Oleh: Pdt. Nick Sedubun
Pengantar
Dalam
hidup bergereja adasangat banyak pandangan dan pemahaman tentang apa itu Salib. Pandangan seperti itu mulai tampil dari
para teolog, intelektual dan juga tidak ketinggalan dari umat yang adalah orang biasa saja. Begitu
‘rumit’ pandangan orang pintar (teolog, intelektual) tentang Salib, sehingga banyak kali umat bingung
mengartikannya.Dengan kemampuan terbatas mereka berupaya menangkap maknanya dan
menjadikannya sebagai pandangan dan dasar bagi perbuatan dalam hidup mereka
sehari-hari. Padahal menurut saya, pemahaman tentang Salib hanya bermuara pada satu
kalimatpendek saja dengan arti yang mahakaya dan mahaluas, yaitu kemuliaan dari
penderitaan. Pemahaman seperti ini yang tumbuh kokoh
dalam hidup umat GPM, sebagai basis bergereja dan sekaligus adalah arenakekayaan
berteologi.
Dengan
judul SalibUmat ...., saya hendak
mengajukan kemuliaan dari penderitaan umat berkaitan
dengan konsep Kemandirian Gereja Protestan Maluku (GPM), yaitu kemandirian
dana, kemandirian daya dan kemandirian teologi. Semoga saja tiga Kemandirian
GPM ini tidak terlupakan dalam penjabaran pelayanan Gereja ke masa depan. Di
sini akan disoroti tentang kemandirian teologi. GPMselaku Bapak (paternal) atau
‘peran ayah,’jangan sampai lepas tangan dari umat. Sebab, konteks pergulatannya
multi kompleks. Sumber untuk meluaskan tulisan ini berasal dari sebagian data berkaitan
dengan suatu penelitian yang saya buat selama tahun 2009-2011 untuk sebuah
karya akademis teologis. Supaya jangan melantur terlalu jauh, saya membatasinya
dalam dua subyek, yaitu ritual adat
dan strata sosial.
Ritual Adat
Bagian ini akan
menyoroti beberapa praktek ritual adat dalam hidup umat di Jemaat. Saya
menyebutnya ‘ritual adat,’ sebab ritual yang dilakukan dilihat sebagai upaya
menjaga keseimbangan kosmologi yaitu hubungan umat selaku masyarakat adat
dengan leluhurnya. Jika ada kesulitan dalam hidup seseorang entah anak sakit,
isteri kerasukan atau suami tertabrak sapi lalu masuk rumah sakit, sering orang
atau keluarga itu menyoalkan : “Ini kejadian mengingatkan katong (kita), tentang adanya tuntutan adat yang belum dipenuhi.” Dalam
suasana seperti ini, ritual untuk memulihkan ketidakseimbangan hubungan dengan
leluhur, dilakukan. Pelaksanaan ritual adat dimaksud, biasanya disebut dengan
kata-kata sehari-hari, bikin batul adat. Bikin batul adat berlaku dengan berbagai motivasi.
a.
Batu Natzar di desa Weduar
Di belakang balai
desa Weduar, tepatnya di sisi kanan arah ke tepi pantai di belakang kantor desa
Weduar, ada sebuah batu tempat orang Weduar meletakan sesajen dan maksud adat
lainnya. Penduduk Weduar menyebutnya sebagai ‘batu natsar.’ Ketika saya tiba di
sana dalam kegiatan penelitian,[2]
batu itu sudah makin tertanam ke dalam tanah pasir. Konon, semula bentuknya
sebesar satu depa manusia dan ia menyembul cukup tinggi di permukaan tanah. Ia
menjadi tempat sakral, sebagai tempat orang membawa natsar adatnya. Maksud
nasar adat adalah agar mendapat keberhasilan hidup, dilindungi dari berbagai
malapetaka dan juga tempat mengadukan maksud-maksud tertentu lainnya.
Di bagian batu
yang pecah, ada bekas semen untuk menyatukannya. Tanda ini memperlihatkan
dengan jelas bahwa ada upaya untuk menjaga kelestarian dan keutuhannya. Saya
mendapat informasi bahwa ada dua pihak yang menyikapi keberadaan batu ini. Ada
warga Weduar yang ingin menjaganya dari kehancuran. Itu terbukti dengan upaya
menyemen bagian yang pecah. Tetapi ada juga penduduk Weduar, yang secara
diam-diam berupaya memecahkannya dan berusaha keras hendak menghilangkannya.
Pada tahun 1970-an,
batu itu pernah dipecahkan sebagiannya dan dibuang ke laut, pada masa Pendeta
Atus Pentury (almarhum) melayani di sana. Latar belakang tindakan itu muncul
dari paham yang melihat pandangan dan praktek dibalik semua maksud nasar adat
yang berpusat di ‘batu natsar’ itu, adalah kafir. Dengan pandangan seperti itu,
tempat itu divonis sebagai pusat penyembahan berhala.
Saya menemukan di
atas batu itu ada pinang, yang lama maupun baru, tembakau dan ada pula beberapa
lembaran kertas yang sudah lapuk dan agak terhapus tulisannya dimakan hujan dan
panas matahari. Menurut penduduk Weduar, ada juga sirih. Ada seorang warga desa
Weduar, yang bertanggung jawab sebagai pemegang amanat atau Juru Kunci-nya.
Bagi siapa saja yang mau membawa nasar adat untuk diletakan di batu keramat
itu, mereka wajib menghubunginya. Si Juru Kunci biasanya mematok sekian biaya
sebagai syarat untuk melaksanakan ritualdimaksud. Sesudah ritual natsar adat
dilakukan di suatu tempat tertentu, yang biasanya dilakukan secara tersembunyi,
baru mereka membawa natsar yang sudah disampaikan di batu keramat, ke Pendeta
untuk didoakan di Gereja. Pendeta biasanya langsung menolaknya.Sekalipun begitu
secara diam-diam si Juru Kunci atau keluarga yang punya maksud, membawa sendiri
nasar doanya itu ke Gereja dan diletakan di dalam peti derma.
Praktek doa adat
biasanya dimulai dengan mengangkat sirih-pinang tinggi-tinggi ke atas, kemudian
diikuti dengan sapaan doa adat yang menyebut nama “Duange………” (Tuhan pengasih
……!!!), selanjutnya diikuti dengan menyebutkan maksud ritus adat dimaksud.
Pendeta, yang melayani di Jemaat Weduar ketika saya melakukan peneitian di
sana, Pdt. Fanny Balubun, menyebut praktek ritus adat seperti ini sebagai
sinkretisme, karena setelah melewati ritual adat baru kemudian diakhiri dengan
doa Pendeta, atau me-nomorsatu-kan roh leluhur, nenek moyang, dan kemudian baru berikutnya, yaitu kepada Tuhan Yesus.
Dari kisah di
Weduar, saya ingat sebuah kejadian mirip sama tentang pemusnahan ‘meja batu’ di
hutan desa/Jemaat Tuhaha, oleh pendeta yang dulu melayani di sana, Pdt. Beny
Laipiopa (almarhum) di sekitar tahun 1965-1970.[3]
‘Meja batu’ itu dilihat sebagai pusat natsar adat yang mematikan bagi warga
Jemaat Tuhaha. Ketika ‘meja batu’ itu dibalik hendak dipecahkan, muncul
berjatuhan banyak potongan kertas yang bertuliskan nama-nama warga jemaat yang
sudah meninggal. Menurut warga Jemaat lainnya yang masih hidup, mereka yang
sudah wafat itu diketahui meninggal dengan cara yang cukup mengerikan.
Saya melihat
perbuatan Pdt. Atus Penturi pada kejadian di Jemaat Weduar dan Pdt. Beny
Laipiopa di Jemaat Tuhaha adalah satu dari sekian banyak vonis negatif perilaku
para Pelayan terhadap pemahaman dan praktek agama suku dalam masyarakat. Pandangan
seperti itu sama dengan respons Pendeta Weduar, bahwa ritus agama suku dengan
semua upacaranya, masih dipandang sebagi perbuatan kafir dan bertentangan
dengan Injil. Frank Cooley (1987: 198-201) mengatakan bahwa sikap seperti itu menempatkan praktek ritus agama
suku, sebagai nilai yang lebih rendah dari ajaran-ajaran agama Kristen
Protestan.Dengan demikian tidak ada sedikitpun nilai agama suku dengan
ritus-ritusnya yang bisa dipakai menjadi ukuran untuk GPM berteologi di dalamnya.
Menurut saya,
ritus agama suku adalah perlambangan etika hidup tradisonal desa yang harus
ditelaah dengan bijak dan mendasar. Sebab di dalamnya, mereka yang mencari
kesembuhan atau mengingini keberhasilan hidup, sebenarnya berjuang mencari
harmoni hidup dalam keseimbangan kosmologi sebagai masyarakat adat (Cf.Ohoitimur
1983 : 93-96). Dalam keyakinan masyarakat, penyakit
dan kesulitan hidup adalah akibat dari seseorang itu telah berbuat melanggar
tuntutan adat. Karena itu, harmoni atau disharmoni hidup (lihat Kraemer
1958:20-25), harus dipenuhi dalam bentuk melaksanakan
beberapa ritus adat. Ia berupa pemberian sesajen atau natsar, seperti di batu
natsar di Jemaat Weduar atau bentuk negatif yang membahayakan hidup orang lain
dalam bentuk natsar maksud kematian, yang disisipkan di meja batu, di Jemaat
Tuhaha.
Perilakunegatif
Gereja melihat ritus-ritus adat seperti disebutkan di atas, menampilkan
perlunya pencerahan paradigma berteologi yang transformatif-kontekstual. Diperlukan
teologi yang melihat kekayaan konteks sebagai medan berupaya mencari jawab akan
kasih dan penyertaan Tuhan bagi hidup manusia ciptaan-Nya. To Thi Anh (1984:
84-91) menyebut bahwa pemberian sesajen itu berkaitan
erat dengan ritus agama suku yang mesti dilakukan demi mendapatkan keseimbangan
hidup di antara manusia dengan alam leluhurnya. Dalam praktek agama suku, upaya
itu berupa pemberian sesajen, sedangkan bagi orang yang percaya kepada Tuhan,
maka ia akan mengisi kekosongan hatinya dengan nilai iman yang kokoh dan
berpengharapan. Hal itu sama seperti yang dikatakan oleh Adolf. E. Jensen (1963:227-228) bahwa manusia selalu membawa atau mewarisi pengalaman ilahi, yaitu
kemampuan spiritual untuk turut ambil bagian di dalam mengisi keko-songan hati
dan jiwanya. Mencari jawab yang saya maksudkan adalah sebuah tindakan yang
tidak sewenang-wenang menyalahkan saja, seperti yang terjadi di praktek memberi
sesajen di batu natsar itu kafir, dan selesai. Tetapi Gereja wajib menemukan
motivasi hidup yang adalah dorongan jiwa si orang yang membawa sesajen itu,
sehingga sekalipun sudah Kristen, tapi ia masih mau membawa sesajen. Apa bentuk
keko-songan hati dan jiwa yang ia hadapi dan bagaimana mengisi kekosongan itu
dengan nilai iman yang berpengharapan (lihat Adam 1992:3-35). Apa upaya pastoral dan tindakan penginjilan, supaya pemahaman dan
praktek memberi sesajen itu diisi dengan pemahaman hidup yang percaya sekalipun
tidak melihat (Yohanes 20:29.b).Demikian
juga dengansikap si penghubung natsar, juru kunci, perlu diberi pemahaman bahwa
manusia hidup bukan saja oleh karena ada makanan, tetapi oleh karena menerima
dan melaksanakan Firman Tuhan (Matius 4:4.b).
Argumentasi saya
bertolak dari fakta sejarah Pekabaran Injil di Maluku yang menunjuk-kan bahwa
GPM pernah menjadi destruktor
dalam memberantas paham dan praktek-praktek serupa. Oleh karena semua unsur
adat dipandang sebagai pemahaman dan perilaku setan, iblis dan kafir, sehingga adat
dengan semua bentuk ritualnya, harus dimusnahkan. Kenyataan itumembuat kita tidak
heran jika wilayah pelayanan GPM di Maluku Tengah, khususnya di pulau Ambon dan
pulau-pulau Lease, tidak lagi ada bahasa daerah. Bahasa daerah memang masih
bisa ditemukan di desa/Jemaat Allah dan Hulaliu. Akan tetapi ia dipakai secara
sangat terbatas yakni hanya di kalangan orangtua-tua saja. Anak-anak muda
sebagai pelestari budaya lokal lebih suka memakai logat gue, gua, nda, ngga atau lu, yang aneh dan ‘gawat’ kedengarannya. ‘Gawat’ karena tekanan(aksentuasi) kata-kata atau kalimat bahasa lokal, atau linguafranca, di Ambon dan Lease ‘kurang pas’ jika dikaitkan serentak dengan logat
Jakarta itu.
Menghadapi kenyataan
konteks seperti di atas, diperlukan upaya berteologi dengan memberi makna yang
sejalan dengan konteks. Sejalan bukan berarti mutlak kompromi. Tetapi perlu
kritik konteks, apresiatif dan transformatif. Karena itu, teologi kontekstual Gereja
harus berani dan terbuka menempuh jalan dengan cara menafsirkan kandungan
nilai-nilai adat-budaya lokal yang menonjol dalam praktek ritual agama suku,
yang diyakini relevan dan berperspektif keselamatan (cf. Carson
&Woodbridge 2002:3-17). Bahwa perbuatan-perbuatan
simbolik dalam ritus-ritus adat seperti
mengangkat sirih pinang tinggi-tinggi lalu menyerukan “Duangee…..” (atau Tuhan Yang pengasih) dengan aksi nyata memberi sesajen di
batu natsar, seperti dalam kisah di Jemaat Weduar di atas, adalah kekuatan
pencerahan. Menurut saya pencerahan di sini berarti Gereja terbuka untuk
memberi isi teologis kepada tradisi ritual adat. Saya melihat bahwa Gereja selama
ini masih berlaku sebagai ‘hakim iman’ atas nilai-nilai adat-budaya konteksnya,
yang sesungguhnya telah lama sangat berperan mewarnai misi pelayanannya. Sudah
waktunya Gereja mengakui bahwa memberikan sesajen natsar di batu, menurut iman
Kristen bukanlah penyembahan, tetapi penghargaan (cf. Jebadu 2009) ?!
Pada
kenyataannyanya, jika kitasudi menilik keluar ke ‘saudara tua’ kita, Gereja
Katolik, ritus-ritus adat telah banyak yang mengalami inkulturasi di dalam
kegiatan bergerejanya (Muskens 1973:173-199). Salah satu yang sangat saya tahu adalah tentang ritus angkat sirih
pinang dengan menyebut atau menyerukan nama leluhur tertentu, lalu sirih pinang
itu ditaruh di kaki atap rumah (Ambon disebut mahangi). Di GPM, perilaku seperti itu masih dipandang sebagai sebuah
penyembahan berhala. Tapi menurut saya,
makna ritual itu yang paling penting sebab ia lahir dari sikap dan motivasi
seseorang terhadapnya.
b.
Woma Sebagai Kepusatan Hidup
Di desa Ohoiwait terbentang sebuah lela di atas kerikil halus di dalam sebuah tembok kolam batu. Di bagian
kepalanya terpancang daun nyiur, atau janur, yang sudah mengering yang dalam bahasa Kei disebut hawearatau tanda larangan, sasi.
Susunan bongkahan batu papan di sisi kiri kolam itu adalah bagian dari sebuah
jalan di bagian desa Ohoiwait. Tempat ini disebut woma desa atau woma kampung,ia
menjadi tempat berkumpul. Artinya, di tempat ini untuk pertama kali para
leluhur Ohoiwait berkumpul dan kemudian mereka berpisah ke tempat kehidupannya
masing-masing;ada yang menetap di Ohoiwait, ada yang pergi jauh merantau demi
mendapatkan kehidupan yang baru dan ada yang pergi dengan berbagai alasan.
Kemana pun mereka berpisah, tapi tetap diingat bahwa di tempat itu mereka
pernah bersekutu dengan janji memulai hidup.
Dari peristiwa itu, woma
dilihat sebagai tempat awal-mula direstuinya sebuah persekutuan hidup. Dasarnya
adalah persekutuan, tolong menolong, harga-menghargai dan rasa senasib dan
sepenanggungan. Kata sederhananya,
disitulah janji mengejar, memiliki dan membagikan nilai kebaikan hidup berpusat
di situ, di woma kampung
itu. Konsep tradisi itu masih hidup dan terus dipertahankan sampai sekarang.
Bentuk konservasi sikap etik-moral tradisional itu muncul dalam wujud : sebelum
seseorang pergi merantau untuk mencari pekerjaan, sebelum seorang mau
melanjutkan studi, sebelum seseorang mau keluar desa untuk maksud tertentu, ia
harus datang ke woma kampungdengan
membawa ‘natsar’ berupa uang dengan jumlah tertentu. Ada seseorang yang
bertugas seperti seorang ‘jurukunci’ di woma.Ia mendatangi atau pembawa maksud yang mendatanginya, mengutarakan
maksudnya, kemudian si ‘jurukunci’ membawa ‘natsar’ itu ke Gereja untuk
didoakan dalam Ibadah pada hari Minggu nanti.
Kepada saya beberapa dari mereka berkata : “Dorang (mereka) rasa (merasa)lepas
deng (dan) seng (tidak) taku (takut) for(untuk) pi (pergi) kaluar (keluar) Jemaat
deng (dengan) maksud
tertentu seperti di atas,” kata pak Tjada Ingratubun, si ‘Jurukunci.’ “Dorang (mereka) juga selalu rasa (merasa)
seng (tidak) aman,
kalo (jika) merantau
deng seng(tanpa) datang
ke woma kampung deng (dengan) bawa (membawa) dong
pung (‘natsar-natsar’-nya)” sambung pak John Rahayaan. “Pak Pendeta,
bagaimana katong (kami) selaku orang
beriman menghayati sikap dan perilaku seperti itu” ?
keduanya bertanya. “Apakah katong (kami)
bisa lia (melihat) kasih Tuhan yang
menyertai, melindungi dan memberkati hidup (dorang)mereka
yang merantau dan katong (kami)
yang punya tradisi itu” ?
Menurut saya, wacana
di atas mengajak Gereja, lewat dapur pengkajian Teologi di Fakultas
Filsafat-Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM), untuk
menjawabnya. Sebab respons itu menandakan penguatan berteologi dan bukan untuk
mematahkan tiang-tiang penyangga etik moral tradisi masyarakat adat, yang sudah
dari dulu dipandang “kafir.” Tetapi
sebagai upaya untuk menjawab kenyataan pergumulan pelayanan Gereja di
konteksnya.
Saya perlu
membandingkan uraian tentang woma di
atas dengan kejadian di ujian Vikaris, di bulan November
2006 lalu. Di Laporan vikariatnya, si Nona Vikaris menyimpulkan bahwa adalah
pemborosan besar ketika lima orang anak mengumpulkan begitu banyak barang dan
uang hanya untuk membangun dan mensyukuri pembangunan kubur ayah mereka yang
berukuran 1, 5 x 1 x 1, 5 meter. Almarhum punya lima orang anak. Seorang anak
membawa 3 ekor kerbau, seorang membawa puluhan ekor ayam, seorang lain membawa
10 ekor babi, yang lain membawa puluha ekor kambing dan yang terakhir
memberikan bantuan jutaan rupiah, sebab ia pegawai negeri, seorang Camat. “Secara
ekonomis, semua barang itu bisa dipakai
untuk memberi makan lima desa,” kata Nona Vikaris.
Pendeta setempat, yang adalah mentor dari Nona Vikaris, menjadi marah atas
kegiatan pengumpulan barang-barang untuk pembangunan kubur dan syukur atasnya.
Beliau bertambah marah sebab amplop ibadah syukur atas pembangunan nisan yang
diberikan ke Gereja, hanya lima puluh ribu rupiah saja.
Sebagai penguji, saya
meminta tanggapannya sebagai calon Pendeta muda yang baru saja sekitar enam
tahun lulus dari Fakultas Teologi. Dengan tegas ia menjawab bahwa benar seperti
pemahaman anggota Jemaat pada umumnya bahwa perbuatan itu adalah sebuah
pemborosan. Ia mengatakan bahwa perbuatan itu sama saja dengan menyembah orang
mati, sebab bukankah ada kata Yesus : “Ikutlah Aku dan
biarlah orang mati menguburkan orang mati” (Matius
8:22). Ketika saya membuka pikirannya tentang kembali ke pusat moral, di mana
mereka melakukan itu bukan penyembahan kepada orang mati atau kepada
tulang-belulang ayah mereka, tetapi karena apresiasi dan respek atas semua
kebaikan dalam bentuk materi dan ajaran moral dari almarhum, ayah mereka. Dari
ajaran ayahnya itulah anak-anaknya berhasil hidup dengan baik, bahagia dan
sejahtera. Penjelasan saya serentak membuat Nona Vicaris tersentak dan menjawab
: “Berarti saya belum membawa pemahaman mereka kembali
berpusat kepada Tuhan, sebagai pusat
ajaran moral tertinggi yaitu keselamatan yang telah Ia anugerahkan kepada kita, umat-Nya.”
Pertanyaan penting
bagi si Nona Vickaris dan mentornya yaitu mengapa ia tidak membawa pemahaman
Jemaatnya, bahwa kalau mereka bisa mensyukuri nilai kebaikan dalam warisan
ajaran etika moral seorang almarhum saja bisa sebegitu mewah, mengapa tidak
dilakukan bagi pendidikan anak-anak, pembangunan rumah sehat atau kebersamaan
lainnya ?! Di sinilah inti perjuangan kontekstualisasi teologi yang terlupakan
oleh Gereja, terutama di GPM (Schreiter 1993; Singgih 2000;
Darmaputra 1998 : 3-20; 47-64 : 225-234).
Kejadian di atas
mirip sama dengan praktek berkunjung ke kubur orangtua, berkumpul di Woma (di
Ohoiwait) atau mengunjungi rumahtua (di desa-desa di Ambon dan di Lease). Bahwa semuanya adalah upaya untuk kembali ke pusat
nilai hidup dari mana hidup itu berasal, atau sentrisme. Pusat nilai itu adalah martabat hidup dan
nilai moral tertinggi, sehingga seseorang yang mau merantau untuk mencari hidup
merasa tidak tenang, jika belum datang ke woma atau seseorang tidak segan melakukan pengorbanan sebesar apa pun
baginya, di pembangunan dan syukur kuburan. Di situ, orang kembali menemukan
dirinya dan arti hidupnya, jati dirinya sebagai yang bernilai dan bermartabat,
baik sebagai individu di antara kelompoknya maupun sebagai satu persekutuan
masyarakat adat. Pastor Alex Jebadu (2009:298-299) menegaskan bahwa berkunjung ke kubur bukan sebuah penyembahan kepada orang
yang sudah mati. Tetapi hal itu dilakukan orang sebagai tanda penghormatan
kepada leluhur dan orangtuanya. Sebab, penyembahan hanya dilakukan kepada
Tuhan, bukan kepada manusia.
Disini terlihat
bahwa simbol-simbol ritual adat sebenarnya hanyalah perlambangan dari makna
adat yang sesungguhnya. Penegasan ini tidak berarti simbol-simbol adat itu
tidak diperlukan. Tetapi yang terpenting adalah pemahaman dan upaya melakukan
apa isi kandungan moral yang terdapat dibalik simbol ritual adat itu. Karena
itu, tidak heran bahwa di satu sisi, simbol ritual adat itu mesti ada untuk
menguatkan jalan kearah menemukan jati diri; dan di sisi lain, simbol ritual
adat itu juga bisa saja tergantikan, ketika ada upaya serius untuk
memaknakannya. Di sini sentrisme menampilkan makna fungsionalnya dalam kembali ke pusat
nilai hidup, yaitu ajaranmoral dengan semua kandungan kebaikan nilainya. Kandungan nilai itu tidak
bisa diukur dengan sejumlah angka atau gambaran kata-kata, bahkan kita yang ada
di luar kaul itu tidak merasakan dan malah dalam banyak kesempatan biasanya
salah memahaminya. Hanya mereka, yang terhisab ke dalamnya yang mampu
merasakan, menikmati, memiliki dan mengembangkannya ke depan bagi hidupnya
seterusnya. Kita sebagai orang ‘outgroup’ atau yang berada di luar, hanya bisa berupaya menafsirkan melalui
kata-kata atau penghayatan dengan berkata : “Wah bisa begitu
yah” !?
Bagaimana Gereja,
lewat tangan para Pendeta yang melayani di Jemaat, sebagai contoh misalnya bisa
melihat acara adat buka kebun baru
di Tanimbar, sebagai sebentuk ritual penghargaan kepada nilai kandungan berkat
alam dan mengilhami mereka sebagai wacana dan sarana berteologi ?! Atau
upacara-upacara seperti syukur pembangunan kubur orangtua sebagai medan
berteologi ?! Begitu juga dengan beragam ritus agama lokal, yang kaya dengan
berbagai praktek ibadah agama suku lainnya. Eben Nuban Timo (2005:v-ix) mengatakan bahwa sebenarnya Allah sudah hadir lebih dulu dalam
sejarah, budaya dan agama. Ia bekerja dengan berbagai cara dan melalui cara itu
orang mengenal kebaikan dan ajaran-ajaran moral, yang mendatangkan kebaikan
bagi masyarakat. Ia menegaskan pemahamannya itu dengan mengutip kebenaran
beberapa ayat dalam Firman Tuhan, seperti : Roma 8:28; Yohanes 1:10; Ibrani 1:2
dan juga Ibrani 11: 3. Menurutnya, tidak ada satu sejarah, budaya atau pun
agama yang berdiri di luar jangkauan pemeliharaan dan pemerintahan Allah. Di
dalam perjalanan perkembangannya tersimpan jejak, atau sidik jari
Allah.
Strata Sosial
Di wilayah
pelayanan GPM ada dua daerah yang masih kuat mempertahankan strata sosial dalam
masyarakat. Dua daerah itu adalah di pulau Kisar, Kabupaten Maluku Barat Daya
(MBD) dan di Kei, Kabupaten Maluku Tenggara. Di pulau Kisar ada strata atas
disebut marna, strata
tengah wuhur (atau bur) dan strata bawah disebut akka
(atau akke).Di Kei,
strata atas atau
disebut mel-mel, strata
tengah ren-ren dan
strata bahwa iriri. Dalam
interaksi sosial sehari-hari, klaim tingginya derajat strata masih kuat
dipertahankan oleh strata atas dalam masyarakat. Klaim itu juga kuat berakar di
dalam pelayanan Gereja.
Sebagai contoh, di
instansi pemerintahan di Kabupaten Maluku Tenggara, para kepala dinasnya orang mel-mel. Tidak ada orang ren-ren
apalagi iriri. Pada
masa pemerintahan Bupati sekarang 2009-2014, baru ada seorang kepala dinas
orang ren-ren. Jika
pembaca sempat datang ke Tual dan sempat masuk Gereja di Gereja Sion di Tual
atau Gereja Anugrah di Ohoijang. Umat yang masuk Gereja dan duduk di barisan
terdepan adalah orang mel-mel
dan orang bukan Kei. Orang ren-ren
dan iriri biasanya
mengambil tempat di jejeran kursi di tengah sampai di belakang. Pendeta orang
Kei yang melayani ibadah Minggu, juga haruslah orang mel-mel. Umat ‘seakan’ belum sudi menerima jika pengkhotbah orang Kei berasal
dari strata ren-ren dan iriri.
Pernah pada masa
Ketua Klasis yang baru pindah, ia mengijinkan seorang pengkhotbah orang ren-ren melayani ibadah minggu.[4]
Menurutnya, reaksi umat yang duduk di jejeran kursi depan cukup gaduh. Mereka
‘riuh rendah’ bercerita atau bertingkah seakan menolak untuk mendengarkan
khotbah dan pelayanan si pendeta. Padahal penyampaian khotbahnya sangat baik. Ketua
Klasis melukiskan sikap mereka marah sekali.
Saya mengalami
sendiri kejadian yang mirip sama di bulan November 1986, ketika pulang ke Tual.
Ibu pendeta Ivon Pattikawa, sebagai ketua majelis jemaat Tual-Sion, menugaskan
saya melayani ibadah Minggu pagi, jam 09.00 dan Minggu sore, jam 05.00. Usai
pelayanan ibadah pagi dalam perjalanan pulang melewati daerah Yarler-Kampung
Mangga, tepat di sekitar belakang Gereja Sion-Tual, terdengar suara keras
seorang Ibu dari dalam dapurnya : “Dia pung (punya) bapa (bapak) par
sapaeee (siapa ya ?).”Ketika ibadah sore berakhir dan
saya pulang menuju Werhir-Ta’ar, tempat tinggal saya, juga melewati jalur yang
sama seperti ketika melayani Ibadah Minggu pagi tadi. Lalu terdengar suara
seorang Ibu dari dalam dapur di arah seberang jalan : “Oh seng
(tidak) apa-apa
(jadi soal, masalah). Teran
(bapak yang tinggal di) Werhir pung
(punya) anak.” Setelah di rumah baru Bapak saya menjelaskan bahwa tujuan
Ibu-Ibu itu berteriak dengan bertanya di antara sesamanya adalah mengenai
status saya, yang memimpin ibadah. Dengan bertanya melalui berteriak dan saling
menjawab, sebenarnya mereka secara tidak langsung sedang bertanya-tanya, tentang
strata saya.
Ketika di Elat,[5]
saya melihat sendiri sebuah suasana ‘penolakan’ terhadap seorang Nona Pendeta[6]
yang akan bertugas di Jemaat Soindad. Nona Pendeta sudah tiba di kantor Klasis
menunggu jemputan sejak pagi-pagi sekali. Sampai mendekati jam 12 siang,
jemputan belum juga datang. Akhirnya Ketua Klasis berinisiatif mencarter motor
untuk mengantar Nona Pendeta. Jika terlambat berangkat melewati jam 12 ke atas,
makasudah waktunya air pasang naik yang disertai angin kencang dan ombak besar.
Jika kondisi ini terjadi, maka akan sangat menghambat pemberangkatan ke
Soindad. Belakangan saya mendapat informasi bahwa kelambatan penjemputan itu
terjadi karena ada keluhan dari orang mel-mel di desa-desa bukan Protestan di sekitar Soindad, yang kurang sudi
menerima Pendeta dari strata bukan mel-mel
di Soindad. Padahal anggota Jemaat Soindad adalah orang ren-ren, sama dengan Nona Pendeta.
Strata di Kei
sering disebut kasta. Padahal
pembagian masyarakat atau kasta
di Kei itu sangat berbeda dengan yang ada di Bali dan di India. Di Kei itu
bukan kasta, tetapi
pelapisan sosial (Laksono dkk, 2005: 88-92) dan saya menyebutnya strata. Sebab, kasta punya struktur organisasi dengan pemimpinnya dan ada ideloginya, yang
menjadi dasar perjuangan tiap kasta,
seperti di India. Ciri-ciri kasta : (1). Pemisahan sosial berdasarkan ideologi
agama di mana ada tingkatan kasta yang suci dan ada kasta yang kotor; (2).
Pembagian kerja dan (3) endogami kasta, atau kawin sederajat dalam kastanya
sendiri (Beteille 1971:80- 97).
Di Kisar, klaim
strata atas, marna, mirip
sama dengan klaim strata atas, mel-mel,
di Kei, yang masih mempertahankan status atasnya. Ia juga merambat sampai ke pelayanan
Gereja. Seorang informan bercerita kepada saya tentang penolakan sejumlah umat
atas kehadiran anggota Badan Pekerja Harian Sinode (BPH) GPM[7]
untuk membuka sebuah kegiatan Gereja di salah satu Jemaat di pulau Kisar.
Anggota BPH Sinode itu seorang Kisar bukan dari strata atas, marna. Ketika orang Kisar marna
mengetahui kedatangan anggota BPH tersebut, maka mereka tidak mau datang menyambutnya.
Panitia yang menyambut hanya terdiri dari orang bur dan akka. Namun
anggota BPH itu acuh saja.Ia datang dan terus melaksanakan tugasnya sampai
selesai dengan aman, lalu kembali pulang ke Ambon.
Peristiwa klaim
orangmarna juga
berupaya mewarnai birokrasi pemerintahan di Kisar. Penjabat pemerintah daerah
MBD, entah tahu atau tidak, telah mengangkat salah satu kepala dinasnya orang akka.[8]
Suatu ketika ia menentukan sikap menanggapi sikap penolakan orang marna terhadap kehadirannya yang beredar di masyarakat. Ia menegaskan
bahwa kehadirannya di birokrasi pemerintahan MBD adalah untuk
melaksanakn tugas negara demi membangun dan memajukan Kisar pada khususnya sebagai
tempat darimana ia berasal, dan MBD pada umumnya. Lebih dari pada itu ia datang
untuk melaksanakan tugas pengabdian dari Tuhan yang ia yakini sebagai
Juruselamat-Nya.
Jika kita
mendalami daya resap strata atas mel-mel
di Kei berbanding strata marna
di Kisar, maka dari kekokohannya lebih kuat di Kei. Sebab dari semua faktor
yang berpengaruh, ada satu faktor utama dari berbagai faktor lainnya adalah
kuatnya dominasi birokrasi. Peranan dominan ini telah melewati proses yang lama
dengan hasil yang berhasil memperkokoh hegemoni strata mel-mel atas strata ren-ren
dan iriri dalam
masyarakat Kei. Di Kisar hal ini tidak kokoh, karena birokrasi pemerintah masih
baru. Contoh nyata di Kei bisa dilihat bahwa semua kepala dinasnya adalah orang
mel-mel, sedangkan di Kisar tidak;
lihat juga contoh kepala dinas yang sudah saya kemukakan di atas.
Gereja perlu
membuat terobosan menghadapi penempatan Pendeta di dua wilayah ini. Sebelum
penempatan seorang Pendeta pada Jemaat di dua daerah ini, MPH Sinode GPM dapat
membuat pendampingan pastoral dan penguatan pemahaman lainnya kepada anggota
Jemaat, sehingga ketika si Pendeta datang, umat sudah bisa siap untuk hidup
dalam pelayanan Gereja bersama Pendeta mereka.
Vriens (1972:195-196) mencatat bahwa agama Kristen Protestan masuk di Kei pada tahun 1902
dan diterima oleh orang-orang di desa Ta’ar. Akan tetapi menurut Sejarah Injil Masuk di Ta’ar (MJ GPM Ta’ar 2009), agama Kristen Protestan mulai masuk di Kei terjadi pada tanggal 13 Maret 1897. Bermula dari Lobak Daniel
Tarantein, seorang Ta’ar pertama, yang dibaptis di Gereja Victoria di Ambon
pada tanggal 12 Januari 1897. Kemudian tanggal 13 Maret 1897 di desa Ta’ar
dibaptis tujuh anak desa Ta’ar oleh
pendeta Frederick Kans Mooi. Tujuh orang, buah baptisan pertama, itu di
kemudian hari menjadi pembawa dan penyebar Injil di pulau Kei Kecil, Kei Besar,
ke pulau Aru, pulau Tanimbar dan pengaruhnya terus merembes sampai ke
pulau-pulau terselatan di Babar dan di Kisar. Sampai sekarang, tanggal 13 Maret
diperingati sebagai awal Injil masuk di Ta’ar, mewakili penyebarannya di Maluku
Tenggara.
Sementara itu,
jika dihitung sejak masuknya agama
Kristen Protestan di Ta’ar-Kei 1897, maka telah 114 tahun orang Kei mengenal
apa itu inti berita Injil Yesus Kristus, Tuhan dan Kepala Gerejanya. Demikian
juga Gereja Protestan Maluku (GPM) yang telah ada dengan persekutuan, pelayanan
dan kesaksiannya di Kei sejak berdirinya di tahun 1935 sampai sekarang. GPM
pasti telah melakukan banyak penetrasi pelayanan, persekutuan dan kesaksian
sesuai panggilannya selaku utusan Tuhan yang membawa Kabar Kesukaan dari Tuhan kepada
orang Kei (Matius 28:18-20).
Penetrasi yang saya maksudkan bisa dilihat dalam penataan organisasi pelayanan
di tingkat jemaat sampai tingkat Klasis, peran dan fungsi sekolah-sekolah
Kristen Protestan, Katekisasi, PAK, pastoral, materi pemberitaan Gereja dan
berbagai tugas pelayanan Gereja lainnya.
Salib Umat, Salib Kita Selaku Gereja
Mengapa sikap
berteologi Gereja dan para pelayannya terhadap pemberian maksud di ‘batu
natsar’ dan berbagai bentuk ritus adat lainnya demikian keras ? Menurut saya
inti penolakannya ada pada pemahaman dan motivasi yang mendasarinya. Dalam
ritus ‘batu natsar’ sebagai tempat persembahan, bisa dirujuk di dalam Alkitab dasar
pemahaman dan motivasinya. Contoh dalam PL : Nuh mendirikan mezbah batu lalu
mempersembahkan korban bakaran di atasnya (Kejadian 8:20); Ishak mendirikan mezbah untuk memanggil nama Tuhan (Kejadian
26:25); Yakub mendirikan mezbah lalu menamainya Allah
Israel ialah Allah (Kejadian 33:20);
Musa mendirikan mezbah lalu menamainya “Tuhan panji-panjiku” (Keluaran
17:15); bani Ruben, bani Gad dan suku Menasye
mendirikan mezbah di tepi sungai Yordan (Yosua 22:10), Gideon mendirikan mezbah bagi Tuhan dan dan menamainya Tuhan itu
keselamatan (Hakim-Hakim 6:24), dll.Dalam PB, contohnya : memberikan persembahan di mezbah (Matius
5:23); Malaekat Tuhan berdiri di sebelah kanan mezbah
kepada Yusup (Lukas 1:11);
Tuhan, mezbah-mezbah-Mu telah mereka runtuhkan (Roma 11:3), dan lain lain.
Menghadapi kondisi
seperti disebutkan di atas, Darmaputra (1998:3-20;47-64:225-234) menyebutkan bahwa hendaknya Gereja berupaya mencari jawab di dalam
sikap dan perilaku umat seperti itu; apa sebab dan dorongan yang ada
dibaliknya, supaya dari temuan itu dapat membantu pemahaman dan pelayanan
Gereja di konteksnya. Menurut saya, teologi kontekstual yang mencari jalan
menuju ke pusat nilai hidup, sebenarnya mencerminkan sentrisme
dalam kaul ritual adat. Perlu penguatan akar teologi
yang berpijak pada Fiman Tuhan, berorientasi ke dunia dan menerangi konteks. Bahwa
ritual batu natsar dan perkunjungan ke woma membuka perpektif pusat nilai, atau
sentrisme. Karena itu teologi sentrisme, berakar dalam ritual kepusatan dari berbagai praktek adat-budaya
masyarakat Maluku. Medan ini terbuka bagi transformasi konsepsi dan praktek
hidup Gereja. Medan transformasi ditemukan pada apa yang saya sebut repetisi
ritual atau perayaan upacara adat. Repetisi ritual adat berpusat pada transformasi
daya hidup; lalu bagaimana dengan repetisi ibadah Gereja ? Apakah ia hanya
sebagai sebuah ritual saja dan tidak punya daya transformasi ?! Jika benar
sebatas ritual saja, maka Gereja sebenarnya hanya terus-menerus berpesta,
tetapi tidak bersukacita dan berdamai sejahtera. Sebab inti ritual Gereja
adalah sukacita dan damai sejahtera yang didapat di dalam keselamatan yang telah
Tuhan Yesus buat bagi kita, umat-Nya. Dalam perenungan akan kelahiran,
pekerjaan, kematian sampai kebangkitan-Nya (ritual-pesta Natal, pekerjaan
Yesus, Jumat Agung dan Paskah sampai Penantian Kedatangan-Nya kembali), kita
mendapat transformasi daya hidup menembusi masa depan oleh daya kekuatan
transformasi Roh Kudus (Matius 28:20). Dalam daya transformasi itu, umat sebagai orang percaya, dikuatkan,
diberanikan dan dipangil, lalu diutus ke seluruh penjuru dunia. Mereka disebut
sebagai saksi-saksi bagi Kerajaan-Nya, dari Yerusalem, Yudea, Samaria dan
sampai keujung dunia. Mereka bersekutu, melayani dan bersaksi, sampai Tuhan
Yesus datang kembali.
Jika ditelah lebih
jauh, di pembangunan nisan orangtua dengan semua kegiatan ‘royal’ materi (hambur-hambur
harta) yang begitu banyak, sebenarnya terjadi sebuah kontrak
sosial dalam tanda keramaian sosial atau pesta. Di dalamnya ada juga keluarga-keluarga di desa, yang membawa
pemberiannya, yang terbatas jumlahnya. Pemberian mereka tidak sebesar jumlah
pemberi utama atau pemberian dari anak-anak kandung dan karabat terdekat
almarhum. Tradisi ini sangat kental ada di masyarakat yang masih kuat melakukan
tuntutan adat dengan setia. Contoh itu bisa dilihat di tradisi membawa yelim di masyarakat Kei di Maluku Tenggara. Di desa-desa di Kei, Maluku
Tenggara, baik yang Muslim dan juga Kristen, tradisi membawa yelim berlaku umum. Tidak pandang ia kerabat dekat, jauh atau tidak dikenal,
tetapi jika ada maksud tertentu dalam sebuah desa, maka berbodong-bondong warga
desa akan datang membawa yelim-nya.
Kerabat dekat akan memberikan yang terbaik dan diikuti kerabat jauh sampai
warga lainnya. Tradisi yelim dan praktek serupa, bisa
dibandingkan dengan potlech, yang
di lukiskan oleh Marcel Mauss (1992:16-137) sebagai sebuah kewajiban moral yang harus dibalas kembali. Moral
saling membalas membuat seseorang akan tetap merasa berhutang, jika tidak
memenuhi sebuah undangan atau turut menghadiri acara adat tertentu.
Ritus-ritus sosial
atau pesta seperti
itu, ada dalam berbagai bentuk dan jenis keramaiannya, baik secara adat dan
begitu juga secara rohani Kristen. Contoh di keramaian rohani Kristen adalah
syukur baptis, syukur sidi, syukur penahbisan Pendeta, syukur penahbisan
Majelis Jemaat, syukur wisuda, dan berbagai syukur atau pesta lainnya. Di pesta
itu, orang membawa pemberiannya, mulai dari keluarga, kerabat dan juga dari
tamu dan undangan yang datang. Akibatnya ada semacam hutang ‘pertukaran.’
Maksudnya, si tuan pesta menjadi
berhutang kepada setiap keluarga yang datang membawa pemberiannya. Dengan kata
Iain sekarang ini ia punya hajat, tetapi ia punya hutang, atau hutang
‘pertukaran.’ Suatu ketika, jika orang lain di desanya punya hajat, maka ia
harus membawa pemberiannya sebagai ‘balasan-’nya. Proses pertukaran tradisonal
ini, yang disebut sebagai kontrak sosial dalam masyarakat adat.
Dengan demikian
jika dikaji lebih jauh, sebenarnya proses kontrak sosial mewarnai kehidupan masyarakat adat di seluruh wilayah pelayanan GPM. Saya
bahkan melihat ikatan kontrak sosial ini yang sesungguhnya menjadi medium bagi perluasan penginjilan di
Maluku. Sebagai contoh di masyarakat Kei di Maluku Tenggara; lewat seorang
pribadi dibaptis dan membuat pesta
lalu orang sekampung datang membawa yelim;
tanpa disadari pesta itu telah
menjadi sebuah media pertukaran sosial di mana muncul harapan dan pemahaman :
“Kalau begitu saya juga perlu bikin pesta
atau syukur baptis, supaya banyak orang datang bawa yelim sama seperti yang sudah saya berikan. Supaya bisa bikin pesta atau syukur baptis, maka saya harus membaptiskan diri dulu, atau
anak-anak atau keluarga.” Di sini disaksikan bahwa dorongan menjadi penganut
Kristen, bukan berdasarkan khotbah atau penganjuran oleh para Pekabar Injil
saja. Tetapi oleh kontrak sosial,
yang adalah salah satu dasar ikatan sosial di antara masyarakat dalam
praktek-prkatek adat-budayanya.
Uraian panjang
lebar tentang ritual adat dan strata di atas menanyakan satu hal penting yaitu
apa yang sudah gereja buat supaya umatnya tidak memikul sendiri Salibnya ?
Menurut saya, Salib umat itu adalah pemahamannya tentang kesalamatan yang sudah
ia terima dari TUHAN YESUS, yang ia dan kita yakini sebagai JURUSELAMAT kita.
Pemahamannya itu yang mewarnai interaksi hidupnya dengan sesamanya dari hari ke
hari ke masa depan. Penafsiran makna hidup untuk mengambil keputusan mengisi
hidupnya yang sudah diselamatkan berjalan dalam dekapan adat selaku identitas
sosialnya. Di situlah tantangan, ancaman sampai konversi spiritual bisa
terjadi. Gereja, pembaca, saya, umat, yah kita semua sebagai umat milik
TUHAN mesti berbuat menurut
kehendak-NYA.
Pustaka
Adams, Daniel. J
1992 Teologi
Lintas Budaya; Refleksi Barat di Asia, BPK-GM, Jakarta
Anh, To Thi
1984 Nilai
Budaya Timur dan Barat; Konflik atau Harmoni, Gramedia, Jakarta
Beteille Andre
1971 Caste,
Class and Power, Los Angeles, University of California Press.
Carson, D. A & John D. Woodbridge (Ed)
2001
God and Culture, Momentm,
Surabaya
Cooley, Frank
1987 Mimbar dan Takhta, Hubungan Lembaga-Lembag
keagaman dan Pemerintahan di Maluku Tengah, Jakarta, SH
Darmaputera, Eka (Ed)
1998 Kontekls
Berteologi Di Indonesi, BPK, Jakarta
Jebadu Alex
1973 2009 Bukan
Berhala ! Penghormatan Kepada Leluhur, Maumere, Ledalero
Jensen, Adolf. E
1973
Myth and Cult Among
Primitive People, Chicago, University Press
Kraemer, H
1995 Christian
Attitude Toward Non-Chistian Religion, dalam Carl. E. Braaten dan Robert.
W. Jenson, A Map of Twentieth Century
Theology, Readings From Karl Barth to Radical Pluralism, Minneapolis,
Fortress Press.
Laksono, P. M. Dkk
2005 Kekayaan, Agama dan Kekuasaan :Idenitas
& Konflik di Indonesia Timur,Yogya, Knisius
Mauss, Marcel
1992
Pemberian; Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno, Jakarta, Yayasan
Obor Indonesia
Muskens, M. P. M, Pr
1973 Sejarah
Gereja Katolik Indonesia (Jilid 4), Ende-Flores, Arnoldus.
Ohoitimur, J
1981
Beberapa Sikap Hidup Orang Kei : Antara Ketahanan Diri dan Proses
Perubahan,/Thesis, Manado, STS Pineleng
Schreiter, Robert. J
1993 Rancang
Bangun Teologi Lokal, BPK, Jakarta
Singgih, E. G
2004 Berteologi
Dalam Konteks, Kanisius, Ygyakarta
Timo, Eben Nuban
2005 Sidik
Jari Allah Dalam Budaya, Maumere, Ledalero
[1] Data-data
dalam tulisan ini sebagiannya adalah hasil penelitan yang berkaitan dengan
penulisan Disertasi saya yang berjudul Ain
Ni Ain, Mengelola Hubungan
Kristen-Islam di Maluku Tenggara. Penelitian itu berlangsung selama
2009-2011 di Maluku Tenggara.-
[3] Almarhum
menceritakan kepada saya ketika berlangsung Kegiatan Forum Refleksi dan
Inspirasi (FRI) di Wisma Atlit, pada bulan Agustus 1986, di Karang Panjang,
Ambon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar