Pengantar
Ada pandangan hikmat lokal Maluku yang mengatakan
bahwa “belakang parang yang tumpul sekalipun, jika dengan tekun diasah, akan
tajam juga.” Arti dibaliknya adalah upaya yang serius, tekun dan tepat rencana,
pasti akan mencapai hasilnya. Perubahan yang menunju ke arah tujuan yang
dicita-citakan pasti dapat dicapai. Contoh hikmat lokal di atas banyak kali dikaitkan
ke dalam dunia pendidikan anak. Bahwa seorang anak yang bodoh dan bebal sekalipun
pasti dapat berubah menjadi pandai jika terus-menerus diasah dengan kesunguhan
dan tekun belajar.
Pandangan di atas dapat juga dikaitkan dengan
kemampuan pelayanan seorang Pelayan atau Pendeta di Jemaat. Selama
pendidikannya di Fakultas Teologi, masa vikariat sampai diteguhkan menjadi
Pendeta ia telah melewati masa pembinaan potensi intelektualnya, rohaninya dan
kemampuan praktikalnya. Idealnya, ia telah siap melakukan atau mempraktekan
pelayanan di Jemaat. Namun, semua kesiapannya berhadapan dengan konteks yang dinamis
dan kompleks. Di sana ia membutuhkan sebuah proses pembenahan potensi diri.
Wacana
Selama saya kuliah di Sekolah Tinggi Teologi Gereja
Protestan Maluku (STT GPM) sampai tamat 1978-19885.[2] Para
dosen kami, di antaranya Almarhum Pdt. F. C. Lewier, M, Th dan almarhum Pdt.
DR. A. N. Radjawane, menjelaskan bahwa anggota Jemaat pada umumnya memandang
Pendeta GPM sebagai orang yang “mahatahu” semua persoalan hidup di Jemaat yang
ia layani. Ia “mesti tahu” pelayanan rohani dengan berbagai kebaktian dan
kegiatannya, pelayanan jasmani dengan berbagai kegiatannya dan semua pelayanan
berkait kehidupan seutuhnya. Bahkan ia mesti bisa berlaku bagaikan seorang
bidan atau dokter ahli kebidanan yang siap membantu melahirkan seorang anak. Ia
bukan hanya berdiri menonton proses kelahiran, setelah berdoa dan membantu para
dukun bersalin di Jemaat saja. Tetapi ia sendiri harus turun tangan membantu
proses melahirkan anak sampai ibu hamil itu selesai melahirkan. Ia harus berani
memegang bagian-bagian tubuh ibu hamil yang mau melahirkan, yang baginya
sebagai seorang laki-laki sangat tabu dan mungkin baru pertama kali menatapnya.
Di sini tidak ada kata “belum pernah,” “belum tahu,”
“tidak berani” dan seterusnya; yang ada hanya kata “harus.” Ia “harus” dapat
melakukan sesuatu dalam menangani suatu masalah di jemaat, sekalipun masalah
itu asing baginya. Tindakannya dinantikan oleh anggota Jemaat yang punya
masalah yang butuh untuk segera ditangani. Tidak jarang ia “harus” menjadi ahli
bangunan, ia “harus” menjadi ahli pertanian, ahli perikanan, dan beraneka ahli
lainnya. Tampaknya ilmu teologi dan ilmu terkait lainnya yang ia dapatkan
selama kuliah hanya sebagian kecil dari sejumlah besar kesiapan pengetahuan
yang ia butuhkan untuk mampu melayani Jemaat. Ia harus belajar secara otodidak
tentang pengetahuan lain yaitu yang berkait langsung dengan kebutuhan
jemaatnya. Ia adalah semacam “super hero” yang menjadi tumpuan harapan.
Dari segi waktu pelayanan, seorang Pendeta yang
melayani di Jemaat harus siap 24 jam untuk melayani. Persoalan-persoalan
pelayanan seperti orang susah melahirkan, orang sakit, selingkuh, perkelahian,
orang mabuk, kematian, yang terjadi entah siang atau tengah malam, ia mesti ada
untuk melayani. Anggota Jemaat akan datang mengetuk pintu pastori membangunkan
dia di tengah malam untuk mendoakan, memberi pergembalaan dan nasehat. Waktu
hidupnya sepenuhnya adalah untuk anggota jemaatnya. Beban kerjanya tetap total
24 jam. Berbeda dengan Pendeta yang bekerja di Klasis atau di Sinode. Di Klasis
dan di Sinode, Pendeta dapat segera pulang kalau sudah usai jam kantor. Setelah
itu ia tinggal mengurus kegiatan lain. Memang ada juga panggilan pelayanan dari
anggota Jemaat untuk melayani, tetapi intensitasnya sangat kecil. Dalam banyak
pelayanan serupa, setelah pulang pak Pendeta akan diberi “uang bensin” dan yang
sejenisnya.
Deskripsi tugas dan tangungjawab pelayanan di atas
gamblang membuka jauhnya perbedaan pelayanan bagi seorang Pendeta di Jemaat dan
seorang Pendeta di Klasis atau di Sinode. Jauhnya “seperti” atau “bahkan
melebihi jauhnya langit dari bumi.” Beban kerja dan inisiatif serta kreativitas
pelayanan adalah “formula medis” yang selalu dibutuhkan dalam mengemban
tugasnya. Seorang almarhum Pendeta pensiun menggambarkan penegasan di atas,
katanya: “Pendeta di jemaat itu lebih banyak berdoa dari Pendeta yang bekerja
di Klasis atau di Sinode.”[3]
Maksudnya, doa dan pergumulannya adalah inti kekuatan menjawab tuntutan “harus”
bagi seorang Pendeta di Jemaat. Sebab ia berhadapan dengan multi-persoalan
pelayanan yang harus ia putuskan untuk dieksekusi; ia melihat, menganalisa dan
memutuskan eksekusi.
Kita
semua sama-sama pegawai organik GPM[4]
Mengapa muncul
pertanyaan di sekitar topik di atas? Ada banyak argumen terhadapnya tergantung
dari mana mendalaminya. Jawaban di atas “meledak” tampil ketika saya berdiskusi
dengan beberapa Pendeta tentang mutasi bagi Pendeta yang melayani di Jemaat.[5] “Meledak”
adalah gambaran antusias dan energiknya mereka mengutarakan apa yang mereka
lihat dan rasakan sendiri di Jemaat. Menurut mereka, pelaksanaannya tidak adil.
Sebab, mereka merasa ada banyak hal berkait yang tidak transparan. Dengan
antusias mereka mengemukakan berbagai argumen berkait hak dan semua
tanggungjawabnya sebagai pendeta: mulai dari skala ijazah S-1, S-2 dan S-3,
lamanya melayani di suatu Jemaat, sampai uneg-uneg
pribadi dicurahkan pada satu prinsip, mutasi adalah hidup dan masa depan
pelayanan GPM dan juga adalah hidup dan masa depannya. Menurut saya mestinya
sebuah mutasi terukur dari beberapa hal: a). Prestasi pelayanan yang terukur
dari DP-3 Pendeta; b). Lamanya ia telah melayani di suatu Jemaat; c). Apa
pekerjaan isteri atau suaminya; d). Apakah anak-anaknya sudah sekolah dan sudah
sampai di tingkat mana, e). Bagaimana kesehatannya, dll. Suka atau tidak, pada
kenyataannya realisasi beberapa mutasi menampilkan penafsiran dengan sikap
berbeda, baik di kalangan para Pendeta dan juga di kalangan anggota Jemaat GPM.
Sekilas saya berupaya untuk menguraikannya seperti berikut;
a)
Prestasi
pelayanan. Biasanya mutasi seorang Pendeta diukur dari sebaik apa ia sudah
melayani di satu Jemaat. Pelayanan baik yang dimaksud adalah semua baktinya
baik di bidang sosial, spiritual dan juga di bidang ekonomi. Di bagian ini ada
dua hal yang perlu menjadi perhatian penting. Pertama, pemberian penilaian yang masih perlu diatur penerapan-nya.
Makudnya, pemberi DP-3 mesti punya panduan yang transparan dan jujur terhadap
seorang pendeta. Ada pendapat dari para pendeta dan anggota Jemaat bahwa
penilaian lebih utuh hanya tertuju pada keberhasilan seorang Pendeta memenuhi
tanggungan pelayanannya tepat waktu dan tepat jumlah. Pengabdian si Pendeta di
suatu Jemaat seakan hanya terukur pada materi seberapa dia mampu memenuhi
tanggungan pelayanan perbulan ke Sinode.[6]
Sementara pelayanan lebih terfokus pada si manusia yang adalah anggota Jemaat
dengan semua aspek kehidupannya, jasmani dan rohani. Tidak jarang pembinaan
pelayanan yang seorang Pendeta perjuangkan bersama dengan jemaatnya selama
beberapa tahun baru mengalami perubahan dengan menampakan hasilnya ketika ia
sudah dimutasikan ke lain tempat. Ia bahkan tidak merasakan sukacita bersama
mereka, melainkan dinikmati oleh Pendeta yang menggantinya melayani di Jemaat. Kedua, sikap netral dan professional
dalam memberi penilaian DP-3. Seorang mantan Ketua Klasis[7]
mengatakan: “Criteria untuk penilaian dirasa sudah memadai. Namun, netralitas
belum.” Ia mencontohkan beberapa perilaku terhadap pribadi Pendeta yang
biasanya bicara dengan gagasan dan pandangan yang baik di pertemuan atau
persidangan, tapi tidak sejalan dengan Ketua Klasis, maka ia dilihat sebagai
penentang atau bahkan pembangkang. Ada juga yang hanya dengan hal-hal kecil dan
sangat pribadi melahirkan sentiment pribadi yang banyak kali mengorbankan
Pendeta penerima DP-3 yang menjadi kewenangan Ketua Klasis.
b)
Lamanya
melayani. Seorang mantan pimpinan Sinode[8]
menjelaskan bahwa lamanya seseorang melayani turut menentukan kreativitas dan
karyanya di suatu Jemaat. Biasanya tahun pertama adalah tahun penjajagan kreativitas
apa yang mau dibuat setelah mempelajari kondisi Jemaat. Pendeta meneliti dan
belajar tentang apa dan bagaimana ia hidup dan melayani Jemaat. Pada tahun
kedua, ketiga atau keempat adalah tahun upaya berkreasi dan berkarya. Dalam
tahun-tahun ini, pendeta melakukan apa yang sudah dirancang dan dikembangkan
menjadi sasaran pelayanannya. Tahun kelima dan tahun-tahun ke depannya Pendeta
sudah mengalami kesumpekan dalam pelayanan. Ia mulai tidak rajin ke ibadah,
mulai melihat saja apa hasil dari pelaksanaan pelayanan yang sudah ia buat selama
tahun kedua sampai ketiga atau tahun ke empat. Tidak jarang ia menjadi Pendeta
yang melakukan pelayanan rutin dan bahkan kurang mempedulikan pelayanan.
Kebosanan mulai menghantui dan mematikan semangat pelayanannya. Waktu ini
dipandang sebagai masa yang tepat untuk memutasikan seorang Pendeta. Sebaiknya
Pendeta yang sudah berperilaku seperti itu dimutasikan saja daripada melalaikan
pelayanan. Sekalipun demikian, patut diakui juga bahwa ada Pendeta yang mampu
terus berkreasi dalam pelayanan di jemaat sampai tahun ke lima, ke enam,
ketujuh, bahkan sampai sepuluh tahun pun ia rajin berkreasi dan melayani
Jemaatnya dengan kasih.
c)
Pekerjaan
isteri atau suami Pendeta. Kondisi ini menjadi penting untuk menentukan sebuah
mutasi. Sudah bukan masanya lagi untuk mengabaikannya. Sebab pekerjaan isteri
atau suami Pendeta juga sangat menentukan bagi pelayanan di suatu Jemaat.
Memang ada banyak argumen terhadapnya. Namun, keutuhan dan kebahagian keluarga
Pendeta yang pada dasarnya menjadi salah satu penunjang pelayanan patut
dicermati. Tidak jarang keterpisahan isteri dari suami dan anak-anak dan
sebaliknya, menimbulkan banyak tantangan yang mengaganggu tugas Pendeta dalam
pelayanannya di Jemaat.
d)
Tahapan
pendidikan anak-anak. Seorang Pendeta yang anaknya sudah sekolah di SMP/ SMA
akan tidak tenang, jika anak atau anak-anaknya terpisah dari mereka karena
tidak ada sekolah di Jemaat yang ia layani. Upaya membantu memperhatikan
mutasinya ke Jemaat yang memungkinkan anak-anaknya yang sudah sekolah, di tingkat
SMP/SMA adalah kepedulian bijak. Selain itu adalah bijak juga jika
memutasikannya ke Jemaat yang mampu mendukungnya dalam hal keuangan. Maksudnya,
pertimbangan topangan keuangan sangat menolong si Pendeta dapat melayani Jemaat
dengan rasa aman dan sukacita, sebab biaya sekolah anak-anaknya bisa terpenuhi.
Bagaimana rasanya jika seorang Pendeta yang seperti diuraikan di atas
dimutasikan ke Jemaat yang karena kondisinya “tidak mampu” menopang pembiayaan
pendidikan anak-anaknya. Tentu jawaban mudah untuk mematahkan masalah ini
adalah “bukankah gaji semua Pendeta sudah sentralisasi dibayar dari Sinode”? Jawaban
ini benar. Namun, maksud saya bukan hanya topangan keuangan dari gaji saja.
Tetapi lebih dari itu sebagaimana yang umum diketahui bahwa di Jemaat tertentu
yang lebih mampu, Pendeta akan mendapat “tambahan” tunjangan-tunjangan lain.
Sudah pasti “kriteria” ini berlaku terhadapt oknum Pendeta yang tidak terkena
disiplin.
e)
Kondisi
kesehatan Pendeta. Saya percaya bahwa masalah kesehatan bagi semua Pendeta GPM
masih belum memadai. Idealnya Rumah Sakit GPM Sumber Hidup mestinya pada suatu saat
nanti pasti dapat menjadi tempat pusat pemeriksaan kesehatan bagi para pendeta
GPM. Tetapi yang saya maksudkan di sini adalah memperhitungkan kesehatan
seorang Pendeta ketika ia hendak dimutasikan. Tentu ada banyak argument terkait
hal ini. Namun, keputusan bijak terhadapnya punya manfaat penting menopang
tugas pelayananya di Jemaat.
Tampaknya program cek kesehatan atau ada
suatu bentuk pemeliharaan kesehatan bagi semua pegawai organik GPM sudah harus
ditetapkan. Termasuk juga upaya yang perlu dibuat untuk memberi perlindungan
dan jaminan kesehatan sesuai dengan hak-hak Pendeta dan keluarganya. Bukankaah
ada potongan dana kesehatan 2% dari gaji Pendeta? Pengelolaannya mesti
diupayakan optimal dan transparan, sehingga semua pegawai organik GPM yang
mengalami potongan tahu apa saja pertanggungjawaban tentangnya.
f)
Hal
lain tentang mutasi berkait rasa keadilan juga menyentak kesamaan hak sebagai
Pendeta yang adalah pegawai organik GPM, terutama dalam kaitan dengan usia
pensiun. Status itu menegaskan bahwa semua Pendeta baik di aras Jemaat, aras
Klasis dan aras Sinode, adalah sama. Tidak ada Pendeta di aras tertentu kebal
atau istimewa dapat “melanggar” kesamaan status itu. Tidak ada aras tertentu
yang seakan bertingkat seperti “Supra Struktur.” Maksudnya, jika usia pensiun
Pendeta adalah 58 tahun dan Pendeta yang Dosen adalah 65 tahun, maka ketentuan
ini harus berlaku sama merata; baik Pendeta yang melayani di Jemaat, Pendeta
yang bertugas di Klasis dan juga Pendeta yang bertugas di Sinode. Beberapa
Pendeta mengeluhkan: “Keadilan seperti apa yang seakan hanya berlaku bagi
Pendeta di Jemaat dan Pendetaa yang di Klasis, sedangkan Pendeta yang di
Sinode, tidak. Jika masa pensiun sudah tiba, maka siapa pun dia, tetap harus
pensiun. Di Jemaat dan Klasis realisasinya berlaku, pensiun terwujud. Tetapi di
Sinode, tidak.”[9]
Debat argumen apa yang dapat memecahkannya dan landasan konstitusi GPM apa yang
dapat mematahkan rasa keadilan yang seakan “supra struktur” itu? Langkah antisipatif
supaya fakta kondisi perlakuan istimewa “supra struktur” seperti yang sekarang
ada ini mesti dibuat. Upaya konstitutif patut diputuskan supaya yang namanya
sudah sampai batas usia pensiun harus dieksekusi sesuai aturan. Sebab keadilan
yang semua Pendeta dambakan adalah merujuk ke sana. Untuk memberi semangat dan
percaya pelayanan kepada sesama Pendeta yang sama statusnya sebagai pegawai
organik GPM, juga patut ditempuh oleh beliau-beliau sendiri. Sikap “legowo” menyadari
bahwa beta sudah pensiun jadi beta mau
mundur saja, adalah langkah moral yang memberi daya transformasi baru terhadap
“mengkaretnya” perilaku orang-perorang dalam memahami aturan Gereja. Untuk
menghindarkan diri dari kondisi itu, maka mesti dilihat kriteria untuk memilih
dan menempatkan seseorang di MPH Sinode, apakah nanti ia pensiun di tengah
jalan pelayanannya atau tidak. Keadilan memang perlu lahir dari perasaan hati yang
tulus. Namun, tidak jarang juga ia lahir dari rasa berkuasa.
Dok-mol, sebentuk meditasi untuk instropeksi diri Pendeta?!
Sudah lama, orang Kei di Kei Besar dan Kei kecil
tidak ingat apa itu dok-mol. Mereka seakan
telah kenyang dan puas dengan “hasil rekayasa” bentuk-bentuk dan nilai-nilai
kehidupan moderen yang banyak menekankan aspek praktis dan rasional. Saya menemukan
bahwa memang benar orag Kei telah kurang ingat lagi hikmat lokal ini.[10] Para
Pendeta yang melayani di kei Besar di tahun 1970-an masih menemukan dok-mol dipraktekkan. Ketika ada kaul
bersama untuk suatu acara pribadi atau kekeluargaan, maka anggota Jemaat pergi mencari
di hutan dengan berburu atau ke laut untuk menangkap ikan. Untuk maksud itu, ada
doa adat dilakukan untuk mendasari kegiatannya. Dalam suasana ini, seisi rumah,
bahkan seisi desa “harus diam.” Keharusan “harus diam” di rumah dan di dalam
desa menegaskan tidak boleh ada orang berteriak-teriak dengan suara kencang
atau putar musik keras, tidak boleh berhura-hura, tidak boleh tertawa cekikikan,
dll. Semuanya mesti diam dalam hati dan kelakuan selama pasukan yang pergi
mencari, berburu di hutan atau menangkap ikan di laut, belum pulang. Kalau
mereka telah pulang baru “larangan” itu diubah; suasana riang sampai ribut
musik dan ramainya kelakar, berjalan lagi seperti semula. Tidak ada ritual
khusus untuk menutup “larangan” dok-mol.
Membukanya ditandai dengan doa adat menyertai berangkatnya pasukan berburu atau
menangkap ikan. Setelah pasukan itu sudah pulang ke desa, dipahami sebagai
“larangan” sudah dipulihkan kembali.
Falsafahnya adalah berdiam dalam doa dan bergumul untuk
memohon perlindungan dari Duad-Tuhan
Yang Mahkuasa, demi keberhasilan bagi saudara, suami atau anak yang sedang pergi
“berperang” menaklukan hewan yang diburu. Doa dan pergumulan untuk perlindungan
dan keberhasilan dibuat sebab mereka yang pergi berburu berhadapan dengan
kondisi tak terduga, baik dari ancaman hewan buruan dan juga dari kondisi alam
yang mengancam. Karena itu doa dan bergumul untuk berburu bukan hanya supaya beroleh
perlindungan dari “Yang Maha kuasa atau Tuhan Yang Mahabesar, Duad atau Duange ‘O Kabo La’ai, saja. Tetapi dilakukan sebagai wujud
penyerahan hidup kepada yang memiliki hidup dan berkat atas kehidupan. Dok-mol sekarang telah digantikan ke
cara praktis. Ia telah diambil alih oleh Gereja dengan berdoa saja kalau ada
kaul tertentu, baik ketika mau pergi atau sudah pulang dari mencari.
“Greget”-nya dalam spirit diam merenung tanda seseorang atau Jemaat sedang berdoa
dan menyerahkan hidup, sudah hilang melayang hanyut dalam arus dampak
modernisasi.
Penyerahan hidup kepada yang punya hidup adalah
kekuatan dan “harta” seorang Pendeta yang melayani di Jemaat. Bukan penyerahan
hidup secara membabi-buta, tetapi adalah bentuk motivasi dan dedikasi untuk
mendapatkan pencerahan demi suatu vitalitas spiritual, sosial dan praktikal. Tuhan
Yesus selalu menjadi tumpuan tunggalnya mendapatkan inspirasi dan semangat
pelayanan. Dari posisi itu, sesungguhnya seorang Pendeta Jemaat adalah penentu
pelayanan Gereja ke masa depan. Menurut saya, ada beberapa kondisi yang
menentukan seperti berikut:
a.
Sebab
pengabdiannya berada di basis pelayanan dan pertumbuhan Gereja yaitu Jemaat. Ia
dengan kelebihan dan kekurangannya harus bertarung supaya bisa menjawab makna
dan jiwa pelayanan yang adalah bentuk nyata upaya berteologi. Makna yang saya
maksudkan adalah mengartikan atau memberi pemahaman kepada anggota Jemaat dan
jiwa adalah semangat yang mendorong Jemaat taat dan setia di dalam imannya. Di
pelayanan Jemaat yang adalah arena berteologi, ia “harus” kreatif dan
berinisiatif melayani dari apa yang ada padanya. Apakah pengetahuan dan
pengalaman pelayanannya berguna bagi upaya bertelogi yang banyak kali menjadi
klaim lembaga pendidikan teologi dan para cerdik-pandai Gereja saja? Menurut
saya, ia sudah berkarya teologi nyata. Lembaga pendidikan teologi dan
cerdik-pandai Gereja berteologi konsep, asumsi dan visi di arena berwacana
cerdas. Sementara itu patut diakui bahwa Gereja menjadi hidup dan bernapas dari
gerak tangan, kaki, mulut dan bahkan seluruh gerak hidupnya di Jemaat. Namun,
setitik noda pelayanan yang ia buat dapat merusak hapus seluruh pengorbanan
pelayanannya yang menghidupkan Gereja. Titik noda itu patut diganjar hukuman.
Namun, pastoral bagi kasus-kasus pelayanan jarang terlaksana tuntas. Ia kandas
di meja “kebijakan instan” dan segera. Di lain pihak ganjaran yang diterapkan berbeda
objek dan perlakuannya; terhadap “yang ini,” diabaikan dan terhadap “yang itu,”
ditertibkan. Akibatnya tidak terhindarkan. Muncul kesimpulan soal suka dan
tidak suka dari pihak penguasa.
b.
Ia,
Pendeta di Jemaat, sesungguhnya “mati-matian” membela kebijakan pelayanan yang
diputuskan oleh hirarki dan kekuasaan. Upaya mewujudkan kerja “mati-matian” itu
dengan melaksanakan keputusan pelayanan di Jemaat. Diskusi mendalam di sini
adalah apakah ia melaksanakan keputusan lembaga ataukah ia melaksanakan
pelayanan Tuhan Yesus, Kepala Gereja. Pertanyaan ini penting dengan argumen:
sebab jika ia melakukan keputusan pelayanan lembaga, maka yang penting semua
keputusan pelayanan sudah ia laksanakan. Tetapi jika ia melaksanakan pelayanan
Tuhan, maka penyerahaan hidup dalam pergumulan dengan apa yang ia punya itulah
kekuatannya. Di simpul ini, keberhasilan pelayannan ditentukan oleh proses
anugrah dan kasih Tuhan Allah. Dalam banyak fakta, kondisi ini dapat dengan
mudahnya diabaikan oleh hirarki dan penguasa. Sebab bagi mereka sukses atau
berhasil adalah target. Bukan proses yang bergantung pada “khairos” Tuhan
Allah. Yang berhati bijak dengan mohon tuntunan Roh Kudus saja yang dapat
mengurainya dalam kolom-kolom penilaian kinerja atau DP-3 bagi seorang Pendeta
di Jemaat.
c.
Pendeta
Jemaat sepatutnya dihormati dan disegani. Performa dan profesionalitasnya mesti
terbentuk mapan dari hirarki dan penguasa. Kontrol atau bahasa halusnya
pendampingan secara kelembagaan patut ada. Sebab dengan supervisi, seorang
Pendeta terbantu dan makin tegar dan kokoh melayani Jemaatnya. Ia bukan saja
dihormati, karena prestasi baktinya saja, tetapi lebih dari pada itu. Sebab, ia
berperang di arena tempur yang sesungguhnya, yaitu Jemaat. Ia seakan seorang serdadu
terdepan di medan perang untuk menegakkan kehendak Tuhan. Gambaran tantangan
kuasa fisik dan nonfisik, terutama roh-roh jahat, setan, iblis dan berbagai
kekuatan gaib, ia hadapi muka dengan muka. Teman dan sumber kekuatannya hanya
Tuhan Yesus dengan kuasa-Nya. Supervisornya banyak kali hanya menanti dan
menuntut minta laporan pelayanan dan laporan pelayanan itu mesti bagus, baik
dan berhasil. Keuangannya harus meningkat. Jika “tidak bagus” dan “menurun,”
maka Pendeta Jemaat itu harus mendapat sanksi eksekusi mutasi sebagai “yang
gagal.” Ia lebih perlu lagi melayani di Jemaat yang lebih sulit dan jauh ke
pedalaman. Sebab, “Bukankah ia gagal!!?
Penutup
Tulisan ini bisa jadi merupakan sebuah otokritik
terhadap perlakuan pelayanan Gereja. Mungkin juga dapat menjadi sebuah usul
perbaikan pelayanan di GPM tercinta. Ujung sasarannya adalah kondisi dan
situasi para Pendeta yang melayani di Jemaat. Bagi saya, Pendeta di Jemaat
adalah representasi dari visi dan misi GPM yang dituangkan dalam berbagai
kebijakan pelayanan untuk melayani Jemaat. Mereka adalah “harta mulia” kita.
Untuk itu mereka patut “dijaga” oleh anggota Jemaat dan pimpinan Gereja; mereka
“dijaga” secara antero-paripurna. Tidak
dapat disangkal bahwa mereka juga ada yang bejat, kriminal bahkan murtad.
Tetapi, tanggungjawab apostoliknya membuka mata hati kita bahwa mereka adalah
orang-orang yang dipercaya untuk Tuhan. Ketika ada pelanggaran terhadap
tugasnya itu, penegakan ganjaran patut memenuhi rasa keadilan. Ganjaran
berkeadilan dimaksud tidak berakhir sebagai sebuah eksekusi hukum. Sesungguhnya
hikmat pastoral yang dipahami luas oleh pemberi sanksi, Klasis dan Sinode,
mesti berlanjut. Menurut saya, intensitas dan kontinyutas pastoral dan pola
pembinaan terhadap mereka, belum baik.
Bersama mereka, para pendeta di Jemaat-Jemaat seluruh
GPM, kita sebarluaskan misi Tuhan Yesus ke dalam dunia sampai IA datang
kembali. “Paulus menanam, Apolos menyiram, tetapi kasih karunia Tuhan Allah
yang memberi pertumbuhan” (1Kor 3. 6)
Catatan akhir:
[1] Tulisan ini merupakan sebuah
refleksi pribadi saya terhadap tugas pelayanan seorang Pendeta di Jemaat dalam
Gereja Protestan Maluku (GPM). Apakah ada kontribusinya? Semuanya kembali
kepada para pembaca. Ditulis di Ambon 5/26/2015 10:06:36 AM
[2] Kami mengalami perubahan Awal
Tahun Ajaran dari semula mulai Januari tahun berjalan ke Juli tahun berjalan,
sehingga waktu kuliah kami berubah dari selama satu tahun menjadi selama satu
setengah tahun. Saya masuk STT GPM tahun 1978 dan tamat S-1 tahun 1985. Waktu
itu tamatan STT GPM masih Sarjana Muda (S-0) dengan berbagai perubahan kurikulum
menjadi ke S-1, saya bisa tamat.
[3]
Almarhum Pendeta BL.
[4] Wawancara dengan seorang Pendeta
yang melayani di sebuah Jemaat di pulau Seram. Ia meminta namanya tidak disebutkan.
[5] Diskusi dengan Pdt JK dan
teman-temannya, Mei 2015
[6] Wawancara dengan Bapak AP,
Desember 2014
[7] Wawancara dengan Pdt. YY,
Februari 2015
[8] Wawancara dengan Pdt. L L,
Januari 2015.
[9] Wawancara dengan Pdt. TH, Maret
2015
[10] Penelitian S-3 tahun 2009-2011
di Kei, Malra, dok-mol masih dipahami
tetapi dengan berbagai alasan tidak lagi dipraktekan. Ia sudah
ditransformasikan ke pelayanan Gereja. Baca Nicodemus, Ain Ni Ain Mengelola Hubungan
Kristen-Islam di Maluku Tenggara (Disertasi),
Yogyakarta 2012, UDW-ATU, halaman 29; Yohanes Ohoitimur, Beberapa Sikap hidup Orang Kei; Antara Ketahanan Diri dan Proses
Perubahan, (Tesis), Pineleng Manado 1984, STS Pineleng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar