Selasa, 28 Juli 2015

Salib Umat Dalam Ritual Adat Dan Strata Sosial[1]



 Oleh: DR. Nicodemus Sedubun, M. Th
Pengantar
                Dalam hidup bergereja ada sangat banyak pandangan dan pemahaman tentang apa itu Salib. Pandangan seperti itu mulai tampil dari para teolog, intelektual dan juga tidak ketinggalan dari umat yang adalah orang biasa saja. Begitu ‘rumit’ pandangan orang pintar (teolog, intelektual) tentang Salib, sehingga banyak kali umat bingung mengartikannya. Dengan kemampuan terbatas mereka berupaya menangkap maknanya dan menjadikannya sebagai pandangan dan dasar bagi perbuatan dalam hidup mereka sehari-hari. Padahal menurut saya, pemahaman tentang Salib hanya bermuara pada satu kalimat pendek saja dengan arti yang mahakaya dan mahaluas, yaitu kemuliaan dari penderitaan. Pemahaman seperti ini yang tumbuh kokoh dalam hidup umat GPM, sebagai basis bergereja dan sekaligus adalah arena kekayaan berteologi.
                Dengan judul Salib Umat ...., saya hendak mengajukan kemuliaan dari penderitaan umat berkaitan dengan konsep Kemandirian Gereja Protestan Maluku (GPM), yaitu kemandirian dana, kemandirian daya dan kemandirian teologi. Semoga saja tiga Kemandirian GPM ini tidak terlupakan dalam penjabaran pelayanan Gereja ke masa depan. Di sini akan disoroti tentang kemandirian teologi. GPM selaku Bapak (paternal) atau ‘peran ayah,’ jangan sampai lepas tangan dari umat. Sebab, konteks pergulatannya multi kompleks. Sumber untuk meluaskan tulisan ini berasal dari sebagian data berkaitan dengan suatu penelitian yang saya buat selama tahun 2009-2011 untuk sebuah karya akademis teologis. Supaya jangan melantur terlalu jauh, saya membatasinya dalam dua subyek, yaitu ritual adat dan strata sosial.

Ritual Adat
Bagian ini akan menyoroti beberapa praktek ritual adat dalam hidup umat di Jemaat. Saya menyebutnya ‘ritual adat,’ sebab ritual yang dilakukan dilihat sebagai upaya menjaga keseimbangan kosmologi yaitu hubungan umat selaku masyarakat adat dengan leluhurnya. Jika ada kesulitan dalam hidup seseorang entah anak sakit, isteri kerasukan atau suami tertabrak sapi lalu masuk rumah sakit, sering orang atau keluarga itu menyoalkan : “Ini kejadian mengingatkan katong (kita), tentang adanya tuntutan adat yang belum dipenuhi.” Dalam suasana seperti ini, ritual untuk memulihkan ketidakseimbangan hubungan dengan leluhur, dilakukan. Pelaksanaan ritual adat dimaksud, biasanya disebut dengan kata-kata sehari-hari, bikin batul adat. Bikin batul adat berlaku dengan berbagai motivasi.

a.       Batu Natzar di desa Weduar
Di belakang balai desa Weduar, tepatnya di sisi kanan arah ke tepi pantai di belakang kantor desa Weduar, ada sebuah batu tempat orang Weduar meletakan sesajen dan maksud adat lainnya. Penduduk Weduar menyebutnya sebagai ‘batu natsar.’ Ketika saya tiba di sana dalam kegiatan penelitian,[2] batu itu sudah makin tertanam ke dalam tanah pasir. Konon, semula bentuknya sebesar satu depa manusia dan ia menyembul cukup tinggi di permukaan tanah. Ia menjadi tempat sakral, sebagai tempat orang membawa natsar adatnya. Maksud nasar adat adalah agar mendapat keberhasilan hidup, dilindungi dari berbagai malapetaka dan juga tempat mengadukan maksud-maksud tertentu lainnya. 
Di bagian batu yang pecah, ada bekas semen untuk menyatukannya. Tanda ini memperlihatkan dengan jelas bahwa ada upaya untuk menjaga kelestarian dan keutuhannya. Saya mendapat informasi bahwa ada dua pihak yang menyikapi keberadaan batu ini. Ada warga Weduar yang ingin menjaganya dari kehancuran. Itu terbukti dengan upaya menyemen bagian yang pecah. Tetapi ada juga penduduk Weduar, yang secara diam-diam berupaya memecahkannya dan berusaha keras hendak menghilangkannya.
Pada tahun 1970-an, batu itu pernah dipecahkan sebagiannya dan dibuang ke laut, pada masa Pendeta Atus Pentury (almarhum) melayani di sana. Latar belakang tindakan itu muncul dari paham yang melihat pandangan dan praktek di balik semua maksud nasar adat yang berpusat di ‘batu natsar’ itu, adalah kafir. Dengan pandangan seperti itu, tempat itu divonis sebagai pusat penyembahan berhala.  
Saya menemukan di atas batu itu ada pinang, yang lama maupun baru, tembakau dan ada pula beberapa lembaran kertas yang sudah lapuk dan agak terhapus tulisannya dimakan hujan dan panas matahari. Menurut penduduk Weduar, ada juga sirih. Ada seorang warga desa Weduar, yang bertanggung jawab sebagai pemegang amanat atau Juru Kunci-nya. Bagi siapa saja yang mau membawa nasar adat untuk diletakan di batu keramat itu, mereka wajib menghubunginya. Si Juru Kunci biasanya mematok sekian biaya sebagai syarat untuk melaksanakan ritual dimaksud. Sesudah ritual natsar adat dilakukan di suatu tempat tertentu, yang biasanya dilakukan secara tersembunyi, baru mereka membawa natsar yang sudah disampaikan di batu keramat, ke Pendeta untuk didoakan di Gereja. Pendeta biasanya langsung menolaknya. Sekalipun begitu secara diam-diam si Juru Kunci atau keluarga yang punya maksud, membawa sendiri natsar doanya itu ke Gereja dan diletakan di dalam peti derma.
Praktek doa adat biasanya dimulai dengan mengangkat sirih-pinang tinggi-tinggi ke atas, kemudian diikuti dengan sapaan doa adat yang menyebut nama “Duange………” (Tuhan pengasih ……!!!), selanjutnya diikuti dengan menyebutkan maksud ritus adat dimaksud. Pendeta, yang melayani di Jemaat Weduar ketika saya melakukan peneitian di sana, Pdt. Fanny Balubun, menyebut praktek ritus adat seperti ini sebagai sinkretisme, karena setelah melewati ritual adat baru kemudian diakhiri dengan doa Pendeta, atau me-nomorsatu-kan roh leluhur, nenek moyang, dan kemudian baru berikutnya, yaitu kepada Tuhan Yesus.
Dari kisah di Weduar, saya ingat sebuah kejadian mirip sama tentang pemusnahan ‘meja batu’ di hutan desa/Jemaat Tuhaha, oleh pendeta yang dulu melayani di sana, Pdt. Beny Laipiopa (almarhum) di sekitar tahun 1965-1970.[3] ‘Meja batu’ itu dilihat sebagai pusat natsar adat yang mematikan bagi warga Jemaat Tuhaha. Ketika ‘meja batu’ itu dibalik hendak dipecahkan, muncul berjatuhan banyak potongan kertas yang bertuliskan nama-nama warga jemaat yang sudah meninggal. Menurut warga Jemaat lainnya yang masih hidup, mereka yang sudah wafat itu diketahui meninggal dengan cara yang cukup mengerikan.
Saya melihat perbuatan Pdt. Atus Penturi pada kejadian di Jemaat Weduar dan Pdt. Beny Laipiopa di Jemaat Tuhaha adalah satu dari sekian banyak vonis negatif perilaku para Pelayan terhadap pemahaman dan praktek agama suku dalam masyarakat. Pandangan seperti itu sama dengan respons Pendeta Weduar, bahwa ritus agama suku dengan semua upacaranya, masih dipandang sebagi perbuatan kafir dan bertentangan dengan Injil. Frank Cooley (1987: 198-201) mengatakan bahwa sikap seperti itu menempatkan praktek ritus agama suku, sebagai nilai yang lebih rendah dari ajaran-ajaran agama Kristen Protestan. Dengan demikian tidak ada sedikitpun nilai agama suku dengan ritus-ritusnya yang bisa dipakai menjadi ukuran untuk GPM berteologi di dalamnya.
Menurut saya, ritus agama suku adalah perlambangan etika hidup tradisional desa yang harus ditelaah dengan bijak dan mendasar. Sebab di dalamnya, mereka yang mencari kesembuhan atau mengingini keberhasilan hidup, sebenarnya berjuang mencari harmoni hidup dalam keseimbangan kosmologi sebagai masyarakat adat (Cf.Ohoitimur 1983 : 93-96). Dalam keyakinan masyarakat, penyakit dan kesulitan hidup adalah akibat dari seseorang itu telah berbuat melanggar tuntutan adat. Karena itu, harmoni atau disharmoni hidup (lihat Kraemer 1958:20-25), harus dipenuhi dalam bentuk melaksanakan beberapa ritus adat. Ia berupa pemberian sesajen atau natsar, seperti di batu natsar di Jemaat Weduar atau bentuk negatif yang membahayakan hidup orang lain dalam bentuk natsar maksud kematian, yang disisipkan di meja batu, di Jemaat Tuhaha.
Perilaku negatif Gereja melihat ritus-ritus adat seperti disebutkan di atas, menampilkan perlunya pencerahan paradigma berteologi yang transformatif-kontekstual. Diperlukan teologi yang melihat kekayaan konteks sebagai medan berupaya mencari jawab akan kasih dan penyertaan Tuhan bagi hidup manusia ciptaan-Nya. To Thi Anh (1984: 84-91) menyebut bahwa pemberian sesajen itu berkaitan erat dengan ritus agama suku yang mesti dilakukan demi mendapatkan keseimbangan hidup di antara manusia dengan alam leluhurnya. Dalam praktek agama suku, upaya itu berupa pemberian sesajen, sedangkan bagi orang yang percaya kepada Tuhan, maka ia akan mengisi kekosongan hatinya dengan nilai iman yang kokoh dan berpengharapan. Hal itu sama seperti yang dikatakan oleh Adolf. E. Jensen (1963:227-228) bahwa manusia selalu membawa atau mewarisi pengalaman ilahi, yaitu kemampuan spiritual untuk turut ambil bagian di dalam mengisi kekosongan hati dan jiwanya. Mencari jawab yang saya maksudkan adalah sebuah tindakan yang tidak sewenang-wenang menyalahkan saja, seperti yang terjadi di praktek memberi sesajen di batu natsar itu kafir, dan selesai. Tetapi Gereja wajib menemukan motivasi hidup yang adalah dorongan jiwa si orang yang membawa sesajen itu, sehingga sekalipun sudah Kristen, tapi ia masih mau membawa sesajen. Apa bentuk kekosongan hati dan jiwa yang ia hadapi dan bagaimana mengisi kekosongan itu dengan nilai iman yang berpengharapan (lihat Adam 1992:3-35). Apa upaya pastoral dan tindakan penginjilan, supaya pemahaman dan praktek memberi sesajen itu diisi dengan pemahaman hidup yang percaya sekalipun tidak melihat (Yohanes 20:29.b). Demikian juga dengan sikap si penghubung natsar, juru kunci, perlu diberi pemahaman bahwa manusia hidup bukan saja oleh karena ada makanan, tetapi oleh karena menerima dan melaksanakan Firman Tuhan (Matius 4:4.b).
Argumentasi saya bertolak dari fakta sejarah Pekabaran Injil di Maluku yang menunjukkan bahwa GPM pernah menjadi destruktor dalam memberantas paham dan praktek-praktek serupa. Oleh karena semua unsur adat dipandang sebagai pemahaman dan perilaku setan, iblis dan kafir, sehingga adat dengan semua bentuk ritualnya, harus dimusnahkan. Kenyataan itu membuat kita tidak heran jika wilayah pelayanan GPM di Maluku Tengah, khususnya di pulau Ambon dan pulau-pulau Lease, tidak lagi ada bahasa daerah. Bahasa daerah memang masih bisa ditemukan di desa/Jemaat Allang dan Hulaliu. Akan tetapi ia dipakai secara sangat terbatas yakni hanya di kalangan orangtua-tua saja. Anak-anak muda sebagai pelestari budaya lokal lebih suka memakai logat gue, gua, nda, ngga atau lu, yang aneh dan ‘gawat’ kedengarannya. ‘Gawat’ karena tekanan(aksentuasi) kata-kata atau kalimat bahasa lokal, atau linguafranca, di Ambon dan Lease ‘kurang pas’ jika dikaitkan serentak dengan logat Jakarta itu.
Menghadapi kenyataan konteks seperti di atas, diperlukan upaya berteologi dengan memberi makna yang sejalan dengan konteks. Sejalan bukan berarti mutlak kompromi. Tetapi perlu kritik konteks, apresiatif dan transformatif. Karena itu, teologi kontekstual Gereja harus berani dan terbuka menempuh jalan dengan cara menafsirkan kandungan nilai-nilai adat-budaya lokal yang menonjol dalam praktek ritual agama suku, yang diyakini relevan dan berperspektif keselamatan (cf. Carson &Woodbridge 2002:3-17). Bahwa perbuatan-perbuatan simbolik dalam ritus-ritus adat seperti mengangkat sirih pinang tinggi-tinggi lalu menyerukan “Duangee…..” (atau Tuhan Yang pengasih) dengan aksi nyata memberi sesajen di batu natsar, seperti dalam kisah di Jemaat Weduar di atas, adalah kekuatan pencerahan. Menurut saya pencerahan di sini berarti Gereja terbuka untuk memberi isi teologis kepada tradisi ritual adat. Saya melihat bahwa Gereja selama ini masih berlaku sebagai ‘hakim iman’ atas nilai-nilai adat-budaya konteksnya, yang sesungguhnya telah lama sangat berperan mewarnai misi pelayanannya. Sudah waktunya Gereja mengakui bahwa memberikan sesajen natsar di batu, menurut iman Kristen bukanlah penyembahan, tetapi penghargaan (cf. Jebadu 2009) ?!
Pada kenyataannya, jika kita sudi menilik keluar ke ‘saudara tua’ kita, Gereja Katolik, ritus-ritus adat telah banyak yang mengalami inkulturasi di dalam kegiatan bergerejanya (Muskens 1973:173-199). Salah satu yang sangat saya tahu adalah tentang ritus angkat sirih pinang dengan menyebut atau menyerukan nama leluhur tertentu, lalu sirih pinang itu ditaruh di kaki atap rumah (Ambon disebut mahangi). Di GPM, perilaku seperti itu masih dipandang sebagai sebuah penyembahan berhala. Tetapi menurut  saya, makna ritual itu yang paling penting sebab ia lahir dari sikap dan motivasi seseorang terhadapnya.

b.      Woma Sebagai Kepusatan Hidup
Di desa Ohoiwait terbentang sebuah lela di atas kerikil halus di dalam sebuah tembok kolam batu. Di bagian kepalanya terpancang daun nyiur, atau janur, yang sudah mengering yang dalam bahasa Kei disebut hawear atau tanda larangan, sasi. Susunan bongkahan batu papan di sisi kiri kolam itu adalah bagian dari sebuah jalan di bagian desa Ohoiwait. Tempat ini disebut woma desa atau woma kampung, ia menjadi tempat berkumpul. Artinya, di tempat ini untuk pertama kali para leluhur Ohoiwait berkumpul dan kemudian mereka berpisah ke tempat kehidupannya masing-masing; ada yang menetap di Ohoiwait, ada yang pergi jauh merantau demi mendapatkan kehidupan yang baru dan ada yang pergi dengan berbagai alasan. Kemana pun mereka berpisah, tetapi tetap diingat bahwa di tempat itu mereka pernah bersekutu dengan janji memulai hidup.
Dari peristiwa itu, woma dilihat sebagai tempat awal-mula direstuinya sebuah persekutuan hidup. Dasarnya adalah persekutuan, tolong menolong, harga-menghargai dan rasa senasib dan sepenanggungan. Kata  sederhananya, di situlah janji mengejar, memiliki dan membagikan nilai kebaikan hidup berpusat, di woma kampung itu. Konsep tradisi itu masih hidup dan terus dipertahankan sampai sekarang. Bentuk konservasi sikap etik-moral tradisional itu muncul dalam wujud : sebelum seseorang pergi merantau untuk mencari pekerjaan, sebelum seorang mau melanjutkan studi, sebelum seseorang mau keluar desa untuk maksud tertentu, ia harus datang ke woma kampung dengan membawa ‘natsar’ berupa uang dengan jumlah tertentu. Ada seseorang yang bertugas seperti seorang ‘jurukunci’ di woma. Ia mendatangi atau pembawa maksud yang mendatanginya, mengutarakan maksudnya, kemudian si ‘jurukunci’ membawa ‘natsar’ itu ke Gereja untuk didoakan dalam Ibadah pada hari Minggu nanti.
Kepada saya beberapa dari mereka berkata : “Dorang (mereka) rasa (merasa) lepas deng (dan) seng (tidak) taku (takut) for(untuk) pi (pergi) kaluar (keluar) Jemaat deng (dengan) maksud tertentu seperti di atas,” kata pak Tjada Ingratubun, si ‘Jurukunci.’ “Dorang (mereka) juga selalu rasa (merasa) seng (tidak) aman, kalo (jika) merantau deng seng (tanpa) datang ke woma kampung deng (dengan) bawa (membawa) dong pung (‘natsar-natsar’-nya)” sambung pak John Rahayaan. “Pak Pendeta, bagaimana katong (kami) selaku orang beriman menghayati sikap dan perilaku seperti itu”? Keduanya bertanya. “Apakah katong (kami) bisa lia (melihat) kasih Tuhan yang menyertai, melindungi dan memberkati hidup (dorang)mereka yang merantau dan katong (kami) yang punya tradisi itu” ?
Menurut saya, wacana di atas mengajak Gereja, lewat dapur pengkajian Teologi di Fakultas Filsafat-Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM), untuk menjawabnya. Sebab respons itu menandakan penguatan berteologi dan bukan untuk mematahkan tiang-tiang penyangga etik moral tradisi masyarakat adat, yang sudah dari dulu dipandang “kafir.”  Tetapi sebagai upaya untuk menjawab kenyataan pergumulan pelayanan Gereja di konteksnya.
Saya perlu membandingkan uraian tentang woma di atas dengan kejadian di ujian Vikaris, di bulan November 2006 lalu. Di Laporan vikariatnya, si Nona Vikaris menyimpulkan bahwa adalah pemborosan besar ketika lima orang anak mengumpulkan begitu banyak barang dan uang hanya untuk membangun dan mensyukuri pembangunan kubur ayah mereka yang berukuran 1, 5 x 1 x 1, 5 meter. Almarhum punya lima orang anak. Seorang anak membawa 3 ekor kerbau, seorang membawa puluhan ekor ayam, seorang lain membawa 10 ekor babi, yang lain membawa puluha ekor kambing dan yang terakhir memberikan bantuan jutaan rupiah, sebab ia pegawai negeri, seorang Camat. “Secara ekonomis, semua barang itu bisa dipakai untuk memberi makan lima desa,” kata Nona Vikaris. Pendeta setempat, yang adalah mentor dari Nona Vikaris, menjadi marah atas kegiatan pengumpulan barang-barang untuk pembangunan kubur dan syukur atasnya. Beliau bertambah marah sebab amplop ibadah syukur atas pembangunan nisan yang diberikan ke Gereja, hanya lima puluh ribu rupiah saja.
Sebagai penguji, saya meminta tanggapannya sebagai calon Pendeta muda yang baru saja sekitar enam tahun lulus dari Fakultas Teologi. Dengan tegas ia menjawab bahwa benar seperti pemahaman anggota Jemaat pada umumnya bahwa perbuatan itu adalah sebuah pemborosan. Ia mengatakan bahwa perbuatan itu sama saja dengan menyembah orang mati, sebab bukankah ada kata Yesus : “Ikutlah Aku dan biarlah orang mati menguburkan orang mati” (Matius 8:22). Ketika saya membuka pikirannya tentang kembali ke pusat moral, di mana mereka melakukan itu bukan penyembahan kepada orang mati atau kepada tulang-belulang ayah mereka, tetapi karena apresiasi dan respek atas semua kebaikan dalam bentuk materi dan ajaran moral dari almarhum, ayah mereka. Dari ajaran ayahnya itulah anak-anaknya berhasil hidup dengan baik, bahagia dan sejahtera. Penjelasan saya serentak membuat Nona Vicaris tersentak dan menjawab : “Berarti saya belum membawa pemahaman mereka kembali berpusat kepada Tuhan, sebagai pusat ajaran moral tertinggi yaitu keselamatan yang telah Ia anugerahkan kepada kita, umat-Nya.”
Pertanyaan penting bagi si Nona Vikaris dan mentornya yaitu mengapa ia tidak membawa pemahaman Jemaatnya, bahwa kalau mereka bisa mensyukuri nilai kebaikan dalam warisan ajaran etika moral seorang almarhum saja bisa sebegitu mewah, mengapa tidak dilakukan bagi pendidikan anak-anak, pembangunan rumah sehat atau kebersamaan lainnya ?! Di sinilah inti perjuangan kontekstualisasi teologi yang terlupakan oleh Gereja, terutama di GPM (Schreiter 1993; Singgih 2000; Darmaputra 1998 : 3-20; 47-64 : 225-234).
Kejadian di atas mirip sama dengan praktek berkunjung ke kubur orangtua, berkumpul di Woma (di Ohoiwait) atau mengunjungi rumahtua (di desa-desa di Ambon dan di Lease). Bahwa semuanya adalah upaya untuk kembali ke pusat nilai hidup dari mana hidup itu berasal, atau sentrisme. Pusat nilai itu adalah martabat hidup dan nilai moral tertinggi, sehingga seseorang yang mau merantau untuk mencari hidup merasa tidak tenang, jika belum datang ke woma atau seseorang tidak segan melakukan pengorbanan sebesar apa pun baginya, di pembangunan dan syukur kuburan. Di situ, orang kembali menemukan dirinya dan arti hidupnya, jati dirinya sebagai yang bernilai dan bermartabat, baik sebagai individu di antara kelompoknya maupun sebagai satu persekutuan masyarakat adat. Pastor Alex Jebadu (2009:298-299) menegaskan bahwa berkunjung ke kubur bukan sebuah penyembahan kepada orang yang sudah mati. Tetapi hal itu dilakukan orang sebagai tanda penghormatan kepada leluhur dan orangtuanya. Sebab, penyembahan hanya dilakukan kepada Tuhan, bukan kepada manusia.
Di sini terlihat bahwa simbol-simbol ritual adat sebenarnya hanyalah perlambangan dari makna adat yang sesungguhnya. Penegasan ini tidak berarti simbol-simbol adat itu tidak diperlukan. Tetapi yang terpenting adalah pemahaman dan upaya melakukan apa isi kandungan moral yang terdapat di balik simbol ritual adat itu. Karena itu, tidak heran bahwa di satu sisi, simbol ritual adat itu mesti ada untuk menguatkan jalan kearah menemukan jati diri; dan di sisi lain, simbol ritual adat itu juga bisa saja tergantikan, ketika ada upaya serius untuk memaknakannya. Di sini sentrisme menampilkan makna fungsionalnya dalam kembali ke pusat nilai hidup, yaitu ajaran moral dengan semua kandungan kebaikan nilainya. Kandungan nilai itu tidak bisa diukur dengan sejumlah angka atau gambaran kata-kata, bahkan kita yang ada di luar kaul itu tidak merasakan dan malah dalam banyak kesempatan biasanya salah memahaminya. Hanya mereka, yang terhisab ke dalamnya yang mampu merasakan, menikmati, memiliki dan mengembangkannya ke depan bagi hidupnya seterusnya. Kita sebagai orang ‘out group’ atau yang berada di luar, hanya bisa berupaya menafsirkan melalui kata-kata atau penghayatan dengan berkata : “Wah bisa begitu yah” !?
Bagaimana Gereja, lewat tangan para Pendeta yang melayani di Jemaat, sebagai contoh misalnya bisa melihat acara adat buka kebun baru di Tanimbar, sebagai sebentuk ritual penghargaan kepada nilai kandungan berkat alam dan mengilhami mereka sebagai wacana dan sarana berteologi ?! Atau upacara-upacara seperti syukur pembangunan kubur orangtua sebagai medan berteologi ?! Begitu juga dengan beragam ritus agama lokal, yang kaya dengan berbagai praktek ibadah agama suku lainnya. Eben Nuban Timo  (2005:v-ix) mengatakan bahwa sebenarnya Allah sudah hadir lebih dulu dalam sejarah, budaya dan agama. Ia bekerja dengan berbagai cara dan melalui cara itu orang mengenal kebaikan dan ajaran-ajaran moral, yang mendatangkan kebaikan bagi masyarakat. Ia menegaskan pemahamannya itu dengan mengutip kebenaran beberapa ayat dalam Firman Tuhan, seperti : Roma 8:28; Yohanes 1:10; Ibrani 1:2 dan juga Ibrani 11: 3. Menurutnya, tidak ada satu sejarah, budaya atau pun agama yang berdiri di luar jangkauan pemeliharaan dan pemerintahan Allah. Di dalam perjalanan perkembangannya tersimpan jejak, atau sidik jari Allah.

Strata Sosial
Di wilayah pelayanan GPM ada dua daerah yang masih kuat mempertahankan strata sosial dalam masyarakat. Dua daerah itu adalah di pulau Kisar, Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) dan di Kei, Kabupaten Maluku Tenggara. Di pulau Kisar ada strata atas disebut marna, strata tengah wuhur (atau bur) dan strata bawah disebut akka (atau akke). Di Kei, strata atas atau disebut mel-mel, strata tengah ren-ren dan strata bahwa iriri. Dalam interaksi sosial sehari-hari, klaim tingginya derajat strata masih kuat dipertahankan oleh strata atas dalam masyarakat. Klaim itu juga kuat berakar di dalam pelayanan Gereja.
Sebagai contoh, di instansi pemerintahan di Kabupaten Maluku Tenggara, para kepala dinasnya orang mel-mel. Tidak ada orang ren-ren apalagi iriri. Pada masa pemerintahan Bupati sekarang 2009-2014, baru ada seorang kepala dinas orang ren-ren. Jika pembaca sempat datang ke Tual dan sempat masuk Gereja di Gereja Sion di Tual atau Gereja Anugrah di Ohoijang. Umat yang masuk Gereja dan duduk di barisan terdepan adalah orang mel-mel dan orang bukan Kei. Orang ren-ren dan iriri biasanya mengambil tempat di jejeran kursi di tengah sampai di belakang. Pendeta orang Kei yang melayani ibadah Minggu, juga haruslah orang mel-mel. Umat ‘seakan’ belum sudi menerima jika pengkhotbah orang Kei berasal dari strata ren-ren dan iriri.
Pernah pada masa Ketua Klasis yang baru pindah, ia mengijinkan seorang pengkhotbah orang ren-ren melayani ibadah minggu.[4] Menurutnya, reaksi umat yang duduk di jejeran kursi depan cukup gaduh. Mereka ‘riuh rendah’ bercerita atau bertingkah seakan menolak untuk mendengarkan khotbah dan pelayanan si pendeta. Padahal penyampaian khotbahnya sangat baik. Ketua Klasis melukiskan sikap mereka marah sekali.
Saya mengalami sendiri kejadian yang mirip sama di bulan November 1986, ketika pulang ke Tual. Ibu pendeta Ivon Pattikawa, sebagai ketua majelis jemaat Tual-Sion, menugaskan saya melayani ibadah Minggu pagi, jam 09.00 dan Minggu sore, jam 05.00. Usai pelayanan ibadah pagi dalam perjalanan pulang melewati daerah Yarler-Kampung Mangga, tepat di sekitar belakang Gereja Sion-Tual, terdengar suara keras seorang Ibu dari dalam dapurnya : “Dia pung (punya) bapa (bapak) par sapaeee (siapa ya ?).”Ketika ibadah sore berakhir dan saya pulang menuju Werhir-Ta’ar, tempat tinggal saya, juga melewati jalur yang sama seperti ketika melayani Ibadah Minggu pagi tadi. Lalu terdengar suara seorang Ibu dari dalam dapur di arah seberang jalan : “Oh seng (tidak) apa-apa (jadi soal, masalah). Teran (bapak yang tinggal di) Werhir pung (punya) anak.” Setelah di rumah baru Bapak saya menjelaskan bahwa tujuan Ibu-Ibu itu berteriak dengan bertanya di antara sesamanya adalah mengenai status saya, yang memimpin ibadah. Dengan bertanya melalui berteriak dan saling menjawab, sebenarnya mereka secara tidak langsung sedang bertanya-tanya, tentang strata saya. 
Ketika di Elat,[5] saya melihat sendiri sebuah suasana ‘penolakan’ terhadap seorang Nona Pendeta[6] yang akan bertugas di Jemaat Soindad. Nona Pendeta sudah tiba di kantor Klasis menunggu jemputan sejak pagi-pagi sekali. Sampai mendekati jam 12 siang, jemputan belum juga datang. Akhirnya Ketua Klasis berinisiatif mencarter motor untuk mengantar Nona Pendeta. Jika terlambat berangkat melewati jam 12 ke atas, maka sudah waktunya air pasang naik yang disertai angin kencang dan ombak besar. Jika kondisi ini terjadi, maka akan sangat menghambat pemberangkatan ke Soindad. Belakangan saya mendapat informasi bahwa kelambatan penjemputan itu terjadi karena ada keluhan dari orang mel-mel di desa-desa bukan Protestan di sekitar Soindad, yang kurang sudi menerima Pendeta dari strata bukan mel-mel di Soindad. Padahal anggota Jemaat Soindad adalah orang ren-ren, sama dengan Nona Pendeta.
Strata di Kei sering disebut kasta. Padahal pembagian masyarakat atau kasta di Kei itu sangat berbeda dengan yang ada di Bali dan di India. Di Kei itu bukan kasta, tetapi pelapisan sosial (Laksono dkk, 2005: 88-92) dan saya menyebutnya strata. Sebab, kasta punya struktur organisasi dengan pemimpinnya dan ada ideloginya, yang menjadi dasar perjuangan tiap kasta, seperti di India. Ciri-ciri kasta : (1). Pemisahan sosial berdasarkan ideologi agama di mana ada tingkatan kasta yang suci dan ada kasta yang kotor; (2). Pembagian kerja dan (3) endogami kasta, atau kawin sederajat dalam kastanya sendiri (Beteille 1971:80- 97).
Di Kisar, klaim strata atas, marna, mirip sama dengan klaim strata atas, mel-mel, di Kei, yang masih mempertahankan status atasnya. Ia juga merambat sampai ke pelayanan Gereja. Seorang informan bercerita kepada saya tentang penolakan sejumlah umat atas kehadiran anggota Badan Pekerja Harian Sinode (BPH) GPM[7] untuk membuka sebuah kegiatan Gereja di salah satu Jemaat di pulau Kisar. Anggota BPH Sinode itu seorang Kisar bukan dari strata atas, marna. Ketika orang Kisar marna mengetahui kedatangan anggota BPH tersebut, maka mereka tidak mau datang menyambutnya. Panitia yang menyambut hanya terdiri dari orang bur dan akka. Namun anggota BPH itu acuh saja. Ia datang dan terus melaksanakan tugasnya sampai selesai dengan aman, lalu kembali pulang ke Ambon.
Peristiwa klaim orang marna juga berupaya mewarnai birokrasi pemerintahan di Kisar. Penjabat pemerintah daerah MBD, entah tahu atau tidak, telah mengangkat salah satu kepala dinasnya orang akka.[8] Suatu ketika ia menentukan sikap menanggapi sikap penolakan orang marna terhadap kehadirannya yang beredar di masyarakat. Ia menegaskan bahwa kehadirannya di birokrasi pemerintahan MBD adalah untuk melaksanakn tugas negara demi membangun dan memajukan Kisar pada khususnya sebagai tempat darimana ia berasal, dan MBD pada umumnya. Lebih dari pada itu ia datang untuk melaksanakan tugas pengabdian dari Tuhan yang ia yakini sebagai Juruselamat-Nya.
Jika kita mendalami daya resap strata atas mel-mel di Kei berbanding strata marna di Kisar, maka dari kekokohannya lebih kuat di Kei. Sebab dari semua faktor yang berpengaruh, ada satu faktor utama dari berbagai faktor lainnya adalah kuatnya dominasi birokrasi. Peranan dominan ini telah melewati proses yang lama dengan hasil yang berhasil memperkokoh hegemoni strata mel-mel atas strata ren-ren dan iriri dalam masyarakat Kei. Di Kisar hal ini tidak kokoh, karena birokrasi pemerintah masih baru. Contoh nyata di Kei bisa dilihat bahwa semua kepala dinasnya adalah orang mel-mel, sedangkan di Kisar tidak; lihat juga contoh kepala dinas yang sudah saya kemukakan di atas.
Gereja perlu membuat terobosan menghadapi penempatan Pendeta di dua wilayah ini. Sebelum penempatan seorang Pendeta pada Jemaat di dua daerah ini, MPH Sinode GPM dapat membuat pendampingan pastoral dan penguatan pemahaman lainnya kepada anggota Jemaat, sehingga ketika si Pendeta datang, umat sudah bisa siap untuk hidup dalam pelayanan Gereja bersama Pendeta mereka.
Vriens (1972:195-196) mencatat bahwa agama Kristen Protestan masuk di Kei pada tahun 1902 dan diterima oleh orang-orang di desa Ta’ar. Akan tetapi menurut Sejarah Injil Masuk di Ta’ar (MJ GPM Ta’ar 2009), agama Kristen Protestan mulai masuk di Kei terjadi pada tanggal 13 Maret 1897. Bermula dari Lobak Daniel Tarantein, seorang Ta’ar pertama, yang dibaptis di Gereja Victoria di Ambon pada tanggal 12 Januari 1897. Kemudian tanggal 13 Maret 1897 di desa Ta’ar dibaptis tujuh  anak desa Ta’ar oleh pendeta Frederick Kans Mooi. Tujuh orang, buah baptisan pertama, itu di kemudian hari menjadi pembawa dan penyebar Injil di pulau Kei Kecil, Kei Besar, ke pulau Aru, pulau Tanimbar dan pengaruhnya terus merembes sampai ke pulau-pulau terselatan di Babar dan di Kisar. Sampai sekarang, tanggal 13 Maret diperingati sebagai awal Injil masuk di Ta’ar, mewakili penyebarannya di Maluku Tenggara.
Sementara itu, jika dihitung  sejak masuknya agama Kristen Protestan di Ta’ar-Kei 1897, maka telah 114 tahun orang Kei mengenal apa itu inti berita Injil Yesus Kristus, Tuhan dan Kepala Gerejanya. Demikian juga Gereja Protestan Maluku (GPM) yang telah ada dengan persekutuan, pelayanan dan kesaksiannya di Kei sejak berdirinya di tahun 1935 sampai sekarang. GPM pasti telah melakukan banyak penetrasi pelayanan, persekutuan dan kesaksian sesuai panggilannya selaku utusan Tuhan yang membawa Kabar Kesukaan dari Tuhan kepada orang Kei (Matius 28:18-20). Penetrasi yang saya maksudkan bisa dilihat dalam penataan organisasi pelayanan di tingkat jemaat sampai tingkat Klasis, peran dan fungsi sekolah-sekolah Kristen Protestan, Katekisasi, PAK, pastoral, materi pemberitaan Gereja dan berbagai tugas pelayanan Gereja lainnya.

Salib Umat, Salib Kita Selaku Gereja
Mengapa sikap berteologi Gereja dan para pelayannya terhadap pemberian maksud di ‘batu natsar’ dan berbagai bentuk ritus adat lainnya demikian keras ? Menurut saya inti penolakannya ada pada pemahaman dan motivasi yang mendasarinya. Dalam ritus ‘batu natsar’ sebagai tempat persembahan, bisa dirujuk di dalam Alkitab dasar pemahaman dan motivasinya. Contoh dalam PL : Nuh mendirikan mezbah batu lalu mempersembahkan korban bakaran di atasnya (Kejadian 8:20); Ishak mendirikan mezbah untuk memanggil nama Tuhan (Kejadian 26:25); Yakub mendirikan mezbah lalu menamainya Allah Israel ialah Allah (Kejadian 33:20); Musa mendirikan mezbah lalu menamainya “Tuhan panji-panjiku” (Keluaran 17:15); bani Ruben, bani Gad dan suku Menasye mendirikan mezbah di tepi sungai Yordan (Yosua 22:10), Gideon mendirikan mezbah bagi Tuhan dan menamainya Tuhan itu keselamatan (Hakim-Hakim 6:24), dll. Dalam PB, contohnya : memberikan persembahan di mezbah (Matius 5:23); Malaekat Tuhan berdiri di sebelah kanan mezbah kepada Yusup (Lukas 1:11); Tuhan, mezbah-mezbah-Mu telah mereka runtuhkan (Roma 11:3), dan lain lain.
Menghadapi kondisi seperti disebutkan di atas, Darmaputra (1998:3-20;47-64:225-234) menyebutkan bahwa hendaknya Gereja berupaya mencari jawab di dalam sikap dan perilaku umat seperti itu; apa sebab dan dorongan yang ada dibaliknya, supaya dari temuan itu dapat membantu pemahaman dan pelayanan Gereja di konteksnya. Menurut saya, teologi kontekstual yang mencari jalan menuju ke pusat nilai hidup, sebenarnya mencerminkan sentrisme dalam kaul ritual adat. Perlu penguatan akar teologi yang berpijak pada Fiman Tuhan, berorientasi ke dunia dan menerangi konteks. Bahwa ritual batu natsar dan perkunjungan ke woma membuka perpektif pusat nilai, atau sentrisme. Karena itu teologi sentrisme, berakar dalam ritual kepusatan dari berbagai praktek adat-budaya masyarakat Maluku. Medan ini terbuka bagi transformasi konsepsi dan praktek hidup Gereja. Medan transformasi ditemukan pada apa yang saya sebut repetisi ritual atau perayaan upacara adat. Repetisi ritual adat berpusat pada transformasi daya hidup; lalu bagaimana dengan repetisi ibadah Gereja ? Apakah ia hanya sebagai sebuah ritual saja dan tidak punya daya transformasi ?! Jika benar sebatas ritual saja, maka Gereja sebenarnya hanya terus-menerus berpesta, tetapi tidak bersukacita dan berdamai sejahtera. Sebab inti ritual Gereja adalah sukacita dan damai sejahtera yang didapat di dalam keselamatan yang telah Tuhan Yesus buat bagi kita, umat-Nya. Dalam perenungan akan kelahiran, pekerjaan, kematian sampai kebangkitan-Nya (ritual-pesta Natal, pekerjaan Yesus, Jumat Agung dan Paskah sampai Penantian Kedatangan-Nya kembali), kita mendapat transformasi daya hidup menembusi masa depan oleh daya kekuatan transformasi Roh Kudus (Matius 28:20). Dalam daya transformasi itu, umat sebagai orang percaya, dikuatkan, diberanikan dan dipangil, lalu diutus ke seluruh penjuru dunia. Mereka disebut sebagai saksi-saksi bagi Kerajaan-Nya, dari Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai keujung dunia. Mereka bersekutu, melayani dan bersaksi, sampai Tuhan Yesus datang kembali.
Jika ditelah lebih jauh, di pembangunan nisan orangtua dengan semua kegiatan ‘royal’ materi (hambur-hambur harta) yang begitu banyak, sebenarnya terjadi sebuah kontrak sosial dalam tanda keramaian sosial atau pesta. Di dalamnya ada juga keluarga-keluarga di desa, yang membawa pemberiannya, yang terbatas jumlahnya. Pemberian mereka tidak sebesar jumlah pemberi utama atau pemberian dari anak-anak kandung dan karabat terdekat almarhum. Tradisi ini sangat kental ada di masyarakat yang masih kuat melakukan tuntutan adat dengan setia. Contoh itu bisa dilihat di tradisi membawa yelim di masyarakat Kei di Maluku Tenggara. Di desa-desa di Kei, Maluku Tenggara, baik yang Muslim dan juga Kristen, tradisi membawa yelim berlaku umum. Tidak pandang ia kerabat dekat, jauh atau tidak dikenal, tetapi jika ada maksud tertentu dalam sebuah desa, maka berbodong-bondong warga desa akan datang membawa yelim-nya. Kerabat dekat akan memberikan yang terbaik dan diikuti kerabat jauh sampai warga lainnya. Tradisi yelim dan praktek serupa, bisa dibandingkan dengan potlech, yang di lukiskan oleh Marcel Mauss (1992:16-137) sebagai sebuah kewajiban moral yang harus dibalas kembali. Moral saling membalas membuat seseorang akan tetap merasa berhutang, jika tidak memenuhi sebuah undangan atau turut menghadiri acara adat tertentu.
Ritus-ritus sosial atau pesta seperti itu, ada dalam berbagai bentuk dan jenis keramaiannya, baik secara adat dan begitu juga secara rohani Kristen. Contoh di keramaian rohani Kristen adalah syukur baptis, syukur sidi, syukur penahbisan Pendeta, syukur penahbisan Majelis Jemaat, syukur wisuda, dan berbagai syukur atau pesta lainnya. Di pesta itu, orang membawa pemberiannya, mulai dari keluarga, kerabat dan juga dari tamu dan undangan yang datang. Akibatnya ada semacam hutang ‘pertukaran.’ Maksudnya, si tuan pesta menjadi berhutang kepada setiap keluarga yang datang membawa pemberiannya. Dengan kata Iain sekarang ini ia punya hajat, tetapi ia punya hutang, atau hutang ‘pertukaran.’ Suatu ketika, jika orang lain di desanya punya hajat, maka ia harus membawa pemberiannya sebagai ‘balasan-’nya. Proses pertukaran tradisonal ini, yang disebut sebagai kontrak sosial dalam masyarakat adat.
Dengan demikian jika dikaji lebih jauh, sebenarnya proses kontrak sosial mewarnai kehidupan masyarakat adat di seluruh wilayah pelayanan GPM. Saya bahkan melihat ikatan kontrak sosial ini yang sesungguhnya menjadi medium bagi perluasan penginjilan di Maluku. Sebagai contoh di masyarakat Kei di Maluku Tenggara; lewat seorang pribadi dibaptis dan membuat pesta lalu orang sekampung datang membawa yelim; tanpa disadari pesta itu telah menjadi sebuah media pertukaran sosial di mana muncul harapan dan pemahaman : “Kalau begitu saya juga perlu bikin pesta atau syukur baptis, supaya banyak orang datang bawa yelim sama seperti yang sudah saya berikan. Supaya bisa bikin pesta atau syukur baptis, maka saya harus membaptiskan diri dulu, atau anak-anak atau keluarga.” Di sini disaksikan bahwa dorongan menjadi penganut Kristen, bukan berdasarkan khotbah atau penganjuran oleh para Pekabar Injil saja. Tetapi oleh kontrak sosial, yang adalah salah satu dasar ikatan sosial di antara masyarakat dalam praktek-prkatek adat-budayanya.
Uraian panjang lebar tentang ritual adat dan strata di atas menanyakan satu hal penting yaitu apa yang sudah gereja buat supaya umatnya tidak memikul sendiri Salibnya ? Menurut saya, Salib umat itu adalah pemahamannya tentang kesalamatan yang sudah ia terima dari TUHAN YESUS, yang ia dan kita yakini sebagai JURUSELAMAT kita. Pemahamannya itu yang mewarnai interaksi hidupnya dengan sesamanya dari hari ke hari ke masa depan. Penafsiran makna hidup untuk mengambil keputusan mengisi hidupnya yang sudah diselamatkan berjalan dalam dekapan adat selaku identitas sosialnya. Di situlah tantangan, ancaman sampai konversi spiritual bisa terjadi. Gereja, pembaca, saya, umat, yah kita semua sebagai umat milik TUHAN  mesti berbuat menurut kehendak-NYA.

Pustaka
Adams, Daniel. J
                1992       Teologi Lintas Budaya; Refleksi Barat di Asia, BPK-GM, Jakarta
Anh, To Thi
                1984       Nilai Budaya Timur dan Barat; Konflik atau Harmoni, Gramedia, Jakarta
Beteille Andre
                1971       Caste, Class and Power, Los Angeles, University of California Press.
Carson, D. A & John D. Woodbridge (Ed)
2001          God and Culture, Momentm, Surabaya
Cooley, Frank
1987       Mimbar dan Takhta, Hubungan Lembaga-Lembag keagaman dan Pemerintahan di Maluku Tengah, Jakarta, SH
Darmaputera, Eka (Ed)
                1998       Kontekls Berteologi Di Indonesi, BPK, Jakarta
Jebadu Alex
1973       2009       Bukan Berhala ! Penghormatan Kepada Leluhur, Maumere, Ledalero
Jensen, Adolf. E
1973       Myth and Cult Among Primitive People, Chicago, University Press
Kraemer, H
1995       Christian Attitude Toward Non-Chistian Religion, dalam Carl. E. Braaten dan Robert. W. Jenson, A Map of Twentieth Century Theology, Readings From Karl Barth to Radical Pluralism, Minneapolis, Fortress Press.
Laksono, P. M. Dkk
2005       Kekayaan, Agama dan Kekuasaan :Idenitas & Konflik di Indonesia Timur,Yogya, Knisius
Mauss, Marcel
1992  Pemberian; Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno, Jakarta, Yayasan
Obor Indonesia
Muskens, M. P. M, Pr
                1973       Sejarah Gereja Katolik Indonesia (Jilid 4), Ende-Flores, Arnoldus.
Ohoitimur, J
1981          Beberapa Sikap Hidup Orang Kei : Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan,/Thesis, Manado, STS Pineleng
Schreiter, Robert. J
                1993       Rancang Bangun Teologi Lokal, BPK, Jakarta
Singgih, E. G
2004       Berteologi Dalam Konteks, Kanisius, Ygyakarta
Timo, Eben Nuban
                2005       Sidik Jari Allah Dalam Budaya, Maumere, Ledalero




[1]Data-data dalam tulisan ini sebagiannya adalah hasil penelitan yang berkaitan dengan penulisan Disertasi saya yang berjudul Ain Ni Ain, Mengelola Hubungan Kristen-Islam di Maluku Tenggara. Penelitian itu berlangsung selama 2009-2011 di Maluku Tenggara.-
[2] Tanggal 16 Juni 2009.
[3]Almarhum menceritakan kepada saya ketika berlangsung Kegiatan Forum Refleksi dan Inspirasi (FRI) di Wisma Atlit, pada bulan Agustus 1986, di Karang Panjang, Ambon.
[4]Ketua Klasis bernama inisial T. J. E dan Pendeta Y. E.
[5]Tanggal 6 Juni 2009 saya tiba di Elat melanjutkan penelitian..
[6]Pdt. Nn. O. Y.
[7]Anggota BPH Sinode GPM periode pelayanan  2000-2005, berinisial WD.-
[8]Penjabat Bupati MBD berinisial  JP dan Kepala Dinasnya berinisial  OS.-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar