Sabtu, 04 Januari 2014

Menganyam atap demi hidup masa depan




Nama : Jidon Jokohael
Sekolah: SMA Elat
Kelas : II
Umur : 15 tahun
Alamat : Desa Ohoinangan, Elat, Kei Besar



Anak ini menganyam atap demi membantu orangtuanya untuk mendapatkan biaya sekolah dan kebutuhan hidup lainnya. Apa yang terlintas dibenak kedua adik sepupunya, yang sedang memperhatikan gerak jari kakaknya menganyam atap ? Yang jelas sang kakak agak terkejut sambil memangku adiknya, ketika kilatan blitz kamera menyambar wajahnya. Sementara itu sang kakak sepupu terus tekun menganyam dan adik bungsu dalam pangkuan kakaknya juga tekun melihat kerja kakak sepupunya.
Aktivitas ini menjadi semacam pewarisan ketrampilan dari orang tua kepada anak ataukah sekedar mengisi keteduhan hidup anak-anak desa, dibalik siraman hujan rintik panjang musim timur yang mengepung desa Ohoinangan, tempat jepretan ini dibuat. Di desa ini, atap biasanya dijual satu lembar/bengkawang Rp 2.000,- Pemasarannya cukup baik, terlihat dari banyaknya pesanan, seperti pengakuan warga desa. Namun masyarakat belum mengupayakannya secara baik menjadi semacam industri rumahtangga. Waktu ditanya mengapa belum melirik ke upaya seperti itu, jawabannya adalah karena konsentrasi masyarakat masih tertuju pada usaha kebun untuk makanan sesehari dan usaha sayuran untuk dijual ke pasar. Jika ditelaah, sebenarnya usaha atap dan usaha kebun sayur, sama sama mendapatkan uang. Tapi masyarakat belum bisa jeli melihat peluang waktu dan musim, sehingga kesinambungan usaha bisa berkaitan tanpa saling tindih usaha hidup anyam atap dan usaha kebun sayur. Di Ohoinangan banyak tersedia pohon sagu. Sepanjang jalan di sisi kiri dan kanan, penuh dengan hutan pohon sagu. Tapi penduduk lebih senang mengambil daun sagu saja untuk dianyam menjadi atap, ketimbang memangkur isi pati sagunya untuk diolah menjadi sagu sebagai bahan makanan. Olah sagu untuk makan sehari-hari hanya dilakukan jika sudah tidak ada makanan hasil kebun, atau musim paceklik. Penduduk lokal menyebutnya ‘musim kelaparan.’ Pada umumnya masyarakat membiarkan saja pohon sagu tumbuh sampai mati sendiri. Biasanya setelah cukup lama tumbuh sampai berbunga dan berbuah, maka pohon sagu akan mati dengan sendiri.

Kondisi tanah desa Ohoinangan yang berada di ketinggian dengan hawa sejuk memungkinkan masyarakat bisa berkebun sepanjang tahun, terutama usaha tanaman sayur-sayuran. Sayur-sayuran yang banyak ditanam adalah kacang panjang, sawi, terong, bayam dan labu siam. Biasanya untuk persiapan acara-acara pesta besar, si yang punya hajat selalu memesan ke Ohoinangan.
Hasil kebun : enbal, singkong, keladi, ubi-ubian
Sulitnya pemasaran hasil kebun dan saur-sayuran adalah pada aspek pemasaran. Konsumen yang hanya sebatas penduduk kota Elat dan sekitarnya membuat warga belum bisa berusaha meningkatkan produksi secara maksimal. =Babilon=

June 03, 2011

Nick Sedubun


Tidak ada komentar:

Posting Komentar