Kamis, 26 Desember 2013

Pembangunan Jemaat; Pendeta yang Melayani, bukan Dilayani[i]




Suatu ketika, murid-murid YESUS mempertentangkan tentang siapa yang terbesar
di antara mereka. Lalu TUHAN YESUS berkata:  Barangsiapa hendak menjadi besar, maka hendaknya
dia menjadi pelayanmu” (Lukas 22:26). Lebih jauh IA berkata: “ANAK MANUSIA datang bukan untuk dilayani, 
tetapi untuk melayani ……………..” (Mat. 20:28)
Fakta Konteks
“Melayani Jemaat itu tidak susah! Asal dilakukan dengan hati,” demikian pernyataan seorang Pendeta yang pernah melayani di beberapa Jemaat di Klasis Leti, Moa dan Lakor (Lemola).[ii]Ia melanjutkan: “Pertama kali tiba di Jemaat Wakarleli di pulau Moa, beta (saya) ditolak. Warga Jemaat menolak karena beta (saya) orang Ambon, sekalipun dorang (mereka) su (sudah) tau (tahu) beta (saya) punya bini (isteri) orang Tenggara (Luang-Maluku Barat Daya-MBD).” Alasan penolakannya demikian karena sudah terbangun pemahaman bahwa orang (Pendeta) Ambon itu tidak suka budaya setempat. Pemahaman seperti ini menguat karena sebelumnya ada beberapa Pendeta asal Ambon yang ditugaskan melayani di Jemaat Wakarleli tetapi hanya bertahan beberapa bulan saja. Mereka meninggalkan Jemaat Wakaleli dan tidak pernah kembali lagi sewaktu pergi ke pusat Klasis di Serwaru atau dengan alasan tertentu pergi meninggalkan Jemaat.
Sewaktu datang kembali ke Jemaat pada kali ke dua, Pendeta menolak tinggal di rumah seorang Majelis Jemaat yang sudah disediakan Majelis Jemaat untuk menampung sementara Pendeta bersama keluarganya. Sebab pastori Jemaat sudah kotor, lapuk, berdebu, sudah hampir runtuh dan tidak layak dihuni lagi. Namun, Pendeta berkeras tinggal saja di sana bersama isteri dan seorang putrinya yang masih balita. Dari pastori pendeta mulai bergaul dengan anggota Jemaat dan anggota masyarakat. Strategi mulai digencarkan dengan tekad : “Beta (saya) mesti mendekati mereka dengan kasih.” Ditetapkan dua strategi untuk mendekatkan dan mendaratkan pelayanan.
Pertama, konsolidasi pelayanan. Dimulai dengan belajar mengenal hidup anggota Jemaat sambil menata pelayanan unit, sektor, organisasi dan berupaya mengetahui partisipasi mereka dalam ibadah-ibadah Jemaat. Dengan pola door to door approach-pendekatan dari rumah ke rumah, konsolidasi tercapai setelah berlangsung selama satu setengah bulan. “Pak, beta (saya) tiap hari masuk keluar rumah mulai dari dapur, bukan masuk dari pintu depan.” Tujuannya supaya mengetahui persis kehidupan mereka sehari-hari. Di dapur mereka yang apa adanya, sederhana bahkan boleh dibilang kotor dan bau, beta (saya) cerita dengan mereka; cerita tentang kebunnya, sekolah anaknya, persekutuan Jemaat, persekutuan masyarakat sampai pembangunan Gereja yang sudah sangat lama terbengkalai dll.[iii]Beta (saya) pake (pakai) waktu 5-10 menit, diakhiri dengan doa, sebelum mereka ke kebun.” Tanama andalan mereka di kebun adalah jagung, labu dan kasbi (singkong).  
Kedua memulihkan kepercayaan. yang lahir dari mendekati para orang tua, tua-tua adat, kepala desa, guru-guru dan tokoh pemuda. Selain pelayanan ibadah Jemaat, tugas yang cukup berat adalah penyelesaian pembangunan Gereja Baru yang sudah lama terbengkalai. Pendeta menghimpun semua pihak bersama panitia pembanguna Gereja. Dua minggu kemudian konsolidasi terwujud dan semua pihak termasuk anggota Jemaat bersemangat untuk meneruskan pembangunan Gereja. Awal pekerjaan, semua pihak datang, namun partisipasi kerja belum baik. Sebab tua-tua adat, pemerintah desa dan para peimpin lainnya hanya komando dan bertindak mengawas (menonton kerja). Kenyataan lain terlihat ketika Pendeta sendiri turun ambil sekop dan bawa karung pergi menyekop pasir dan memikulnya sendiri ke tempat penampungan pasir. Pekerjaan pada hari berikutnya, sudah makin baik. Semua pihak, kecil-besar, tua-muda, guru-murid, pemimpin berbaur dengan warga biasa saling bantu bekerja. Pendeta berkisah: “Pak, beta (saya) ikut bekerja bukan untuk apa-apa, tetapi beta (saya) su (sudah) biasa bekerja dan seng (tidak) suka perintah (memerintah) apalai (apalagi) paksa (memaksa) dorang (mereka) bekerja. Deng (dengan) turun tangan bekerja, anggota Jemaat bersama semua tokoh masyarakat ikut kerja (bekerja) baku bantu (saling membantu).”
Seorang informan[iv] menjelaskan: “Bapa, keberhasilan pembangunan Gereja sampai pengresmian-nya adalah sebuah kemustahilan bagi seluruh warga Jemaat Wakarlely karena potensi desa yang bisa menunjangnya sangat kecil, bahkan tidak ada.”Ia melanjutkan: “Pendeta dengan pendekatannya bisa  merangkul anggota Jemaat dan masyarakat, karna ontua (beliau) dekati orang tua-tua (tua-tua adat).” Pada kenyataannya, Pendeta menggerakan Panitia Pembangunan se optimalnya; bersama keluarga Pendeta di desa Allang, di kota Ambon dan keluarga isteri Pendeta dengan orang Luang di Saumlaki, Ambon dan di pulau Seram. Kerja keras dengan menggerakkan daya pikir, kreativitas menggerakan ikatan masyarakat adat, mengaktualkan komunikasi sosial dan doa membuahkan hasil. Semua pihak, baik pemerintah, swasta, maupun pribadi-pribadi yang dimintakan bantuannya dan tahu ada punya hubungan keluarga dan kerabat di Jemaat /desa Wakarleli, semua membantu. Akhirnya, Gereja baru itu selesai dan bisa diresmikan hanya dalam waktu kerja efektif selama tujuh bulan.

Prakarsa, Kreativitas, Teladan Diri dan Doa adalah Modal Pelayanan Gereja  
Kisah Pendeta H. H di atas menunjukkan dan menguraikan banyak sendi pelayanan yang bisa menjadi modal pembangunan pelayanan Gereja bagi seorang Pendeta. Dengan membuka diri, kita dapat memahami bahwa prakarsa tercetus sebagai dorongan dari dalam hati, apa yang mau dibuat untuk mengubah dan meyakinkan warga Jemaat bahwa Pendeta datang dengan tekad mau melayani mereka. Ia menyata dalam kreativitas membangun kepercayaan warga Jemaat, menjalin hubungan dengan tua-tua masyarakat dan menggerakkan potensi sosial, kultural, birokrasi dan pendidikan. Katakan saja semua potensi yang ada di Jemaat atau desa Wakarleli dipacu menjadi berdaya. Sebagai desa adat, satu potensi penting lainnya adalah posisi strategis orang tua-tua dalam Jemaat /desa. Mereka adalah teladan dan perekat etik moral sosial dalam masyarakat yang menjunjung tinggi adat lokal.[v] Sewaktu Pendeta mampu menyatu dan mengikat keserasian hubungan hidup dengan mereka, sesungguhnya kekuatan pendorong pelayanan dan pembangunan dalam Jemaat sudah mendapat sendinya, bahkan sudah terhisab pada perekat dasarnya ialah kebersamaan. Kebersaman yang sudah terbentuk menggairahkan Pendeta untuk mendorong pelayanan menuju ke sasarannya termasuk pekerjaan pembangunan Gereja. Terlihat jelas ketika para orang tua dalam desa ikut bersama, maka seluruh anggota masyarakat, yang juga adalah anggota Jemaat, pasti ikut membaur bersama dalam pekerjaan dimaksud.
Paparan di atas menampilkan prakarsa menampakkan keseriusan bentuk dan aksinya dalam kreativitas diikuti dengan keteladanan diri menjalin komunikasi sosial ke dalam dan ke luar membuahkan keberhasilan pelayanan bagi sukacita dan damai sejahtera Jemaat. Keteladanan diri berbentuk menyekop pasir dan memikul pasir untuk pembangunan Gereja. Demikian juga dengan  blusukan dengan masuk-keluar dapur (rumah) untuk tahu persoalan nyata warga Jemaat. Terobosan bentuk komunikasi “kecil’ dan sederhana seperti itu pada kenyataannya membuka ‘karat’ kekakuan hubungan pelayanan warisan paradigma sosial ‘Pendeta asal Ambon.’ Dengan aksi itu, ‘mur’ dan ‘baut’ pelayanan yang seakan sudah rusak dimakan ‘karat’ pemahaman pelayanan yang salah, kembali pulih; sudah di-‘oli’-kan atau diminyaki, sehingga pasti kuat pautannya. Semua bentuk keteguhan sikap pelayanan Pendeta itu dikuatkan dengan dasar doa mejadi ikatan penyatu, penghubung dan pendorong warga Jemaat menemukan makna hidupnya sebagai persekutuan sosial dan persekutuan keselamatan yang ada di konteknya. Singaktnya, Pendeta telah menggerakkan dan menghidupkan sumberdaya jemaat, ia telah mewujudkan spiritualitas transformatif.[vi] Sebab, masa depan Jemaat terbentuk dengan mengisis sejarah perubahan hidupnya sendiri (Luk. 1:46-56; 4:18-19).[vii]

Catatan Akhir:


[i] Interview 21 September 2013  dengan Pdt. H. H, Ketua MJ GPM Piru di Piru. Informan sepakat agar namanya diberi inisial saja. Ia pernah mengabdi di Jemaat GPM Lolotwara dan di Jemaat GPM Wakarleli, Klasis Leti, Moa dan Lakor (Lemola).
[ii] Pdt. H. H. melayani di Jemaat GPM Wakarlely 6 September 2009 sampai 13 Juli 2012.
[iii] Peletakan dasar pembangunan Gereja Wakarleli 31 Oktober 1984. Pdt. H. H mulai melayani di sana 2009, berarti Gereja sudah terbengkalai selama 25 tahun. Gereja diresmikan 16 Januari 2011.
[iv] Informan Bapak Tinus Luklai, wawancara 6 Oktober 2013 di Ambon.
[v] Lihat Gomar Gultom (ed) : Pemberdayaan Masyarakat Versus Hegemoni Negara, KSPPM, Parapat 2002, halaman 227
[vi] J. B. Banawiratma, SJ: Spiritualitas Transformatif; Suatu Pergumulan Ekimenis, Kanisius, Yogyakarta 1990, halaman 57
[vii] Eben Nuban Timo: Anak Matahari, Teologi Rakyat Bolelebo Tentang Pembangunan, Ledalero. Maumere 2007, halaman 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar