Kamis, 10 Maret 2016

Tan luw, Ritus Adat Angkat Derajat di Desa Soindat[1]




Oleh: Dr. Nicodemus. N. J. Sedubun, M. Th
Tan Luw Dalam Masyarakat Soindat
Perkawinan merupakan sebuah peristiwa penting bagi dua orang manusia, laki-laki dan perempuan, yang dipersatukan demi hidup bersama sebagai suami-isteri. Sebelum memasuki perkawinan, sebagai muda-mudi mereka melewati tahap-tahap menjalin hubungan percintaan melalui pacaran, pertunangan dan kemudian memasuki perkawinan.[2] Namun, diakui bahwa tidak semua perkawinan harus melewati tahap yang disebutkan di atas. Ada pasangan yang bertunangan dulu baru menikah, tetapi ada juga yang langsung menikah.
Orang Kei di Maluku Tenggara terdiri dari tiga strata sosial yaitu strata sosial atas atau mel-mel, strata tengah atau ren-ren dan strata sosial bawah atau iriri. Paskalis Maria Laksono menyebutnya sebagai pelapisan sosial.[3] Sebutan lokal lain di antara orang Kei adalah kasta. Selanjutnya saya menyebutnya strata. Orang Kei adalah sebutan khas bagi masyarakat lokal di Kei. Sebutan lebih eksklusif adalah suku Kei. Di Kei, tidak boleh terjadi perkawinan lintas strata. Pasangan yang mau kawin harus berasal dari strata yang sama; mel-mel dengan mel-mel, ren-ren dengan ren-ren dan iriri dengan iriri. Kendati aturan adat perkawinan di Kei melarangnya, namun terjadi juga perkawinan lintas strata. Akibatnya sanksi adat melanda pasangan itu seperti yang dikemukakan dalam uraian tulisan ini.
Di desa Soindat hanya ada dua strata, yaitu strata tengah, ren-ren dan strata bawah, iriri. Di sini, perkawinan lintas strata “dibolehkan” dalam beberapa keadaan. Uraian tentangnya akan dijelaskan kemudian. Upacara adat terhadapnya disebut upacara angkat derajat yang dalam bahasa Kei disebut tan luw. Upacara ini hanya berlaku bagi seorang laki-laki ren-ren yang kawin dengan seorang perempuan iriri. Tidak sebaliknya. Oleh masyarakat di Soindat, perkawinan itu disebut sebagai perkawinan yang salah. Sebab, ia telah melawan adat Kei yang hanya membolehkan perkawinan sestrata, bukan lintas strata. Untuk itu dibuat tan luw supaya perempuan itu diangkat derajatnya dari strata iriri menjadi strata ren-ren mengikuti suaminya. Upacara tan luw dilakukan dengan membawa mas tail teel berupa emas yang benar-benar emas atau emas asli. Kemudian emas itu oleh seorang Saniri Ohoi Kepala menaruhnya di Hawear[4]  yang bagi masyarakat Soindat merupkan pusat desa atau pusat Ohoi. Mas tail teel tidak boleh berupa mas palsu. Untuk itu, jika hendak melakukan upacara tan luw, maka jauh sebelumnya keluarga laki-laki harus mempersiapkan emas asli dan sirih pinang. Sebab, apabila emas yang diberikan itu emas biasa atau bukan emas asli, maka laki-laki yang kawin dengan perempuan iriri termasuk juga tua adat yang melakukan upacara tersebut akan meninggal dunia. Oleh karena itu, persiapan emas untuk melakukan upacara itu haruslah benar-benar asli.
Emas itu harus dipersiapkan oleh kedua keluarga yang anaknya melakukan perkawinan tersebut. Pihak yang lebih banyak bertanggungjawab mempersiapkan emas itu adalah orang tua atau keluarga dari laki-laki ­ren-ren. Setelah emas sudah disiapkan, maka keluarga dari pasangan yang melakukan perkawinan tersebut membawa emas itu kepada Saniri Ohoi Kepala. Setelah Saniri Ohoi Kepala menerima mas itu, ia memberitahukan kepada para anggota Saniri Ohoi yang lain tentang maksud dan tujuan dari keluarga. Pemberitahuan itu sekaligus merupakan undangan untuk melakukan rapat bersama dengan para Saniri Ohoi dan para orang tua-tua untuk menentukan kapan akan di laksanakan upacara tan luw.
Biasanya upacara tan luw di lakukan di pagi hari tepat pada waktu matahari terbit dengan melibatkan semua masyarakat Ohoi Soindat. Upacara dilakukan di tengah kampung (desa, pusat kampung), sehingga bagi siapa saja yang ingin melihat jalannya upacara tersebut dapat hadir dalam upacara dimaksud. Pantangan hanya berlaku terhadap perempuan iri-ri yang hendak diangkat derajatnya. Ia tidak diijinkn mengikuti upacara itu dan hanya boleh melihatnya dari dalam rumah atau dari kejauhan. Sebab, apabila ia mendekat pada tempat itu dan bayangannya sampai pada hawear tersebut maka ia akan mengalami kematian.
Upacara tan luw di lakukan oleh Saniri Ohoi Kepala, dan disaksikan oleh seluruh warga kampung. Upacara itu dimulai dengan doa bersama yang dipimpin oleh seorang Pendeta dan setelah itu doa oleh Saniri Ohoi Kepala kemudian ia membawa piring berisi satu atau dua emas yang ditutupi dengan kain (sarvet) lalu berjalan menuju tempat hawear (pusar kampung) dan diikuti oleh masyarakat yang mau melihatnya. Ketika tiba di tempat itu, Saniri Ohoi Kepala meletakan piring dan menggali lubang yang sudah ada sebelumnya yang di dalamnya ada satu buah mangkok untuk menaruh emas yang dibawanya. Setelah menggali, mengangkat dan mencuci mangkok tersebut maka dengan berdoa adat dalam bahasa Kei, ia mengambil emas itu dan meletakkannya dalam mangkok. Sesudah itu mangkok yang berisikan emas tersebut dimasukan kembali ke dalam lubang tadi dan ditutup kembali; lalu ia pulang ke rumahnya dan dilanjutkan dengan berdoa syukur yang dipimpin oleh pendeta. Setelah itu, ia makan bersama dengan semua warga Ohoi.
Jika orang tua dari laki-laki (ren-ren) tidak mau menerima perempuan dari pihak iri-ri untuk kawin dengan anak mereka, maka yang di lakukan ialah pemutusan hubungan perkawinan atau dalam bahawa Kei disebut tetat ngelak. Upacara ini di lakukan dalam ruangan di balai desa, yang hanya di hadiri oleh orang tua laki-laki dan orang tua perempuan serta beberapa Saniri Ohoi. Yang akan melakukan upacara tetat ngelak ialah seorang Saniri Ohoi Kepala yang sudah di percayakan untuk melakukan upacara tersebut. Upacara pemutusan perkawinan itu di lakukan dengan menggunakan bulu (bambu, bahas Kei, wur) dan parang. Bulu yang dipakai adalah bulu muda. Maksud penggunaan kedua alat itu ialah untuk memutuskan hubungan keduanya dan tidak boleh disambung kembali. Caranya ialah laki-laki (ren-ren) memegang salah satu ujung bulu yang sudah disiapkan dan perempuan (iri-ri) juga memegang ujung lainnya. Seorang Saniri Ohoi yang sudah dipercayakan untuk melakukan pemutusan perkawinan itu memulai berdoa pemutusan sebelum pemotongan bulu itu di lakukan. Berikut doa tetat ngelak;  
Duang e, haran it vo am tetat wenan hir wain ru ot vavau i
I ya an be fo in langgar berarti in taha dos ni teten in tal dunia i famehe in dat he
Artinya: (terjemahan bebas):
Tuhan Yang Mahakasih, saya/kami bawa orang ini dengan pengakuannya
Dia berjanji tidak akan melanggar janjinya untuk tidak berbuat dosa lagi
Yang akan menjadi beban tanggungan hidupnya ke masa depan

Setelah selesai berdoa adat dan melalukan pemotongan bulu dalam upacara pemutusan perkawinan tersebut, maka secara adat mereka berdua telah dipisahkan dan tidak ada jalan apapun yang akan mempertemukan mereka. Keduanya tidak diijinkan untuk saling menegur, menyapa atau mengirim salam pun tidak. Apabila hal itu terjadi, maka mereka yang akan menanggung resikonya. Pemutusan terhadap perkawinan itu berarti seumur hidup, mereka tidak boleh kawin lintas strata melainkan hanya kawin dengan sesama stratanya.
Si laki-laki dan demikian juga si perempuan harus kawin menurut tingkat sederajat dalam stratanya; jika laki-laki strata ren-ren, maka ia harus kawin dengan seorang perempuan dari strata ren-ren. Demikian juga dengan si perempuan, ia harus kawin dengan seorang laki-laki yang satu strata dengannya. Di Soindat, konteks kesederajatan menempatkan masyarakat mesti berada dalam suatu kondisi  di mana  dalam  perbedaan dan  keragaman  yang  ada,  manusia  tetap memiliki satu kedudukan yang sama dalam satu tingkatan hierarki. Sanksi tetat ngelak ini bercermin dari Sasa Sor Fit fasal 1: Hukum Adat Hawear Balwirin, yaitu vartayad, yang berarti tidak boleh menginginkan barang orang lain secara tidak sah (lihat dalam uraian selanjutnya). Bahwa ukuran pelanggaran terhadap Hukum Adat Hawear Balwirin dan Sasa Sor Fit yang disebutkan di atas tidak dapat diukur besaran dendanya. Sebab, ketentuannya lebih bergantung pada putusan Sidang Adat. Memang ada pelanggaran atas pasal-pasal Sasa Sor Fit yang dapat ditentukan dendanya, tetapi ada juga yang tidak. Untuk itu Sidang Adat perlu memberikan nasehat atau pengarahan untuk tidak melanggarnya kembali.
Hukuman Adat Bagi Perkawinan Lintas Strata
Menurut seorang informan,[5] munculnya upacara tan luw bermula pada saat terjadinya perkawinan lintas strata untuk pertama kali pada zaman dulu. Keluarga laki-laki ren-ren dan keluarga perempuan iriri berkelahi untuk membela dan mempertahankan kerabat mereka yang melakukan perkawinan lintas strata tersebut. Kendati perkelahian itu terjadi dengan harapan dapat menghentikan atau memisahkan hubungan kedua sejoli, namun perkawinan itu tidak dapat di hentikan, sehingga para leluhur membuat sebuah sanksi adat berupa hukuman bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut dengan menetapkan tan luw atau upacara angkat derajat. Tradisi tan luw masih terus berlangsung sampai sekarang di desa Soindat.
Pada umumnya di Kei Besar dan Kei Kecil, bagi mereka yang melakukan perkawinan lintas strata berlaku sanksi hukuman adat. Sanksi adat terhadap perkawinan lintas strata berlaku untuk perkawinan di antara strata atas mel-mel dengan strata tengah ren-ren atau strata atas mel-mel dengan strata bawah iriri atau strata ren-ren dengan strata mel-mel dan strata ren-ren dengan iriri, atau strata iriri dengan mel-mel dan iriri dengan ren-ren. Bentuk-bentuk sanksi adatnya seperti berikut: 
No
Sanksi
Aksi
1
Taur ba foof (Kasih hanyut)
Dihanyutkan di laut atau di sungai dengan tujuan akhir kematian
2
Loduk (Ditenggelamkan)
Ditenggelamkan di laut lepas dengan pemberat
3
Fakloy sang wolin (gantung)
Digantung terbalik dengan kaki di atas dan kepala di bawah
4
Watuk (Buang)
Di buang di hutan belantara
5
Tiwak wawain (Kubur)
Di kubur hidup-hidup; ditanam dalam kolam tanah
6
Tetat Ngelak (Pemutusan hubungan)
Pemisahan hubungan sosial dalam masyarakat
7
Tufut sai il (Tebus kembali)
ditebus dengan bayaran dan kemudian menjadi hamba bagi penebusny
8
Tan Luw (Angkat derajat)
upacara adat dengan pembayaran materi tertentu

Dari delapan sanksi adat bagi orang Kei yang melakukan perkawinan lintas strata, yang masih berlaku sampai sekarang ini adalah sanksi tetat ngelak, tan luw dan sanksi tufut sai il. Sebelumnya, tan luw dan tetat ngelak telah diuraikan secara panjang lebar. Tufut sai il artinya tebus kembali, merupakan sanksi adat yang diberikan kepada seorang laki-laki iriri yang “nekat” kawin dengan seorang perempuan ren-ren. Tebus kembali dengan membayar semua sanksi tanggungan materi yang dituntut sesuai sanksi adat Kei kepada si laki-laki. Sanksi adat itu berupa membayar emas yang ketentuan jumlah dan mutunya mesti mendengar putusan Sidang Adat Saniri Ohoi. Emasnya harus asli, sama seperti dalam tan luw. Yang memimpin Sidang Adat untuk memutuskan besaran sanksi adat adalah Raja dan Saniri Ohoi.
H. Rahantali[6] seorang anggota Saniri Ohoi di desa Soindat mengatakan bahwa sekarang ini kasus tufut sai il ditanggapi dengan sikap dan pemahaman yang berbeda. Biasanya penetapan membayar mas yang asli dengan jumlah relatif banyak sesuai ketentuan putusan Sidang Adat, sulit dibayar oleh si laki-laki. Untuk itu kasus ini, biasanya ada seorang penebus yang membayar putusan Sidang Adat tersebut. Ia sedia membayar semua putusan sidang adat dengan pamrih akan menjadikan si laki-laki iriri yang kawin dengan perempuan ren-ren, sebagai seorang pekerja baginya seumur hidupnya. Memang dari segi materi, tampaknya sanksi ini tidak terlalu berat. Sebab, si laki-laki ditebus dari sanksi materi dan anak-anaknya mengikuti fam-nya. Dari hak untuk mendapatkan bagian dalam keluarga besarnya, juga terpelihara; suara atau hak bicaranya dalam pengambilan keputusan terhadap sesuatu masalah dalam persekutuan keluarga besarnya, tetap ada. Namun sanksi adat tufut sai il beresiko. Sebab, laki-laki yang telah ditebus itu harus bekerja seumur hidup kepada orang yang menebusnya. Seorang informan[7] menjelaskan bahwa sudah lama sekali tufut sai il tidak terjadi di desa Soindat. Pernah ada di tahun 1956. Tetapi, karena dampak pengaruh perkembangan zaman telah membuka mata orang Soindat terhadap beratnya sanksi adat. Selain itu kepatuhan masyarakat Soindat terhadap adat-istiadat-nya sendiri menghambat perbuatan-perbuatan untuk melanggar Adat.
Oang Kei sangat menolak perkawinan lintas strata. Sebab, menurut mereka, hal itu dapat mempengaruhi harkat, martabat, wibawa dan kedudukan sebuah fam dalam masyarakat dan keselamatan pasangannya. Oleh karena itu, jika terjadi perkawinan lintas strata, maka harus segera dilakukan upacara-upacara adat untuk memulihkan semua perkawinan yang menyalahi aturan adat, supaya menghindarkan mereka dari hukuman sosial dan hukuman dari leluhur yang berat. Sebab jika tidak, maka berbagai resiko pasti ditanggung oleh pelanggar adat tersebut.
Di Kei pada umumnya dan di Kei Besar pada khususnya, hanya ada dua desa yang menjadi tempat untuk melakukan upacara tan luw yang disebut dengan dabsu dan dabrat. Dabsu berada di desa Reyamru, sedangkan dabrat berada di desa Soindat. Kedua desa ini yang menjadi tempat untuk melakukan upacara tan luw. Dua desa ini seluruh penduduknya berstrata ren-ren dan iriri tanpa ada campuran dari strata mel-mel. Karena desa Reyamru letaknya di bagian bawah maka disebut dabsu (bahasa Kei untuk su berarti bawah, dapat diartikan juga daerah belakang) dan desa Soindat yang letaknya di bagian atas maka di sebut dabrat (bahasa Kei untuk rat berarti atas atau daerah depan). Dabsu berada di desa Reyamru yang terletak di bagian utara, Kecamatan Kei Besar Utara, Kabupaten Maluku Tenggara; sedangkan, dabrat berada pada desa Soindat yang terletak di bagian barat, Kecamatan Kei Besar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara. Kedua Dabsu dan Dabrat merupakan tempat untuk melakukan upacara tan luw. Tujuan dari upacara tersebut adalah untuk mengangkat derajat perempuan iri-ri yang melakukan perkawinan dengan laki-laki dari strata ren-ren.
Desa-desa yang termasuk dalam kawasan dabsu adalah: Reyamru, Soindrat, Yamtimur, Nabaheng, Larat, Nerong, Mataholat, Watuar, Ohoirenan Dan Ohoiwait. Desa-desa yang termasuk dalam kawasan dabrat adalah: Tamangil, Hako, Soindat, Hoat, Ngafan, Bafol, Rerean, Lenggiar Fer, Watkidat, Uat Ngan, Ohoilean, Kilwat, Sather, Tutrean dan Weduar.
Dua desa yang menjadi pusat dari upacara tan luw itu adalah desa-desa yang dikategorikan sebagai desa yang tak bercampur, artinya sejak para leluhur ada, di desa tersebut seluruh penduduknya berstrata ren-ren yang disebut dengan ren kanamun (dalam bahasa Kei kanamun artinya utuh) dan selama itu pula tidak ada campuran antara strata-strata yang lain. Karena hanya satu strata, maka para leluhur menentukan kedua desa itu sebagi pusat (tempat) penyimpanan sekaligus tempat dilakukannya upacara tan luw itu.[8]

Berikut adalah penetapan membayar harta untuk perkawinan se strata di Kei Besar. Ukurannya adalah sebagai berikut:
No
Strata
Bentuk Harta
Benda
Jumlah
Uang Rp
1
Mel-mel dengan mel-mel
Lela (sad-sad)*
4 buah
400.000
Emas
4 buah
2
Ren-ren dengan ren-ren
Lela (sad-sad)*
3 buah
300.000
Emas
3 buah
3
Iriri dengan iriri
Lela (sad-sad)*
2 buah
200.000
Emas
2 buah
*). Lela atau sad-sad adalah sebuah meriam Portugis, yang untuk sekarang ini, ukuran terkecil sepanjang satu hasta harganya Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)

Tan Luw dan Hukum Adat Larvul Ngabal.
Gambar 1, Lela sepanjang 3 hasta  (dokumen, warbal-nick)
Ada pandangan di sebagian besar orang Kei, terutama di strata atas, mel-mel, yang berpendapat bahwa larangan perkawinan lintas strata yang terjadi di kepulauan Kei didasarkan pada Hukum Adat Larvul Ngabal. Karena di anggap melanggar aturan adat atau budaya yang sudah di buat atau ditetapkan sejak leluhur. Bahwa baik laki-laki maupun perempuan dari strata mel-mel (atas), ren-ren (tengah) dan iri-ri (bawah) tidak dibolehkan melakukan pekawinan lintas strata. Sekalipun demikian, sekarang ini perkawinan lintas strata sudah banyak terjadi. Biasanya perbuatan melawan adat ini dilakukan di luar Kei, entah di Dobo, di Ambon, di Surabaya, di Jakarta atau juga di tempat-tampat lain. Pandangan tentang larangan kawin lintas strata akan dikaji dari uraian tentang isi fasal-fasal Hukum Adat Larvul Ngabal dan sanksi tujuh lapis atau sasa sorfit-nya seperti berikut:
Hukum Adat Larvul Ngabal [9] terdiri dari 7 pasal, yaitu :
Fasal
Hukum Adat
Arti
1
Uud entauk atvunad
Kepala kita bertumpu pada tengkuk kita
2
Lelad ain fo mahiling
Leher kita dihormati, diluhurkan
3
Ul nit envil atumud
kulit membungkus badan kita
4
Lar nakmud ivud
Darah tinggal tenang dalam perut kita
5
Rek fo mahiling
Perbatasan (ambang abu) dihormati
6
Moryain fo kelmutun
Kemurnian perkawinan harus dihormati
7
Hira ni ntub fo i ni, it did ntub fo it did 
Milik orang tetap milik orang, milik kita tetap milik kita

Tujuh pasal Hukum Adat Larvul Ngabal itu bermuara pada tiga gagasan pokok, yaitu :
No
Fasal Hukum Adat
Ruang Cakup Hukum Adat
Nama Hukum Adat
A
Pasal 1, 2, 3 dan 4
Hukum tentang Hubungan sosial di antara manusia,
Hukum Navnev
B
Pasal 5 dan 6
Hukum  tentang Kesusilaan
Hukum Hanilit.
C
Pasal 7
Hukum tentang Hak  Milik
Hukum Hawear Balwirin.

A.    Hukum Navnev
Pasal 1, Uud entauk advunad.  
Secara harafiah uud entauk advunad berarti kepala kita bertumpu atau bersatu pada tengkuk/pundak kita. Kepala dipandang sebagai bagian tubuh terpenting, terletak paling tinggi dan di bawahnya terdapat sekujur bagian tubuh manusia lainnya. Fungsi kepala adalah harus memperhatikan, memikirkan, melihat, menjaga dan melindungi keselamatan anggota-anggota tubuh manusia lainnya. Dari pandangan seperti itu, ada beberapa pemahaman seperti berikut :
a.       Sebagai pemimpin rakyat (raja, kepala kampung/dusun, kepala fam, kepala adat) kekuasaannya harus dihormati, karena dialah kepala masyarakat; ia harus melindungi dan memperhatikan nasib masyarakat. Ia bekerjasama dengan rakyatnya demi kesejahteraan bersama.
b.      Pasal ini juga menegaskan satu penghargaan terhadap hak dan martabat orangtua dalam keluarga. Orangtua yang mengatur, melindungi dan memelihara warga keluarga. Hak istimewa orangtua adalah mengatur perkawinan anak-anak. Hak ini harus dihormati sebab orangtua adalah wakil yang ilahi dalam keluarga besar kosmos, ia adalah wakil ilahi yang hadir di dunia ini (Duad kebav = wakil Tuhan). Anak-anak harus patuh dan menghormati orangtua, seperti pepatah Teen fo teen, yanyanat fo yanyanat = orangtua tetap punya kedudukan sebagai orangtua dan anak-anak tetap punya kedudukannya sebagai anak-anak.
c.       Mewajibkan orang Kei untuk bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Manusia harus beribadah kepada Tuhan, Duad, sebagai Penguasa Tertinggi, pemberi segala anugrah dan Hakim Yang Mahakuasa. Dialah Kepala atas manusia, alam semesta dan roh-roh.
Pasal 2, Lelad ain fo mahiling, artinya leher kita dihormati, diluhurkan.
            Secara harafiah isi pasal ini berarti leher kita dihormati, diluhurkan. Menurut pandangan orang Kei, leher adalah pusat kehidupan, kebenaran dan kemuliaan. Tegasnya, leher adalah pusat dan jaminan hidup manusia. Pemahaman tentangnya adalah :
a.       Hidup dan kehidupan itu bersifat luhur, suci adanya. Karena itu hidup seseorang tak boleh diganggu gugat, tetapi harus dihormati. Secara eksplisit pasal ini nenekankan tentang perikemanusiaan di mana hak hidup orang lain mesti dihormati.
b.      Meluhurkan, harus mempertahankan, menghormati dan melindungi kebenaran. Kebenaran yang dimaksudkan adalah hukum. Dengan demikian, bertindak melawan kebenaran, maka sama saja dengan menodai kehidupan. Sebab hukum adalah sumber yang mengatur tata-tertib hidup manusia.
Pasal 3,  Ul nit envil atumud, artinya, kulit membungkus badan
            Secara harafiah, pasal ini berarti kulit membungkus badan atau tubuh kita. Pemahaman pasal ini adalah :
a.       Nama baik orang lain harus dipelihara, kesalahannya tidak boleh digembar-gemborkan. Menceritakan kekurangan orang lain berarti merusakan keutuhan hidupnya di antara sesama manusia. Dalam hubungan sesama manusia, pasal ini sering diterjemahkan sebagai “jangan memfitnah.”
b.      Kesalahan orang lain harus “ditutupi” atau dipulihkan. Di sini pertanggungjawaban atas sebuah kesalahan harus dipulihkan. Pemulihan ini dalam bentuk membayar denda seperti pengutuhan kembali kulit yang membungkus tubuh.
Pasal 4, Lar nakmud ivud, artinya, darah tinggal tenang dalam perut
Secara harafiah pasal ini berarti: darah tinggal dalam perut kita. Menurut pandangan orang Kei, faham itu berarti darah tidak boleh dikeluarkan dari perut, bahkan dari seluruh tubuh manusia. Pandangan ini berhubungan dengan pandangan orang Kei tentang kelahiran baru. Menurut pandangan itu, perut adalah tempat di mana satu manusia dibesarkan sebelum dilahirkan ke dunia. Manusia kecil itu bisa hidup dalam perut (kandungan ibu) karena di sana ada yang menghidupkannya. Faham ini mengartikan :
a.       Tubuh manusia jangan dirusakan atau dilukai sampai mengalirkan darah. Pasal ini melarang penganiayaan dan menolak kekejaman yang mengakibatkan penumpahan darah.
b.      Penumpahan darah berarti pembunuhan. Karena itu ayat ini dengan tegas melarang pembunuhan, sebab bertentangan dengan hak hidup dan martabat hidup manusia.
Perlu diingat bahwa Hukum Navnev, bersifat simbolik dengan memakai organ-organ tubuh manusia secara terpadu. Di dalamnya juga terkandung faham kosmologi Kei yang menyatakan bahwa yang ilahi itu tinggal bersama-sama dengan manusia, ia berintegrasi dengan manusia di mana ada satu keluarga besar, yang ilahi dan manusia tingal dalam satu dunia. Dengan demikian, bersahabat dengan dunia manusia juga berarti bersahabat dengan dunia ilahi. Karena itu dapat dimengerti bahwa orang Kei yakin bahwa jika melakukan kesalahan kepada orang lain, maka si pelaku pasti akan terkena hukuman ilahi. Bahwa orientasi hidup manusia menurut pandangan asli orang Kei, ialah kekerabatan antara sesama manusia, yang di dalamnya tesirat kekerabatan dengan yang ilahi.
Sasa Sor Fit
“Sasa” atau biasanya disingkatkan dengan “Sa” berarti satu kesalahan. “Sor” berarti helai, atau bagian. Kata ini biasanya dipakai untuk menyebut jumlah utasan tali. “Fit” berarti tujuh. Jadi, Sasa Sor Fit atau Sa Sor Fit berarti kesalahan yang terdiri dari tujujh bagian. Kadang dipahami sebagai kealahan berlapis tujuh. Masing-masing tema Hukum Adat Larvul Ngabal yaitu: Hukum Navnev, Hukum Hanilit dan Hukum Hawear Balwirin, punya konkritisasi dalam Sasa Sor Fit. Tiap-tiap pelanggaran terhadap Hukum Navnev yang mengatur Hubungan sosial di antara manusia, atau Hukum Hanilit yang mengatur tentang kesusilaan atau Hukum Hawear Balwirin yang mengatur tentang hak milik, akan dikenakan sanksi sebanyak tujuh bagian atau Sasa Sor Fit. Berikut uraiannya:
Sasa Sor Fit Hukum Navnev :
Sanksi  
Sasa Sor Fit
Arti
1
Mu’ur nar-auban fakla
mengatai, menyumpahi
2
Haung hebang
berencana/berniat jahat
3
Rasung amu-rudang dad
mencelakakan dengan cara black magic
4
Kev bangil
memukul, meninju
5
Tav ahai-sung tahat
melempar, menikam, menusuk
6
Fedan na-tetat vanga
membunuh, memotong, memancung
7
Tivak/luduk fo vavain
menguburkan/menenggelamkan hidup-hidup
Penjelasannya :
a.       Pasal 1 Sa Sor Fit Hukum Navnev adalah konkriritsasi dari pasal 3 Hukum Adat Larvul Ngabal –jangan memfitnah. Pasal ini melarang seseorang berbicara hal buruk tentang orang lain dan melarang penyumpahan terhadap orang lain.
b.      Pasal 2 Sa Sor Fit Hukum Navnev adalah konkritisasi juga dari pasal 3 Hukum Adat Larvul Ngabal yang melarang perbuatan jahat batiniah (actus internus) terhadap sesama manusia
c.       Pasal 3 Sa Sor Fit Hukum Navnev adalah konkritisasi pasal 2 Hukum Adat Larvul Ngabal, yang melarang tindakan menyusahkan orang lain dengan kuasa black magic.
d.      Pasal 4 Sa Sor Fit Hukum Navnev adalah konkritisasi pasal 2 Hukum Adat Larvul Ngabal, yang melarang memukul. Ia lebih nyata dari pasal 3 Sasa Sor Fit, yang masih berupa tindakan terselubung.
e.       Pasal 5 Sa Sor Fit Hukum Navnev adalah konkritisasi pasal 4 Hukum Adat Larvul Ngabal, yang menyangkut perbuatan melempar, menikam dan menusuk dengan benda tajam, terhadap sesama manusia.
f.       Pasal 6 Sa Sor Fit Hukum Navnev adalah konkritisasi pasal 1 dan pasal 4 Hukum Adat Larvul Ngabal tentang membunuh (fedan na) dan memancung kepala atau memisahkan kepala dari tengkuk.
g.      Pasal 7 Sa Sor Fit Hukum Navnev adalah konkritisasi pasal 2 Hukum Adat Larvul Ngabal, yang melarang cara mematikan orang dengan menenggelamkan dan menguburkan orang hidup-hidup.
Sanksi terhadap pelanggaran atas Hukum Navnev ada dua, yaitu terhadap pelanggaran yang mengakibatkan kematian dan pelanggaran yang tidak mengakibatkan kematian. Bentuk sanksi-sanksinya adalah :
a.       Pelanggaran yang mengakibatkan kematian.
Di sini sanksinya adalah seperti “jiwa ganti jiwa.” Pemahamannya demikian, karena menurut pemahaman orang Kei, sebuah tindakan pembunuhan akan mengakibatkan bencana yang pasti menimpa seisi desa asal si pembunuh. Bencana bisa berupa, penyakit, huru-hara, gagal panen, kekacauan dalam desa atau bencana alam lainnya. Untuk menanggulanginya, maka hukuman “jiwa ganti jiwa” secara simbolis ditimpakan kepada pelaku dengan menenggelamkannya di laut atau menggali kubur dan siap untuk menanamnya di tempat di mana ia melakukan pembunuhan. Di tempat itu keluarganya harus menyiapkan harta tebusan tertentu yang harus dibayarkan kepada keluarga korban.[10] Besarnya dan bentuk harta tebusan itu sudah ditentukan dalam sebuah Sidang Adat. Jika di tempat perkara dendanya ditebus oleh seseorang lain dan tidak mampu ditebus oleh si pelaku, maka si pelaku menjadi hamba dari si penebus.
b.      Pelanggaran yang tidak mengakibatkan kematian. Sanksi atas pelanggaran seperti ini biasanya diserahkan kepada keputusan dan kebijakan dalam sebuah Sidang Adat.
B.     Hukum Hanilit    
Pasal 5, Rek fo mahiling, artinya, perbatasan (ambang abu) dihormati
Pasal ini mengartikan ‘ambang abu’ atau rek artinya ambang masuk suatu kamar (Belanda-drempel) dalam sebuah keluarga fo mahiling atau harus dihormati, diluhurkan, dijunjung tinggi dan dimuliakan. Bahasa Kei untuk rek adalah balok batas tepat di bagian bawah pengalas pintu. Balok ini sebagai pembatasan seseorang boleh-tidaknya masuk ke kamar wanita atau isteri orang. Pemahaman di baliknya adalah menjaga diri terhadap wanita dan menghormati isteri orang. Karena itu, pasal ini mengartikan:  
a.       Kamar orang lain, khususnya kamar tidur, tidak boleh dimasuki oleh orang lain yang tidak berhak. Khususnya penghormatan terhadap keluhuran dan kesucian wanita.
b.      Menghormati batas-batas pergaulan antara pria dan wanita, terutama batas-batas kesusilaan.
Pasal 6, Moryain fo kelmutun, artinya, perkawinan/kemurnian perkawinan harus dihormati
Pasal ini mengartikan kamar tidur wanita atau kamar tidur orang yang sudah kawin/menikah, harus dihormati. Pemahaman di baliknya adalah :
a.       Tempat tidur wanita yang sudah maupun yang belum kawin, harus dihormati. Sebab tempat ini sangat pribadi dan seorang laki-laki dilarang masuk tidur di dalamnya, kecuali ia adalah seorang suami dari wanita pemilik kamar itu. Seorang laki-laki tidak diperkenankan bergaul bebas dengan seorang wanita, terkecuali mereka itu suami-isteri.
b.      Tempat tidur tidak boleh dinodai. Artinya, perkawinan atau pernikahan sebuah keluarga harus dihormati dan diluhurkan.
c.       Adalah sebuah kewajiban untuk menghormati kaum wanita.
Sasa Sor Fit Hukum Hanilit :
Sanksi
Sasa Sor Fit
Arti
1
Sis af
panggil dengan lambaian tangan atau mendesis
2
Kifuk matko
main mata, kerling dengan kedipan sebelah mata
3
Ngis kafir/temar u mur      
mencubit, senggol/kena depan atau belakang busur
4
En a lebak            
meraih dan memeluk
5
Val ngutun tenan, ne seran baraun
membalik penutup alas bawah (lepas pakaian dalam)
6
Marvaan fo ifun 
menghamilkan di luar nikah
7
Manuu, marai
membawa lari atau merampas isteri orang
Penjelasananya :
a.       Pasal 1, 2, 3, dan 4 Sasa Sor Fit Hukum Hanilit adalah konkritisasi dari pasal 5 Hukum Adat Larvul Ngabal, yang berbicara tentang sopan santun dalam pergaulan antara pria dan wanita.
b.      Menurut pandangan orang Kei, isyarat panggilan dengan mendesis atau melambaikan tangan (Sasa Sor Fit pasal 1) adalah tanda untuk melakukan sesuatu yang diam-diam, terselubung dan itu tidak baik, sebab pihak lain tidak mengetahuinya. Sikap ini tidak terbuka dalam kehidupan bersama dan tidak baik, sehingga dilarang.
c.       Main mata (Sasa Sor Fit pasal 2) dilihat sebagai isyarat dari pihak lelaki terhadap wanita, atau sebaliknya, sebagai ungkapan untuk bergaul sebagai suami isteri (bersetubuh). Karena itu, sikap ini dilarang.
d.      Dalam kehidupan orang Kei, ngis kafir (Sasa Sor Fit pasal 3) yang biasanya dilakukan dengan tangan, sering juga diganti dengan sentuhan busur (alat panah) yang dibawa ke kebun. Sementara berjalan lalu dengan sengaja pembawa busur menyentuh wanita yang ada di depan (u) dan dibelakangnya (mur), maka perbuatan seperti itu dilarang sebab dianggap sebagai tanda keinginan untuk bergaul secara intim.
e.       Sasa Sor Fit pasal 4 dari Hukum Hanilit, dengan tegas melarang dua orang pria-wanita meraih dan saling berpelukan. Perbuatan seperti ini hanya bisa diperkenankan jika mereka sudah menjadi suami-isteri. Karena itu, pasal ini sama dengan pasal 5 Hukum Adat Larvul Ngabal yaitu  rek fo mahiling.
f.       Pasal 5, 6 dan 7 Sasa Sor Fit Hukum Hanilit merupakan konkritisasi dari pasal 6 Hukum Adat Larvul Ngabal yaitu : moryain fo kelmutun.  Ini merupakan ungkapan kiasan untuk istilah persetubuhan. Karena itu dilarang.
g.      Sasa Sor Fit pasal 6 Hukum Hanilit, yaitu marvaan fo ivun, berarti kehamilan di luar nikah, yang dilarang keras.
h.      Sasa Sor Fit pasal 7 Hukum Hanilit, yaitu manuu, marai, adalah larangan keras kasus seorang laki-laki melarikan isteri orang.
Sanksi terhadap pelanggaran atas Hukum Hanilit
a.       Pelanggaran terhadap Sasa Sor Fit pasal 1, 2, 3 dan 4, sanksinya hanya berupa teguraan dan nasehat oleh Sidang Adat. Tetapi bila Sidang Adat menganggap perlu menetapkan maka bisa ditetapkan membayar harta/denda.
b.      Pelanggaran terhadap Sasa Sor Fit pasal 5, harus dipulihkan dengan sanksi membayar denda material berupa uang dan barang berharga.
c.       Apabila pelanggaran dalam Sasa Sor Fit pasal 5 menghasilkan kehamilan (pasal 6), maka sanksinya lebih berat dengan denda tertentu pula, tergantung penyelesaian dan keputusan Sidang Adat.
d.      Sanksi terhadap Sasa Sor Fit pasal 7 dibedakan antara manuu atau kawin lari bujang dan marai atau kawin lari membawa isteri orang. Kawin lari bujang jika berhasil dinikahkan ataupun tidak berhasil dinikahkan tetap ada sanksi denda. Kawin lari membawa iseri orang; baik bujangan melarikan isteri orang maupun suami melarikan isteri/wanita bujang, tetap harus membayar denda yang berat. Salah satunya adalah membayar semua harta yang pernah dibayarkan ketika membayar mahar perkawinan.
C.    Hukum Hawear Balwirin
Pasal 7, Hira ni ntub fo ini, it did ntub fo it did, artinya, milik orang tetap milik orang, milik kita tetap menjadi milik kita. Pemahaman pasal ini adalah sebagai beikut :
a.       Pasal ini tidak mengandung arti simbolik. Ia bisa diterjemahkan dengan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat.” Perbuatan merampok atau memerkosa hak orang lain, menghalalkan cara unuk memperoleh sesuatu, sama sekali ditantang oleh pasal ini. Tidak boleh merampas harta milik orang lain dan orang lain juga tidak boleh mengambil milik kita. “Hata milik” dalam pengertian ini menyangkut hak atas manusia dan sumber alam.
b.      Pasal ini menegaskan pengakuan terhadap hak orang lain untuk memiliki sesuatu. Pengakuan ini sebagai langkah preventif untuk menjaga dan melindungi hubungan hidup yang harmonis di antara manusia dan manusia dengan alam.
Sasa Sor Fit Hukum Hawear Balwirin :
Sanksi
Sasa Sor Fit
Arti
1
Vartayad              
menginginkan barang orang lain secara tidak sah
2
It bor     
Mencuri
3
It kulik afa borbor              
menyimpan barang curian
4
Taan rereang, it uot afa waid          
makan upah tanpa kerja
5
It liik ken hira ni afa, te feen it naa il
ambil milik orang lain, tapi tidak mau kembalikan
6
It lavur hira ni afa
merusakan/membinasakan barang milik orang lain
7
Taha kuuk tomat rir rereang neblo
tahan/tidak bayar upah orang lain dengan benar

Penjelasananya :
  i.         Seluruh pasal Sasa Sor Fit Hukum Hawear Balwirin adalah bentuk konkrit dari pasal 7 Hukum Adat Larvul Ngabal. Vartayad (pasal 1 Sasa Sor Fut) punya arti yang luas sebagai sebuah larangan. Pengertian ini akan mewarnai pasal-pasal larangan berikutnya.
ii.         Putusan kehendak dalam pasal 1 Sasa Sor Fit baru mendapat bentuk nyata dalam pasal-pasal berikutnya. Karena orang menginginkan barang orang lain, maka ia mencuri (pasal 2), menyimpan barang curian (pasal 3), makan upah tanpa kerja (pasal 4), memungut barang orang lain tetapi tidak mau mengembalikannya (pasal 5), merusakan barang oran lain (pasal 6) dan tidak membayar upah orang lain secara benar (pasal 7).
iii.         Khusus mengenai pasal 3, rupanya tidak membedakan antara hasil curian yang dilakukan si penyimpan dan hasil curian yang dilakukan orang lain. Jadi, jika si ‘A’ yang menyimpan barang curian yang dicuri si ‘B’, maka perbuatan si ‘A’ tetap dipandang bersalah.
iv.         Hal istimewa mengenai pasal 4 adalah mengenai sikap malas dan cari yang gampang. Sikap ini bertentangan dengan kondisi alam Kei yang mengharuskan penduduknya bekerja keras dan tidak jadi orang yang harap gampang saja.
v.         Pasal 5 menekankan kejujuran ketika menemukan barang orang lain yang tercecer. Barang itu harus dikembalikan kepada pemiliknya dengan cara apapun.
vi.         Pasal 6, merusak dan membinasakan barang orang lain berarti merugikan sesama manusia. Ia perlu dilindungi dan dijaga dengan baik.
vii.         Pasal 7 memberi tekanan pada soal keadilan sosial. Orang harus bersikap adil kepada orang lain dengan cara menghormati haknya.
Uraian tentang Hukum Adat Larvul Ngabal di atas menunjukkan bahwa tidak ada uraian dari fasal-fasalnya, demikian juga dengan uraian dalam sasa sor fit-nya, yang menguraikan kaitannya dengan pengesahan strata sosial. Sumber lain menjelaskan bahwa strata sosial atas, mel-mel, strata tengah, ren-ren dan strata bawah, iriri, terbentuk lewat proses yang lama dengan multi sentuhan yang menjadikan bentukannya yang ada sampai sekarang.[11] Berkait dengan klaim bahwa keberadaan strata di Kei yang disebutkan bersumber dari Hukum Adat Larvul Ngabal, tampaknya sebuah analisis perlu diperhatikan.[12] Analisis itu menguraikan bahwa sejak kedatangan orang Bali sebagai pelaut dari Bali akibat runtuhnya Kerajaan Majapahit tahun l478 yang berdampak kepada pembentukan Hukum Larvul di Kei Kecil dan kemudian Hukum Ngabal di Kei Besar, maka diperkirakan penyatuan Hukum Larvul dan Hukum Ngabal menjadi Hukum Adat Larvul Ngabal terwujud sekitar tahun 1557/1567. Jika dihitung sampai har ini, maka Hukum Adat itu telah menuntun masyarakat Kei selama 458/448 tahun. Pasang-surut bentukan perilaku masyarakat Kei bergulir bersama perubahan waktu dengan semua dampak perkembangannya. Tiap orang berhak memberikan argumen dan analisa terhadapnya. Yang pasti, tan luw masih mewarnai dan menengahi perilaku perkawinan seorang laki-laki ren-ren dengan seorang perempuan iriri di Soindat.
Tan Luw Dalam Tatangan Sosial-Budaya, Ekonomi dan Berita injil
Tan luw sesungguhnya sejak lama telah menjadi sarana sosial adat yang ‘berjasa’ menolong masyarakat Kei dalam peekawinan lintas strata. Sekalipun pengalaman penetrasinya sebatas strata ren-ren ke iriri, namun telah tersedia jalur yang menghubungkan hakekat hubungan hidup dua insan manusia, laki-laki dan perempuan. Tampak jelas alur diskriminasi praktek adat Kei yang sangat patriarkhal; tan luw hanya menampung keteraturan perkawinan seorang laki-laki ren-ren yang boleh kawin dengan perempuan iriri. Ia ‘berjasa terbatas’ pada dua desa Reyamru dan desa Soindat saja. Dalam penelitian, ditemukan juga sikap sebagian besar orang strata mel-mel yang menolak mengakui tan luw.[13] Tokoh-tokoh adat dan tokoh-tokoh masyarakat mel-mel di desa-desa berpengaruh di Kei Besar Selatan seperti desa Weduar, Ohoiel, Ohoiwait dan Ohoirenan, menolak praktek angkat derajat itu. Demikian juga dengan yang dari desa-desa dengan pengaruh dominasi strata at ml-mel di desa-desa di Kei Besar Utara seperti di desa-desa Ad dan Mun-Warfan. Seorang informan[14] mel-mel menegaskan: “Tan luw itu hanya bagi orang ren-ren dan iriri di dua desa itu saja. Bukan untuk seluruh orang Kei.” Maksudnya, upacara angkat derajat tan luw hanya diakui di desa Soindat dan desa Reyamru. Di desa-desa lain di Kei, masyarakat menolaknya.
Selain itu, untuk memenuhi ganjaran tan luw bagi laki-laki ren-ren dengan membayar mas asli, juga sangat berat. Sebuah mas asli dengan berat sekitar 2 gram saja, harganya sudah jutaan rupiah. Apalagi jika putusan Sidang Adat menetapkan jumlah mas adat lebih dari 1 buah. Di desa Soindat, tidak semua keluarga dan kerabat dari laki-laki ren-ren yang harus melaksanakan tan luw, sedia melibatkan diri untuk menanggung pengadaan emas tersebut. Belum lagi daya dukung ekonomi sebagai sumber pendapatan warga desa Soindat yang hanya bergantung dari hasil kebun, hasil olah kopra dan memancing, yang kecil jumlah dan hanya dapat digunakan untuk konsumsi keluarga.
Kondisi lain juga adalah menyangkut imej kedudukan perempuan dalam upacara tan luw yang menempatkan seorang perempuan iriri yang kawin dengan seorang laki-laki ren-ren, yang diangkat derajatnya. Secara formal tan luw adalah sebuah upacara adat formal. Kendatipun demikian, mengangkat derajat atau menarik ke atas status sorang manusia pempuan dari posisi bawah ke posisi atas mengikuti suaminya merupakan sebuah suasana tidak adil. Banyak pertanyaan mengemuka mengritiknya dan salah satu di antaranya adalah debat sekitar posisi perempuan dalam pemahaman orang Kei. Di sana ada dua alasan seseorang rela berjuang sampai mengorbakan jiwa yaitu mengenai soal tanah dan soal saudara perempuan. Posisi perempuan demikian dihargai, sebab darinya kelangsungan kehidupan bermula. Seorang ibu dengan jiwa dan raganya berkorban bagi pewarisan kehidupan anak-anaknya; ia mulia dan dikasihi seumur hidupnya karena nilai kasih sayang yang diwariskan kepada anak-anaknya.  
Tantangan muncul juga dari sudut pemahaman agama berkait keyakinan iman Kristen tentang tan luw menyangkut kebebasan sesama manusia yang percaya kepada pengorbanan Tuhan Yesus yang sudah menyelamatkan semua orang yang prcaya kepada-Nya. Bahwa di dalam kematian dan kebangkitanNya, laki-laki dan perempuan entah berstrata ren-ren atau iriri, sama kedudukannya di dalam menerima anugrah keselamatan-Nya. Transformasi sikap hidup yang percaya kepada pengurbanan Tuhan Yesus mestinya menjadi perubahan sikap hidup baik untuk kawin lintas strata dan terutama hidup sebagai sesama, lepas dari batasan strata[15]
Telah umum diketahui bahwa pewarisan nilai-nilai iman Kristen telah lama masuk di Kei dan telah menyebar dari Ta’ar sampai ke seluruh Kei Besar, seluruh Maluku Tenggara dan sampai ke Papua. J. Vriens[16] mencatat bahwa agama Kristen Protestan masuk di Kei pada tahun 1902 dan diterima oleh orang-orang di desa Ta’ar. Akan tetapi menurut Sejarah Injil Masuk di Ta’ar,[17] agama Kristen Protestan mulai masuk di Kei terjadi pada tanggal 13 Maret 1897. Kedatangannya berawal dari Lobak Daniel Tarantein, seorang Ta’ar pertama, yang dibaptis di Gereja Victoria di Ambon pada tanggal 12 Januari 1897. Kemudian tanggal 13 Maret 1897 di desa Ta’ar dibaptis tujuh  anak desa Ta’ar oleh pendeta Frederick Kans Mooi. Tujuh orang, buah baptisan pertama itu, di kemudian hari menjadi Penginjil yang menyebar ke Kei Besar, ke Aru, Tanimbar sampai Tenggara Jauh dan juga ke Papua. Jika dihitung sejak awal masuknya agama Kristen Protestan di Ta’ar, Kei Kecil 1897, maka telah 118 tahun orang Kei mengenal berita Injil Yesus Kristus, Tuhan dan Kepala Gerejanya. Gereja Protestan Maluku (GPM) berdiri sejak 1935 yang juga telah membangun hidup persekutuan, pelayanan dan kesaksiannya di Kei. Itu berarti dalam rentang waktu yang begitu lama, tokh 80 tahun pelayanan GPM sebagai agen transformasi sikap hidup Kristiani belum efektif menggarami perkawinan lintas strata yang diskriminatif di Kei. Berita Injil dalam fokus Imamat Am Orang Percaya masih sangat jauh dari pencapaian berita pembebasan Tuhan Yesus yang menyelamatkan semua orang datang dan percaya kepada-Nya supaya diselamatkan (Matius 28:18-20).
Saya berpendapat bahwa tan luw harus terus menjawab kasus perkawinan lintas strata di Soindat. Sementara itu evaluasi diri anggota Jemaat Soindat tentang pembebasan Tuhan Yesus lewat pengorbanan kematian sampai karya kebangkitan-Nya yang telah menyelamatkan orang yang percaya kepada-Nya mesti menjadi landasan mereka berupaya mengalami transformasi hidup oleh kuasa Roh Kudus. Realitas perubahan mirip tan luw sudah beberapa kali terjadi di desa Ohoira. Di tahun 1998 seorang perempuan ren-ren dari desa Ohoiel di Kei Besar, kawin dengan laki-laki mel-mel dan mereka melakukan upacara adat untuk menebusnya. Ada sejumlah emas asli dan beberapa bentuk materi harta benda menyertainya. Demikian juga di tahun 2000, seorang laki-laki ren-ren dari desa Ohoinangan, kawin dengan perempuan mel-mel Ohoira.



[1] Tulisan ini bersumber dari penelitian lapangan selama bulan Juni-Juli 2014 di desa Soindat, Kecamatan Kei Besar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara
[2] Joko Prokoso, I Ketut Mustika. Asas-asas Hukum Perkawinan (Jogjakarta PT. Bina Aksara, 1987), hal. 12
[3] Laksono 1989, halaman 88-92)
[4] Hawear dalam bahasa Kei dapat berarti Hukum Adat, pusat desa (Kei, Ohoi) dan dapat juga berarti sasi atau tanda larangan. Yang disebut di desa Soindat adalah pusat desa, sebuah tempat yang dipandang keramat sebab dari situ masyarakatnya pernah dijanjikan oleh para leluhurnya supaya hidup dalam kebersamaan yang taat kepada hukum adatnya, Hukum Adat Larvul Ngabal, lihat Sedubun, halaman 11-12
[5] Wawancara denga Bpk M. Rahantali (Tuan Tanah) tanggal 20 juli 2014
[6] Wawancara tanggal 18 Juli 2014.
[7] Wawancara dengan Bpk K. Rahayaan, tanggal 20 agustus 2014
[8] Hasil wawancara denga Bpk M.Rahantali (Tuan Tanah) tanggal 25 juli 2014
[9] Ohoitimur 1981
[10] Ohoitimur 1981, halaman 84-85).
[11] Lihat Sedubun 2011, halaman  
[12] Lihat Sedubun 2001, halaman 12-13
[13] Wawancara dengan AR di Ohoirenan, 12 Juni  di Ohoiwait; wawancara dengan BK 14 di Ohoiwait, Juni 2014; wawancara dengan PT di Ohoiel tanggal 18 Juni 2014; wawancara dengan KK di Weduar, 21 Juni 2014. Para informan ini meminta namanya diberi inisial saja.
[14] Wawancara dengan TR di Mun-Warfan, tanggal 9 Juni 2014. Informan minta amanya dengan inisial.
[15] Banawiratma 1990, halaman 18-22
[16] Vriens 1972, halaman 195-196
[17] MJ GPM Ta’ar 2009

Pustaka:
1.       J. B. Banawiratma, Spiritualitas Transformatif, Suatu pergumulan Ekumenis, Yogyakarta 1990,  Kanisius
2.       Joko Prokoso dan I Ketut Mustika. Asas-asas Hukum Perkawinan (Jogjakarta PT 1997. Bina Aksara
3.       J. Ohoitimur, Beberapa Sikap Hidup Orang Kei : Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan, (Thesis), Manado 1981, STS Pineleng
4.       J. Vriens, Sejarah Gereja Katolik di Indonesia,  Keuskupan Katolik, Maumere 1997, Lodalero
5.       Nicodemus Sedubun, Kalimat-unSawa Dalam Qur’an, Sebuah Sumbangan Pemahaman Aqidah IslamTerhadap Sumpah Perdamaian Hawear (Tesis), Yogyakarta 2001, PPS-T UKDW
6.       --------------------------, Ain Ni Ain; Mengelola Hubungan Hidup Kristen-Islam Di Maluku Tenggara, Disertasi, Yogyakarta 2010, PPS-T UKDW-ATU
7.       P. M. Laksono, Wuut Ain Mehe Nifun, Manut Ain Mehe Tilor (Eggs from One Fish and One Bird, a Study of the Maintenance of Social Boundaries in the Kei Island-Dessertation), Ithaca 1989, Cornel University

Tidak ada komentar:

Posting Komentar