Oleh: Dr. Nicodemus. N. J. Sedubun, M.
Th
Tan Luw Dalam Masyarakat Soindat
Perkawinan merupakan sebuah
peristiwa penting bagi dua orang manusia, laki-laki dan perempuan, yang
dipersatukan demi hidup bersama sebagai suami-isteri. Sebelum memasuki
perkawinan, sebagai muda-mudi mereka melewati tahap-tahap menjalin hubungan
percintaan melalui pacaran, pertunangan dan kemudian memasuki perkawinan.[2]
Namun, diakui bahwa tidak semua perkawinan harus melewati tahap yang disebutkan
di atas. Ada pasangan yang bertunangan dulu baru menikah, tetapi ada juga yang
langsung menikah.
Orang Kei di Maluku Tenggara
terdiri dari tiga strata sosial yaitu strata sosial atas atau mel-mel, strata tengah atau ren-ren dan strata sosial bawah atau iriri. Paskalis Maria Laksono
menyebutnya sebagai pelapisan sosial.[3]
Sebutan lokal lain di antara orang Kei adalah kasta. Selanjutnya saya
menyebutnya strata. Orang Kei adalah sebutan khas bagi masyarakat lokal di Kei.
Sebutan lebih eksklusif adalah suku Kei. Di Kei, tidak boleh terjadi perkawinan
lintas strata. Pasangan yang mau kawin harus berasal dari strata yang sama; mel-mel dengan mel-mel, ren-ren dengan ren-ren dan iriri dengan iriri. Kendati
aturan adat perkawinan di Kei melarangnya, namun terjadi juga perkawinan lintas
strata. Akibatnya sanksi adat melanda pasangan itu seperti yang dikemukakan dalam
uraian tulisan ini.
Di desa Soindat hanya ada dua
strata, yaitu strata tengah, ren-ren
dan strata bawah, iriri. Di sini, perkawinan
lintas strata “dibolehkan” dalam beberapa keadaan. Uraian tentangnya akan
dijelaskan kemudian. Upacara adat terhadapnya disebut upacara angkat derajat
yang dalam bahasa Kei disebut tan luw.
Upacara ini hanya berlaku bagi seorang laki-laki ren-ren yang kawin dengan seorang perempuan iriri. Tidak sebaliknya. Oleh masyarakat di Soindat, perkawinan itu
disebut sebagai perkawinan yang salah. Sebab, ia telah melawan adat Kei yang
hanya membolehkan perkawinan sestrata, bukan lintas strata. Untuk itu dibuat tan luw supaya perempuan itu diangkat
derajatnya dari strata iriri menjadi
strata ren-ren mengikuti suaminya. Upacara
tan luw dilakukan dengan membawa mas tail teel berupa emas yang
benar-benar emas atau emas asli. Kemudian emas itu oleh seorang Saniri Ohoi Kepala menaruhnya di Hawear[4] yang
bagi masyarakat Soindat merupkan pusat desa atau pusat Ohoi. Mas tail teel tidak boleh berupa mas palsu. Untuk itu, jika
hendak melakukan upacara tan luw,
maka jauh sebelumnya keluarga laki-laki harus mempersiapkan emas asli dan sirih
pinang. Sebab, apabila emas yang diberikan itu emas biasa atau bukan emas asli,
maka laki-laki yang kawin dengan perempuan iriri
termasuk juga tua adat yang melakukan upacara tersebut akan meninggal
dunia. Oleh karena itu, persiapan emas untuk melakukan upacara itu haruslah
benar-benar asli.
Emas itu harus dipersiapkan oleh
kedua keluarga yang anaknya melakukan
perkawinan tersebut. Pihak yang lebih banyak bertanggungjawab mempersiapkan
emas itu adalah orang tua atau keluarga dari laki-laki ren-ren. Setelah emas sudah disiapkan, maka keluarga dari pasangan
yang melakukan perkawinan tersebut membawa
emas itu kepada Saniri Ohoi Kepala. Setelah Saniri Ohoi Kepala menerima mas
itu, ia memberitahukan kepada para anggota Saniri
Ohoi yang lain tentang maksud dan tujuan dari keluarga. Pemberitahuan itu
sekaligus merupakan undangan untuk melakukan rapat bersama dengan para Saniri Ohoi dan para orang tua-tua
untuk menentukan kapan akan di laksanakan upacara tan luw.
Biasanya upacara tan luw di lakukan di pagi hari tepat pada
waktu matahari terbit dengan melibatkan semua masyarakat Ohoi Soindat. Upacara dilakukan di tengah kampung (desa, pusat
kampung), sehingga bagi siapa saja yang ingin melihat jalannya upacara tersebut
dapat hadir dalam upacara dimaksud. Pantangan hanya berlaku terhadap perempuan iri-ri yang hendak diangkat derajatnya. Ia
tidak diijinkn mengikuti upacara itu dan hanya boleh melihatnya dari dalam
rumah atau dari kejauhan. Sebab, apabila ia mendekat pada tempat itu dan
bayangannya sampai pada hawear
tersebut maka ia akan mengalami kematian.
Upacara tan luw di lakukan oleh Saniri
Ohoi Kepala, dan disaksikan oleh seluruh warga kampung. Upacara itu dimulai
dengan doa bersama yang dipimpin oleh seorang Pendeta dan setelah itu doa oleh Saniri Ohoi Kepala kemudian ia membawa piring berisi satu
atau dua emas yang ditutupi dengan kain (sarvet)
lalu berjalan menuju tempat hawear
(pusar kampung) dan diikuti oleh masyarakat yang mau melihatnya. Ketika tiba di
tempat itu, Saniri Ohoi Kepala meletakan
piring dan menggali lubang yang sudah ada sebelumnya yang di dalamnya ada satu
buah mangkok untuk menaruh emas yang dibawanya. Setelah menggali, mengangkat
dan mencuci mangkok tersebut maka dengan berdoa adat dalam bahasa Kei, ia
mengambil emas itu dan meletakkannya dalam mangkok. Sesudah itu mangkok yang
berisikan emas tersebut dimasukan kembali ke dalam lubang tadi dan ditutup
kembali; lalu ia pulang ke rumahnya dan dilanjutkan dengan berdoa syukur yang
dipimpin oleh pendeta. Setelah itu, ia makan bersama dengan semua warga Ohoi.
Jika orang tua dari laki-laki (ren-ren) tidak mau menerima perempuan
dari pihak iri-ri untuk kawin dengan
anak mereka, maka yang di lakukan ialah pemutusan hubungan perkawinan atau
dalam bahawa Kei disebut tetat ngelak.
Upacara ini di lakukan dalam ruangan di balai desa, yang hanya di hadiri oleh
orang tua laki-laki dan orang tua perempuan serta beberapa Saniri Ohoi. Yang akan
melakukan upacara tetat ngelak ialah
seorang Saniri Ohoi Kepala yang sudah di
percayakan untuk melakukan upacara tersebut. Upacara pemutusan perkawinan itu
di lakukan dengan menggunakan bulu (bambu,
bahas Kei, wur) dan parang. Bulu yang dipakai adalah bulu muda. Maksud penggunaan kedua alat
itu ialah untuk memutuskan hubungan keduanya dan tidak boleh disambung kembali.
Caranya ialah laki-laki (ren-ren)
memegang salah satu ujung bulu yang
sudah disiapkan dan perempuan (iri-ri)
juga memegang ujung lainnya. Seorang Saniri
Ohoi yang sudah dipercayakan untuk melakukan pemutusan perkawinan itu
memulai berdoa pemutusan sebelum pemotongan bulu
itu di lakukan. Berikut doa tetat ngelak;
Duang e, haran it vo am tetat wenan hir wain ru ot vavau i
I
ya an be fo in langgar berarti in taha dos ni teten in tal dunia i famehe in
dat he
Artinya: (terjemahan
bebas):
Tuhan Yang Mahakasih, saya/kami bawa orang ini dengan
pengakuannya
Dia berjanji tidak akan melanggar janjinya untuk tidak
berbuat dosa lagi
Yang akan menjadi beban tanggungan hidupnya ke masa depan
Setelah selesai berdoa adat dan melalukan
pemotongan bulu
dalam upacara
pemutusan perkawinan tersebut, maka secara adat mereka berdua telah dipisahkan
dan tidak ada jalan apapun yang akan mempertemukan mereka. Keduanya tidak
diijinkan untuk saling menegur, menyapa atau mengirim salam pun tidak. Apabila
hal itu terjadi, maka mereka yang akan menanggung resikonya. Pemutusan terhadap
perkawinan itu berarti seumur hidup, mereka tidak boleh kawin lintas strata
melainkan hanya kawin dengan sesama stratanya.
Si laki-laki dan demikian juga si
perempuan harus kawin menurut tingkat sederajat dalam stratanya; jika laki-laki
strata ren-ren, maka ia harus kawin
dengan seorang perempuan dari strata ren-ren.
Demikian juga dengan si perempuan, ia harus kawin dengan seorang laki-laki yang
satu strata dengannya. Di Soindat, konteks kesederajatan menempatkan masyarakat
mesti berada dalam suatu kondisi di mana dalam
perbedaan dan keragaman yang
ada, manusia tetap memiliki satu kedudukan yang sama dalam
satu tingkatan hierarki. Sanksi tetat ngelak ini bercermin dari Sasa Sor
Fit fasal 1: Hukum Adat Hawear Balwirin,
yaitu vartayad, yang berarti tidak boleh menginginkan barang orang lain secara tidak sah (lihat dalam uraian
selanjutnya). Bahwa ukuran pelanggaran terhadap Hukum Adat Hawear Balwirin dan Sasa Sor Fit yang disebutkan di atas tidak
dapat diukur besaran dendanya. Sebab, ketentuannya lebih bergantung pada
putusan Sidang Adat. Memang ada pelanggaran atas pasal-pasal Sasa Sor Fit yang dapat ditentukan
dendanya, tetapi ada juga yang tidak. Untuk itu Sidang Adat perlu memberikan
nasehat atau pengarahan untuk tidak melanggarnya kembali.
Hukuman
Adat Bagi Perkawinan Lintas Strata
Menurut seorang informan,[5] munculnya upacara tan luw bermula pada saat terjadinya perkawinan lintas strata untuk
pertama kali pada zaman dulu. Keluarga laki-laki ren-ren dan keluarga perempuan iriri
berkelahi untuk membela dan mempertahankan kerabat mereka yang melakukan
perkawinan lintas strata tersebut. Kendati perkelahian itu terjadi dengan
harapan dapat menghentikan atau memisahkan hubungan kedua sejoli, namun
perkawinan itu tidak dapat di hentikan, sehingga para leluhur membuat sebuah
sanksi adat berupa hukuman bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut dengan
menetapkan tan luw atau upacara
angkat derajat. Tradisi tan luw masih
terus berlangsung sampai sekarang di desa Soindat.
Pada umumnya di Kei Besar dan Kei
Kecil, bagi mereka yang melakukan perkawinan lintas strata berlaku sanksi
hukuman adat. Sanksi adat terhadap perkawinan lintas strata berlaku untuk
perkawinan di antara strata atas mel-mel
dengan strata tengah ren-ren atau
strata atas mel-mel dengan strata
bawah iriri atau strata ren-ren dengan strata mel-mel dan strata ren-ren dengan iriri,
atau strata iriri dengan mel-mel dan iriri dengan ren-ren.
Bentuk-bentuk sanksi adatnya seperti berikut:
No
|
Sanksi
|
Aksi
|
1
|
Taur ba
foof (Kasih hanyut)
|
Dihanyutkan di laut atau di
sungai dengan tujuan akhir kematian
|
2
|
Loduk (Ditenggelamkan)
|
Ditenggelamkan di laut lepas
dengan pemberat
|
3
|
Fakloy
sang wolin (gantung)
|
Digantung terbalik dengan kaki di
atas dan kepala di bawah
|
4
|
Watuk (Buang)
|
Di buang di hutan belantara
|
5
|
Tiwak
wawain (Kubur)
|
Di kubur hidup-hidup; ditanam
dalam kolam tanah
|
6
|
Tetat
Ngelak (Pemutusan
hubungan)
|
Pemisahan hubungan sosial dalam
masyarakat
|
7
|
Tufut sai
il (Tebus kembali)
|
ditebus dengan bayaran dan kemudian
menjadi hamba bagi penebusny
|
8
|
Tan Luw (Angkat derajat)
|
upacara adat dengan pembayaran
materi tertentu
|
Dari delapan sanksi adat bagi
orang Kei yang melakukan perkawinan lintas strata, yang masih berlaku sampai
sekarang ini adalah sanksi tetat ngelak,
tan luw dan sanksi tufut sai il. Sebelumnya, tan luw
dan tetat ngelak telah diuraikan
secara panjang lebar. Tufut sai il
artinya tebus kembali, merupakan
sanksi adat yang diberikan kepada seorang laki-laki iriri yang “nekat” kawin dengan seorang perempuan ren-ren. Tebus kembali dengan membayar
semua sanksi tanggungan materi yang dituntut sesuai sanksi adat Kei kepada si
laki-laki. Sanksi adat itu berupa membayar emas yang ketentuan jumlah dan
mutunya mesti mendengar putusan Sidang Adat Saniri
Ohoi. Emasnya harus asli, sama seperti dalam tan luw. Yang memimpin Sidang Adat untuk memutuskan besaran sanksi
adat adalah Raja dan Saniri Ohoi.
H. Rahantali[6] seorang
anggota Saniri Ohoi di desa Soindat
mengatakan bahwa sekarang ini kasus tufut
sai il ditanggapi dengan sikap dan pemahaman yang berbeda. Biasanya
penetapan membayar mas yang asli dengan jumlah relatif banyak sesuai ketentuan
putusan Sidang Adat, sulit dibayar oleh si laki-laki. Untuk itu kasus ini,
biasanya ada seorang penebus yang membayar putusan Sidang Adat tersebut. Ia
sedia membayar semua putusan sidang adat dengan pamrih akan menjadikan si
laki-laki iriri yang kawin dengan
perempuan ren-ren, sebagai seorang
pekerja baginya seumur hidupnya. Memang dari segi materi, tampaknya sanksi ini
tidak terlalu berat. Sebab, si laki-laki ditebus dari sanksi materi dan
anak-anaknya mengikuti fam-nya. Dari
hak untuk mendapatkan bagian dalam keluarga besarnya, juga terpelihara; suara
atau hak bicaranya dalam pengambilan keputusan terhadap sesuatu masalah dalam
persekutuan keluarga besarnya, tetap ada. Namun sanksi adat tufut sai il beresiko. Sebab, laki-laki
yang telah ditebus itu harus bekerja seumur hidup kepada orang yang menebusnya.
Seorang informan[7]
menjelaskan bahwa sudah lama sekali tufut
sai il tidak terjadi di desa Soindat. Pernah ada di tahun 1956. Tetapi,
karena dampak pengaruh perkembangan zaman telah membuka mata orang Soindat
terhadap beratnya sanksi adat. Selain itu kepatuhan masyarakat Soindat terhadap
adat-istiadat-nya sendiri menghambat perbuatan-perbuatan untuk melanggar Adat.
Oang Kei sangat menolak perkawinan
lintas strata. Sebab, menurut mereka, hal itu dapat mempengaruhi harkat,
martabat, wibawa dan kedudukan sebuah fam
dalam masyarakat dan keselamatan pasangannya. Oleh karena itu, jika terjadi
perkawinan lintas strata, maka harus segera dilakukan upacara-upacara adat
untuk memulihkan semua perkawinan yang menyalahi aturan adat, supaya
menghindarkan mereka dari hukuman sosial dan hukuman dari leluhur yang berat.
Sebab jika tidak, maka berbagai resiko pasti ditanggung oleh pelanggar adat
tersebut.
Di Kei pada umumnya dan di Kei
Besar pada khususnya, hanya ada dua desa yang menjadi tempat untuk melakukan
upacara tan luw yang disebut dengan dabsu dan dabrat. Dabsu berada di desa Reyamru,
sedangkan dabrat berada di desa
Soindat. Kedua desa ini yang menjadi tempat untuk melakukan upacara tan luw. Dua desa ini seluruh
penduduknya berstrata ren-ren dan iriri tanpa ada campuran dari strata mel-mel. Karena desa Reyamru letaknya di bagian bawah maka
disebut dabsu (bahasa Kei untuk su berarti bawah, dapat diartikan juga
daerah belakang) dan desa Soindat yang
letaknya di bagian atas maka di sebut dabrat
(bahasa Kei untuk rat berarti
atas atau daerah depan). Dabsu berada
di desa Reyamru yang terletak di
bagian utara, Kecamatan Kei Besar Utara, Kabupaten Maluku Tenggara; sedangkan, dabrat berada pada desa Soindat yang
terletak di bagian barat, Kecamatan Kei Besar Selatan, Kabupaten Maluku
Tenggara. Kedua Dabsu dan Dabrat merupakan tempat untuk melakukan
upacara tan luw. Tujuan dari upacara
tersebut adalah untuk mengangkat
derajat perempuan iri-ri yang
melakukan perkawinan dengan laki-laki dari strata ren-ren.
Desa-desa yang
termasuk dalam kawasan dabsu adalah:
Reyamru, Soindrat, Yamtimur, Nabaheng, Larat, Nerong, Mataholat, Watuar,
Ohoirenan Dan Ohoiwait. Desa-desa yang termasuk dalam kawasan dabrat adalah: Tamangil, Hako, Soindat,
Hoat, Ngafan, Bafol, Rerean, Lenggiar Fer, Watkidat, Uat Ngan, Ohoilean,
Kilwat, Sather, Tutrean dan Weduar.
Dua
desa yang menjadi pusat dari upacara tan
luw itu adalah desa-desa yang dikategorikan sebagai desa yang tak
bercampur, artinya sejak para leluhur ada, di desa tersebut seluruh penduduknya
berstrata ren-ren yang disebut dengan
ren kanamun (dalam bahasa Kei kanamun artinya utuh) dan selama itu
pula tidak ada campuran antara strata-strata yang lain. Karena hanya satu
strata, maka para leluhur menentukan kedua desa itu sebagi pusat (tempat)
penyimpanan sekaligus tempat dilakukannya upacara tan luw itu.[8]
Berikut adalah penetapan
membayar harta untuk perkawinan se strata di Kei Besar. Ukurannya adalah
sebagai berikut:
No
|
Strata
|
Bentuk Harta
|
||
Benda
|
Jumlah
|
Uang Rp
|
||
1
|
Mel-mel dengan mel-mel
|
Lela (sad-sad)*
|
4 buah
|
400.000
|
Emas
|
4 buah
|
|||
2
|
Ren-ren dengan ren-ren
|
Lela (sad-sad)*
|
3 buah
|
300.000
|
Emas
|
3 buah
|
|||
3
|
Iriri dengan iriri
|
Lela (sad-sad)*
|
2 buah
|
200.000
|
Emas
|
2 buah
|
*). Lela atau sad-sad adalah sebuah meriam Portugis, yang untuk sekarang ini,
ukuran terkecil sepanjang satu hasta harganya Rp 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah)
Tan Luw dan Hukum Adat Larvul
Ngabal.
Gambar 1, Lela sepanjang 3 hasta (dokumen,
warbal-nick)
|
Hukum Adat Larvul Ngabal [9]
terdiri dari 7 pasal, yaitu :
Fasal
|
Hukum Adat
|
Arti
|
1
|
Uud entauk atvunad
|
Kepala kita bertumpu pada tengkuk kita
|
2
|
Lelad ain fo mahiling
|
Leher kita dihormati,
diluhurkan
|
3
|
Ul nit envil atumud
|
kulit membungkus badan kita
|
4
|
Lar nakmud ivud
|
Darah
tinggal tenang dalam perut kita
|
5
|
Rek fo mahiling
|
Perbatasan (ambang abu) dihormati
|
6
|
Moryain fo
kelmutun
|
Kemurnian perkawinan
harus dihormati
|
7
|
Hira ni ntub fo i
ni, it did ntub fo it did
|
Milik orang tetap milik orang, milik kita tetap milik
kita
|
Tujuh
pasal Hukum Adat Larvul Ngabal itu
bermuara pada tiga gagasan pokok, yaitu :
No
|
Fasal Hukum Adat
|
Ruang Cakup Hukum Adat
|
Nama Hukum Adat
|
A
|
Pasal 1,
2, 3 dan 4
|
Hukum
tentang Hubungan sosial di antara
manusia,
|
Hukum Navnev
|
B
|
Pasal 5
dan 6
|
Hukum tentang Kesusilaan
|
Hukum Hanilit.
|
C
|
Pasal 7
|
Hukum
tentang Hak Milik
|
Hukum Hawear
Balwirin.
|
A.
Hukum Navnev
Pasal 1, Uud entauk advunad.
Secara harafiah uud entauk advunad berarti kepala kita bertumpu atau bersatu pada tengkuk/pundak kita. Kepala
dipandang sebagai bagian tubuh terpenting, terletak paling tinggi dan di
bawahnya terdapat sekujur bagian tubuh manusia lainnya. Fungsi kepala adalah
harus memperhatikan, memikirkan, melihat, menjaga dan melindungi keselamatan
anggota-anggota tubuh manusia lainnya. Dari pandangan seperti itu, ada beberapa
pemahaman seperti berikut :
a.
Sebagai pemimpin rakyat (raja,
kepala kampung/dusun, kepala fam, kepala adat) kekuasaannya harus dihormati,
karena dialah kepala masyarakat; ia harus melindungi dan memperhatikan nasib
masyarakat. Ia bekerjasama dengan rakyatnya demi kesejahteraan bersama.
b.
Pasal ini juga menegaskan satu
penghargaan terhadap hak dan martabat orangtua dalam keluarga. Orangtua yang
mengatur, melindungi dan memelihara warga keluarga. Hak istimewa orangtua
adalah mengatur perkawinan anak-anak. Hak ini harus dihormati sebab orangtua
adalah wakil yang ilahi dalam keluarga besar kosmos, ia adalah wakil ilahi yang
hadir di dunia ini (Duad kebav =
wakil Tuhan). Anak-anak harus patuh dan menghormati orangtua, seperti pepatah Teen fo teen, yanyanat fo yanyanat = orangtua
tetap punya kedudukan sebagai orangtua dan anak-anak tetap punya kedudukannya sebagai anak-anak.
c.
Mewajibkan orang Kei untuk bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Manusia harus beribadah kepada Tuhan, Duad, sebagai Penguasa Tertinggi,
pemberi segala anugrah dan Hakim Yang Mahakuasa. Dialah Kepala atas manusia, alam
semesta dan roh-roh.
Pasal 2, Lelad ain fo mahiling, artinya leher kita dihormati, diluhurkan.
Secara
harafiah isi pasal ini berarti leher kita dihormati, diluhurkan. Menurut
pandangan orang Kei, leher adalah
pusat kehidupan, kebenaran dan kemuliaan. Tegasnya, leher adalah pusat dan jaminan hidup manusia. Pemahaman tentangnya
adalah :
a.
Hidup dan kehidupan itu bersifat
luhur, suci adanya. Karena itu hidup seseorang tak boleh diganggu gugat, tetapi
harus dihormati. Secara eksplisit pasal ini nenekankan tentang perikemanusiaan
di mana hak hidup orang lain mesti dihormati.
b.
Meluhurkan, harus mempertahankan,
menghormati dan melindungi kebenaran. Kebenaran yang dimaksudkan adalah hukum.
Dengan demikian, bertindak melawan kebenaran, maka sama saja dengan menodai
kehidupan. Sebab hukum adalah sumber yang mengatur tata-tertib hidup manusia.
Pasal 3, Ul nit envil atumud, artinya, kulit membungkus badan
Secara
harafiah, pasal ini berarti kulit membungkus badan atau tubuh kita. Pemahaman
pasal ini adalah :
a.
Nama baik orang lain harus
dipelihara, kesalahannya tidak boleh digembar-gemborkan. Menceritakan
kekurangan orang lain berarti merusakan keutuhan hidupnya di antara sesama
manusia. Dalam hubungan sesama manusia, pasal ini sering diterjemahkan sebagai
“jangan memfitnah.”
b.
Kesalahan orang lain harus
“ditutupi” atau dipulihkan. Di sini pertanggungjawaban atas sebuah kesalahan
harus dipulihkan. Pemulihan ini dalam bentuk membayar denda seperti pengutuhan
kembali kulit yang membungkus tubuh.
Pasal 4, Lar nakmud ivud, artinya,
darah tinggal tenang dalam perut
Secara harafiah pasal ini berarti: darah tinggal dalam perut
kita. Menurut pandangan orang Kei, faham itu berarti darah tidak boleh
dikeluarkan dari perut, bahkan dari seluruh tubuh manusia. Pandangan ini berhubungan
dengan pandangan orang Kei tentang kelahiran baru. Menurut pandangan itu, perut adalah tempat di mana satu manusia
dibesarkan sebelum dilahirkan ke dunia. Manusia kecil itu bisa hidup dalam perut (kandungan ibu) karena di sana ada
yang menghidupkannya. Faham ini mengartikan :
a.
Tubuh manusia jangan dirusakan atau
dilukai sampai mengalirkan darah. Pasal ini melarang penganiayaan dan menolak
kekejaman yang mengakibatkan penumpahan darah.
b.
Penumpahan darah berarti pembunuhan.
Karena itu ayat ini dengan tegas melarang pembunuhan, sebab bertentangan dengan
hak hidup dan martabat hidup manusia.
Perlu
diingat bahwa Hukum Navnev, bersifat
simbolik dengan memakai organ-organ tubuh manusia secara terpadu. Di dalamnya
juga terkandung faham kosmologi Kei yang menyatakan bahwa yang ilahi itu
tinggal bersama-sama dengan manusia, ia berintegrasi dengan manusia di mana ada
satu keluarga besar, yang ilahi dan manusia tingal dalam satu dunia. Dengan
demikian, bersahabat dengan dunia manusia juga berarti bersahabat dengan dunia
ilahi. Karena itu dapat dimengerti bahwa orang Kei yakin bahwa jika melakukan
kesalahan kepada orang lain, maka si pelaku pasti akan terkena hukuman ilahi.
Bahwa orientasi hidup manusia menurut pandangan asli orang Kei, ialah
kekerabatan antara sesama manusia, yang di dalamnya tesirat kekerabatan dengan
yang ilahi.
Sasa Sor Fit
“Sasa”
atau biasanya disingkatkan dengan “Sa” berarti satu kesalahan. “Sor” berarti helai,
atau bagian. Kata ini biasanya
dipakai untuk menyebut jumlah utasan tali. “Fit” berarti tujuh. Jadi, Sasa Sor Fit atau Sa Sor Fit berarti kesalahan
yang terdiri dari tujujh bagian. Kadang dipahami sebagai kealahan berlapis
tujuh. Masing-masing tema Hukum Adat Larvul
Ngabal yaitu: Hukum Navnev, Hukum
Hanilit dan Hukum Hawear Balwirin, punya konkritisasi
dalam Sasa Sor Fit. Tiap-tiap
pelanggaran terhadap Hukum Navnev
yang mengatur Hubungan sosial di antara
manusia, atau Hukum Hanilit yang
mengatur tentang kesusilaan atau
Hukum Hawear Balwirin yang mengatur
tentang hak milik, akan dikenakan
sanksi sebanyak tujuh bagian atau Sasa
Sor Fit. Berikut uraiannya:
Sasa
Sor Fit Hukum Navnev :
Sanksi
|
Sasa Sor Fit
|
Arti
|
1
|
Mu’ur
nar-auban fakla
|
mengatai, menyumpahi
|
2
|
Haung
hebang
|
berencana/berniat jahat
|
3
|
Rasung
amu-rudang dad
|
mencelakakan dengan cara black magic
|
4
|
Kev
bangil
|
memukul, meninju
|
5
|
Tav
ahai-sung tahat
|
melempar, menikam, menusuk
|
6
|
Fedan
na-tetat vanga
|
membunuh, memotong, memancung
|
7
|
Tivak/luduk
fo vavain
|
menguburkan/menenggelamkan
hidup-hidup
|
Penjelasannya :
a. Pasal 1 Sa Sor
Fit Hukum Navnev adalah konkriritsasi
dari pasal 3 Hukum Adat Larvul Ngabal
–jangan memfitnah. Pasal ini melarang seseorang berbicara hal buruk tentang
orang lain dan melarang penyumpahan terhadap orang lain.
b. Pasal 2 Sa Sor Fit Hukum Navnev adalah konkritisasi juga dari pasal 3 Hukum Adat Larvul Ngabal yang melarang perbuatan
jahat batiniah (actus internus) terhadap sesama manusia
c. Pasal 3 Sa Sor Fit Hukum Navnev adalah konkritisasi pasal 2 Hukum Adat Larvul Ngabal, yang melarang tindakan menyusahkan orang lain dengan
kuasa black magic.
d. Pasal 4 Sa Sor Fit Hukum Navnev adalah konkritisasi pasal 2 Hukum Adat Larvul Ngabal, yang melarang memukul. Ia lebih nyata dari pasal 3
Sasa Sor Fit, yang masih berupa tindakan terselubung.
e. Pasal 5 Sa Sor Fit Hukum Navnev adalah konkritisasi pasal 4 Hukum Adat Larvul Ngabal, yang menyangkut perbuatan melempar, menikam dan
menusuk dengan benda tajam, terhadap sesama manusia.
f. Pasal 6 Sa Sor Fit Hukum Navnev adalah konkritisasi pasal 1 dan pasal 4 Hukum Adat Larvul Ngabal tentang membunuh (fedan na) dan memancung kepala atau
memisahkan kepala dari tengkuk.
g. Pasal 7 Sa Sor Fit Hukum Navnev adalah konkritisasi pasal 2 Hukum Adat Larvul Ngabal, yang melarang cara mematikan orang dengan
menenggelamkan dan menguburkan orang hidup-hidup.
Sanksi terhadap pelanggaran atas
Hukum Navnev ada dua, yaitu terhadap
pelanggaran yang mengakibatkan kematian dan pelanggaran yang tidak
mengakibatkan kematian. Bentuk sanksi-sanksinya adalah :
a. Pelanggaran yang
mengakibatkan kematian.
Di sini
sanksinya adalah seperti “jiwa ganti jiwa.” Pemahamannya demikian, karena menurut
pemahaman orang Kei, sebuah tindakan pembunuhan akan mengakibatkan bencana yang
pasti menimpa seisi desa asal si pembunuh. Bencana bisa berupa, penyakit,
huru-hara, gagal panen, kekacauan dalam desa atau bencana alam lainnya. Untuk
menanggulanginya, maka hukuman “jiwa ganti jiwa” secara simbolis ditimpakan
kepada pelaku dengan menenggelamkannya di laut atau menggali kubur dan siap
untuk menanamnya di tempat di mana ia melakukan pembunuhan. Di tempat itu
keluarganya harus menyiapkan harta tebusan tertentu yang harus dibayarkan
kepada keluarga korban.[10]
Besarnya dan bentuk harta tebusan itu sudah ditentukan dalam sebuah Sidang
Adat. Jika di tempat perkara dendanya ditebus oleh seseorang lain dan tidak
mampu ditebus oleh si pelaku, maka si pelaku menjadi hamba dari si penebus.
b. Pelanggaran yang
tidak mengakibatkan kematian. Sanksi atas pelanggaran seperti ini biasanya
diserahkan kepada keputusan dan kebijakan dalam sebuah Sidang Adat.
B. Hukum Hanilit
Pasal 5, Rek fo mahiling, artinya, perbatasan (ambang abu) dihormati
Pasal ini mengartikan ‘ambang abu’
atau rek artinya ambang masuk suatu
kamar (Belanda-drempel) dalam sebuah
keluarga fo mahiling atau harus
dihormati, diluhurkan, dijunjung tinggi dan dimuliakan. Bahasa Kei untuk rek adalah balok batas tepat di bagian
bawah pengalas pintu. Balok ini sebagai pembatasan seseorang boleh-tidaknya
masuk ke kamar wanita atau isteri orang. Pemahaman di baliknya adalah menjaga
diri terhadap wanita dan menghormati isteri orang. Karena itu, pasal ini
mengartikan:
a. Kamar orang
lain, khususnya kamar tidur, tidak boleh dimasuki oleh orang lain yang tidak
berhak. Khususnya penghormatan terhadap keluhuran dan kesucian wanita.
b. Menghormati
batas-batas pergaulan antara pria dan wanita, terutama batas-batas kesusilaan.
Pasal 6, Moryain fo kelmutun, artinya, perkawinan/kemurnian perkawinan harus
dihormati
Pasal ini mengartikan kamar tidur
wanita atau kamar tidur orang yang sudah kawin/menikah, harus dihormati.
Pemahaman di baliknya adalah :
a. Tempat tidur
wanita yang sudah maupun yang belum kawin, harus dihormati. Sebab tempat ini
sangat pribadi dan seorang laki-laki dilarang masuk tidur di dalamnya, kecuali
ia adalah seorang suami dari wanita pemilik kamar itu. Seorang laki-laki tidak
diperkenankan bergaul bebas dengan seorang wanita, terkecuali mereka itu
suami-isteri.
b. Tempat tidur
tidak boleh dinodai. Artinya, perkawinan atau pernikahan sebuah keluarga harus
dihormati dan diluhurkan.
c. Adalah sebuah
kewajiban untuk menghormati kaum wanita.
Sasa
Sor Fit Hukum Hanilit :
Sanksi
|
Sasa Sor
Fit
|
Arti
|
1
|
Sis af
|
panggil dengan lambaian tangan
atau mendesis
|
2
|
Kifuk
matko
|
main mata, kerling dengan kedipan
sebelah mata
|
3
|
Ngis
kafir/temar u mur
|
mencubit, senggol/kena depan atau
belakang busur
|
4
|
En a
lebak
|
meraih dan memeluk
|
5
|
Val
ngutun tenan, ne seran baraun
|
membalik penutup alas bawah
(lepas pakaian dalam)
|
6
|
Marvaan
fo ifun
|
menghamilkan di luar nikah
|
7
|
Manuu, marai
|
membawa lari atau merampas isteri
orang
|
Penjelasananya :
a. Pasal 1, 2, 3,
dan 4 Sasa Sor Fit Hukum Hanilit adalah konkritisasi dari pasal 5
Hukum Adat Larvul Ngabal, yang
berbicara tentang sopan santun dalam pergaulan antara pria dan wanita.
b. Menurut
pandangan orang Kei, isyarat panggilan dengan mendesis atau melambaikan tangan
(Sasa Sor Fit pasal 1) adalah tanda
untuk melakukan sesuatu yang diam-diam, terselubung dan itu tidak baik, sebab
pihak lain tidak mengetahuinya. Sikap ini tidak terbuka dalam kehidupan bersama
dan tidak baik, sehingga dilarang.
c. Main mata (Sasa Sor Fit pasal 2) dilihat sebagai
isyarat dari pihak lelaki terhadap wanita, atau sebaliknya, sebagai ungkapan
untuk bergaul sebagai suami isteri (bersetubuh). Karena itu, sikap ini
dilarang.
d. Dalam kehidupan
orang Kei, ngis kafir (Sasa Sor Fit pasal 3) yang biasanya
dilakukan dengan tangan, sering juga diganti dengan sentuhan busur (alat panah)
yang dibawa ke kebun. Sementara berjalan lalu dengan sengaja pembawa busur
menyentuh wanita yang ada di depan (u)
dan dibelakangnya (mur), maka
perbuatan seperti itu dilarang sebab dianggap sebagai tanda keinginan untuk
bergaul secara intim.
e. Sasa Sor Fit pasal 4 dari Hukum Hanilit, dengan tegas melarang dua orang pria-wanita meraih dan
saling berpelukan. Perbuatan seperti ini hanya bisa diperkenankan jika mereka
sudah menjadi suami-isteri. Karena itu, pasal ini sama dengan pasal 5 Hukum
Adat Larvul Ngabal yaitu rek fo
mahiling.
f. Pasal 5, 6 dan 7
Sasa Sor Fit Hukum Hanilit merupakan konkritisasi dari
pasal 6 Hukum Adat Larvul Ngabal
yaitu : moryain fo kelmutun. Ini merupakan ungkapan kiasan untuk istilah
persetubuhan. Karena itu dilarang.
g. Sasa Sor Fit pasal 6 Hukum Hanilit, yaitu marvaan fo
ivun, berarti kehamilan di luar nikah, yang dilarang keras.
h. Sasa Sor Fit pasal 7 Hukum Hanilit, yaitu manuu, marai, adalah larangan keras kasus
seorang laki-laki melarikan isteri orang.
Sanksi terhadap pelanggaran atas Hukum Hanilit
a. Pelanggaran
terhadap Sasa Sor Fit pasal 1, 2, 3
dan 4, sanksinya hanya berupa teguraan dan nasehat oleh Sidang Adat. Tetapi
bila Sidang Adat menganggap perlu menetapkan maka bisa ditetapkan membayar
harta/denda.
b. Pelanggaran
terhadap Sasa Sor Fit pasal 5, harus
dipulihkan dengan sanksi membayar denda material berupa uang dan barang
berharga.
c. Apabila
pelanggaran dalam Sasa Sor Fit pasal
5 menghasilkan kehamilan (pasal 6), maka sanksinya lebih berat dengan denda
tertentu pula, tergantung penyelesaian dan keputusan Sidang Adat.
d. Sanksi terhadap Sasa Sor Fit pasal 7 dibedakan antara
manuu atau kawin lari bujang dan marai atau kawin lari membawa isteri orang. Kawin lari bujang jika berhasil dinikahkan ataupun tidak berhasil
dinikahkan tetap ada sanksi denda. Kawin lari membawa iseri orang; baik
bujangan melarikan isteri orang maupun suami melarikan isteri/wanita bujang,
tetap harus membayar denda yang berat. Salah satunya adalah membayar semua
harta yang pernah dibayarkan ketika membayar mahar perkawinan.
C.
Hukum Hawear Balwirin
Pasal 7, Hira ni ntub fo ini, it did ntub fo it did,
artinya, milik orang tetap milik orang,
milik kita tetap menjadi milik kita. Pemahaman pasal ini adalah sebagai
beikut :
a.
Pasal ini tidak mengandung arti
simbolik. Ia bisa diterjemahkan dengan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat.”
Perbuatan merampok atau memerkosa hak orang lain, menghalalkan cara unuk
memperoleh sesuatu, sama sekali ditantang oleh pasal ini. Tidak boleh merampas
harta milik orang lain dan orang lain juga tidak boleh mengambil milik kita.
“Hata milik” dalam pengertian ini menyangkut hak atas manusia dan sumber alam.
b.
Pasal ini menegaskan pengakuan
terhadap hak orang lain untuk memiliki sesuatu. Pengakuan ini sebagai langkah
preventif untuk menjaga dan melindungi hubungan hidup yang harmonis di antara
manusia dan manusia dengan alam.
Sasa
Sor Fit Hukum Hawear Balwirin :
Sanksi
|
Sasa Sor
Fit
|
Arti
|
1
|
Vartayad
|
menginginkan barang orang lain
secara tidak sah
|
2
|
It bor
|
Mencuri
|
3
|
It kulik
afa borbor
|
menyimpan barang curian
|
4
|
Taan
rereang, it uot afa waid
|
makan upah tanpa kerja
|
5
|
It liik
ken hira ni afa, te feen it naa il
|
ambil milik orang lain, tapi
tidak mau kembalikan
|
6
|
It lavur
hira ni afa
|
merusakan/membinasakan barang
milik orang lain
|
7
|
Taha kuuk
tomat rir rereang neblo
|
tahan/tidak bayar upah orang lain
dengan benar
|
Penjelasananya :
i.
Seluruh pasal Sasa Sor Fit Hukum Hawear
Balwirin adalah bentuk konkrit dari pasal 7 Hukum Adat Larvul Ngabal. Vartayad (pasal 1 Sasa Sor Fut) punya arti yang luas
sebagai sebuah larangan. Pengertian ini akan mewarnai pasal-pasal larangan
berikutnya.
ii.
Putusan kehendak dalam pasal 1 Sasa Sor Fit baru mendapat bentuk nyata
dalam pasal-pasal berikutnya. Karena orang menginginkan barang orang lain, maka
ia mencuri (pasal 2), menyimpan barang curian (pasal 3), makan upah tanpa kerja
(pasal 4), memungut barang orang lain tetapi tidak mau mengembalikannya (pasal
5), merusakan barang oran lain (pasal 6) dan tidak membayar upah orang lain
secara benar (pasal 7).
iii.
Khusus mengenai pasal 3, rupanya
tidak membedakan antara hasil curian yang dilakukan si penyimpan dan hasil
curian yang dilakukan orang lain. Jadi, jika si ‘A’ yang menyimpan barang
curian yang dicuri si ‘B’, maka perbuatan si ‘A’ tetap dipandang bersalah.
iv.
Hal istimewa mengenai pasal 4 adalah
mengenai sikap malas dan cari yang gampang. Sikap ini bertentangan dengan
kondisi alam Kei yang mengharuskan penduduknya bekerja keras dan tidak jadi
orang yang harap gampang saja.
v.
Pasal 5 menekankan kejujuran ketika
menemukan barang orang lain yang tercecer. Barang itu harus dikembalikan kepada
pemiliknya dengan cara apapun.
vi.
Pasal 6, merusak dan membinasakan
barang orang lain berarti merugikan sesama manusia. Ia perlu dilindungi dan
dijaga dengan baik.
vii.
Pasal 7 memberi tekanan pada soal
keadilan sosial. Orang harus bersikap adil kepada orang lain dengan cara
menghormati haknya.
Uraian tentang Hukum Adat Larvul Ngabal di atas menunjukkan bahwa
tidak ada uraian dari fasal-fasalnya, demikian juga dengan uraian dalam sasa sor fit-nya, yang menguraikan
kaitannya dengan pengesahan strata sosial. Sumber lain menjelaskan bahwa strata
sosial atas, mel-mel, strata tengah, ren-ren dan strata bawah, iriri, terbentuk lewat proses yang lama
dengan multi sentuhan yang menjadikan bentukannya yang ada sampai sekarang.[11]
Berkait dengan klaim bahwa keberadaan strata di Kei yang disebutkan bersumber
dari Hukum Adat Larvul Ngabal, tampaknya
sebuah analisis perlu diperhatikan.[12] Analisis
itu menguraikan bahwa sejak kedatangan orang Bali sebagai pelaut dari Bali
akibat runtuhnya Kerajaan Majapahit tahun l478 yang berdampak kepada
pembentukan Hukum Larvul di Kei Kecil
dan kemudian Hukum Ngabal di Kei
Besar, maka diperkirakan penyatuan Hukum Larvul
dan Hukum Ngabal menjadi Hukum Adat Larvul Ngabal terwujud sekitar tahun
1557/1567. Jika dihitung sampai har ini, maka Hukum Adat itu telah menuntun
masyarakat Kei selama 458/448 tahun. Pasang-surut bentukan perilaku masyarakat
Kei bergulir bersama perubahan waktu dengan semua dampak perkembangannya. Tiap
orang berhak memberikan argumen dan analisa terhadapnya. Yang pasti, tan luw masih mewarnai dan menengahi
perilaku perkawinan seorang laki-laki ren-ren
dengan seorang perempuan iriri di
Soindat.
Tan
Luw Dalam Tatangan Sosial-Budaya, Ekonomi dan Berita injil
Tan
luw
sesungguhnya sejak lama telah menjadi sarana sosial adat yang ‘berjasa’
menolong masyarakat Kei dalam peekawinan lintas strata. Sekalipun pengalaman
penetrasinya sebatas strata ren-ren
ke iriri, namun telah tersedia jalur yang
menghubungkan hakekat hubungan hidup dua insan manusia, laki-laki dan
perempuan. Tampak jelas alur diskriminasi praktek adat Kei yang sangat
patriarkhal; tan luw hanya menampung
keteraturan perkawinan seorang laki-laki ren-ren
yang boleh kawin dengan perempuan iriri.
Ia ‘berjasa terbatas’ pada dua desa Reyamru dan desa Soindat saja. Dalam
penelitian, ditemukan juga sikap sebagian besar orang strata mel-mel yang menolak mengakui tan luw.[13]
Tokoh-tokoh adat dan tokoh-tokoh masyarakat mel-mel
di desa-desa berpengaruh di Kei Besar Selatan seperti desa Weduar, Ohoiel,
Ohoiwait dan Ohoirenan, menolak praktek angkat derajat itu. Demikian juga
dengan yang dari desa-desa dengan pengaruh dominasi strata at ml-mel di
desa-desa di Kei Besar Utara seperti di desa-desa Ad dan Mun-Warfan. Seorang
informan[14] mel-mel menegaskan: “Tan luw itu hanya bagi orang ren-ren dan iriri di dua desa itu saja. Bukan untuk seluruh orang Kei.” Maksudnya,
upacara angkat derajat tan luw hanya
diakui di desa Soindat dan desa Reyamru. Di desa-desa lain di Kei, masyarakat
menolaknya.
Selain itu, untuk memenuhi
ganjaran tan luw bagi laki-laki ren-ren dengan membayar mas asli, juga
sangat berat. Sebuah mas asli dengan berat sekitar 2 gram saja, harganya sudah
jutaan rupiah. Apalagi jika putusan Sidang Adat menetapkan jumlah mas adat
lebih dari 1 buah. Di desa Soindat, tidak semua keluarga dan kerabat dari
laki-laki ren-ren yang harus
melaksanakan tan luw, sedia
melibatkan diri untuk menanggung pengadaan emas tersebut. Belum lagi daya
dukung ekonomi sebagai sumber pendapatan warga desa Soindat yang hanya
bergantung dari hasil kebun, hasil olah kopra dan memancing, yang kecil jumlah
dan hanya dapat digunakan untuk konsumsi keluarga.
Kondisi lain juga adalah menyangkut
imej kedudukan perempuan dalam upacara tan
luw yang menempatkan seorang perempuan iriri
yang kawin dengan seorang laki-laki ren-ren,
yang diangkat derajatnya. Secara formal tan
luw adalah sebuah upacara adat formal. Kendatipun demikian, mengangkat
derajat atau menarik ke atas status sorang manusia pempuan dari posisi bawah ke
posisi atas mengikuti suaminya merupakan sebuah suasana tidak adil. Banyak
pertanyaan mengemuka mengritiknya dan salah satu di antaranya adalah debat
sekitar posisi perempuan dalam pemahaman orang Kei. Di sana ada dua alasan
seseorang rela berjuang sampai mengorbakan jiwa yaitu mengenai soal tanah dan
soal saudara perempuan. Posisi perempuan demikian dihargai, sebab darinya
kelangsungan kehidupan bermula. Seorang ibu dengan jiwa dan raganya berkorban
bagi pewarisan kehidupan anak-anaknya; ia mulia dan dikasihi seumur hidupnya
karena nilai kasih sayang yang diwariskan kepada anak-anaknya.
Tantangan muncul juga dari sudut
pemahaman agama berkait keyakinan iman Kristen tentang tan luw menyangkut kebebasan sesama manusia yang percaya kepada
pengorbanan Tuhan Yesus yang sudah menyelamatkan semua orang yang prcaya
kepada-Nya. Bahwa di dalam kematian dan kebangkitanNya, laki-laki dan perempuan
entah berstrata ren-ren atau iriri, sama kedudukannya di dalam
menerima anugrah keselamatan-Nya. Transformasi sikap hidup yang percaya kepada
pengurbanan Tuhan Yesus mestinya menjadi perubahan sikap hidup baik untuk kawin
lintas strata dan terutama hidup sebagai sesama, lepas dari batasan strata[15]
Telah
umum diketahui bahwa pewarisan nilai-nilai iman Kristen telah lama masuk di Kei
dan telah menyebar dari Ta’ar sampai ke seluruh Kei Besar, seluruh Maluku
Tenggara dan sampai ke Papua. J. Vriens[16]
mencatat bahwa agama Kristen Protestan masuk di Kei pada tahun 1902 dan
diterima oleh orang-orang di desa Ta’ar. Akan tetapi menurut Sejarah Injil Masuk di Ta’ar,[17]
agama Kristen Protestan mulai masuk di Kei terjadi pada tanggal 13 Maret 1897. Kedatangannya
berawal dari Lobak Daniel Tarantein, seorang Ta’ar pertama, yang dibaptis di
Gereja Victoria di Ambon pada tanggal 12 Januari 1897. Kemudian tanggal 13
Maret 1897 di desa Ta’ar dibaptis tujuh
anak desa Ta’ar oleh pendeta Frederick Kans Mooi. Tujuh orang, buah
baptisan pertama itu, di kemudian hari menjadi Penginjil yang menyebar ke Kei
Besar, ke Aru, Tanimbar sampai Tenggara Jauh dan juga ke Papua. Jika dihitung
sejak awal masuknya agama Kristen Protestan di Ta’ar, Kei Kecil 1897, maka
telah 118 tahun orang Kei mengenal berita Injil Yesus Kristus, Tuhan dan Kepala
Gerejanya. Gereja Protestan Maluku (GPM) berdiri sejak 1935 yang juga telah membangun
hidup persekutuan, pelayanan dan kesaksiannya di Kei. Itu berarti dalam rentang
waktu yang begitu lama, tokh 80 tahun pelayanan GPM sebagai agen transformasi
sikap hidup Kristiani belum efektif menggarami perkawinan lintas strata yang
diskriminatif di Kei. Berita Injil dalam fokus Imamat Am Orang Percaya masih
sangat jauh dari pencapaian berita pembebasan Tuhan Yesus yang menyelamatkan
semua orang datang dan percaya kepada-Nya supaya diselamatkan (Matius
28:18-20).
Saya
berpendapat bahwa tan luw harus terus
menjawab kasus perkawinan lintas strata di Soindat. Sementara itu evaluasi diri
anggota Jemaat Soindat tentang pembebasan Tuhan Yesus lewat pengorbanan
kematian sampai karya kebangkitan-Nya yang telah menyelamatkan orang yang
percaya kepada-Nya mesti menjadi landasan mereka berupaya mengalami
transformasi hidup oleh kuasa Roh Kudus. Realitas perubahan mirip tan luw sudah beberapa kali terjadi di
desa Ohoira. Di tahun 1998 seorang perempuan ren-ren dari desa Ohoiel di Kei Besar, kawin dengan laki-laki mel-mel dan mereka melakukan upacara adat
untuk menebusnya. Ada sejumlah emas asli dan beberapa bentuk materi harta benda
menyertainya. Demikian juga di tahun 2000, seorang laki-laki ren-ren dari desa Ohoinangan, kawin
dengan perempuan mel-mel Ohoira.
[1] Tulisan ini bersumber dari
penelitian lapangan selama bulan Juni-Juli 2014 di desa Soindat, Kecamatan Kei
Besar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara
[2]
Joko Prokoso, I Ketut
Mustika. Asas-asas Hukum Perkawinan
(Jogjakarta PT. Bina Aksara, 1987), hal. 12
[3] Laksono 1989, halaman 88-92)
[4] Hawear dalam bahasa Kei dapat berarti Hukum Adat, pusat desa (Kei, Ohoi) dan dapat juga berarti sasi atau
tanda larangan. Yang disebut di desa Soindat adalah pusat desa, sebuah tempat
yang dipandang keramat sebab dari situ masyarakatnya pernah dijanjikan oleh
para leluhurnya supaya hidup dalam kebersamaan yang taat kepada hukum adatnya,
Hukum Adat Larvul Ngabal, lihat
Sedubun, halaman 11-12
[5]
Wawancara denga Bpk M. Rahantali
(Tuan Tanah) tanggal 20 juli 2014
[6] Wawancara tanggal 18 Juli 2014.
[7] Wawancara dengan Bpk K.
Rahayaan, tanggal 20 agustus 2014
[8] Hasil wawancara denga Bpk
M.Rahantali (Tuan Tanah) tanggal 25 juli 2014
[10] Ohoitimur 1981, halaman 84-85).
[11] Lihat Sedubun 2011, halaman
[12] Lihat Sedubun 2001, halaman
12-13
[13] Wawancara dengan AR di
Ohoirenan, 12 Juni di Ohoiwait;
wawancara dengan BK 14 di Ohoiwait, Juni 2014; wawancara dengan PT di Ohoiel
tanggal 18 Juni 2014; wawancara dengan KK di Weduar, 21 Juni 2014. Para informan
ini meminta namanya diberi inisial saja.
[14] Wawancara dengan TR di
Mun-Warfan, tanggal 9 Juni 2014. Informan minta amanya dengan inisial.
[16]
Vriens 1972, halaman 195-196
[17]
MJ GPM Ta’ar 2009
Pustaka:
1.
J. B. Banawiratma, Spiritualitas Transformatif, Suatu
pergumulan Ekumenis, Yogyakarta 1990, Kanisius
2.
Joko
Prokoso dan I Ketut Mustika. Asas-asas
Hukum Perkawinan (Jogjakarta PT 1997. Bina Aksara
3.
J.
Ohoitimur, Beberapa Sikap Hidup Orang
Kei : Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan, (Thesis), Manado 1981,
STS Pineleng
4. J.
Vriens, Sejarah Gereja Katolik di
Indonesia, Keuskupan Katolik, Maumere
1997, Lodalero
5.
Nicodemus Sedubun, Kalimat-unSawa Dalam Qur’an,
Sebuah Sumbangan Pemahaman Aqidah IslamTerhadap Sumpah Perdamaian Hawear (Tesis), Yogyakarta 2001,
PPS-T UKDW
6. --------------------------,
Ain Ni Ain; Mengelola Hubungan
Hidup Kristen-Islam Di Maluku Tenggara,
Disertasi, Yogyakarta 2010, PPS-T UKDW-ATU
7.
P.
M. Laksono, Wuut Ain Mehe Nifun, Manut
Ain Mehe Tilor (Eggs from One Fish and One Bird, a Study of the Maintenance
of Social Boundaries in the Kei Island-Dessertation), Ithaca 1989, Cornel
University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar