hidup ber-Gereja.
Dari uraian penelitian di atas, ada beberapa hal penting. Pertama, pelapisan atau strata sosial mel-mel, ren-ren dan iriri, masih ada dan kuat berpengaruh dalam kehidupan orang Kei. Klaim dominasi mel-mel atas ren-ren dan iriri, semuanya sama, baik di Kei Kecil dan juga di Kei Besar. Masih ada keengganan mel-mel di desa-desa tertentu di daerah Kei Besar bagian utara terhadap ren-ren, karena ada pemahaman bahwa mereka itu adalah mel-nangan, atau tuan tanah Kei (tuan tan). Sebut saja di desa-desa Dangarath, Mu’un Warfan, Ad dan desa-desa sewilayah pantai barat menuju ke utara Kei Besar dan di desa Ohoinangan di Kei Besar Tengah.
Perilaku pemisahan mel-mel terhadap ren-ren dan iriri, masih sangat kuat. Lokalisasi pemukiman masih tetap ada dalam tata demografi desa, terutama pada desa-desa yang masih mempertahankan hubungan dan fungsi adat dengan teguh. Kelihatannya bentuk ini sengaja dipertahankan demi memudahkan konsolidasi oleh tuan mel-mel atas orang- orang rumah atau orang-orang yang dikuasainya, yaitu orang ren-ren dan iriri -nya. Gambaran ini bisa dilihat dalam kondisi di desa-desa Mu’un dan Ad di Kei Besar bagian utara dan desa Ohoiel, Ohoirenan dan Ohoiwait, di Kei Besar bagian selatan.
Kedua, telah mulai ada pengikutsertaan atau penerimaan atas peran orang ren-ren dan iriri dalam interaksi sosial dan keagamaan dalam masyarakat. Mereka diikutsertakan berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan untuk menjadi staf pemerintahan desa dan Kepala-Kepala Urusan (Kaur). Peran seperti ini menguat di daerah Kei Besar bagian tengah, seperti di desa Fako dan desa Ngurdu. Di Kei Besar bagian Utara dan Selatan, partisipasinya belum baik. Mereka hanya menjadi kepala regu kerja, sebuah jabatan yang praktis masih langsung bersentuhan dengan tugas operasional kerja di lapangan. Mereka tidak terlibat dalam merencanakan program, membuat kerangka strategisnya, bertanggungjawab atas pelaksanaannya dan mengevaluasi serta menetapkan apa tindak lanjutnya.
Perubahan perilaku diskriminasi mel-mel terhadap ren-ren dan iriri mulai menyata di Kota Tual, dengan hadirnya seorang tokoh muda Yamtel dari strata ren-ren.[19] Ia seorang anggota DPRD Kota Tual periode 2009-2014, juga seorang usahawan yang cukup berhasil. Ada beberapa usaha ekonomi yang digelutinya. Partisipasinya di kegiatan sosial-masyarakat dan di pelayanan Gereja dan komunikasinya dengan saudara-saudara Muslim, memberi ruang terbuka yang mulai menyata tentang hidup bersama dan kesempatan untuk menikmati kemajuan hidup dengan damai di antara orang mel-mel, ren-ren dan iriri.
Di Kei Kecil, strata sosial mel-mel, ren-ren dan iriri, masih ada dalam masyarakat sama dengan di Kei Besar. Tetapi, mereka sudah hidup bercampur dalam masyarakat, baik di desa-desa dan juga di kota. Salah satu desa di Kei Kecil, yang seluruh penduduknya orang ren-ren adalah desa Urpulau, yang terletak di pulau Ur, sebuah pulau kecil dekat pulau Warbal di Kecamatan Kei Kecil Barat. Sekalipun status mereka demikian, tetapi pergaulan dengan penduduk desa dari desa-desa lain di pulau sekitarnya, seperti Warbal, Watngil, Ohoira, Ohoiren, Somlaen dan Medwaer, tetap sama dan langgeng. Hanya mereka tidak bisa kawin secara sembarangan dengan penduduk desa-desa di luarnya. Seorang tokoh adat  mengatakan bahwa lingkup pembatasan geraknya lebih leluasa dari keadaan di Kei besar. Maksudnya, di Kei Kecil selain orang mel-mel, orang-orang ren-ren dan iriri juga terllibat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan secara aktif. Mereka bukan hanya jadi tukang suruh untuk kerja saja. Tetapi, mereka juga turut dalam mengambil keputusan dan pelaksanaan program-program pembangunan masyarakat. Begitu juga dengan keterlibatan dalam kegiatan keagamaan. Mereka jadi Majelis Jemaat dan bukan saja jadi kostor, atau tukang goyang lonceng Gereja saja. Pemisahan di antara mel-mel, ren-ren dan iriri akan tegas kentara di acara-acara adat seperti : pelantikan Rat atau Raja, pelantikan Orang Kai atau Kepala Desa, perkawinan, orang mati, dan acara adat lainnya.  Di kehidupan sesehari, mereka berbaur seperti yang biasa terjadi di masyarakat desa.
Ketiga, perlu perilaku hidup baru menghadapi perkembangan sosial yang ada di masyarakat Kei seiring dengan perkembangan zaman sekarang. Perkembangan sosial yang saya maksudkan adalah pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menekankan pemahaman dan pikiran yang jernih, jujur, cerdas dan bertangungjawab. Sudah bukan rahasia lagi, orang secara pribadi atau bersama-sama, mulai “mengusut” latarbelakang sejarah terbentuknya kasta di Kei, Maluku Tenggara. Muncul berbagai pertanyaan tentang asal-usulnya dan bagaimana sampai kekokohannya masih tegak ‘menggurita’ di Kei sampai saat ini. Sebab pada kenyataannya ada banyak halangan yang muncul dalam perbedaan kasta seperti disebutkan di atas.
Menurut saya, perilaku hidup baru yang disebutkan di atas harus didasarkan pada tiga hal, yaitu : sikap dan daya moral-spiritual, potensi intelektual-profesional dan kontinyutas relasi. Pertama, sikap dan daya moral-spiritual. Kekuatan percaya akan ajaran agama sebagai dasar pembentukan sikap hidup dalam kasih, pengampunan dan kebersamaan diperlukan untuk memahami ulang status perbedaan di antara mel-mel, ren-ren dan iriri. Kasih dan pengampunan mesti memberi ruang bagi pembaruan pemahaman dan perilaku orang mel-mel atas orang ren-ren dan orang iriri. Selama ini orang tengah atau ren-ren dan orang bawah atau iriri, masih dipandang sebagai orang-orang yang ‘terkena’ hukuman. Padahal mereka adalah sesama manusia ciptaan Tuhan, yang punya hak dan martabat yang sama dengan orang mel-mel. Kebersamaan yang dimaksud berarti perubahan total supaya mel-mel, ren-ren dan iriri menyatu. Kebersamaan itu yang menekankan pada inspirasi dan refleksi dari dasar keyakinan agama bagi hidup yang terus berlangsung menatap ke masa depan dengan segala dinamikanya.
Penekanan aspek moral-spiritual membawa masyarakat Kei supaya dapat menemukan kembali ruang hidupnya secara proporsional di dalam sejarah hidupnya selaku satu persekutuan masyarakat adat. Sebab selama ini semua ruang hidupnya harus berada dalam faham vertikalisme yang total mengagungkan mel-mel saja. Perlu ada ruang porsi hidup untuk berkarya di birokrasi, ada ruang berkarya di bidang ekonomi, legislatif, keagamaan dan ada ruang hidup dalam adat-budaya. Dengan pemahaman ini, pelapisan sosial mel-mel, ren-ren dan iriri harus diakhiri sebagaimana yang ada dan berkembang sampai saat ini di birokrasi, hidup bergereja, hidup berpolitik dan lain-lain. 
Kenyataan di masyarakat sampai sekarang ini menunjukkan bahwa perubahan belum bisa dilakukan karena kuatnya benteng pemahaman warisan sejarah masa lalu. Menurut saya, ajaran iman Kristen secara khusus menegaskan perlawananan keras terhadap kasta. Selain itu, kejelasan yang bisa makin memperteguh kebenaran tentang asal-usul ‘orang luar,’ Kasdew, yang terdampar dan sampai di Kei, adalah penting. Ia dikisahkan berada dalam pelayarannya ke Bali dan mencapai teluk Sorbai, sebuah teluk kecil di antara Letvuan, Debut dan Warwut. Dari sini ia menetap di sebuah tempat di dekat desa Letvuan, disebut Ohoivur.
Kedua, potensi intelektual-profesional. Makin luas pendidikan dan pengetahuan dan makin tinggi jabatan membuat orang semestinya berlaku professional, sehingga lahir pemahaman selayaknya. Prinsip ini perlu menembusi kebekuan dominasi di birokrasi kantor Bupati Maluku Tenggara dan di kantor Wali Kota Tual oleh orang mel-mel. Sebab klaim dominasi sampai saat ini masih dikuasai oleh orang mel-mel. Sikap dominasi seperti ini menghambat regenerasi intelektual, yang sekaligus juga menghambat kemajuan dan inovasi baru dalam upaya membangun mutu hidup bagi masyarakat Maluku Tenggara dan Kota Tual.
Fakta menunjukan bahwa di Maluku Tenggara dan di Kota Tual, banyak intelektual profesional muda orang Kei, yang tidak suka pulang untuk mengabdikan diri demi membangun daerahnya, sebab ‘sistem kasta’ sangat kuat. Seorang informan mel-mel [20] mengatakan: “Praktek tidak profesional seperti ini membuat kita, sebagai orang Kei kehilangan generasi muda potensial untuk membangun daerah. Mereka banyak migrasi ke Papua, terutama orang ren-ren dan iriri.” Di sana mereka bisa berkembang dengan leluasa membaur dengan penduduk setempat dan mengembangkan kehidupannya.
Selama di rantau, hidup orang Kei mel-mel, ren-ren dan iriri, boleh membaur dan bergaul seakan ‘tanpa batas kasta,’ tidak seperti yang berlaku keras di tanah Kei. Tetapi ketika mereka hendak kawin, pertimbangan soal kasta biasanya menjadi pertimbangan utama. Sekalipun demikian, harus diakui bahwa di antara mereka telah terjadi perubahan untuk saling menerima dengan baik. Kondisi di tanah Kei yang begitu keras menentang perkawinanan lintas strata membuat mereka yang sudah kawin lintas strata, biasanya sangat sulit pulang kembali ke tanah Kei. Apalagi ingin pulang dan menetap di sana.
Saya pernah tinggal di Fak-Fak dan Kaimana 1967-1973 dan melihat sendiri bahwa sejak zaman Belanda menjajah Irian Jaya, orang-orang Kei sudah berpartisipasi membangun daerah Papua. Banyak di antara mereka yang menjadi guru sekolah dasar dan pengabdi kemanusiaan di bidang keagamaan Protestan dan Katolik. Mereka terbanyak adalah orang ren-ren dan iriri. Salah satu pusat orang Kei Katolik terkuat di Irian pada waktu itu adalah di daerah Selatan, di Kokonao daerah Mimika.
Contoh lainnya, sewaktu seorang Kei kuliah di Fakultas Filsafat-Teologia UKIM di Ambon, setelah tamat dan ia siap menjadi Pendeta untuk melayani di Jemaat. Tetapi ia susah masuk melayani sebagai seorang Pendeta di Kei, kalau ia orang ren-ren atau iriri. Bagi yang berstrata mel-mel, tantangan ini tidak berlaku. Satu orangtua ren-ren yang putranya kuliah di Sekolah Tinggi Teologia Gereja Protestan Indonesia di Papua (STT GPI Papua) di Fak-Fak mengatakan : “Supaya jangan banyak macam-macam (maksudnya halangan), lebih baik ia masuk (STT GPI Papua) di Fak-Fak, Papua, saja. Sebab kalau sudah tamat dan ia ingin menjadi Pendeta di Papua, entah di Gereja Kristen Injili di Papua (GKI Papua) atau di Gereja Protestan Indonesia di Papua (GPI-P), ia tidak mengalami kesulitan mengenai kasta, seperti di Kei, tanah airnya sendiri.
Saya melihat sendiri sebuah kenyataan selama melakukan penelitian di Kei Besar.  Seorang nona pendeta orang Fako.[21] ia telah menanti penempatannya selama sebulan di kota Elat, pusat Klasis Kei Besar, untuk ke Jemaat tempat tugasnya, di Jemaat Soindad. Ketua Klasis telah mengirim surat supaya pada hari yang ditentukan, jemaat tempat di mana Nona Pendeta ditugaskan mesti datang untuk menjemputnya. Akan tetapi sampai jam dua belas siang di hari penjemputan, tidak ada angkutan motor laut yang datang, sementara hari makin siang dan jika air laut sudah pasang naik besar, akan timbul angin kencang dan ombak besar. Akhirnya, Ketua Klasis sendiri mengantar Nona Pendeta ke Jemaat. Belakangan diketahui, keterlambatan penjemputan disebabkan oleh adanya ‘hasutan’ warga desa tetangga orang mel-mel, supaya jangan dulu menerima Nona Pendeta. Sebab, ia seorang ren-ren. Padahal Jemaat penerima Nona Pendeta adalah Jemaat dengan anggota Jemaatnya orang ren-ren.
Ketiga, kontinyutas relasi. Dari pemikiran pertama dan kedua, hendaknya dibuka sebuah arena bebas di mana perjumpaan mel-mel, ren-ren dan iriri bisa berlangsung setara atau sederajat. Selama ini, perjumpaan itu bersifat hirarkis vertikal; mel-mel di atas diikuti di bawahnya ren-ren dan iriri. Akibatnya pengambilan keputusan strategis hanya menjadi wewenang mel-mel, sedangkan pelaksanaan keputusan dan hasilnya, dengan susah payah harus ditanggung oleh ren-ren dan iriri. Untuk bisa maju ke depan menggapai kemajuan bagi masyarakat Kei, di butuhkan sebuah relasi horisontal yang lebih banyak menekankan kepada fungsi-fungsi sosial kemanusiaan. Di dalamnya ada perjumpaan dan kebersamaan di antara mel-mel, ren-ren dan iriri, sebagai orang Kei yang setara status sosial budayanya.
            Dalam kehidupan masyarakat Kei, Saya menemukan bahwa di kehidupan orang Banda Eli dan orang Banda Elat, tidak ada sistem pelapisan sosial, seperti yang ada di orang Kei, ada mel-mel, ren-ren dan iriri. Orang Banda Eli dan Banda Elat hanya mengenal semacam kelompok-kelompok ‘in group’ eksklusif. Ada yang kelompok 30 dan ada dengan nama lain. Karena mereka tidak mengenal sistem pelapisan sosial seperti di orang Kei, maka karier di birokrasi pemerintahan terus naik dan tidak terhalang. Akibatnya, mereka mulai menduduki posisi-posisi penting di pemerintahan. Kondisi ini bisa menjadi potensi konflik, yang muncul dari rasa cemburu orang Kei mel-mel, seperti yang terjadi di tahun 2002-2003, ketika seorang Ibu orang Banda Eli menjadi Penjabat Bupati Maluku Tenggara.
            Selain di Kei, ada juga pelapisan sosial di masyarakat Kisar, di Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD). Di sana strata atas disebut marna, strata tengah wuhur (atau bur) dan strata bawah disebut akka (atau akke). Namun keberadaan strata marna di Kisar tidak kokoh berpengaruh sekuat mel-mel yang ada di Kei. Padahal penjajah Belanda juga pernah ada di Kisar dan konon Belanda yang mengokohkan dan mempertahankan keberadaan strata di sana. Sepeninggal Belanda, sistem sosial itu berjalan bersama interaksi sosial masyarakat Kisar sampai saat ini.
Muncul pertanyaan, mengapa orang marna tidak sekokoh ‘menjajah’ orang wuhur dan orang akka  di masyarakat Kisar, sama seperti orang mel-mel terhadap orang ren-ren dan orang iriri, di Kei. Menurut Saya bedanya ada pada kesempatan yang terbuka dan potensi pengokohan pembentukannya. Pasca penjajahan Belanda, praktis tidak ada pengaruh sistem adat, birokrasi pemerintah dan pendasaran ekonomi di Kisar. Sistem adat yang Saya maksudkan adalah tidak sekuat pengaruh adat semacam sistem orang rumah yang terorganisir dengan seorang ‘kepala marga,’ sebagai pemimpinnya, seperti di Kei. Pengaruh di birokrasi pemerintah nampak dalam posisi kota Kisar hanyalah sebuah kota Kecamatan dengan jumlah pegawai negeri yang terbatas. Sedikitnya kesempatan menjadi pegawai negeri, membuat banyak orang Kisar yang merantau ke luar daerah untuk melanjutkan studi dan mencari pekerjaaan. Daerah yang disenangi adalah ke kota Ambon. Bidang-bidang pekerjaan yang digeluti adalah kerja kasar seperti menjadi pembantu di toko-toko orang Cina dan bekerja di rumah makan.
Para PNS di kota Kisar atau para perantau Kisar, tidak bisa memenuhi peran status sebagai ‘suplayer’ ekonomi bagi saudaranya yang ada di Kisar, sehingga pola keangkuhan hidup orang atas marna terhadap orang tengah wuhur dan orang bawah akka, tidak kuat berpengaruh. Apalagi para PNS di Kisar tidak mayoritas dan yang memegang jabatan tinggi di birokasi pemerintahan bukan semuanya orang marna; ada banyak yang orang wuhur dan ada juga orang akka. Bahkan sekarang ini di birokrasi pemerintah Kabupaten, ada se orang akka, yang menjadi Kepala Dinas di salah satu dinas pemerintah Kabupaten MBD. Ia mendapat tantangan dari orang marna di lingkungan kedinasannya dan dari orang marna di masyarakat Kisar. Tetapi dengan tegas ia menekankan pada sikap profesionalnya. Katanya : “Beta (saya) ada di sini (maksudnya jabatannya di birokrasi pemerintah Kabupaten) karena melaksanakan tugas negara untuk melayani masyarakat.”  Tekanan seperti yang sudah diuraikan di atas, kurang mendapat tempat, sebab, birokrasi pemerintah Kabupaten MBD yang baru membesar dan meluas dari status Kecamnatan menjadi kota Kabupaten, belum diisi secara kokoh oleh PNS orang marna. Kondisi seperti ini yang bisa melanggengkan dinastinya atas PNS orang wuhur dan akka. Apalagi Bupati yang baru terpilih periode 2011-2016, bukan orang Kisar. Tetapi orang Tepa di pulau Babar. Wakilnya yang orang Kisar, juga bukan orang marna. Tetapi orang wuhur.  
Lain halnya dengan kondisi masyarakat Kei di Maluku. Di Kei, daya dukung ekonomi dari saudara adik atau kakak pegawai negeri sipil atau anggota legislatif di kota Tual terhadap saudara adik atau kakak mel-mel -nya di desa membuatnya makin hidup bergengsi tinggi berbanding orang ren-ren dan orang iriri. Tual terbentuk anggun sebagai pusat ekonomi dan birokrasi sebagai pusat kota Kabupaten. Kondisi ini membuka luas kans ‘sok berkuasa’ orang mel-mel atas orang ren-ren dan orang iriri di Kei. Dengan demikian Saya menyimpulkan bahwa kekuatan ekonomi sangat bepengaruh bagi kelanggengan dominasi strata atas marna (Kisar) dan mel-mel (Kei), terhadap strata tengah wuhur (Kisar) dan ren-ren (Kei) dan strata bawah akka.  (Kisar) dan iriri (Kei).
Uraian panjang lebar di atas menunjukan bahwa strata sosial atau pelapisan sosial menjadi masalah terberat bagi perkembangan dan kemajuan orang Kei, di Maluku Tenggara. Sistem sosial ini terpelihara dengan baik oleh orang mel-mel di elit masyarakat, terutama kalangan birokrasi di pemerintahan Kabupaten Maluku Tenggara dan di Kota Tual. Ia juga berlaku bagi orang-orang Kei yang berada di luar daerah dan termasuk juga sangat kuat dipertahankan di dalam pelayanan GPM. Jika pembaca sempat datang di Kabupaten Maluku Tengara, khususnya di Kei Besar, dan bertanya kepada seorang tentang hidup bersama dan berbagi di antara strata, mel-mel, ren-ren dan iriri, lawan bicara anda akan mengatakan semuanya berjalan dengan baik.
Alasan seperti itu tertutupi dengan baik dan seakan normal saja keadaannya. Sebab  pada kenyataannya, orang mel-mel berlaku sebagai induk semang dalam tiga hal, yaitu : Pertama, ‘hedonisme’ individual. Penggelontoran biaya dan keperluan hidup demi kesenangan kepada saudara mel-mel-nya yang tinggal di kampung, oleh saudaranya yang tinggal dan bekerja di kota, menjadi tren gaya hidup. Telah diuraikan di Bab III, dalam contoh gaya hidup orang mel-mel di desa-desa Weduar, Ohoirenan, Ohoiwait dan Ohoiel, bahwa di desanya si saudara adik atau saudara kakak itu hidup dengan gaya seperti orang berpenghasilan tetap atau PNS. Ia mampu merokok seperti pegawai negeri, punya alat-alat elektronik luks, perlengkapan hidup dan bahan makanan sesehari adalah beras. Ia  tidak berkebun, padahal sesama orang ren-ren dan orang iriri di desanya berkebun dan makan enbal, makanan pokok orang Kei. Ia mampu bergaya hidup senang seperti itu oleh karena ia dibantu secara tetap oleh saudaranya, yang bekerja sebagai pegawai negeri di kota Tual. Karena itu gaya hidup dan perilakunya berbeda dari warga ren-ren dan iriri lainnya. Ia tetap menikmati kesenangan hidup oleh ‘suplayer’-nya di kota, sedangkan sesama orang ren-ren dan iriri di desanya bergulat dengan hidupnya. Kesenjangan hidup seperti ini memperluas atau lebih tepat tetap memperkokoh ‘status sosial’ si orang mel-mel di desa.
Kedua, “Reorganisasi” kekuasaan lokal. Orang mel-mel menduduki jabatan pimpinan di desa-desa, seperti menjadi kepala desa, kepala urusan di Kantor Desa dan di pelayanan Gereja, seperti menjadi Wakil Ketua Majelis Jemaat, Ketua Seksi Pelayanan, dan lain-lain. Tangungjawab sebagai pimpinan atau ‘orang penting’ di posisi staf kantor desa dan di Majelis Jemaat, punya dampak tersendiri bagi kelanggengan berkuasa, berbanding dengan orang-orang ren-ren atau iriri. Maksud Saya, mereka lebih banyak punya kesempatan untuk berkuasa, kalau tidak bisa disebut sebagai bertanggungjawab bagi kelompok orang yang dipimpinnya.
Ketiga, keterkaitan (a) dan (b) menjadi lahan bagi praktek penindasan dalam sistem orang rumah, seperti yang ada di desa Ad dan desa Mu’un. Pengamatan Saya menun-jukkan bahwa, keberadaan orang rumah tetap ada di semua desa di Kei Besar, terutama di desa-desa yang masih kuat mempertahankan strata. Sekalipun tersamar oleh kompleksnya kegiatan dan pengaruh hidup di desa, yang interaksi dalam peran dan fungsi sosialnya kelihatan sudah membaur, namun prakteknya masih ada dan kuat ‘terorganisir.’ Keberadaannya secara nyata, akan tampak ketika ada kerja atau urusan penting tertentu dari orang mel-mel, yang menjadi kepala fam-nya, atau kepala marga-nya. Sebagai contoh, ada satu kejadian di bulan Agustus 2009, sewaktu Saya melaksanakan penelitian di Tual. Saya melihat ada banyak orang bekerja membangun sebuah rumah di daerah Yarler-Kampung Mangga. Mereka orang Mu’un Warfan, yang sedang bekerja bagi orang mel-mel-nya. Sewaktu Saya bertanya kepada salah seorang iriri, ia menjawab : “Katong (kami) datang untuk bekerja bagi katong (kami) pung (punya) tuan mel-mel”atau dalam bahasa Kei : “Am kerja vo mam ten mel,” atau “kami bekerja untuk tuan mel-mel kami.”[22]
Selain itu adanya perilaku orang iriri dengan sikap setia yang sudi takluk kepada tuan mel-mel-nya. Unsur ketaklukan diri ini yang sebenarnya secara diam-diam dilawan dengan kompensasi perilaku menghindar secara halus; dengan pergi berkebun selama berbulan-bulan di hutan, seperti yang sudah diuraikan dalam Bab III. Tetapi mereka, orang iriri, tidak berdaya mengubahnya. Sebab struktur adat telah membekuknya kalah, secara permanen. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa potensi kekuasaan ‘terorganisir’ orang mel-mel dan sikap ketaklukan orang iriri, melanggengkan supremasi kewenangan mel-mel. Kewe-nangan itu menjadi kekuasaan, yang merajalela mulai dari batas kekuasaan di desa sampai menembusi hampir ke semua sendi hidup orang Kei, terutama di birokrasi pemerintahan, dan juga di pelayanan Gereja.  
Menurut saya, ruang terbuka untuk mengekspresikan hak hidupnya, masih ada. Masih ada banyak ruang dan ruang-ruang itu adalah wilayah bebas untuk berekspresi dan berbuat. Sebab ketika semua ruang hidup sudah dibekuk sebagai wilayah ketaklukan, maka di situlah penindasan terhadap hak hidup manusia memuncak (cf.Turner 1975:23-28). Karena itu, penting menonjolkan zona-zona hidup sebagai suatu pencerahan bagi orang Kei, yang sudah beku dengan sistem sosial mel-mel, ren-ren dan iriri. Zona-zona hidup yang Saya maksudkan adalah wilayah tanpa batas.
            Tampaknya, pertarungan strata sosial mel-mel, ren-ren dan iriri berada pada dua arena, yaitu arena internal dan arena eksternal. Pertama, arena internal. Arena ini menempatkan hirarki strata berada pada ketegangan struktural dan fungsional, mel-mel dengan ren-ren (atau mel-nangan = tuan tanah) dan mel-mel dengan iriri. Di Kei Besar Utara, seperti di Dangarat, Mu’un Warfan, Ad, sampai Ohoiraut, persinggungan mel-mel dengan ren-ren (mel-nangan) kurang terasa atau kurang tertekan, jika dibandingkan dengan mel-mel dengan iriri. Di wilayah ini orang iriri selalu siap untuk ‘berbakti’ bagi tuan mel-mel-nya. Persinggungan mel-mel dengan ren-ren, kurang bersitegang tentang siapa mau perintah atau mengatur siapa. Sebab, di wilayah ini masih kuat pengakuan bahwa ren-ren, yang adalah mel-nangan berasal dari asli Kei, yakni sebagai tuan tanah (tuan tan). Mereka sebenarnya juga mel-mel, tetapi karena kemampuannya yang terbatas sebagai penguasa yang hanya tahu banyak hal tentang batas-batas tanah, maka oleh penjajah Belanda mereka dimasukkan ke dalam kelompok ren-ren. 
Di Kei Besar Selatan, seperti Weduar, Ohoirenan, Ohoiwait, Ohoiel, Sather, Tutrean sampai Weduarfer, persinggungan mel-mel dengan ren-ren sangat nyata ada dalam masya-rakat. Ada kejadian di masa lalu, yang menimpa orang ren-ren. Dengan strategi untuk menghindar dari persinggungan terbuka, mereka memakai alasan tertentu seperti untuk menjaga batas tanah, lalu mereka dipindahkan untuk tinggal dan membangun desa sendiri. Contohnya, seperti di desa Markeken, sebuah anak desa dari desa induk Ohoiwait. Tetapi statusnya adalah di bawah pengaturan mel-mel. Begitu juga dengan keadaan di Weduar, Oherenan, Ohoiel dan desa-desa lainnya di Kei Besar Timur.
Contoh lain tentang persinggungan mel-mel dan ren-ren terlihat di konflik sampai jatuh korban jiwa yang sudah beberapa kali terjadi di antara desa Sather, ren-ren, dengan desa Tutrean, mel-mel. Pokok pertikaian adalah mengenai hak mengelola meti, berupa hasil lola. Hal serupa terjadi juga di antara dua desa Holath atas (gunung-Katolik) dan Holath bawah (pantai-Protestan). Kedua desa berseteru tentang hak menuai hasil laut lola dan batu laga. Tetapi, perdamaian dengan penyelesaian adat di antara desa Holath atas dan Holath bawah dicapai pada tanggal 15 Januari 2001 dengan tanda hawear. Perdamaian itu dilaksanakan di woma desa Holath, di perbatasan di antara kedua desa (Sedubun 2001:24).
Sepintas kelihatan bahwa peristiwa konflik yang sering terjadi di antara kedua desa ini adalah soal ekonomi, ketika musim menuai hasil laut, yang berharga tinggi yaitu lola, dimulai. Seorang tokoh masyarakat Kei Besar[23] mengatakan bahwa sebenarnya sumbernya bukan pada soal ekonomi. Tetapi, pada prestise hidup orang mel-mel. Contohnya di desa Tutrean, orang mel-mel menegaskan bahwa meti itu mereka kuasai. Oleh sebab itu, orang Sather, yang ren-ren, harus dengar dan ikut saja bagaimana pengaturan penuaiannya, termasuk jika ada larangan untuk menuainya.
Di Kei Besar bagian tengah seperti di desa-desa Ngurdu, Fako, Ngad, Kilwaer sampai desa Katolik terbesar, Bombai, hubungan mel-mel dengan ren-ren lebih demokratis sifatnya. Contohnya, pemisahan sona adat dan sona di luar adat, telah dipraktekan. Di Ngurdu dan Fako, pelayanan GPM bisa ditangani oleh orang ren-ren; bahkan di Jemaat Fako sudah ada jabatan Penatua oleh seorang iriri dan ia[24] bisa berkhotbah di Ibadah Minggu tanpa ada teguran atau protes dari orang mel-mel.
Sewaktu kita melihat kenyataan konflik di antara mel-mel dengan ren-ren dan juga di antara mel-mel dengan iriri, maka kejelasannya mesti dicari dari sejarah pembentukan strata-strata itu di tanah Kei, Maluku Tenggara. Pembahasan sejarah membawa pembaca, kita dan semua orang Kei khususnya, akan melihat hakekat hidup manusia, yang sama derajatnya di hadapan Tuhan, Penciptanya. Sejarah pembentukan strata di Kei terjadi sekitar abad ke 15/16. Pembentukan strata ini berkaitan dengan kehadiran orang luar, yang dalam sumber tertulis dan seakan sudah umum diakui sendiri oleh orang Kei, menyebutnya berasal dari Bali. Ohoitimur memberi gambaran tentang orang luar yang Saya maksudkan adalah Kasdew; yang diyakini sebagai orang pertama yang datang dari Bali, terdampar di teluk Sorbay.
Teluk Sorbay[25] adalah selat di antara Letvuan, Debut, Rumadian dan hutan bakau Warwut. Kemudian Kasdew bersama keluarganya menetap di Ohoivur, dekat desa Letvuan sekarang. Informan ini mengatakan : “Dulu orang belum kenal Bali, dan lebih kenal Surabaya (bahasa Kei, Sorbay).” Seorang informan[26] lain menjelaskan lebih jauh, bahwa sebutan teluk Sorbay itu mulai popular ketika ia mendengar dari orangtuanya, yang menceritakan tentang orang Jawa yang datang dan berdiam di Ohoivur, dekat Letvuan. Bahwa sebagian orang Kei menyebut yang datang dan berdiam di Ohoivur, Kasdew, itu orang dari Jawa. Sebutan Sorbay, nampaknya makin populer setelah masa kemerdekaan. Jadi, teluk itu disebut saja dengan nama hoat Sorbay atau teluk Sorbay.
Kehadiran Kasdew dan keluarganya di kemudian hari ditonjolkan oleh tokoh perempuan bernama Dit Sakmas, anak dari Tebtut. Perkawinan Dit Sakmas dengan Arnuhu Suarubun, Raja Danar, menghasilkan proses panjang sampai terjadinya pembentukan Hukum Adat Larvul Ngabal. Tebtut punya saudara Fadirsamai dan Atman. Ayah mereka adalah Kasdew. Oleh karena kemampuannya yang mampu memimpin, maka oleh masyarakat di Ohoivur, Kasdew diterima sebagai hala’ai atau pemimpin pertama di Kei. Waktu itu di Kei, belum ada jabatan raja; yang ada hanya pemimpin atau sebutan lokal hala’ai, sehingga ia menjadi pemimpin pertama bagi masyarakat Kei (Ohoitimur 1983: 49-52).
Saya memakai sebutan orang luar kepada Kasdew dan keluarganya, yang disebutkan di atas sebagai orang-orang Bali, sebagai upaya untuk menunjukkan jalan dari mana arah dan asal usul mereka sampai bisa tiba di tanah Kei, Maluku Tenggara. Sekalipun landasan pasti tentangnya masih bisa didebatkan lebih jauh. Kebenarannya menjadi tugas para antropolog atau pakar sejarah atau peneliti untuk membuktikannya. Namun menurut saya, landasan berpikir logispun kiranya patut dihormati demi upaya mendapatkan kejelasan mengenainya. Sekalipun itu berupa sebuah ‘rekaan’ saja. Tetapi penting diperhatikan demi menguak latar kebenaran sejarah ataupun kesediaan hati untuk memperbaiki sejarah. Sebab sejarah yang benar adalah kejadian-kejadian yang membawa pambaruan. Pembaruan itu berkait erat dengan harkat dan martabat hidup manusia yang mesti menikmati hidup dalam kebebasan, sukacita dan damai sejarah.
Sedubun (2001: 20) memperkirakan kedatangan orang luar tiba di tanah Kei sekitar tahun 1502-1543 dan membentuk pemerintahan sampai lahirnya Hukum Adat Larvul Ngabal, di antara tahun 1557-1567. Untuk mengetahui asal-usul penentuan waktu tibanya ‘orang luar’ di Kei, saya memakai dua cara penghitungan, yaitu : penghitungan batas atas dan penghitungan batas bawah. Pertama, penghitungan batas atas. Mulai dihitung dari waktu kehancuran dan pengungsian Raja Majapahit bersama dengan masyarakatnya dari Jawa ke Bali, yang terjadi pada tahun 1478, ditambah dengan usia teratas ‘orang luar’ yang datang menyebarkan dan mengokohkan Hukum Adat Larvul di Kei Kecil, yaitu 65 tahun. Penetapan usia menjadi ukuran penghitungan batas akhir, karena waktu itulah akhir dari masa penentuan penyebaran Hukum Adat Larvul Ngabal secara utuh di tanah Kei. Berarti waktu batas atas kedatangan orang luar adalah tahun 1543; yang didapat dari 1478 (kehan-curan Kerajaan Majapahit) + 65 (usia teratas orang luar terakhir, yang berperan menyebarkan dan mengesahkan Hukum Adat Larvul di  Kei Kecil) = 1543. Kedua, penghitungan batas bawah. Mulai dihitung dari waktu akhir penyebaran Hukum Adat Ngabal di Kei Besar tahun 1567, dikurangi dengan usia teratas ‘orang luar’ yang datang menyebarkan dan mengokohkan Hukum Adat Ngabal di Kei Besar, yaitu 65 tahun. Hasil waktu batas bawah adalah 1567-65 tahun = 1502. Dengan demikian, waktu kedatangan ‘orang luar’ yang tiba di tanah Kei, Maluku Tengara, adalah di antara tahun 1502-1543.
Mengapa saya menyebut orang-orang yang pertama kali datang di tanah Kei itu dengan sebutan ‘orang luar’ dan bukan orang Bali, sama seperti yang disebutkan oleh Ohoitimur dan juga diakui oleh hampir semua orang Kei ? Sebab tujuan utamanya adalah untuk melihat kaitannya dengan pembentukan dan sekaligus pengakuan keberadaan strata-strata mel-mel, ren-ren dan iriri di tanah Kei. Ada dua alasan mendasar sebagai praduga untuk melihat kembali dasar keberadaan strata-strata mel-mel, ren-ren dan iriri di tanah Kei. Pertama, bahwa ‘orang luar’ itu sangat mungkin adalah orang Jawa, warga Kerajaan Majapahit, yang kesasar dari sasaran pelariannya selama pelayaran mengungsi dari pulau Jawa ke pulau Bali. Raja dan rakyat Majapahit mengungsi keluar ke Bali untuk menghindarkan diri dari perang melawan kekuasaan Islam, yang adalah sesama saudaranya orang Jawa. Mereka bukan orang Bali, tetapi orang Jawa, tepatnya Jawa Timur yang mengungsi ke Bali. Jadi, Kasdew dan keluarganya dalam pelariannya, tidak mencapai Bali, tetapi tercecer atau terdampar dalam pelayarannya, dan akhirnya tiba di teluk Sorbay. Pemahaman tentang ‘pengungsi’ yang lari dan berhasil tiba di tanah Kei adalah orang Jawa, dan bukan orang Bali, menjadi penting. Dengan demikian, orang luar atau Kasdew, patut diduga berasal dari Jawa. Bukan dari Bali. Selama ini semua orang Kei menyebut Kasdew berasal dari Bali. Penetapan pemahamn seperti ini berkonotasi pengesahan status strata mel-mel, ren-ren dan iriri; di mana karena di Bali ada pembagian kasta dan karena itu sama dengan di tanah Kei juga ada kasta. Padahal kasta pelapisan sosial di tanah Kei itu sangat berbeda dengan yang ada di Bali dan di India. Di Kei itu bukan kasta, tetapi strata (Laksono dkk, 2005: 88-92). Sebab, kasta punya struktur organisasi dengan pemimpinnya dan ada ideloginya, yang menjadi dasar perjuangan tiap kasta, seperti di India.
Kedua, pengakuan dan pemisahan secara kokoh strata mel-mel, ren-ren dan iriri di tanah Kei terbentuk pada masa penjajahan Belanda di abad ke-16/17. Prosesnya bisa diuraikan dengan jelas sebagai sebuah upaya politisasi dengan akibat penindasan masyarakat demi mencapai kepentingan penjajah Belanda. Belanda mengambil orang mel-mel dari mereka yang pandai administrasi dan berkemampuan menjadi pemimpin dalam masyarakat. Yang terpilih di sini adalah para orang luar yang dalam kedudukan sebagai raja-raja pertama di tanah Kei, disebut hala’ai atau pemimpin. Mereka adalah orang dari (Bali), Jawa, Ternate (dan Arab). Orang Ternate (dan Arab) ini bisa terlihat dari turunan Raja di pulau Dulahlaut, Tual, Ibra dan beberapa desa Islam di Kei Besar. Orang (Bali), Jawa lebih banyak menjadi mel-mel. Dari sini kita bisa mengerti bahwa sebelum Belanda mengokohkan keberadaan strata mel-mel, ren-ren dan iriri di Kei, strata itu sudah ada. Sebab, orang mel-mel di Kei sesungguhnya berasal dari dua sumber, yaitu : mel-roa, atau orang memerintah yang berasal dari ‘orang luar’ (Jawa) dan pendatang (Ternate dan Arab), dan mel-nangan, yang adalah asli Kei. Orang Kei mengenal mel-nangan adalah para Raja, yang tahu akan batas-batas tanah. Mereka disebut tuan tan atau tuan tanah, yang banyak tersebar selaku strata ren-ren di Kei Besar.
Ketika Belanda datang, karena kepentingan pemerintahan dan politik (keamanan), diubahlah menjadi strata atas, mel-mel terdiri dari orang-orang yang mampu memerintah dan mengatur masyarakat; yang masuk di sini adalah orang Jawa, Ternate (dan Arab). Strata tengah atau ren-ren adalah mereka yang mengurus tanah dan mandor bagi pekerjaan Belanda; masuk di sini orang mel-nangan, yaitu para tuan tanah asli Kei, atau tuan tan. Strata bawah adalah iriri yang berasal dari para opas atau tenaga buruh kasar tanpa gaji, pemikul peralatan tentara dan alat-alat masak untuk operasi militer. Orang iriri ini terbanyak adalah budak atau orang hukuman yang ditebus oleh seseorang atau iriri tivtivut atau budak yang ditebus, (Ohoitimur 1983:13), lalu dijadikan budak.
Selanjutnya, pemerintah Belanda menguatkan pembagian masyarakat Kei dalam tiga strata sosial, yaitu mel-mel, ren-ren dan iriri. Penguatan strata ini juga makin menggumpal ketika muncul gerakan dan gejolak politik yang menimpa dan mengucilkan orang pribumi Kei. Undang-undang pemerintahan yang digulirkan dari pusat menguatkan strata di masyarakat Kei. Kondisi itu ditunjang juga dengan arogansi oknum-oknum mel-mel di birokrasi eksekutif, legislatif dan pemilik modal, lalu lahirlah mel-mel sebagai strata yang tertinggi, berkuasa dan punya hak-hak istimewa di hampir segala bidang kehidupan di masyarakat Kei. Orang ren-ren dan iriri tersandra oleh ketidakadilan sejarah, buah tangan penjajah Belanda dan diteruskan oleh saudaranya sendiri, orang Kei mel-mel.
Untuk bisa mencapai hidup bersama sebagai orang Kei, maka upaya untuk hidup setara tanpa batas pemisahan mel-mel, ren-ren dan iriri, harus ditempuh. Jalan untuk mewujudkannya adalah dengan upaya penelusuran asal-usul keberadaan status kasta di Kei. Upaya ini harus dilakukan secara transparan dan jujur demi mendirikan keutuhan sejarah orang Kei. Menurut saya, selama ini orang Kei sendiri yang melanggengkan perbedaan dalam kasta sehingga ia terus berakar dalam masyarakat. Perkembangan dunia yang makin transparan dan ilmu pengetahuan yang makin maju dapat menjelaskan banyak aspek kehidupan, termasuk asal-usul strata di Kei. Selain itu, dasar terpenting lain adalah dasar keyakinan iman Krsitiani kita, yang menekankan tentang kesetaraan hidup di mata Tuhan, harus menjadi tapak jalan mencari kasih-Nya dalam sejarah hidup manusia Kei.
Sebab, dengan mengetahui secara jelas asal-usul bentukan kasta, maka kesempatan bagi semua anak-anak Kei untuk bersama-sama membangun Maluku Tenggara terbuka dengan baik. Dengan jalan itu, tidak ada lagi bentuk-bentuk penindasan mel-mel terhadap ren-ren dan iriri, seperti yang masih ada sampai sekarang. Yang ada adalah ain ni ain, vuut ain mehe ngifun, manut ain mehe tilor ; atau kita (orang Kei) semua berasal dari satu sumber saja. Orang Kei patut mengatakan dan mengakui bahwa selama ini mereka hanya ‘dibodohi’ oleh pembelokan sejarah buatan penjajah Belanda dan mereka sendiri juga ikut-ikutan melanggengkannya.
Dari diskusi dengan beberapa teman sejawat[27] dan penelaahan dari dokumen tertulis, rahasia menuju kejelasan asal-usul kasta bisa dimulai dari awal mula datangnya orang luar atau Kasdew dan keluarganya ke tanah Kei. Menurut Saya, paling sedikit ada dua hal yang bisa membantu dalam upaya mencari kejelasan dimaksud. Pertama, bagian keterangan tentang awal-mula kedatangan Kasdew. Disebutkan oleh Ohoitimur bahwa Kasdew tersesat dalam pelayaran dan sampai ke teluk Sorbay, sebuah daerah di dekat tanjung Debut di pulau Dullah, Kei Kecil (Ohoitimur 1987:50-51). Sampai sekarang ini, semua orang Kei berpendapat bahwa Kasdew, yang tersesat dalam pelayaran dan kemudian terdampar di teluk Sorbay, berasal dari Bali atau tersesat karena berlayar dari Bali. Pertanyaan yang sangat penting di sini adalah untuk apa ia berlayar dari Bali, kemana tujuan pelayarannya dan apa alasan pelayarannya itu, sehingga ia bisa ‘tersesat’ dan terdampar di teluk Sorbay ?! Pertanyaan mengenai sebab dan motivasi pelayarannya, tidak jelas.  Informasi yang sudah diketahui umum bahwa waktu itu Kerajaan Majapahit sedang mengalami ancaman kehancuran, yaitu perang melawan pengaruh kekuasaan Islam. Untuk menghidari perang, keluarga Raja dan masyarakat Majapahit mengungsi ke pulau Bali. Mereka mengungsi lewat laut dengan berlayar. Kedua, kesediaan hati semua orang mel-mel, untuk mencerna dengan hati dan imannya, adakah baik pemisahan strata seperti yang ada sampai sekarang ? Baik yang dimaksud adalah menyangkut keadilan hidup dalam dasar iman sesuai agamanya. Adil dalam agama apapun menekankan kesetaraan hidup di hadapan Tuhan bagi semua orang; termasuk orang Kei berkaitan dengan kemajuan yang dicapai berbanding potensi intelektual, spiritual dan kulturalnya.
Sampai sekarang anak-anak muda potensial Kei, tidak sudi kembali mengabdi membangun Maluku Tenggara, karena perbedaan kasta. Mereka terbanyak adalah orang ‘kasta tengah’ atau ren-ren dan ‘kasta bawah’ atau iriri. Sewaktu Saya masih melayani di Jemaat GPM Kamal, Klasis Kairatu di tahun 1991, sekarang Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Barat; ada seorang pemuda Kei,[28] fasih berbahasa Inggris lulusan Fakultas Teknik Universitas Pattimura. Ia datang menemani rombongan bangsa asing bersama Kapal Penginjilan Doulos. Ketika Saya bertanya kapan ia mau kembali ke Tual untuk bersama mengabdi membangun Maluku Tenggara, ia menjawab : “Pak, terlalu susah sebab kasta terlalu kuat. Saya lebih suka mengabdi di luar, seperti di Papua. Ada beberapa teman saya orang Kei juga tidak suka kembali ke Tual sebab ada pemisahan kasta.”
Kedua, arena eksternal. Arena ini menempati ketegangan di antara penjabaran dari berpemahaman dan berbuat sebagai gambaran ukuran amsal, ain ni ain, berhadapan dengan perkembangan hidup dengan semua pengaruhnya. Pengaruh terbesar berasal dari dunia pendidikan dan pengembangan ekonomi. Dunia pendidikan dimaksud adalah dari pendi-dikan formal dan informal dan pengaruh media cetak dan elektronik. Di pendidikan formal, mulok atau muatan lokal, dalam kurikulum pengajaran di tingkat SD, SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi, ada menampung materi pengenalan identitas budaya lokal, seperti bahasa dan tradisi adat lokal. Tetapi ujungnya adalah untuk mendapatkan nilai bagus. Ia tidak memperkuat bentukan integritas dan jati diri budaya siswa atau mahasiswa bersang-kutan. Seorang kepala dari sebuah SMA Negeri ternama di Tual mengakui bahwa  “Muatan lokal berisi nilai-nilai adat budaya, tetapi sasaran akhirnya adalah pada nilai raport, sehingga siswa berupaya melakukan isi kurikulum saja. Selama ia masih studi, ia tekun menjalani matapelajaran itu. Tetapi setelah tamat, bentukan muatan lokal, seperti bahasa Kei, ia lupakan.”[29]
Saya berpandangan bahwa GPM punya banyak sarana pendidikan, mulai dari TK, SD, SMP dan SMA, sampai Universitas. Sekolah-sekolah TK, SMP dan SMA, masih kurang jumlahnya. Tetapi, Yayasan Pendidikan Kristen DR. J. B. Sitanala, milik GPM, melayani banyak SD, yang tersebar hampir di seluruh wilayan pelayanan GPM. Karena itu adalah baik, jika GPM mengoptimalkan sarana-sarana pendidikannya itu untuk mengembangkan pengajaran dan pendidikan adat-budaya daerah. Di sekolah-sekolah di wilayah bersang-kutan, hendaklah muatan lokalnya adalah pengajaran tentang identitas lokal milik masya-rakat di situ. Pengajaran dan pendidikan adat-budaya lokal ini dapat ditindaklanjuti keles-tariannya dengan membuat lomba-lomba atau penonjolannya di acara-acara Gerejawi dan nasional, sehingga anak-anak, remaja, pemuda dan orang dewasa makin mengenal iden-titas adat budaya miliknya sendiri. Tidak hanya di situ, kesempatan utama juga adalah pembiasaan pemakaian identitas adat-budaya itu dalam semua kegiatan ibadah Gereja dan kegiatan-kegiatan lain di luarnya.
Saya melihat bahaya sedang mengancam keberadaan bahasa daerah. Salah satu contoh misalnya di desa Adaut di pulau Selaru, Tanimbar Selatan. Di sekolah, anak-anak SD, SMP dan SMA, dilarang berbahasa daerah oleh ibu-bapaknya. Waktu Saya bertanya mengapa bisa demikian, salah satu orangtua anak-anak itu menjawab : “Sebab kalau dorang (mereka, anak-anak) pake (pakai) bahasa Adaut/Tanimbar, nanti dorang (mereka, anak-anak) bodo (bodoh) bahasa Indonesia di sekolah.”[30] Nampaknya, tekanan guru bahasa Indonesia di sekolah membuat orangtua siswa mengharuskan mereka berbahasa Indonesia di rumah dan dalam pergaulan sehari-hari. Jika ditemukan berbahasa Tanimbar, maka mereka dilarang, sampai dipukul dengan rotan. Cara ini pelan, tetapi pasti sangat berperan menjadi alat yang ampuh menumpas bahasa daerah supaya hilang dari hati dan jiwa pemiliknya sendiri, yaitu anak-anak Adaut, atau lebih luas lagi anak-anak Tanimbar.
Di pihak lain, pengaruh aspek rasional dari pencapaian tingkat pendididkan tertentu membuat seseorang bisa merasa kuno atau tertinggal, jika terus menganut tradisi dan nilai-nilai adat budaya lokal. Bahasa daerah, juga dipandang sebagai perilaku hidup terbelakang. Apalagi di kalangan anak muda terdidik di kota atau yang putus sekolah dan sempat pulang ke desa. Mereka lebih merasa diri ‘keren’ kalau bisa berbahasa dengan dialek popular menurut gaya Jakarta atau ke-barat-baratan. Saya masih ingat ketika pulang ke Tual di tahun 1978, di kantor-kantor para pegawai masih berkomunikasi dengan memakai bahasa Kei. Namun sekarang, warna logat Jawa-Jakarta, semakin menjadi ungkapan bahasa komunikasi menggantikan bahasa Kei. Orang muda Kei, seakan lupa identitas jika berbahasa daerahnya sendiri.
Saya menemukan bahwa tingkat pencapaian hidup ekonomis juga sangat mem-pengaruhi perilaku dan interaksi di antara tiap strata dan antara tiap-tiap strata dengan masyarakat luas. Dalam contoh penampilan seorang ren-ren, Mecky Rumthe, yang telah diuraikan sebelumnya, terlihat bahwa sona hidup di luar adat muncul dengan kebebasan ruang geraknya. Maksudnya, di wilayah hidup ekonomi, siapa yang berhasil mencapai keberhasilan hidup ekonomi dan mencapai tingkat kepenuhan kebutuhan hidup dengan baik, ia dihormati dan disegani.
Dalam batas ini, tidak ada seorang pun yang bisa mengganggu, mengambil, apalagi memberi sanksi berupa upaya memisahkan dia dari masyarakat adat; seperti yang selama ini terjadi seakan-akan ‘semua’ wilayah olah hidup harus didominasi oleh orang mel-mel saja. Penegasan di atas dapat dibandingkan dengan gambaran kecenderungan dominasi mel-mel dari desa sampai ke birokrasi pemerintah di Kabupaten Maluku Tenggara dan di Kota Tual, seperti yang sudah diuraikan. Sederhananya, di sini tidak ada sama sekali daya campur tangan, atau kewenangan dari pihak manapun untuk menyerobot dan menguasai, termasuk pihak adat, yang selalu dapat mempertahankan supremasi kewenangan mel-mel terhadap ren-ren dan iriri.
Dari gambaran di atas, GPM sedapatnya berupaya mengubah strata mel-mel, ren-ren dan iriri di masyarakat Kei supaya mereka hidup setara. Tentu upaya itu bertolak dari hakekat GPM selaku Gereja yang meniadakan perbedaan di antara sesama manusia. Bahwa tidak saja orang mel-mel, yang bisa menjadi orang terdepan memimpin masyarakat-nya sendiri. Tetapi seperti yang demikian juga bisa dilakukan oleh orang ren-ren dan iriri; mereka berhak menjadi Pendeta di Jemaat-Jemaat GPM, termasuk di Kei Besar dan Kei kecil; mereka berhak menjadi pegawai negeri sipil, yang dengan ukuran prestasi dan karir kerja bisa menjadi kepala dinas, kepala bagian dan jabatan-jabatan penting lainnya; dan kesempatan memimpin lainnya. Semua itu harus dimulai dari perubahan status yang selama ini sangat berbeda, menjadi penyatuan hidup bersama. Dengan jalan ini berarti GPM sebagai Gereja Tuhan yang melayani di Maluku menjunjung tinggi hak dan martabat semua manusia yang sama derajatnya di hadapan Tuhan.
Sebab di dalamnya GPM terpanggil untuk bersama-sama dengan Jemaat-Jemaatnya di Kei, memberi arti atas sejarah hidup bersama sebagai umat milik Tuhan. Dalam memberi arti, GPM patut ingat bahwa ia sendiri juga selama ini telah berperan melanggengkan praktek diskriminasi sebagaimana yang ada di kalangan mel-mel terhadap ren-ren dan iriri; misalnya dengan selalu mempertimbangakan penempatan Pendeta orang mel-mel saja di Jemaat-Jemaat di Kei Besar dan di Kei Kecil. Sudah saatnya GPM berupaya membuat terobosan kontekstual dalam penempatan Pendeta tanpa mendasarinya pada perbedaan strata mel-mel, ren-ren dan iriri; sebagaimana yang terjadi dengan penempatan Pdt. Omy Yamla’ai di Jemaat Soindad, seperti telah diuraikan. Di tahun 2007 BPh Sinode hendak menempatkan seorang Pendeta orang Kisar menjadi Ketua Klasis di Kisar. Tapi rencana itu batal, sebab Pendeta itu orang dari strata bawah, strata akka. Di wilayah pelayanan GPM ada dua daerah yang masih kuat mempertahankan sistem pelapisan sosial dalam masyarakat. Dua daerah itu adalah di Kisar dan di Kei, Maluku Tenggara. Sayangnya, GPM terlihat belum mampu membuat terobosan menghadapi penempatan Pendeta di dua wilayah ini. Sebelum penempatan seorang Pendeta pada Jemaat di dua daerah ini, BPH Sinode GPM dapat membuat pendampingan pastoral dan penguatan pemahaman lainnya kepada anggota Jemaat, sehingga ketika si Pendeta datang, umat sudah bisa siap untuk hidup dalam pelayanan Gereja bersama Pendeta mereka.
Upaya memberi pemahaman dan pendampingan yang saya sebutkan di atas tidak hanya cukup dilakukan oleh Ketua Klasis atau Anggota Badan Pekerja Klasis (BPK) saja. Tetapi dapat disertai juga dengan kehadiran unsur Pimpinan BPH Sinode demi memperkuat visi dan misi pelayanan GPM di Jemaat bersangkutan. Selama ini nampaknya BPH Sinode GPM hanya melihat jalan yang mudah ditempuh saja, yaitu pertimbangan mengenai konsekuensi praktis yang akan mengganggu pelayanan apabila GPM berupaya menghapus strata secara radikal dengan mengubahnya menjadi tidak ada dan tidak berlaku.
Menurut Saya, upaya itu merupakan sebuah tindakan penting dari perbuatan Yesus yang mendasar dan radikal, ketika ia melihat ketidakadilan dan penindasan kepada sesama manusia. Dalam beberapa kisah di Perjanjian Baru terlihat dengan jelas sikap Yesus terhadap perlakuan rasial orang Yahudi; bisa disebutkan di sini kisah Orang Samaria yang murah hati (Lukas 10:25-37); Yesus makan bersama dengan Pemungut Cukai dan tidak disenangi orang Farisi (Matius 9:9-13; Markus 2:13-17; Lukas 5:27-32), dan lain-lain. GPM sebagai agen pembaruan, bisa melakukan perubahan itu secara terrencana dan berkesinambungan. Ia tidak boleh memberikan toleransi kepada tumbuhnya batas-batas sosial-budaya seperti mel-mel, ren-ren dan iriri. Prinsipnya bertumpu di atas kebebasan dan keselamatan yang sudah Yesus buat dalam kematian dan kebangkitan-Nya. Pengorbanan Yesus yang telah membebaskan dan menyelamatkan manusia adalah hak setiap manusia ciptaan Tuhan. Karena itu GPM dapat melaksanakan kebijakannya dengan menempatkan misi keselamatan Tuhan sebagai dasar perubahan revolusioner atas mutasi Pendeta, Katekisasi, PAK dan pengajaran iman bagi umatnya di Kei.

-------nseb-------
Catatan:


[1] Kegiatan Penelitian ini berkaitan dengan penulisan Disertasi untuk kepentingan akademis di Universitas Kristen Duta Wacana.
[2] Bentuk pemerintahan di desa-desa di Kei terbagi atas tiga tingkatan; mulai dari Rat (Raja), Orangkay (Kepala Desa) dan soa. Di tingkat Rat atau Raja, mengepalai beberapa desa dan beberapa dusun. Orangkay (Kepala Desa) mengepalai sebuah desa dan soa dikepalai oleh seorang kepala soa. Wilayah pemerintah Rat disebut Ratschaap, desa disebut Ohoi dan soa disebut Soa.
[3] Enbal bisa diartikan sebagai pohon atau umbi ketela pohon beracun yang masih mentah dan belum diparut. Bisa juga disebut hasil olahan berbentuk sagu bakar dan siap dimakan. Umbi ketela pohon diambil, dikupas, diparut kemudian diremas atau ditindis untuki mengeluarkan sari beracun sianida. Hasil parutan diremas atau biasanya dibungkus dalam karung, diikat lalu ditindis. Ampas itu dibuka, dianginkan, diayak dan dibiarkan selama beberapa jam baru dibakar. Tujuan dianginkan adalah supaya kandungan gas beracun dalam ampas itu hilang dahulu, baru dibakar menjadi enbal.
[4] ‘Orang rumah’ adalah sebutan untuk orang ren-ren dan terutama orang iriri, yang menjadi kelompok terbawah yang dikuasai oleh seorang mel-mel sebagai kepala fam-nya. Orang-orang ini biasanya dipakai sebagai para pekerja bagi kepentingan ‘tuan’ mel-mel-nya.-
[5] Wawancara 11 Mei 2009, dengan Bapak. O. Renmaur di Jemaat/desa Mu’un Warfan.
[6] Wawancara 12 Mei 2009 dengan Bapak D. Silonyanan di Jemaat Ad.
[7] 1967-1973.
[8] Wawancara 14 Mei 2009 dengan Obed Renuf di Jermaat/desa Ad.
[9] Wawancara 18 Mei 2009 dengan BobyRahayaan di Jemaat/desa Ad.-
[10] Wawancara 21 April 2009 dengan Petu Rahayaan.
[11] Wawancara 27 Juli dengan S L. Ia meminta namanya diberi inisial saja
[12] Wawancara 30 Juni dengan M. Ateng, Ohoimuar.
[13] Wawancara tanggal 22 Juli dengan Tjada Ingratubun.
[14] Pdt. J. Elwarin, S.Th
[15] Wawancara 21 Mei 2009 dengan Pdt. T. J. Erlely.-
[16] Wawancara tanggal 30 Mei 2009 dengn Rinto Retraubun, Pengurus AM GPM Kota Tual.
[17] Wawancara tanggal 28 Mei 2009 dengan Bapak Emus Ngamel.-
[18] Wawancara tanggal 31 Mei 2009 dengan M N, seorang mahasiswa orang Tayando.
[19] Mecky Rumte
[20] Wawancara 16 Juni 2009 dengan P. T, seorang anggota DPRD Malra. Ia minta namanya diberi inisial saja.
[21] Pdt. Nn. Omy Jongnain
[22] Wawancara 16 Agustua 2009 dengan Gayus Renmaur.-
[23] Wawancara tanggal 29 Juli 2009 derngan P. Tapotubun di Tual.-
[24] Data penelitian di Fako selama Juni 2009
[25] Nama teluk Sorbay konon mulai disebut berkaitan dengan kedatangan pertama Kasdew. Wawancara dengan Beny Sedubun, 8 Januari 2010.
[26] Wawancara dengan Tjak Warbal, 6 Januari 2010.-
[27] Diksusi-diskusi ini berlangsung beberapa kali selama saya melakukan penelitian November 2008- Juni 2009 di Tual-Maluku Tenggara: dengan PR dan kawan-kawannya, anggota DPRD Tual; EB, seorang Pendeta di Tual; dan WB, seorang birokrat di kantor Bupati Maluku Tenggara, serta beberapa tokoh adat lokal. Nama mereka dengan inisial saja, sebab topik tentang strata masih sangat peka di kehidupan orang Kei.-
[28] Hendrik Rumthe seorang ren-ren, Sarjana Teknik Universtas Pattimura. Ia seorang perterjemah bagi rombongan penginjilan Doulos.-
[29] Wawancara tanggal 12 Juni 2009 dengan Bpk Tony Labetubun, Kepala SMA Negeri 1 Tual.
[30] Wawancara tanggal 15 November 2009 dengan Ibu Nelly Batlayar.

Pustaka:
Laksono, P. M
2005       Wuut Ain Mehe Nifun, Manut Ain Mehe Tilor (Eggs from One Fish and One Bird, Study of
the Maintenance of Social Boundaries in the Kei Island-Dessertation), Ithaca, Cornell University
Laksono, P. M. Dkk
2005       Kekayaan, Agama dan Kekuasaan :Identitas & Konflik di Indonesia Timur,Yogya, Kanisius
Ohoitimur, J
1992       Beberapa Sikap Hidup Orang Kei : Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan,
/Thesis,Manado, STS Pineleng
Sedubun, Nicodemus
2001       Kalimat-un Sawa Dalam Qur’an, Sebuah Sumbangan Pemahaman Aqidah Islam
TerhadapSumpah Perdamaian Hawear (Tesis), Yogyakarta, PPS-T UKDW
Turner, Victor
                1975       Drama, Fields and Metaphors, Symbolic Action in Human Society, Ithaca, Cornell                                 University Press  

4 komentar:

  1. Trima Kasih Bpk. Pendeta , kapan bisa masukan penulisan hasil penelitian dari Hoar Ngutru Kei besar Tengah.

    BalasHapus
  2. Trima Kasih Bpk. Pendeta , kapan bisa masukan penulisan hasil penelitian dari Hoar Ngutru Kei besar Tengah.

    BalasHapus
  3. Promo Bonus Spesial Judi Online !

    • Bonus Deposit Pertama 10%
    • Bonus Deposit Harian 5%
    • Bonus Cashback Mingguan s/d 10%
    • Bonus Referensi ajak teman 7% + 2% (Seumur Hidup)

    Memiliki Legalitas sertifikat resmi sebagai platform Judi Online di Asia dan Eropa. Minimal deposit & withdraw 50ribu rupiah. Menerima Transaksi Via :

    » Linkaja
    » Sakuku
    » Dana
    » Gopay
    » Ovo
    » Pulsa
    » Semua Jenis Rekening Bank Di Indonesia

    Link Pendaftaran »» https://bit.ly/kontak24jam

    1#Livechat Bolavita
    2#Livechat Bolavita

    BalasHapus