Rabu, 09 Desember 2015

Agama Kristen dan Adat di Maluku Tengah[1]



Oleh: Dr. Nicodemus Sedubun, M. Th

Abstrak
Konflik sosial bernuansa SARA 1999-2005/6[2] adalah sebuah peristiwa yang telah “mengharu-birukan” hubungan antara agama dan adat di Maluku Tengah. Dampaknya terasa di masyarakat dalam bentuk pemisahan di antara penganut agama, Islam dan Kristen. Sementara itu, masyarakat adat di Maluku Tengah, Islam dan Kristen memahami kebersamaan hidup di antaranya sebagai orang bersaudara atau dalam bahasa sehari-hari orang basudara (orang bersaudara). Mereka diikat dalam tali persaudaraan pela. Sekalipun mereka hidup berjauhan dari satu desa dengan desa lainnya, tetapi mereka tetap akan saling memberitahukan sudara-nya tentang kegiatan-kegiatan adat, seperti pelantikan raja atau kegiatan sosial keagamaan seperti pembangunan sampai pengresmian Gereja atau Masjid. Dalam perayaan atau peringatan seperti disebutkan di atas, maka desa sudara-nya pasti datang.
Kehadiran agama Kristen Protestan, yang kelembagaannya di desa-desa Protestan disebut Jemaat, menyata dalam kehadiran Gereja dengan pelayanannya. Adat dengan nilai-nilai kekerabatan dan tatalaku tradisonal yang secara luas berlaku di masyarakat Maluku Tengah yang tersimpul dalam kearifan lokal pela, menghubungkan masyarakat Islam-Kristen. Di dalamnya Gereja memainkan peran profetisnya.
Hubungan Agama dan Adat di Maluku Tengah
            Konflik Maluku 1999-2005/6 adalah sebuah tragedi kemanusiaan paling buruk yang telah melanda masyarakat Islam dan Kristen di sana. Sekali pun berat, penuh kekejaman dan sulit dilupakan begitu saja. Peristiwa itu adalah sebuah evaluasi historis bagi hubungan Gereja dan adat di satu pihak dan hubungan Islam-Kristen di lain pihak. Tragedi ini menggambarkan antiklimaks dari keluhuran hubungan antara nilai-nilai agama dan adat di Maluku, khusunya di Maluku Tengah.  
Nilai itu ialah persaudaraan, saling menghormati, saling membantu dan saling melindungi dalam simpul kearifan lokal pela. Dari kandungan nilai-nilai luhur itu, mestinya tidak terjadi permusuhan, peperangan sampai saling berbunuhan, seperti yang terjadi hampir setiap hari selama konflik pecah. Selama konflik bergelora, yang ada hanya dua pihak yaitu Kristen dan Islam. Tidak ada dan tidak berlaku faham kekerabatan pela yang merupakan manifestasi dari hubungan-hubungan hidup orang basudara yang beda agama, ada Kristen dan ada Islam
1.      Gereja dan Adat Sebelum Konflik
Agama Kristen Protestan masuk di Maluku Tengah pada tahun 1602, bersamaan dengan kedatangan bangsa Belanda ke Maluku. Ia menggantikan agama Kristen Katolik yang pertama masuk di Maluku pada tahun 1512, yang dibawa oleh penjajah Portugis. Selama perjumpaan itu, ada sisi negatif dan sisi positifnya. Sisi negatifnya adalah agama menempatkan adat sebagai nilai yang lebih rendah dari ajaran agama Kristen Protestan. Indikasinya nampak dalam penegasan bahwa semua pemahaman dan praktek adat adalah kafir (Cooley 1987: 198-201). Simbol-simbol adat yang ada di Jemaat, semuanya dimusnahkan. Sebab semuanya merupakan manifestasi nilai-nilai kafir, berdosa, ajaran iblis dan menyesatkan. Baileo, tempat-tempat pamali, patung-patung, bahasa asli dan nilai-nilai relasional serta pandangan hidup masyarakat lokal, secara luas dimusnahkan.
Dogma dan Teologi Gereja Protestan pada waktu itu, juga memberikan angin segar ke arah pemusnahan adat. Tuhan Allah itu jauh di Sorga. Beliau adalah subyek dari karya Keselamatan dalam Putra-Nya, Tuhan Yesus Kristus. Paham seperti ini menempatkan dunia mutlak sebagai obyek keselamatan. Karena itu pengakuan bahwa dalam peristiwa-peristiwa penyataan karya Allah yang banyak terjadi di dunia yang di dalamnya manusia berupaya memahami dan berjumpa dengan-Nya supaya diselamatkan, adalah sebuah kemustahilan. Pemahaman Gereja tentang kesucian Allah adalah sebuah keterpisahan mutlak dari dunia yang penuh dengan dosa, sama seperti dalam perlakuannya terhadap adat dengan semua nilai dan prakteknya. Bahasa asli dilupakan dan diganti dengan bahasa Belanda atau bahasa Melayu-Indonesia. Padahal bahasa adalah media pelestarian adat dan melaluinya ekspresi adat dalam upacara-upacara adat dilakukan. Dengan demikian, bahasa daerah juga kafir dan menjadi lawan Gereja. Pendeta sebagai pendekar terdepan Gereja di Jemaat, menjadi pahlawan pemusnahan terhadap adat. Akibatnya di desa-desa Protestan di Maluku pada umumnya dan di Maluku Tengah pada khsusnya, bahasa daerah telah hilang. Terutama bahasa adat, yang adalah bahasa tua atau bahasa tanah ketika kepala adat menyampaikan maksud upacara tertentu kepada para leluhur. Saya menemukan hanya masih ada sedikit bahasa daerah di tiga desa Protestan yaitu di Hulaliu dan di Aboru di pulau Haruku dan di desa Alang di pulau Ambon.
Ada kaitan pemahaman dan perlakuan di atas dengan menjadi penganut Kristen Protestan setelah dibaptis dan menerima apa yang disebut pangkat sarani (Cooley 1987: 276-279). Gelar ini adalah sebuah ketinggian status sebagai anggota Jemaat yang dipandang lebih tinggi dari anggota masyarakat yang belum dibaptis. Status ini tidak hanya menyangkut pengakuan keanggotaannya dalam persekutuan Gereja ketika seseorang itu dibaptis dan menjadi anggota Jemaat. Ia juga berkaitan dengan pengakuan untung-ruginya ke masa depan. Sisi untungnya, berarti ia diterima di kalangan ‘elite’ ekonomi dan di kalangan Gereja. Secara ekonomis, pangkat sarani menunjuk kepada akses komunikasi dengan orang Belanda. Sebab menjadi Kristen Protestan pada waktu itu adalah sama saja dengan telah memeluk “agama Belanda.” Orang pribumi seperti itu disebut “Belanda hitam.” Selain itu dengan menganut agama Kristen Protestan, maka seseorang itu berkesemptan untuk bersekolah di sekolah Protestan, menguasai bahasa Belanda dan juga bahasa Melayu-Indonesia. Lebih jauh lagi, ia dapat bekerja dan punya taraf hidup ekonomi yang lebih baik. Dengan kemampuan bahasa, seseorang bisa bekerja di kora-kora (perahu-perahu) dagang Hongitochten-Belanda atau jadi mandor di gudang-gudang penampungan rempah-rempah Belanda. Ruginya, ia dihilangkan atau kehilangan identitas sebagai warga masyarakat adat. Ia tidak boleh lagi melakukan dan mempercayai hal-hal mengenai adatnya dan mesti melupakan bahasa daerahnya. Sekaligus juga ia kehilangan atau ditolak dari lingkungan karib dalam ikatan masya-rakat adat-nya, yang sering disebut sebagai orang alifuru.
Cooley dan juga Bartels tidak secara tegas menyingkapkan apa saja daya tarik ketika seseorang mendapatkan status pangkat sarani. Diduga bahwa perasaan gengsi dalam kesenangan hidup ekonomilah yang menjadi faktor pendorongnya. Di lain pihak kondisi terkait langsung lainnya juga adalah rasa rendah diri oleh masyarakat adat, yang belum menjadi Kristen. Penjajah Belanda mengajarkan bahwa menguasai bahasa Belanda atau bahasa Melayu-Indonesia, adalah lebih baik daripada hanya hidup dengan bahasa daerah. Penegasan seperti ini tidak seluruhnya salah. Ada juga benarnya. Sebab pada satu pihak, kebutuhan komunikasi antara Penjajah dan Gereja, baik di antara mereka sendiri maupun juga dengan masyarakat, adalah dengan bahasa Belanda dan bahasa Melayu-Indonesia. Tetapi di lain pihak, identitas adat lokal dan nilai-nilai hubungan kekerabatannya menjadi hilang. Masyarakat lokal menjadi terpisah dalam sebuah dunia perjumpaan budaya yang luas sebab mereka hanya menguasai bahasa lokalnya dalam ber-komunikasi.
Sisi positifnya adalah kemajuan di bidang pendidikan dan peningkatan kualitas hidup sebagai anggota masyarakat. Ada dua subyek yang berperan di sini, yaitu melalui Gereja dan melalui Sekolah-Sekolah Protestan. Melalui Gereja pengajaran dan perluasan pemahaman intelektual adalah rangsangan tersendiri tentang luasnya pengetahuan anggota Jemaat. Khotbah, Katekisasi, pengajaran agama di Sekolah Minggu (SM) dan Tunas Pekabaran Injil (TPI), pengajaran dan pelayanan pastoral di tiap organsasi Gerejawi, adalah materi yang sangat kaya dan mendasar bagi perluasan pengetahuan anggota Jemaat. Demikian juga melalui sekolah-sekolah Protestan, pada murid dididik dengan pendidikkan agama, ilmu pengetahuan umun dan bahasa. Khusus untuk mata pelajaran bahasa, diajarkan bahasa Belanda dan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia seperti sekarang. Dengan kelebihan pendidikan dan pengetahuan seperti ini, maka orang itu bisa memperbaiki hidupnya dengan menjadi pegawai negeri atau pegawai pemerintah. Menguasai bahasa Belanda atau bahasa Melayu-Indonesia yang juga erat kaitannya dengan menjadi orang Kristen Protestan, maka hidup akan lebih baik dan luas hubungannya. Selain posisi status sosialnya dalam masyarakat naik, demikian juga orientasi perjumpaan dan perluasan hidup juga meluas. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menjadi orang Kristen Protestan, yang berarti meninggalkan adat, maka hidup seorang akan lebih baik.

2.      Gereja dan Adat Selama Konflik
Ikatan pela menggabung desa-desa berbeda agama, ada desa Islam dan bercampur dengan desa Kristen. Selama Konflik ikatan pela dipahami sepihak menurut klaim pihak-pihak yang bertikai sendiri-sendiri, ada dua kelompok yang bertikai saja, yaitu kelompok Kristen dan kelompok Islam. Pemilahan menurut ikatan pela tidak berlaku. Karena itu ketika ada penyerangan yang mengakibatkan korban, maka pihak yang dikorbankan akan menyangkali adanya ikatan pela. Kenyataan ini membuat ada pernyataan tegas yang menolaknya. Salah satu di antaranya adalah pernyataan dari Pastor Longginus Farneubun (2003 : 61-70; cf 32-33) yang menyatakan bahwa ikatan pela telah hancur berantakan selama Konflik Maluku. Harus diakui bahwa selama Konflik ikatan pela mengalami goncangan. Kegoncangan itu memuncak dalam perang tak terhindarkan yang terjadi di antara ikatan pela antara desa Islam dan Kristen; seperti di antara desa Batu Merah (Islam) yang terletak di pusat kota Ambon, dengan desa Passo (Kristen) yang terletak di pingiran kota. Kekejaman dan pembantaian terjadi di mana-mana mengakibatkan selama Konflik hanya dikenal kelompok Islam atau kelompok Kristen.
Jika diamati, terlihat hubungan Gereja dan adat selama Konflik berlangsung berada dalam pergumulan yang sama. Pergumulan itu ialah pertarungan mengenai pemahaman tentang perlindungan dari Yang Maha Kuasa. Di dalam keyakinan iman Kristen, perlindungan atas hidup diyakini mutlak berpusat pada keselamatan dari Tuhan Allah. Keyakinan ini membuat perkumpulan doa dan ibadah-ibadah selalu penuh dan khusuk. Sementara dalam pemahaman adat, perlindungan dan keselamatan berasal dari penyertaan kuasa leluhur atau nene-moyang, yang dalam bahasa asli disebut Upu Lanite (Tuhan atas langit, upu = Tuhan, lanite = langit). Keyakinan kuasa leluhur didemonsrasikan dalam perang dengan menunjukan kekuatan magis. Simbol kekuatan dinampakan dalam tarian cakalele,[3] membakar kemenyan, memberkati perkakas perang atau juga dalam bentuk menyumbur tubuh sang ‘jawara’ oleh gurunya, sang kepala adat.
Indikasi selama Konflik menunjukan bahwa tempat-tempat ibadah Kristen selalu penuh sesak dengan anggota Jemaat. Persekutuan-persekutuan ibadah dan doa (disebut Ibadah Posko, pos komando) selalu penuh sesak kebanjiran umat. Begitu juga dengan persiapan bertahan dan berperang melawan kelompok penyerang harus dimulai dengan doa. Isi doa hanya terpusat kepada Yang Maha Kuasa, Allah Tritunggal Bapa, Putra dan Roh Kudus. Dalam bahasa sesehari orang di Ambon berdoa kepada Tuhan disebut doa kepada Tete manis. Tete, berarti kakek atau seorang tua yang baik hati dan penolong. Lain halnya di masyarakat adat, selain doa dengan bahasa tanah atau bahasa daerah yang sudah sangat tua, tetapi ada juga demonstrasi kekuatan leluhur atau Upu Lanite yang sangat ditonjolkan. Upacara dan doa-doa memanggil kuasa dari gunung dan tanjung, simbol kekuatan roh leluhur-nenek-moyang, menggema. Tiup-tiup atau memberi tuah kepada perlengkapan perang seperti : senapan rakitan, panah, parang dan bom dijumpai hampir di semua anggota pasukan.
Semula ada pendoa, entah Pendeta atau anggota Majelis Jemaat (Penatua atau Diaken) yang memprotes perbuatan ini. Para pendoa itu menghendaki supaya mengalaskan upaya menjaga perbatasan Jemaat dari kelompok penyerang hanya dengan dasar doa kepada Tuhan, kepada Tete Manis saja. Tapi harapan itu tidak mudah terwujud. Sebab ancaman dari kelompok penjaga perbatasan yang sangat marah dan kejam, apalagi dengan berbagai senjata siap perang di tangan membuat sikap para pendoa serba tidak menentu. Pada akhirnya, doa kepada Tuhan dipanjatkan juga di atas senjata-senjata perang dengan berbagai tanda, tali kain, ajimat dan semua simbol kekuatan adat. Doa dalam suasana seperti ini semakin memberi tempat dalam pandangan orang Ambon tentang penyertaan Tuhan; pertama Tuhan Allah (Tritunggal : Bapa, Putra dan Roh Kudus) dan kedua adalah leluhur atau nenek-moyang. Teman-teman saya, Pendeta dan Majelis Jemaat yang pernah berdoa dalam suasana seperti ini, dengan spontan mengatakan bahwa mereka terus saja lansung berdoa. Sebab ancaman mati atau hidup dipaksakan oleh pasukan yang sudah siap pergi untuk mempertahankan perbatasan Jemaat atau pun pergi untuk berperang menghalau musuh penyerang. Kondisi seperti di atas membuat para pendoa harus bertindak segera untuk berdoa di atas semua ketidak setujuannya.
Patut ditanyakan di sini : siapakah yang mendapat tempat, adat ataukah Gereja?! Ataukah kedua-duanya. Ada pemahaman yang mengatakan “tokh sama saja”! Sebab, bukankah dalam meyakini perlindungan dari Yang Maha Kuasa oleh orang Maluku pada umumnya dan orang Ambon pada khususnya; Tuhan berada di posisi pertama dan kedua adalah nenek-moyang atau leluhur? Kenyataan yang terlihat pasti adalah ada ‘pertarungan’ dalam bentuk demonstrasi kekuatan oleh anggota Jemaat yang sekaligus adalah anggota masyarakat adat membaur dalam kemelut Konflik itu.

3.      Gereja dan Adat Sesudah Konflik
Sesudah Konflik, terlihat bahwa pemahaman tentang perlindungan Tuhan di antara agama dan adat mulai positif. Kondisi ini ditunjukan dalam pemahaman masyarakat tentang ikatan pela yang mengalami pembaruan. Masyarakat mulai menunjukkan kesadaran terhadap ikatan kekerabatannya itu. Kerinduan itu mulai menyata ketika ada prakarsa pribadi-pribadi Kristen yang mencari jalan sendiri untuk bertemu dengan saudaranya yang Muslim. Orang desa Batu Merah yang terletak di pusat kota Ambon secara pribadi mulai bertemu dengan saudara pela-nya orang desa Passo yang terletak di pinggir kota Ambon. Mereka berjumpa di pasar atau di terminal, bahkan ada yang datang langsung ke desa Passo. Demikian juga sebaliknya pribadi-pribadi warga Passo datang ke desa Batu Merah. Di tingkat pimpinan desa pun tampak kemajuan. Ada kunjungan Raja Passo ke Batu Merah dan juga sebaliknya. Semuanya ini menunjukan pulihnya kembali hubungan ikatan pela di antara kedua desa itu. Indikasi lain yang muncul dalam bentuk yang lebih besar terlihat dari warga hubungan pela mulai saling mengunjungi antar desa dan diikuti dengan partisipasi masyarakat dalam ikut membangun gedung gedung ibadah, seperti Gereja di desa Kristen atau Masjid di desa Islam.
Dalam skala yang lebih luas, indikasinya memberi harapan yang makin membaik. Terlihat selama tahun 2006 ada satu kali upacara panas pela antara desa Seith (Islam) yang terletak di pulau Ambon, dengan saudara pela-nya desa Ulath (Kristen Protestan) di pulau Saparua. Di tahun 2007 ada paling sedikit tiga kali diadakan upacara yang sama. Dua kali terjadi antara sesama desa Kristen, yaitu di bulan November antara desa Ihamahu di pulau Saparua dengan desa Amahai di pulau Seram, dan desa Alang dengan desa Latuhalat, keduanya terletak di pulau Ambon. Satu kali upacara panas pela terwujud di antara desa Tuhaha (Kristen) dengan desa Kulur (Islam) di pulau Saparua. Peristiwa-peristiwa ini patut disimak sebab dalam upacara panas pela, berhimpun tokoh-tokoh adat dan seluruh acara seremonial dan ritual hanya dalam warna adat. Tamu yang datang adalah pemimpin masyarakat dan warga adat yang terikat dalam ikatan pela. Acara itu juga diikuti oleh tokoh-tokoh agama, baik Islam maupun Kristen. Selama acara upacara panas pela, jika terpusat di desa Kristen, maka selalu diadakan ibadah syukur di Gereja. Begitu juga ada shalat di Masjid, jika acara panas pela terpusat di desa Islam.
Panas pela menjadi penting diamati sebab di peristiwa ini bisa dilihat hubungan antara Gereja dan adat. Setelah Konflik, dalam upacara panas pela di desa-desa Kristen peran pimpinan agama mulai mendapat tempat penting jika dibandingkan dengan kondisi sebelum Konflik. Peran itu ialah keterlibatannya dalam berdoa memperkuat ikatan panas pela. Biasanya peran penting ini menjadi tanggungjawab kepala adat dan Raja. Partsisipasi Pendeta secara tidak langsung adalah dalam bentuk ibadah di Gereja bersama para anggota Jemaat tuan rumah dan anggota Jemaat tamu dari desa-desa se-pela pada malam hari, setelah upacara panas pela dilaksanakan di baileo.
Keterlibatan langsung peran Gereja dalam acara adat seperti itu, perlu dilihat dalam hubungan dengan beberapa hal. Pertama, dalam upacara adat panas pela biasanya dihadiri oleh warga desa-desa yang cukup banyak. Warga desa-desa yang datang bersekutu dalam ikatan pela itu paling sedikit di antara tiga desa. Desa tuan rumah menjadi membludak sementara desa-desa asal tamu menjadi sepi dan kosong karena yang tinggal cuma orang-orang tua dan anak-anak sekolah. Upacara ini tidak bisa dilaksanakan dalam sehari saja. Ia membutuhkan waktu lama dan bisa sampai empat hari. Migrasi semusim sejumlah besar penduduk selama beberapa hari ini mengartikan, jika sebuah acara panas pela di adakan, maka ia membutuhkan biaya ekonomi yang cukup banyak. Kedua, dari acara-acara panas pela yang terjadi pasca Konflik, diketahui bahwa sponsornya adalah pemerintah daerah. Pemerintah daerah menegaskan bahwa pertimbangan pelaksanaannya berkaitan dengan menjaga hubungan antar agama supaya membaik, setelah belajar dari Konflik Maluku. Artinya, tangan pemerintah yang mengatur semua kegiatan panas pela. Semua susunan acara, tujuan pelaksanaan dan sudah pasti yang terpenting adalah pembiayaan-nya ditanggung oleh pemerintah. Selain peserta tetapnya adalah warga dari desa-desa se-pela, tetapi peserta undangan juga ditentutakn oleh pihak panitia bentukan pemerintah. Termasuk juga para pemuka agama Islam dan Kristen seperti Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Uskup dan Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) juga Imam, Pastor dan Pendeta yang bertugas di desa-desa ikatan pela termaksud. Ketiga, dapat dipahami bahwa ada target dan ada juga pesan sponsor. Pesan sponsor yang paling laku adalah pesta-pariwisata sesuai program pemerintah daerah. Jadi, upacara yang dibuat adalah menjual gemerlap upacara panas pela demi suksesnya program pemerintah supaya ada pemasukan dana dari pemerintah pusat dan ada pemusatan perhatian dunia luar ke Maluku bahwa rekonsiliasi atas Konflik Maluku sudah berhasil. Tegasnya upacara panas pela itu merupakan sebuah pameran pemerintah bahwa Ambon atau Maluku sudah aman. Keempat, ada kegelisahan warga masyarakat adat. Kegelisahan tidak kentara muncul dari benak orang-orang desa pemilik ikatan adat itu sendiri. Sebab, upacara panas pela tidak terjadi dan lahir dari kesadaran mereka, warga desa-desa yang terikat dalam persaudaraan pela, para pemilik simpul persaudaraan adat sendiri. Warga adat ‘dipaksa’ untuk melaksanakannya karena ada sponsor biaya dan tangan yang penuh kuasa. Akibatnya, hakekat keluhuran nilai-nilai ikatan panas pela yang disimbolkan dalam upacara dengan ritus-ritus sakralnya, hanya sekedar dilaksanakan saja; yang penting jadi, ‘mendingan’ ada kesempatan dan ada uang.
Karena kegiatan adat dalam bentuk upacara panas pela itu diatur oleh tangan pemerintah dan bukan oleh aparat pemerintahan adat di desa, maka kehadiran Pendeta mesti dipahami sebagai sebuah ‘keterpaksaan’ dalam perjumpaannya dengan adat. Hubungan Gereja dan adat yang terwujud di dalamnya hanyalah sebuah partisipasi ‘semu’ demi sopan-santun semata. ‘Keterpaksaan’ dimaksud adalah gambaran sikap partisipasinya yang bukan lahir dari kerelaan atas permintaan kepala adat atau Raja. Tetapi ia melakukannya karena sebuah perintah.[4] Diskusi menyangkut sikap pak Pendeta ini pasti melahirkan banyak argumen berdasarkan dari sudut mana ia ditelaah. Kondisi ini menampilkan dua pemahaman yaitu dari sisi tanggungjawab misionernya dan dari sisi apresiasi adat-budaya Maluku Tengah.  
Dari tanggungjawab missioner apapun alasannya, seorang Pendeta adalah seorang pemberita kasih Tuhan kepada siapa saja, di mana saja dan kapan saja, ia berada. Ia wajib berdoa dan mengajarkan kebaikan Tuhan yang sudah menyelamatkan manusia kepada orang-orang yang disenangi sampai kepada musuh-musuhnya. Dengan demikian, maka doanya di acara upacara panas pela adalah demi menyuarakan dan menyaksikan kasih Tuhan kepada semua orang yang hadir, baik itu petinggi pemerintah maupun pemuka adat bersama semua warga masyarakat Islam-Kristen. Motivasi dalam penghayatan atas tugas missioner ini akan membuat pak Pendeta tidak boleh melihat kesempatan itu sebagai sebuah ‘paksaan’ oleh pihak mana pun. Apalagi panggilan yang ‘terpaksa’ itu disebabkan oleh adanya daya tarik tersendiri, yaitu tebalnya amplop berisi rupiah[5] dari panitia pelaksana.            
Dari apresiasi adat-budaya di Maluku, jabatan sebagai seorang Pendeta sangat dihormati; bukan hanya oleh anggota Jemaat Kristen Protestan saja, tetapi juga oleh masyarakat Islam. Apresiasinya sedemikian mulia karena begitu banyak kesan baik yang ditinggalkan selama kehadiran para Misionaris di waktu lampau. Kesan baik itu ditinggalkan dari masa datangnya agama Katolik sampai masa agama Protestan. Bahwa kehadiran, pengabdian dan partsisipasi hidup yang luar biasa telah mereka tunjukan dengan tekunnya dalam hidup bersama-sama dengan orang-orang kecil, warga masyarakat adat pada waktu dulu. Tokoh-tokoh Katolik terkenal misalnya Fransisks Xaverius (Wellem 1987:248-249; Van Den End 1973:166-168) dan para Pastornya. Tercatat bahwa para Pastor di mana pun mereka melayani umatnya, sebuah syarat tidak tertulis bahwa mereka harus menguasai bahasa setempat. Inisiatif ini membawa keberhasilan mereka dengan pelayanan bagi umatnya (Muskens 1973:173). Seorang misionaris Protestan yang sangat dikenal dan berhasil dalam misinya adalah Yoseph Kam (Enklaar 1975; Pattikayhattu 1984, Ngelow 1993: 23-24). Karena keberhasilan pengabdiannya sehingga ia disebut Rasul Maluku.
Kondisi seperti digambarkan di upacara panas pela di atas menempatkan posisi kepala adat dan Raja sebagai pelaksana adat adalah sama saja dengan Pendeta. Hubungan keduanya berada dalam komando pemerintah. Pernyataan ini agak naïf, tetapi kenyataan yang ada bahwa pasca Konflik, di hampir semua kegiatan pemerintah, mereka : tokoh adat bersama tokoh agama, Pendeta, Pastor dan Imam, selalu menjadi pendamping pemerintah. Lantas bagaimana kita bisa melihat hubungan di antara keduanya ? Pertanyaan ini penting sebab pasca Konflik perjuangan terberat adalah memulihkan trauma permusuhan di antara kedua komunitas dan bagaimana memperjuangkan kesejahteraan hidup bagi semua orang, baik selaku anggota Jemaat maupun sebagai anggota masyarakat adat.
Upaya pemulihan trauma dan membangun kesejahteraan hidup di pedesaan, bisa diatasi dengan membangun kerja sama di antara Gereja dan pemerintah desa. Hal ini mudah dijembatani sebab di desa hanya perlu pembangunan sarana yang menunjang relokasi seperti perumahan dan penanaman kembali kebun dan ladang. Ikatan kekerabatan hidup dan relasi sosial desa yang masih murni dan polos sangat menunjang pencapaian upaya tersebut. Di kota, penanganannya sangat kompleks sebab pembauran hidup masyarakat sangat tinggi. Upaya pemulihan trauma dilakukan oleh Gereja dengan pendampingan pastoral dan upaya-upaya pemberdayaan lainnya. Kesulitan besar dihadapi kedua belah pihak sebab Gereja bersama pemerintah sangat bergantung dari bantuan pemerintah. Oleh karena itu penanganan trauma dan mengejar hidup yang sejah-tera terasa sangat berat dan lamban perkembangannya.
Jika ditelaah seluruh uraian di atas, maka hubungan agama Kristen Protestan dan adat ada dalam tiga pembatasan, yaitu : batas budaya, batas ekonomi dan batas keyakinan. Batas budaya dan batas ekonomi berlatarbelakang pengaruh interaksi dari budaya luar. Hubungan dalam batas budaya menunjukan kepada kita tentang pengaruh sikap, pola pikir dan pandangan hidup orang Maluku Tengah dipengaruhi oleh perjumpaan budaya dari kesultanan Ternate, dari Jawa, dan juga dari pengaruh penjajah Portugis dan Belanda (Leirissa 1975 : 4-10). Hubungan dalam batas ekonomi memberi gambaran tentang pengaruh perjumpaan dengan dua subyek, yaitu pengaruh perdagangan dan akibat positif dari dunia pendidikan Protestan. Perjumpaan Gereja dengan adat dalam batas ekonomi mencapai puncaknya dalam masa Hongitochten-Belanda. Monopoli perdagangan selain melahirkan pembatasan perdagangan masyarakat adat-pribumi, kesenangan hidup ekonomi dengan kelengkapannya membuat masyarakat senang dan menjadi terhormat kalau menjadi kelasi kora-kora dagang Hongitochten atau bekerja sebagai mandor Belanda. Di bidang pendidikan, peran sekolah sekolah Protestan melahirkan orang yang mampu berbahasa Belanda dan Melayu-Indonesia. Kemampuan ini memungkinkan seseorang berpeluang mendapat pekerjaan dan mencapai tingkat kesenangan hidup.
Perjumpaan Gereja dan adat dalam batas keyakinan adalah sangat vital karena menyangkut keyakinan terdalam dari pemahaman dan perilakunya. Sering terjadi konflik di antara keduanya. Konflik secara “diam” saja dan bukan konflik terbuka atau berhadap-hadapan. Karena satu pihak dipandang telah melintasi wilayah pelayanan pihak lain. Misalnya dalam doa pelantikan se orang raja, yang sudah dilaksanalkan di baileo, mengapa mesti dibuat lagi di Gereja. Demikian juga dengan pelaksanaan sasi adat, mengapa mesti ada juga sasi Gereja. Demikian juga menyangkut aspek kepercayaan akan perlindungan, penyertaan dan berkat Tuhan. Ketika seseorang selamat dari pembunuhan di Konflik, ia disabet parang tapi tidak terluka dan selamat sampai ke rumah. Dari sisi pandangan Kristen itu adalah karena penyertaan Tuhan. Tetapi di pihak adat, itu bisa terjadi karena orang itu telah datang menaikan kaulnya di baileo. Ia dilindungi dengan kekuatan magis, kebal terhadap tebasan parang, karena dilindungi oleh kuasa roh leluhurnya.

Percaya kepada Tete Manis dan Upu Lanite  
Tete Manis adalah sebuah nama yang sangat dikenal oleh masyarakat Maluku, baik orang Kristen dan juga orang Islam. Bagi orang Kristen, sebutan ini menunjuk kepada Tuhan yang diimani di dalam Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat dunia. Biasanya orangtua mengenalkan kepada anak-anaknya tentang Tuhan yang pengasih dengan nama Tete Manis ketika anak-anaknya berperilaku baik : “Kalau nyong/nona (putraku/putriku terkasih) rajin ke Sekolah Minggu, maka Tete Manis sayang. Tetapi kalau nyong nakal, nyong/nona akan menjadi teman Tete Momo.” Ungkapan-ungkapan ini biasanya orangtua sampaikan sebagai nasehat dan petunjuk ketika mendongeng atau menasehati anak-anaknya sebelum mereka tidur. Ketika mereka mendengar nama Tete Manis, maka itulah pribadi Tuhan Yesus yang diimaninya sebagai seorang anak Kristen. Kata Tete berati kakek atau seorang tua yang baik hati dan pemurah. Ia suka akan perbuatan-perbuatan yang baik. Tetapi jika anak-anak nakal, maka ia menjadi teman seorang kakek yang jahat dan biasa menghukum mereka, dialah Tete Momo (Momo atau momok adalah gambaran orang tua atau kakek yang menjadi momok atau pengganggu anak-anak).  
Bagi masyarakat adat, mereka tetap meyakini akan kuasa Upu Lanite atau leluhur. Kuasa rohnya diyakini sebagai yang selalu hadir, melindungi, menghukum, memberkati dan menyertai masyarakat adat di mana dan kapan pun. Bagi warga masyarakat adat yang setia melakukan tuntutan adat dengan baik, maka ia akan disertai, dilindungi dan diberkati. Roh leluhur tetap akan menyertai-nya kemana pun ia pergi. Tetapi sebaliknya, jika tuntutan adat tidak dipenuhi, atau dilawan, maka roh leluhur akan menghukumnya dengan kegagalan, sakit, bahkan sampai mati. Bukti akan kebaikan roh leluhur yang memberkati dan melindungi dan juga dengan kemurkaannya yang menghukum, sangat meyakinkan masyarakat adat. Contoh bisa dilihat dari dua kasus berikut. Ada seorang Maluku Tengah yang tinggal di Belanda.[6] Ia berjanji untuk pulang ke desanya di pulau Seram untuk menyelesaikan pembayaran harta kawinnya. Tetapi karena kesibukan pekerjaannya, ia lupa. Kesulitan dan tantangan hidup melandanya, ia dan anak-anaknya menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh dokter. Beberapa waktu berselang baru ia ingat akan janjinya. Setelah pulang dan menyelesaikan tuntutan adat di desanya, ajaib, ia dan keluarganya sembuh dan pekerjaannya bisa pulih lagi seperti semula.
Kasus lain menimpa seorang Pendeta yang tinggal di Lampung.[7] Ia berjanji bahwa sebelum pensiun ia harus pulang ke desanya, Letwurung di Tepa, pulau Babar Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD). Rencananya belum terpenuhi setelah pensiun. Ia mulai sakit keras. Seorang anaknya yang Pendeta juga sakit keras. Upaya lewat pergumulan doa dan perawatan dokter untuk kesembuhan atas penyakit mereka, tidak berhasil. Keluarga ini lalu ingat janji pulang kampung. Mereka memenuhinya dan kesembuhan diperoleh.
Karena bukti atas kepenuhan janji tuntutan adat itu, orang yang percaya akan sanksi terhadap pelanggaran adat, selalu mengaitkan hubungan kegagalan hidup, sakit, bahkan kematian dengan perlunya memenuhi tuntutan adat (cf. Jensen 1963:296-303). Dengan sendirinya, mereka akan melirik ke bentuk-bentuk ritus upacara adat sampai pemenuhan kaul atau janji adat yang mesti dipenuhi (Prins, 1973:13-14). Karena itu tidak heran jika si Pendeta dan si orang dari Belanda itu harus pulang kampung sebab ia harus datang di pusat siklus materialnya, ke dunia hierofani, tempat pemenuhan penempatan diri, pusat janji, yang diyakininya akan memberikan kepenuhan harapan, yakni buah kesembuhan baginya (Kirchberger & Prior 1996:298-300).
Kemudian, bagaimana dengan pandangan agama Kristen tentangnya? Bagaimana tidak, sebab kasus kesembuhan atas janji bayar harta dan pulang kampung itu sangat menantang dan menohok keyakinan iman Kristen. Mengapa bisa demikian; perawatan dokter tidak mempan, doa pendeta ditambah perawatan dokter juga tidak mempan, tapi dengan memenuhi janji barulah kesembuhan didapat. Respons yang muncul pasti bisa bersifat kontra, afirmasi atau peneguhan dan transformasi atau kontekstualisasi. Sikap kontra melawan pemahaman dan praktek adat telah lama mewarnai perjumpaan agama Kristen Protestan dengan adat di Maluku Tengah. Konsekuensi sikap itu melahirkan banyak kehancuran simbol-simbol adat. Patung-patung, mesbah-mesbah penyembahan, baileo dan berbagai benda keramat adat telah dimusnahkan oleh Gereja. Sikap destruktif Gereja itu bertolak dari pemahaman bahwa keyakinan akan kesembuhan dari kuat kuasa roh leluhur adalah pandangan yang tidak bisa diterima. Orang Krisren, anggota Jemaat dan Pendeta mesti meyakini imannya yang tak tergantikan. Memang kesulitan yang dihadapai adalah menjawab bukti sebab akibat dari kesembuhan itu sendiri. Mengapa ketika memenuhi kaul baru bisa sembuh, sekalipun sudah berdoa dan mencari kesembuhan ke dokter ? Sayangnya banyak orang belum dapat menerima bahwa kesembuhan itu bisa terwujud akibat dorongan kekosongan kejiwaan. Secara sederhana patut ditanyakan, dapatkah seseorang merasakan kekosongan jiwanya ketika ia belum memenuhi kaul-nya? Apalagi ia sementara sakit? Tokh jika ia sehat ia tidak akan ingat akan kaul-nya. Pada umumnya hanya ketika bencana menimpa baru evaluasi hidup muncul ke permukaan. Di lain pihak harus diakui bahwa ada juga banyak mujisat kesembuhan yang terjadi di atas doa dan perawatan dokter.
Sikap afirmasi (peneguhan) agama Kristen Protestan terhadap nilai-nilai adat dapat diterima, misalnya dalam memaknakan pembayaran mahar atau harta kawin atau juga perkunjungan ke kubur orangtua kita. Di kalangan orang Kristen Protestan telah lama muncul pandangan yang keras melihat kedua bentuk pemenuhan tuntutan adat itu sebagai penyembahan kepada leluhur atau orang mati. Bagi masyarakat timur, aspek hubungan kekerabatan masyarakat adat adalah sangat kuat, sehingga jika ada seseorang dalam kekerabatan itu yang tidak taat terhadap nilai-nilai adat nya, maka ia akan dikucilkan. Resiko ini akan dialaminya jika ia tidak membayar mahar, atau pulang kampung tanpa datang ke kubur orangtuanya, sekalipun itu dilakukan sekedar melihat saja. Perubahan dan pergeseran pemahaman di kalangan Kristen Protestan mulai melihat bahwa tradisi di atas itu bukanlah sebagai sebuah penyembahan kepada leluhur tetapi sebuah penghormatan atas nilai adat yang dikandungnya.
Eben Nuban Timo (2005) mengatakan bahwa dalam semua peristiwa sejarah, budaya dan agama, di sana ada sidik jari Allah. Tuhan Allah meninggalkan maksud khusus dibalik semua peristiwa hidup, entah senang atau pun duka supaya manusia mencari jalan untuk melakukan kehendak-Nya demi kebaikan hidupnya bersama orang lain ke masa depan. Maksudnya, membayar mahar harus dipenuhi bukan sebagai manifestasi rasa takut atas ancaman Upu Lanite atau leluhur. Tetapi dilakukan karena apresiasi atas sebuah nilai hubungan hidup yang mengikat, baik di antara kedua suami isteri maupun juga di antara kedua pihak keluarga orangtua mereka. Di dalamnya ada sebuah komitmen moral yaitu menjaga keutuhan hidup keluarga. Demikian juga dengan perkunjungan ke kuburan orangtua adalah sebuah apresiasi. Sebab, dari almarhum atau almarhumah orangtua didapat banyak nilai-nlai hidup yang daripadanya si anak mampu mencapai kehidupan yang ada dialaminya sekarang. Tuhan memberikan dan mewariskan hikmat dan kebaikan yang mereka ajarkan sebagai warisan hikmat kepada anak-anaknya, maka selayaknya mereka dihormati. Wujudnya adalah datang berkunjung ke kuburan mereka.
Langkah transfomasi atau kontekstualisasi bisa dilihat dalam contoh sasi dan pemakaian bahasa daerah. Semula sasi negeri, yang bermakna pelestarian potensi sumber alam, sepenuhnya dilakukan menurut cara adat. Di dalamnya ada ritus upacara penyertaan roh leluhur untuk menjaga, memberkati dan memberi sanksi kepada masyarakat jika terjadi pelanggaran atas sasi tersebut. Gereja mengambil alihnya menjadi sasi Gereja karena kandungan makna pelestarian yang penting bagi kesejahteraan manusia. Demikian juga dengan pemakaian bahasa daerah. Dulu ia dipandanag sebagai yang kafir, dari roh leluhur dan dimusuhi Gereja. Tetapi ketika seorang Pendeta berkhotbah dengan memakai bahasa daerah atau sedikit-dikitnya menggunakan istilah atau faham falsafi daerah, maka anggota jemaat merasa ‘kerasan’ mendengar dan menikmatinya. Rasa dihormati dan hubungan akrab si pengkhotbah dengan anggota Jemaatnya menjadi akrab ketika ia memakai apa yang ada di dalam Jemaatnya, desanya sendiri. Sang Pendeta tidak semata-mata membawa “barang asing” seperti bahasa dan nilai-nilai luar yang dipandang asing dan aneh ke dalam Jemaatnya. Rasa ‘kerasan’ muncul dibenak anggota Jemaat ketika Pendeta memakai simbol-simbol lokal seperti di atas. Dengan pendekatan ini, memori anggota Jemaatnya dilahirkan kembali. Apa yang menjadi milik kebanggaannya dan disenanginya yang tersembunyi jauh dan dalam, kembali ditampilkan, identitasnya dimuliakan dan martabat dirinya ditinggikan (Geertz 1992:50-53; Kobong 1994:24-27). Di Maluku, atau di Gereja Protestan Maluku, penghargaan atas bahasaa daerah belum sepenuhnya dilaksanakan seperti Gereja Gereja di Jawa, Papua dan Batak. Bagaimana cara memperjuangkannya demi pemberdayaan berteologi umat adalah sebuah upaya membaca, mengartikan dan memanfaatkan secara tepat dan bermanfaat demi menghadirkan kasih Tuhan yang menyelamatkan dunia. D. A. Carson & John D. Woodbridge (ed, 2002:3-17) mengatakan bahwa upaya berteologi dengan memberi makna yang sejalan dengan konteks harus menempuh interpretasi nilai-nilai budaya lokal yang diyakini relevan dan berperspektif keselamatan.

Harmoni Dalam Pelayanan Adat Dan Gereja
Uraian di atas menyiratkan bahwa akan muncul dua sikap dalam berteologi yaitu secara positif dan juga secara negatif. Berteologi secara positif bukan dengan cara membangun konflik di antara Gereja dengan adat. Tetapi menunjukkan apresiasi dan solidaritas dalam pemaknaan nilai yang dikandung adat. Nilai adat mesti dijunjung tinggi oleh warga masyarakat adat dan demikian juga oleh warga Gereja. Dengan penempatan sikap dan perilaku seperti itu, maka hidup berdamai dengan harmonis dan solider akan terwujud. Berteologi secara negatif membawa Gereja melihat segala nilai adat adalah musuh, lawan, produk iblis dan harus dimusnahkan. Dengan berlaku seperti itu, kita lalu menutup pintu kasih Allah untuk melihat karya keselamatan-Nya yang ada dan juga mampu berkarya di dalamnya. Ini bahaya besar sebagaimana yang diwariskan dalam “teologi lama” yang bergelora memusnahkan adat.
Pertanyaan muncul, adilkah kita ketika hanya mengklaim bahwa percaya kepada Tete Manis saja yang lebih benar, tinggi dan agung ketimbang praktek ritus-ritus adat yang percaya kepada Upu Lanite atau leluhur ? Bukankah sebelum datangnya agama samawi, Islam, Kristen Katolik dan Kristen Protestan, kuasa yang dihormati dan diyakini melindung dan memberkati mereka yang disebut kuasa tertinggi dan daripada-nya orang beragama berrefleksi dan menyebutnya Tuhan Allah Yang Maha Kuasa? Saya menekankan tentang berlaku adil, berarti hendak memberi ruang kepada agama Kristen dengan berita keselamatan dari Allah, yang disuarakan dari Gereja kepada manusia. Di situ juga mesti ada ruang kepada adat untuk melaksanakan ritus-ritusnya kepada manusia. Soal ruang bukan semata-mata sebuah tuntutan sikap etis sosial, tetapi juga sebuah keharusan misioner. Sebab tanpa adat, sebagai salah satu fakta sosiall budaya, dengan ritus-ritusnya yang dipandang lawan oleh Gereja, maka ke manakah kita bisa melihat karya keselamatan Allah? Bukan hanya melihat, tetapi juga dengan melihat ritus dan upacara-upacara adat, maka seseorang akan mengagungkan karya cipta Allah yang abadi dan daripadanya ia semakin menghargai sesama manusia dan alam sekitarnya yang telah Tuhan ciptakan untuk diselamatkan. Dengan memberi ruang berarti Gereja melestarikan identitas hakiki manusia dan sekaligus mengenalkan karya kasih keselamatan Allah kepada dunia. Tidak memberi ruang bagi adat, sama saja dengan Gereja menghambat karya keselamatan Allah.  
Untuk itu penghargaan dan pemeliharaan wilayah pelayanan di antara Gereja dan adat, akan menciptakan rasa tentram, aman dan damai kepada manusia yang satu dengan dua statusnya, yaitu sebagai anggota Jemaat dan sebagai anggota masyarakat. J. Prins (1973:28-29) menegaskan, hendaknya sikap Gereja kepada adat diberi batas dengan rapih; pagarnya jangan dibongkar dan sebaiknya diberi jalan keluar-masuk yang dijaga dengan baik-baik supaya hubungan di antara keduanya tetap harmonis.

Pustaka:
1.       Adolf Jensen, Myth and Cult Among Primitive Peoples, University of Chicago Press, Chicago 1963
2.       Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, Kanisius, Yogyakarta 1992
3.       Darmanto Jatman, Sekitar Masaalah Kebudayaan, Alumni, Bandung 1986
4.       Dieter Bartels, Guarding The Invisible Mountain : Intervillage Alliance, Religious Syncretism and Ethnic Identity Among Ambonese Christian and Moslem in The Moluccas (Tesis Ph. D), Cornel University, New York 1977
5.       D . A. Carson, & John D. Woodbridge (Ed) God and Culture, Momentm, Surabaya 2002
6.       Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah Dalam Budaya, Ledalero, Maumere 2005.
7.       Frank. L . Cooley, Mimbar dan Takhta ; Hubungan Lembaga-Lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1987
8.       F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, BPK-GM, Jakarta 1987
9.       Georg Kirchberger & John Mansford Prior (Ed), Iman dan Transformasi Budaya, Nusa Indah, Flores 1996
10.    H. Enklaar, Joseph Kam; Rasul Maluku, BPK-GM, Jakarta 1980
11.    J. A. Pattikayhattu, Guru Midras dan Peranannya Dalam Masyarakat Pedesaan di Ambon-Uliase, P & K, Jakarta 1985
12.    J. Prins, Pengaruh Kristen Terhadap Hukum Adat, Bharata, Jakarta 1973
13.    Longginus Farneubun, Hancurnya Sebuah Kerukunan, Pengaruh Interpretasi Teologi Terhadap Konflik  Agama, (Tesis), UKDW, Yogyakarta 2003
14.    M. P. M. Muskens. Pr, Sejarah Gereja Katolik Indonesia (Jilid 4), Arnoldus, Ende-Flores 1973
15.    Paul. F. Knitter, Theologies of Religions, Maryknol, New York 2002
16.    Richard Leirissa, Maluku Dalam Perjuangan Nasional Indonesia, Lembaga Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta 1975
17.    Th Kobong, Iman dan Kebudayaan, BPK-GM, Jakarta 1994
18.    Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana, Sejarah Gereja Ringkas, BPK-GM, Jakarta 1973
19.    Zakaria. J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme : Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan Nasional Indonesia 1900-1950, BPK, Jakarta 1993

----nseb----


[1] Sebutan Maluku Tengah yang dimaksud adalah wilayah masyarakat adat dalam ikatan pela, yang meliputi wilayah pulau Ambon, pulau-pulau Lease dan pulau Seram bagian depan.
[2] Saya menyebut batas Konflik bernuansa SARA 1999-2005/6 bukan 1999-2005 karena tanggal 25 April 2006 bertepatan dengan HUT RMS ada kejadian penembakan yang seakan diatur rapi oleh pihak tertentu. Dalam peristiwa keji pada hari itu di Waehaong ada beberapa korban tergeletak di jalan. Mereka tertembak dan tewas di tempat. Nampaknya ada penembak jitu yang sudah menempati posisinya, yang beraksi bertepatan dengan kericuhan di depan Markas Kodam Pattimura oleh iring-iringan FKM-RMS, yang menggotong seorang jenasah. 
[3] Semacam tari perang orang alifuru, orang asli pulau Seram.
[4] Perlu dijelaskan bahwa setelah Konflik, pimpinan Gereja Protestan Maluku (GPM), kelihatan sangat dekat-melekat dengan pemerintah Propinsi, terutama dalam acara-acara panas pela. Kedekatan seperti ini tentu ada baiknya. Tetapi  bukan harus hadir di banyak kegiatan pemerintah, di mana pimpinan Gereja selalu ada seperti pendamping Pemerintah. Karena ulah seperti ini, maka banyak mendapat kritik dari warga gereja. Sebab dengan perilaku seperti itu, maka ia tidak bisa mengritik pemerintah. Seperti sikap yang diambil ketika melaksanakan saja doa di acara panas pela karena sebuah ‘perintah.
[5] Imbalan ini biasa disediakan oleh panitia penyelenggara upacara panas pela.
[6] Saya bertemu dengannya di bulan Desember 2001, dalam perjalanan dengan kapal penyeberangan Feri Hunimua-Liang.
[7] Kisah si Pendeta kepada saya ketika saya selesai Wisudah S-2 dari universitas Kristen Duta Wacana-Yogyakarta dan kami berkesempatan ke Lampung mengunjungi kaka ipar saya di sana 11 November 2001. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar