Oleh
: Pdt. Nick
Sedubun
1. Konteks Sosio-Kultural
a. Hukum Adat
Hukum Adat masyarakat Maluku Tenggara, atau
orang Kei disebut Hukum Adat Larvul Ngabal terdiri dari 7 pasal itu,
yaitu :
- Uud entauk atvunad = kepala kita bertumpu pada tengkuk kita
- Lelad ain fo mahiling = leher kita dihormati, diluhurkan
- Ul nit envil atumud = kulit membungkus badan kita
- Lar nakmud ivud = darah tinggal tenang dalam perut kita
- Rek fo mahiling = perbatasan (ambang abu) dihormati
- Moryain fo kelmutun = perkawinan/kemurnian harus dihormati
- Hira ni ntub fo i ni, it did ntub fo it did = milik orang ttp milik orang, milik kita ttp milik kt
Tujuh pasal Hukum Adat Larvul Ngabalitu bermuara pada tiga gagasan pokok, yaitu :
·
Pasal 1, 2, 3 dan
4, membahas tentang Hukum yang mengatur tentang Hubungan
sosialdi antara manusia, disebut HukumNavnev.
- Pasal 5 dan 6, membahas tentang Hukum Kesusilaan, disebut Hukum Hanilit.
- Pasal 7, membahas tentang HukumHak Milik, disebut HukumHawear Balwirin.
Sasa Sor Fit HukumNavnev :
1.Mu’ur nar-auban fakla = mengatai,
menyumpahi
2.Haung hebang =
berencana/berniat jahat
3.Rasung amu-rudang dad = mencelakakan
dengan cara black magic
4.Kev bangil = memukul, meninju
5.Tav ahai-sung tahat = melempar, menikam, menusuk
6.Fedan na-tetat vanga = membunuh,
memotong, memancung
7.Tivak/luduk fo vavain =
menguburkan/menenggelamkan hidup-hidup
Sasa Sor Fit Hukum Hanilit :
1.Sis
af = panggil dengan lambaian tangan atau mendesis
2.Kifuk
matko = main mata, kerling dengan kedipan sebelah mata
3.Ngis
kafir/temar u mur = mencubit, senggol/kena depan atau belakang busur
4.En
a lebak = meraih dan memeluk
5.Val
ngutun tenan, ne seran baraun =
membalik penutup alas bawah (buka pakaian dalam)
6.Marvaan
fo ifun =
menghamilkan di luar nikah
7.Manuu,
marai = membawa lari atau merampas isteri orang
Sasa Sor Fit HukumHawear Balwirin :
1.Vartayad = inginkan barang orang lain secara tidak sah
2.It
bor = mencuri
3.It
kulik afa borbor = menyimpan barang curian
4.Taan
rereang, it uot afa waid = makan upah tanpa kerja
5.It
liik ken hira ni afa, tefeen it naa il =
ambil milik orang, tapi tidak mau kembalikan
6.It
lavur hira ni afa = merusakan/membinasakan milik orang lain
7.Taha
kuuk tomat rir rereang neblo = tahan/tidak bayar hak orang lain secara benar
Tabel. 1. A. Tabel. 1.B
Hirarki Hukum Adat Larvul Ngabal
|
|
Skema hubungan
|
|||
Nama
|
Fasal
|
Isi
|
Gagasan, ide, ideologi
|
||
Navnev
|
1,
2, 3, 4
|
Hukum Hubungan
Sosial
|
|
Hubungan fisik
antar pribadi
|
|
Hanilit
|
5, 6
|
Hukum Susila
|
|||
Hawear Balwirin
|
7
|
Hukum Milik
|
Materi
|
Dari tabel 1. A, dapat dilihat hirarki, atau
tingkatan, porsi dan hubungan Hukum Adat Larvul Ngabal dengan kenyataan hidup orang Kei. Gambar segitiga,
atau prisma, bermaksud menegaskan keberadaannya. Hirarki porsi yang dimaksudkan
di sini adalah bagian atau tingkatan pengelom-pokannya, sedangkan hubungan
adalah menyangkut kegiatan hidup di antara tiap-tiap tingkatan hukum itu. Dapat
disebutkan bahwa ‘prioritas,’ atau kepentingan, mengatur hidup orang Kei yang
utama adalah pada hubungan sosialnya. Kemudian diikuti dengan perlunya tata
etika yang mengatur hubungan sosialnya. Pengaturan dan penataan hidup yang
terakhir adalah mengenai pengaturan hak milik.
Dalam tabel 1. B, saya
berupaya menampilkan kerangka hubungan itu dalam interaksi hidup sesehari orang
Kei. Terlihat sekali bahwa tingkatan ideal berada di bagian atas dan tingkatan
material berada di bawah, sedangkan tingkatan etis ‘seakan’ hilang dalam
hubungan fisik antar pribadi. Saya bermaksud menampilkan bahwa tingkatan etis
itu tersirat dalam interaksi hidup orang Kei yang berupaya mewujudkan
idealismenya, apa yang diharapkan dan diusahakannya, baik berupa ide, cita-cita
dan harapannya dan juga dalam upaya mewujudkan berbagai kebutuhan materinya.
b. Sistem Nilai
Masyarakat Maluku Tenggara,
atau orang Kei, menyebut sistem nilai adat lokal, yang mengikat dan
menghubungkan hidup kekerabatannya, dengan nama ain ni ain. Secara lengkap rumusannya adalah : ain ni ain,
vuut ain mehe ngifun, manut ain mehe tilor (Laksono 1989). Terjemahan harafiahnya adalah ain ni ain berarti satu
punya satu, vuut ain mehe ngifun berarti ikan punya telur, manut ain mehe tilor berarti unggas (juga) punya
telur.
Artinya, (orang Kei) yang
satu memiliki (orang Kei) yang lain seperti ikan punya telur
(dan) seperti (juga) unggas punya telur. Secara luas sistem nilai
ini mengartikan tentang hubungan hidup mereka yang saling memiliki, karena mereka semua berasal dari satu sumber (telur dari satu
ikan/unggas). Kata saling
memiliki
mengartikan bukan sebagai pemilikan pribadi, ownership. Tetapi pemilikan persaudaraan, brotherhood, yang menekankan pada hubungan di antara mereka. Hubungan
hidup persaudaraan di antara mereka penting karena mereka berasal dari satu
sumber.
Di desa-desa, masih ada
sistem nilai lokal dan kebijaksanaan lokal, yang pada kenyataannya sangat
berguna dalam memecahkan konflik-konflik yang terjadi di antara masyarakat
dalam desa. Contohnya : perkelahian di pertandingan bola di antara orang Ohoira
dengan orang Danar (Sedubun
2012:121-127).
Perkelahian di akhiri dengan keputusan Raja Danar bahwa orang Danar bersalah,
jadi orangtua Danar pergi ambil dua kemeja dan pakaikan kepada dua orang korban
terpukul orang Ohoira. Dengan pemakaian dua kemeja di badann dua korban orang
Ohoira, diawali dengan sertuan : “Dit
ni wang
........(Tuhan yang punya wang, kehormatan), maka pertikaian itu sudah aman.
Bentuk perdamaian demi pemulihan hubungan sosial seperti ini dikenal dengan
nama kensa
fa’ak. Kensa fa’ak artinya dua (salah atau benar) dengan dua (pihak yang bertikai) adalah (jika dijumlahkan) tetap empat. Intinya hendak menonjolkan
pengakuan secara sadar dari kedua belah pihak tentang kesalahan yang ada dan
bersamaan dengan itu pengakuan terhadap kebenaran yang ada di kedua belah pihak
(Laksono &
Topatimasang 2004:115-116).
Selain sistem nilai ain ni ain, ada juga kata-kata
peribahasa dalam bahasa Kei atau perumpamaan, yang disebut misil-masal, sukat-sarang dan liat-dalil
(Renyaan 1974). Misil-masal berarti perumpamaan. Sukat-sarang berarti suatu pernyataan
yang meng-ungkapkan tentang kebenaran. Misalnya : karena batas tanah, sanak
saudara rela mati. Liat-dalil
berarti
kata-kata sinis. Misalnya : membicarakan perilaku orang lain tetapi tidak
secara langsung tertuju kepadanya atau seperti ‘pukul tiang kena tembok.’
Perbendaharaan misil-masal, sukat-sarang dan liat-dalil
akan
ditemukan dalam isi nasehat atau petuah yang disampaikan demi pembentukan sikap
hidup pribadi atau warga masyarakat umumnya.
Selanjutnya, pemahaman tentang sistem
nilai ain ni ain yang
berarti semua orang Kei basudara juga
berkaitan denganhubungan penganutan agama, Kristen-Islam. Dikisahkan[2]
bahwa ketika agama Islam pertama kali datang, ia dibawa oleh para orang tua Kei
ke Tual. Ketika agama Kristen Katolik pertama kali datang, para orang tua Kei
membawanya ke Langgur; dan demikian juga dengan agama Kristen Protestan yang
terakhir datang, ia dibawa oleh para orang tua Kei ke Ta’ar. Para Orangkai di Tual, Langgur dan Ta’ar bersama
seluruh masyarakatnya menerima agama yang dibawa oleh para orang tua Kei itu
dan menganutnya.
Konon pada mula orang Kei memeluk agama
pilihannya, penerimaannya mulai bergerak dan termotivasi dari dalam
keluarga-keluarga orang Kei sendiri.[3]
Ketika agama-agama Islam, Katolik dan Protestan masuk dan mulai menyebar di
Kei, orangtua Kei menyuruh anak-anaknya secara bebas memilih agama kesukaannya.
Sementara orangtua mereka tetap memeluk agama sukunya. Satu pesan para orangtua
mereka ialah supaya anak-anak dengan pilihan agama anutannya masing-masing
tidak boleh melupakan hubungan erat kekeluargaan dengan saudara-saudara-nya.
Kenyataan ini bisa dihubungkan dengan ada orang Kei yang satu fam yang sama dan bersaudara, tetapi ada yang
Islam, Katolik atau Protestan.
c. Strata sosial
Pada umumnya di Kei, terutama di Kei Besar, masih kuat dipertahankan
pemisahan strata sosial dalam masyarakat. Ohoitimur (1983:13-14) menyebut pembagian strata
sosial di masyarakat Kei dengan asal-usulnya sebagai berikut :
a.
Strata atas, atau mel-mel, sering disebut orang
atas atau bangsawan. kelas
bangsawan,
berasal dari kaum pendatang yang cerdik, pandai, berani dan kaya. Orang mel-mel, sebenarnya berasal dari dua
bentukan, yaitu mel-nangan
dan mel-roa. Mel-nangan (nangan=hutan, diartikan berasal dari Kei) adalah para tuan
tanah (tuan tan) orang Kei asli. Mereka adalah orang ren-ren, para Raja tanah yang menguasai batas-batas
tanah dan norma adat Kei. Mereka adalah orang mel-mel yang asli dari Kei. Mel-roa (roa=laut, diartikan berasal dari luar Kei: Jawa, Bali,
Arab, Ternate) adalah orang mel-mel yang bukan berasal dari Kei.
b. Strata tengah, atau ren-ren, sering disebut orang
tengah, adalah penduduk asli, kurang pandai.
c.
Strata bawah, atau iriri, sering disebut orang
bawah. Mereka adalah orang-orang yang oleh karena kesalahannya, ditebus oleh
orang kaya (mel-mel) dan kemudian mereka
dijadikan hambanya. Hamba yang ditebus disebut iriri tivtivut, sedangkan orang yang dibeli dengan sengaja untuk
menjadi hamba disebut iriri
mas enan (hamba harga
emas, hamba yang dibeli).
Belanda mengokohkan strata
atas, mel-mel yang terdiri dari
orang-orang yang mampu memerintah dan mengatur masyarakat; yang masuk di sini
adalah orang Jawa, (Bali), Ternate (dan
Arab). Strata tengah atau ren-ren adalah mereka yang mengurus tanah dan mandor bagi pekerjaan
Belanda; masuk di sini orang mel-nangan, yaitu para tuan tanah asli
Kei, atau tuan
tan. Strata
bawah adalah iriri yang berasal dari para opas atau tenaga buruh kasar tanpa gaji,
pemikul peralatan tentara dan alat-alat masak untuk operasi militer. Orang iriri ini terbanyak adalah budak atau
orang hukuman yang ditebus atau dibeli oleh orang kaya, mel-mel, lalu dijadikan budak.
2. Konteks Sosio-Spiritual
a.
Praktek ritus adat
□
Sesajen. Praktek pemberian sesajen atau ‘natsar adat’ di
tempat tertentu masih ada dalam hidup masyarakat. Namun, ia dipraktekan secara
sembunyi-sembunyi dari perhatian Gereja. Penghubung sesajen disebut leb. Dulu, leb ada dalam struktur pemerintahan adat. Tetapi sejak tugasnya dipandang oleh Gereja sebagai perbuatan kafir,
iblis, melawan Firman Tuhan, maka ia ‘dihilangkan. Perannya sudah diambil alih
oleh kepala adat.Dalam kasus tertentu pekerjaan leb sebagai penghubung dengan
leluhur, telah bergeser lebih sebagai upaya komersial dari-pada profesional.
Contohnya bisa dilihat di sebuah ‘batu natsar’ di samping belakang desa Weduar
(?!).
□
Woma Ohoi. Perkunjungan ke Woma, sebagai pusat kampung, Ohoi,
adalah sebagai ketaatan kepada janji setia untuk mengupayakan pengembangan masa
depan hidup. Setiap warga desa yang hendak bepergian untuk melanjutkan studi,
merantau mencari pekerjaan dan bepergian ke luar desa, mereka harus datang ke
Woma desa dengan membawa natsar; diambil oleh tuan Woma, semacam ‘juru kunci.’
Kemdian natsar itu di bawa untuk disyukuri di Gereja (?!)
b. Hubungan Kristen-Islam
Hubungan hidup Kristen-Islam sama
saja dengan hubungan antar masyarakat. Ikatan hubungan itu selalu dilihat dalam
sistem nilai ain ni
ain.
Sekalipun dalam kenyataan yang saya temukan bahwa hubungan hidup antar
Kristen-Islam lebih terlihat baik, disebabkan oleh adanya sistem nilai lokal
dan kebijaksanaan lokal pada setiap desa di Kei.
3. Mobilisasi Sosial
a.
Pemekaran wilayah
Pemekaran Kabupaten Maluku Tenggara menjadi Kabupaten
Maluku Tenggara dan Kota Tual memberi warna sosial tersendiri. Praktis Kota
Tual berpenduduk mayoritas Islam diikuti Kristen Protestan dan minoritas
Kristen Katolik, sedangkan Kabupaten Maluku Tenggara, pemeluk agama Islam,
Katolik dan Protestan jumlahnya secara umum dapat disebut berbanding sama.
Sampai tulisan ini dibuat,[4]
belum ada Data Statistik baku penduduk di Kota Tual dan demikian juga dengan
Kabupaten Maluku Tenggara. Ibukota Kota Tual, di Tual dan ibukota Kabupaten
Maluku Tenggara, di Langgur.
b. Migrasi dan urbanisasi
Urbanisasi penduduk ke kota kurang terasa, baik di
Tual dan juga di Langgur. Migrasi terhebat terjadi di Kota Tual; yang paling
mengesankan adalah dari para pedagang Muslim Bugis, Makasar dan Buton.
Kenyataan bisa dilihat pada kios-kios pedagang di daerah pasar Tual. Bahkan
daerah pelabuhan Tual, yang dulunya dihuni oleh para pedagang Cina, pasca
Konflik 1999-2000, kini dikuasai oleh para pedagang BMB. Mereka juga sudah
membeli dua pertiga tanah di wilayah desa Tual. Akibatnya, penduduk pribumi
Tual hanya masih menguasai sepertiga tanahnya.
c.
Marginalisasi masyarakat pribumi
Maluku Tenggara telah memiliki Peraturan Daerah yang disebut
Perda Ohoi. Di Kota Tual juga sedang diusahakan. Namun, Perda Ohoi,
kelihatannya masih belum memberi rasa aman kepada ekspansi pemodal dari
kalangan menengah ke atas, terutama kaum BMB. Dengan bebas jual beli tanah,
terjadi di daerah pusat potensi ekonomi.
Hak-hak masyarakat pribumi terabaikan, sehingga mereka seakan diusir dari tanah
pusakanya sendiri oleh pemilik uang. Konsekuensi ini berakibat pada terancamnya
adat-budaya lokal dengan segala keluhurannya.
Pustaka
Laksono, P. M
1988
Wuut
Ain Mehe Nifun, Manut Ain Mehe Tilor (Eggs from One Fish and One Bird,
Study
of the Maintenance of Social Boundaries in the Kei Island-Dessertation),
Ithaca, Cornel University
Laksono, P. M & Roem
Topatimasang
2000 Ken Sa Faak; Benih-Benih Perdamaian
Dari Kepulauan Kei, Yogyakarta, INSIST
Ohoitimur, J
1992
1993
Beberapa
Sikap Hidup Orang Kei : Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan/Tesis, Manado, STS Pineleng
Renyaan, Ph
1969 1200
Misil-Masal Liat Dalil, Sukat
Sarang Evav, Tual, Yayasan Wilibrordus.
Sedubun Nicodemus
2012 Ain Ni Ain
Mengelola Hubungan Kristen-Islam Di Maluku Tenggara, Disertasi, Jogjakarta, ATU-UKDW
[1]Disampaikan untuk pembekalan Mahasiswa KKN: LSPB dan PPL Fakultas Filsafat-Teologi
UKIM Ambon, tanggal 13 April 2012.
[2]Wawancara 12 September 2009 dengan ‘Herodes’ seorang tokoh Katolik dari
desa Langgur dan keterangan yang sama juga disebutkan oleh Djafar, seorang
tokoh Muslim dari Tual. Keduanya meminta agar namanya disingkat atau dengan
memakai inisial saja.
[3]Wawancara dengan Esau “Batrei” Masbait, di Warbal, tanggal 6 Juni 2009.-
[4]Hasil penelitian saya selama Januari 2009-Oktober 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar