Kamis, 09 Juli 2015

TUMPULNYA “UJUNG TOMBAK” PELAYANAN GEREJA[1]



Oleh: Pdt. DR. Nicodemus Sedubun, M. Th

Pengantar
Ada pandangan hikmat lokal Maluku yang mengatakan bahwa “belakang parang yang tumpul sekalipun, jika dengan tekun diasah, akan tajam juga.” Arti dibaliknya adalah upaya yang serius, tekun dan tepat rencana, pasti akan mencapai hasilnya. Perubahan yang menunju ke arah tujuan yang dicita-citakan pasti dapat dicapai. Contoh hikmat lokal di atas banyak kali dikaitkan ke dalam dunia pendidikan anak. Bahwa seorang anak yang bodoh dan bebal sekalipun pasti dapat berubah menjadi pandai jika terus-menerus diasah dengan kesunguhan dan tekun belajar.
Pandangan di atas dapat juga dikaitkan dengan kemampuan pelayanan seorang Pelayan atau Pendeta di Jemaat. Selama pendidikannya di Fakultas Teologi, masa vikariat sampai diteguhkan menjadi Pendeta ia telah melewati masa pembinaan potensi intelektualnya, rohaninya dan kemampuan praktikalnya. Idealnya, ia telah siap melakukan atau mempraktekan pelayanan di Jemaat. Namun, semua kesiapannya berhadapan dengan konteks yang dinamis dan kompleks. Di sana ia membutuhkan sebuah proses pembenahan potensi diri.
Wacana
Selama saya kuliah di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Protestan Maluku (STT GPM) sampai tamat 1978-19885.[2] Para dosen kami, di antaranya Almarhum Pdt. F. C. Lewier, M, Th dan almarhum Pdt. DR. A. N. Radjawane, menjelaskan bahwa anggota Jemaat pada umumnya memandang Pendeta GPM sebagai orang yang “mahatahu” semua persoalan hidup di Jemaat yang ia layani. Ia “mesti tahu” pelayanan rohani dengan berbagai kebaktian dan kegiatannya, pelayanan jasmani dengan berbagai kegiatannya dan semua pelayanan berkait kehidupan seutuhnya. Bahkan ia mesti bisa berlaku bagaikan seorang bidan atau dokter ahli kebidanan yang siap membantu melahirkan seorang anak. Ia bukan hanya berdiri menonton proses kelahiran, setelah berdoa dan membantu para dukun bersalin di Jemaat saja. Tetapi ia sendiri harus turun tangan membantu proses melahirkan anak sampai ibu hamil itu selesai melahirkan. Ia harus berani memegang bagian-bagian tubuh ibu hamil yang mau melahirkan, yang baginya sebagai seorang laki-laki sangat tabu dan mungkin baru pertama kali menatapnya.
Di sini tidak ada kata “belum pernah,” “belum tahu,” “tidak berani” dan seterusnya; yang ada hanya kata “harus.” Ia “harus” dapat melakukan sesuatu dalam menangani suatu masalah di jemaat, sekalipun masalah itu asing baginya. Tindakannya dinantikan oleh anggota Jemaat yang punya masalah yang butuh untuk segera ditangani. Tidak jarang ia “harus” menjadi ahli bangunan, ia “harus” menjadi ahli pertanian, ahli perikanan, dan beraneka ahli lainnya. Tampaknya ilmu teologi dan ilmu terkait lainnya yang ia dapatkan selama kuliah hanya sebagian kecil dari sejumlah besar kesiapan pengetahuan yang ia butuhkan untuk mampu melayani Jemaat. Ia harus belajar secara otodidak tentang pengetahuan lain yaitu yang berkait langsung dengan kebutuhan jemaatnya. Ia adalah semacam “super hero” yang menjadi tumpuan harapan.
Dari segi waktu pelayanan, seorang Pendeta yang melayani di Jemaat harus siap 24 jam untuk melayani. Persoalan-persoalan pelayanan seperti orang susah melahirkan, orang sakit, selingkuh, perkelahian, orang mabuk, kematian, yang terjadi entah siang atau tengah malam, ia mesti ada untuk melayani. Anggota Jemaat akan datang mengetuk pintu pastori membangunkan dia di tengah malam untuk mendoakan, memberi pergembalaan dan nasehat. Waktu hidupnya sepenuhnya adalah untuk anggota jemaatnya. Beban kerjanya tetap total 24 jam. Berbeda dengan Pendeta yang bekerja di Klasis atau di Sinode. Di Klasis dan di Sinode, Pendeta dapat segera pulang kalau sudah usai jam kantor. Setelah itu ia tinggal mengurus kegiatan lain. Memang ada juga panggilan pelayanan dari anggota Jemaat untuk melayani, tetapi intensitasnya sangat kecil. Dalam banyak pelayanan serupa, setelah pulang pak Pendeta akan diberi “uang bensin” dan yang sejenisnya.
Deskripsi tugas dan tangungjawab pelayanan di atas gamblang membuka jauhnya perbedaan pelayanan bagi seorang Pendeta di Jemaat dan seorang Pendeta di Klasis atau di Sinode. Jauhnya “seperti” atau “bahkan melebihi jauhnya langit dari bumi.” Beban kerja dan inisiatif serta kreativitas pelayanan adalah “formula medis” yang selalu dibutuhkan dalam mengemban tugasnya. Seorang almarhum Pendeta pensiun menggambarkan penegasan di atas, katanya: “Pendeta di jemaat itu lebih banyak berdoa dari Pendeta yang bekerja di Klasis atau di Sinode.”[3] Maksudnya, doa dan pergumulannya adalah inti kekuatan menjawab tuntutan “harus” bagi seorang Pendeta di Jemaat. Sebab ia berhadapan dengan multi-persoalan pelayanan yang harus ia putuskan untuk dieksekusi; ia melihat, menganalisa dan memutuskan eksekusi.
Kita semua sama-sama pegawai organik GPM[4]
Mengapa muncul pertanyaan di sekitar topik di atas? Ada banyak argumen terhadapnya tergantung dari mana mendalaminya. Jawaban di atas “meledak” tampil ketika saya berdiskusi dengan beberapa Pendeta tentang mutasi bagi Pendeta yang melayani di Jemaat.[5] “Meledak” adalah gambaran antusias dan energiknya mereka mengutarakan apa yang mereka lihat dan rasakan sendiri di Jemaat. Menurut mereka, pelaksanaannya tidak adil. Sebab, mereka merasa ada banyak hal berkait yang tidak transparan. Dengan antusias mereka mengemukakan berbagai argumen berkait hak dan semua tanggungjawabnya sebagai pendeta: mulai dari skala ijazah S-1, S-2 dan S-3, lamanya melayani di suatu Jemaat, sampai uneg-uneg pribadi dicurahkan pada satu prinsip, mutasi adalah hidup dan masa depan pelayanan GPM dan juga adalah hidup dan masa depannya. Menurut saya mestinya sebuah mutasi terukur dari beberapa hal: a). Prestasi pelayanan yang terukur dari DP-3 Pendeta; b). Lamanya ia telah melayani di suatu Jemaat; c). Apa pekerjaan isteri atau suaminya; d). Apakah anak-anaknya sudah sekolah dan sudah sampai di tingkat mana, e). Bagaimana kesehatannya, dll. Suka atau tidak, pada kenyataannya realisasi beberapa mutasi menampilkan penafsiran dengan sikap berbeda, baik di kalangan para Pendeta dan juga di kalangan anggota Jemaat GPM. Sekilas saya berupaya untuk menguraikannya seperti berikut;
a)      Prestasi pelayanan. Biasanya mutasi seorang Pendeta diukur dari sebaik apa ia sudah melayani di satu Jemaat. Pelayanan baik yang dimaksud adalah semua baktinya baik di bidang sosial, spiritual dan juga di bidang ekonomi. Di bagian ini ada dua hal yang perlu menjadi perhatian penting. Pertama, pemberian penilaian yang masih perlu diatur penerapan-nya. Makudnya, pemberi DP-3 mesti punya panduan yang transparan dan jujur terhadap seorang pendeta. Ada pendapat dari para pendeta dan anggota Jemaat bahwa penilaian lebih utuh hanya tertuju pada keberhasilan seorang Pendeta memenuhi tanggungan pelayanannya tepat waktu dan tepat jumlah. Pengabdian si Pendeta di suatu Jemaat seakan hanya terukur pada materi seberapa dia mampu memenuhi tanggungan pelayanan perbulan ke Sinode.[6] Sementara pelayanan lebih terfokus pada si manusia yang adalah anggota Jemaat dengan semua aspek kehidupannya, jasmani dan rohani. Tidak jarang pembinaan pelayanan yang seorang Pendeta perjuangkan bersama dengan jemaatnya selama beberapa tahun baru mengalami perubahan dengan menampakan hasilnya ketika ia sudah dimutasikan ke lain tempat. Ia bahkan tidak merasakan sukacita bersama mereka, melainkan dinikmati oleh Pendeta yang menggantinya melayani di Jemaat. Kedua, sikap netral dan professional dalam memberi penilaian DP-3. Seorang mantan Ketua Klasis[7] mengatakan: “Criteria untuk penilaian dirasa sudah memadai. Namun, netralitas belum.” Ia mencontohkan beberapa perilaku terhadap pribadi Pendeta yang biasanya bicara dengan gagasan dan pandangan yang baik di pertemuan atau persidangan, tapi tidak sejalan dengan Ketua Klasis, maka ia dilihat sebagai penentang atau bahkan pembangkang. Ada juga yang hanya dengan hal-hal kecil dan sangat pribadi melahirkan sentiment pribadi yang banyak kali mengorbankan Pendeta penerima DP-3 yang menjadi kewenangan Ketua Klasis.
b)      Lamanya melayani. Seorang mantan pimpinan Sinode[8] menjelaskan bahwa lamanya seseorang melayani turut menentukan kreativitas dan karyanya di suatu Jemaat. Biasanya tahun pertama adalah tahun penjajagan kreativitas apa yang mau dibuat setelah mempelajari kondisi Jemaat. Pendeta meneliti dan belajar tentang apa dan bagaimana ia hidup dan melayani Jemaat. Pada tahun kedua, ketiga atau keempat adalah tahun upaya berkreasi dan berkarya. Dalam tahun-tahun ini, pendeta melakukan apa yang sudah dirancang dan dikembangkan menjadi sasaran pelayanannya. Tahun kelima dan tahun-tahun ke depannya Pendeta sudah mengalami kesumpekan dalam pelayanan. Ia mulai tidak rajin ke ibadah, mulai melihat saja apa hasil dari pelaksanaan pelayanan yang sudah ia buat selama tahun kedua sampai ketiga atau tahun ke empat. Tidak jarang ia menjadi Pendeta yang melakukan pelayanan rutin dan bahkan kurang mempedulikan pelayanan. Kebosanan mulai menghantui dan mematikan semangat pelayanannya. Waktu ini dipandang sebagai masa yang tepat untuk memutasikan seorang Pendeta. Sebaiknya Pendeta yang sudah berperilaku seperti itu dimutasikan saja daripada melalaikan pelayanan. Sekalipun demikian, patut diakui juga bahwa ada Pendeta yang mampu terus berkreasi dalam pelayanan di jemaat sampai tahun ke lima, ke enam, ketujuh, bahkan sampai sepuluh tahun pun ia rajin berkreasi dan melayani Jemaatnya dengan kasih.
c)      Pekerjaan isteri atau suami Pendeta. Kondisi ini menjadi penting untuk menentukan sebuah mutasi. Sudah bukan masanya lagi untuk mengabaikannya. Sebab pekerjaan isteri atau suami Pendeta juga sangat menentukan bagi pelayanan di suatu Jemaat. Memang ada banyak argumen terhadapnya. Namun, keutuhan dan kebahagian keluarga Pendeta yang pada dasarnya menjadi salah satu penunjang pelayanan patut dicermati. Tidak jarang keterpisahan isteri dari suami dan anak-anak dan sebaliknya, menimbulkan banyak tantangan yang mengaganggu tugas Pendeta dalam pelayanannya di Jemaat.
d)     Tahapan pendidikan anak-anak. Seorang Pendeta yang anaknya sudah sekolah di SMP/ SMA akan tidak tenang, jika anak atau anak-anaknya terpisah dari mereka karena tidak ada sekolah di Jemaat yang ia layani. Upaya membantu memperhatikan mutasinya ke Jemaat yang memungkinkan anak-anaknya yang sudah sekolah, di tingkat SMP/SMA adalah kepedulian bijak. Selain itu adalah bijak juga jika memutasikannya ke Jemaat yang mampu mendukungnya dalam hal keuangan. Maksudnya, pertimbangan topangan keuangan sangat menolong si Pendeta dapat melayani Jemaat dengan rasa aman dan sukacita, sebab biaya sekolah anak-anaknya bisa terpenuhi. Bagaimana rasanya jika seorang Pendeta yang seperti diuraikan di atas dimutasikan ke Jemaat yang karena kondisinya “tidak mampu” menopang pembiayaan pendidikan anak-anaknya. Tentu jawaban mudah untuk mematahkan masalah ini adalah “bukankah gaji semua Pendeta sudah sentralisasi dibayar dari Sinode”? Jawaban ini benar. Namun, maksud saya bukan hanya topangan keuangan dari gaji saja. Tetapi lebih dari itu sebagaimana yang umum diketahui bahwa di Jemaat tertentu yang lebih mampu, Pendeta akan mendapat “tambahan” tunjangan-tunjangan lain. Sudah pasti “kriteria” ini berlaku terhadapt oknum Pendeta yang tidak terkena disiplin.
e)      Kondisi kesehatan Pendeta. Saya percaya bahwa masalah kesehatan bagi semua Pendeta GPM masih belum memadai. Idealnya Rumah Sakit GPM Sumber Hidup mestinya pada suatu saat nanti pasti dapat menjadi tempat pusat pemeriksaan kesehatan bagi para pendeta GPM. Tetapi yang saya maksudkan di sini adalah memperhitungkan kesehatan seorang Pendeta ketika ia hendak dimutasikan. Tentu ada banyak argument terkait hal ini. Namun, keputusan bijak terhadapnya punya manfaat penting menopang tugas pelayananya di Jemaat.
Tampaknya program cek kesehatan atau ada suatu bentuk pemeliharaan kesehatan bagi semua pegawai organik GPM sudah harus ditetapkan. Termasuk juga upaya yang perlu dibuat untuk memberi perlindungan dan jaminan kesehatan sesuai dengan hak-hak Pendeta dan keluarganya. Bukankaah ada potongan dana kesehatan 2% dari gaji Pendeta? Pengelolaannya mesti diupayakan optimal dan transparan, sehingga semua pegawai organik GPM yang mengalami potongan tahu apa saja pertanggungjawaban tentangnya.
f)       Hal lain tentang mutasi berkait rasa keadilan juga menyentak kesamaan hak sebagai Pendeta yang adalah pegawai organik GPM, terutama dalam kaitan dengan usia pensiun. Status itu menegaskan bahwa semua Pendeta baik di aras Jemaat, aras Klasis dan aras Sinode, adalah sama. Tidak ada Pendeta di aras tertentu kebal atau istimewa dapat “melanggar” kesamaan status itu. Tidak ada aras tertentu yang seakan bertingkat seperti “Supra Struktur.” Maksudnya, jika usia pensiun Pendeta adalah 58 tahun dan Pendeta yang Dosen adalah 65 tahun, maka ketentuan ini harus berlaku sama merata; baik Pendeta yang melayani di Jemaat, Pendeta yang bertugas di Klasis dan juga Pendeta yang bertugas di Sinode. Beberapa Pendeta mengeluhkan: “Keadilan seperti apa yang seakan hanya berlaku bagi Pendeta di Jemaat dan Pendetaa yang di Klasis, sedangkan Pendeta yang di Sinode, tidak. Jika masa pensiun sudah tiba, maka siapa pun dia, tetap harus pensiun. Di Jemaat dan Klasis realisasinya berlaku, pensiun terwujud. Tetapi di Sinode, tidak.”[9] Debat argumen apa yang dapat memecahkannya dan landasan konstitusi GPM apa yang dapat mematahkan rasa keadilan yang seakan “supra struktur” itu? Langkah antisipatif supaya fakta kondisi perlakuan istimewa “supra struktur” seperti yang sekarang ada ini mesti dibuat. Upaya konstitutif patut diputuskan supaya yang namanya sudah sampai batas usia pensiun harus dieksekusi sesuai aturan. Sebab keadilan yang semua Pendeta dambakan adalah merujuk ke sana. Untuk memberi semangat dan percaya pelayanan kepada sesama Pendeta yang sama statusnya sebagai pegawai organik GPM, juga patut ditempuh oleh beliau-beliau sendiri. Sikap “legowo” menyadari bahwa beta sudah pensiun jadi beta mau mundur saja, adalah langkah moral yang memberi daya transformasi baru terhadap “mengkaretnya” perilaku orang-perorang dalam memahami aturan Gereja. Untuk menghindarkan diri dari kondisi itu, maka mesti dilihat kriteria untuk memilih dan menempatkan seseorang di MPH Sinode, apakah nanti ia pensiun di tengah jalan pelayanannya atau tidak. Keadilan memang perlu lahir dari perasaan hati yang tulus. Namun, tidak jarang juga ia lahir dari rasa berkuasa.
Dok-mol, sebentuk meditasi untuk instropeksi diri Pendeta?!
Sudah lama, orang Kei di Kei Besar dan Kei kecil tidak ingat apa itu dok-mol. Mereka seakan telah kenyang dan puas dengan “hasil rekayasa” bentuk-bentuk dan nilai-nilai kehidupan moderen yang banyak menekankan aspek praktis dan rasional. Saya menemukan bahwa memang benar orag Kei telah kurang ingat lagi hikmat lokal ini.[10] Para Pendeta yang melayani di kei Besar di tahun 1970-an masih menemukan dok-mol dipraktekkan. Ketika ada kaul bersama untuk suatu acara pribadi atau kekeluargaan, maka anggota Jemaat pergi mencari di hutan dengan berburu atau ke laut untuk menangkap ikan. Untuk maksud itu, ada doa adat dilakukan untuk mendasari kegiatannya. Dalam suasana ini, seisi rumah, bahkan seisi desa “harus diam.” Keharusan “harus diam” di rumah dan di dalam desa menegaskan tidak boleh ada orang berteriak-teriak dengan suara kencang atau putar musik keras, tidak boleh berhura-hura, tidak boleh tertawa cekikikan, dll. Semuanya mesti diam dalam hati dan kelakuan selama pasukan yang pergi mencari, berburu di hutan atau menangkap ikan di laut, belum pulang. Kalau mereka telah pulang baru “larangan” itu diubah; suasana riang sampai ribut musik dan ramainya kelakar, berjalan lagi seperti semula. Tidak ada ritual khusus untuk menutup “larangan” dok-mol. Membukanya ditandai dengan doa adat menyertai berangkatnya pasukan berburu atau menangkap ikan. Setelah pasukan itu sudah pulang ke desa, dipahami sebagai “larangan” sudah dipulihkan kembali.
Falsafahnya adalah berdiam dalam doa dan bergumul untuk memohon perlindungan dari Duad-Tuhan Yang Mahkuasa, demi keberhasilan bagi saudara, suami atau anak yang sedang pergi “berperang” menaklukan hewan yang diburu. Doa dan pergumulan untuk perlindungan dan keberhasilan dibuat sebab mereka yang pergi berburu berhadapan dengan kondisi tak terduga, baik dari ancaman hewan buruan dan juga dari kondisi alam yang mengancam. Karena itu doa dan bergumul untuk berburu bukan hanya supaya beroleh perlindungan dari “Yang Maha kuasa atau Tuhan Yang Mahabesar, Duad atau Duange ‘O Kabo La’ai, saja. Tetapi dilakukan sebagai wujud penyerahan hidup kepada yang memiliki hidup dan berkat atas kehidupan. Dok-mol sekarang telah digantikan ke cara praktis. Ia telah diambil alih oleh Gereja dengan berdoa saja kalau ada kaul tertentu, baik ketika mau pergi atau sudah pulang dari mencari. “Greget”-nya dalam spirit diam merenung tanda seseorang atau Jemaat sedang berdoa dan menyerahkan hidup, sudah hilang melayang hanyut dalam arus dampak modernisasi.
Penyerahan hidup kepada yang punya hidup adalah kekuatan dan “harta” seorang Pendeta yang melayani di Jemaat. Bukan penyerahan hidup secara membabi-buta, tetapi adalah bentuk motivasi dan dedikasi untuk mendapatkan pencerahan demi suatu vitalitas spiritual, sosial dan praktikal. Tuhan Yesus selalu menjadi tumpuan tunggalnya mendapatkan inspirasi dan semangat pelayanan. Dari posisi itu, sesungguhnya seorang Pendeta Jemaat adalah penentu pelayanan Gereja ke masa depan. Menurut saya, ada beberapa kondisi yang menentukan seperti berikut:
a.       Sebab pengabdiannya berada di basis pelayanan dan pertumbuhan Gereja yaitu Jemaat. Ia dengan kelebihan dan kekurangannya harus bertarung supaya bisa menjawab makna dan jiwa pelayanan yang adalah bentuk nyata upaya berteologi. Makna yang saya maksudkan adalah mengartikan atau memberi pemahaman kepada anggota Jemaat dan jiwa adalah semangat yang mendorong Jemaat taat dan setia di dalam imannya. Di pelayanan Jemaat yang adalah arena berteologi, ia “harus” kreatif dan berinisiatif melayani dari apa yang ada padanya. Apakah pengetahuan dan pengalaman pelayanannya berguna bagi upaya bertelogi yang banyak kali menjadi klaim lembaga pendidikan teologi dan para cerdik-pandai Gereja saja? Menurut saya, ia sudah berkarya teologi nyata. Lembaga pendidikan teologi dan cerdik-pandai Gereja berteologi konsep, asumsi dan visi di arena berwacana cerdas. Sementara itu patut diakui bahwa Gereja menjadi hidup dan bernapas dari gerak tangan, kaki, mulut dan bahkan seluruh gerak hidupnya di Jemaat. Namun, setitik noda pelayanan yang ia buat dapat merusak hapus seluruh pengorbanan pelayanannya yang menghidupkan Gereja. Titik noda itu patut diganjar hukuman. Namun, pastoral bagi kasus-kasus pelayanan jarang terlaksana tuntas. Ia kandas di meja “kebijakan instan” dan segera. Di lain pihak ganjaran yang diterapkan berbeda objek dan perlakuannya; terhadap “yang ini,” diabaikan dan terhadap “yang itu,” ditertibkan. Akibatnya tidak terhindarkan. Muncul kesimpulan soal suka dan tidak suka dari pihak penguasa.
b.      Ia, Pendeta di Jemaat, sesungguhnya “mati-matian” membela kebijakan pelayanan yang diputuskan oleh hirarki dan kekuasaan. Upaya mewujudkan kerja “mati-matian” itu dengan melaksanakan keputusan pelayanan di Jemaat. Diskusi mendalam di sini adalah apakah ia melaksanakan keputusan lembaga ataukah ia melaksanakan pelayanan Tuhan Yesus, Kepala Gereja. Pertanyaan ini penting dengan argumen: sebab jika ia melakukan keputusan pelayanan lembaga, maka yang penting semua keputusan pelayanan sudah ia laksanakan. Tetapi jika ia melaksanakan pelayanan Tuhan, maka penyerahaan hidup dalam pergumulan dengan apa yang ia punya itulah kekuatannya. Di simpul ini, keberhasilan pelayannan ditentukan oleh proses anugrah dan kasih Tuhan Allah. Dalam banyak fakta, kondisi ini dapat dengan mudahnya diabaikan oleh hirarki dan penguasa. Sebab bagi mereka sukses atau berhasil adalah target. Bukan proses yang bergantung pada “khairos” Tuhan Allah. Yang berhati bijak dengan mohon tuntunan Roh Kudus saja yang dapat mengurainya dalam kolom-kolom penilaian kinerja atau DP-3 bagi seorang Pendeta di Jemaat.
c.       Pendeta Jemaat sepatutnya dihormati dan disegani. Performa dan profesionalitasnya mesti terbentuk mapan dari hirarki dan penguasa. Kontrol atau bahasa halusnya pendampingan secara kelembagaan patut ada. Sebab dengan supervisi, seorang Pendeta terbantu dan makin tegar dan kokoh melayani Jemaatnya. Ia bukan saja dihormati, karena prestasi baktinya saja, tetapi lebih dari pada itu. Sebab, ia berperang di arena tempur yang sesungguhnya, yaitu Jemaat. Ia seakan seorang serdadu terdepan di medan perang untuk menegakkan kehendak Tuhan. Gambaran tantangan kuasa fisik dan nonfisik, terutama roh-roh jahat, setan, iblis dan berbagai kekuatan gaib, ia hadapi muka dengan muka. Teman dan sumber kekuatannya hanya Tuhan Yesus dengan kuasa-Nya. Supervisornya banyak kali hanya menanti dan menuntut minta laporan pelayanan dan laporan pelayanan itu mesti bagus, baik dan berhasil. Keuangannya harus meningkat. Jika “tidak bagus” dan “menurun,” maka Pendeta Jemaat itu harus mendapat sanksi eksekusi mutasi sebagai “yang gagal.” Ia lebih perlu lagi melayani di Jemaat yang lebih sulit dan jauh ke pedalaman. Sebab, “Bukankah ia gagal!!?
Penutup
Tulisan ini bisa jadi merupakan sebuah otokritik terhadap perlakuan pelayanan Gereja. Mungkin juga dapat menjadi sebuah usul perbaikan pelayanan di GPM tercinta. Ujung sasarannya adalah kondisi dan situasi para Pendeta yang melayani di Jemaat. Bagi saya, Pendeta di Jemaat adalah representasi dari visi dan misi GPM yang dituangkan dalam berbagai kebijakan pelayanan untuk melayani Jemaat. Mereka adalah “harta mulia” kita. Untuk itu mereka patut “dijaga” oleh anggota Jemaat dan pimpinan Gereja; mereka “dijaga” secara antero-paripurna. Tidak dapat disangkal bahwa mereka juga ada yang bejat, kriminal bahkan murtad. Tetapi, tanggungjawab apostoliknya membuka mata hati kita bahwa mereka adalah orang-orang yang dipercaya untuk Tuhan. Ketika ada pelanggaran terhadap tugasnya itu, penegakan ganjaran patut memenuhi rasa keadilan. Ganjaran berkeadilan dimaksud tidak berakhir sebagai sebuah eksekusi hukum. Sesungguhnya hikmat pastoral yang dipahami luas oleh pemberi sanksi, Klasis dan Sinode, mesti berlanjut. Menurut saya, intensitas dan kontinyutas pastoral dan pola pembinaan terhadap mereka, belum baik.
Bersama mereka, para pendeta di Jemaat-Jemaat seluruh GPM, kita sebarluaskan misi Tuhan Yesus ke dalam dunia sampai IA datang kembali. “Paulus menanam, Apolos menyiram, tetapi kasih karunia Tuhan Allah yang memberi pertumbuhan” (1Kor 3. 6)
Catatan akhir:


[1] Tulisan ini merupakan sebuah refleksi pribadi saya terhadap tugas pelayanan seorang Pendeta di Jemaat dalam Gereja Protestan Maluku (GPM). Apakah ada kontribusinya? Semuanya kembali kepada para pembaca. Ditulis di Ambon 5/26/2015 10:06:36 AM
[2] Kami mengalami perubahan Awal Tahun Ajaran dari semula mulai Januari tahun berjalan ke Juli tahun berjalan, sehingga waktu kuliah kami berubah dari selama satu tahun menjadi selama satu setengah tahun. Saya masuk STT GPM tahun 1978 dan tamat S-1 tahun 1985. Waktu itu tamatan STT GPM masih Sarjana Muda (S-0) dengan berbagai perubahan kurikulum menjadi ke S-1, saya bisa tamat.
[3] Almarhum Pendeta BL.
[4] Wawancara dengan seorang Pendeta yang melayani di sebuah Jemaat di pulau Seram. Ia meminta namanya tidak disebutkan.
[5] Diskusi dengan Pdt JK dan teman-temannya, Mei 2015
[6] Wawancara dengan Bapak AP, Desember 2014
[7] Wawancara dengan Pdt. YY, Februari 2015
[8] Wawancara dengan Pdt. L L, Januari 2015.
[9] Wawancara dengan Pdt. TH, Maret 2015
[10] Penelitian S-3 tahun 2009-2011 di Kei, Malra, dok-mol masih dipahami tetapi dengan berbagai alasan tidak lagi dipraktekan. Ia sudah ditransformasikan ke pelayanan Gereja. Baca Nicodemus, Ain Ni Ain Mengelola Hubungan Kristen-Islam di Maluku Tenggara (Disertasi), Yogyakarta 2012, UDW-ATU, halaman 29; Yohanes Ohoitimur, Beberapa Sikap hidup Orang Kei; Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan, (Tesis), Pineleng Manado 1984, STS Pineleng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar