Oleh: Pdt. DR. Nick Sedubun, M. Th, D. Th
Bapak O. Labetubun BA[1] menguraikannya seperti di bawah ini.
“Di desa Balrumlob, atau desa tanah berpasir, yang terakhir kini disebut desa Danar, adalaha wilayah kekuasaan Rat Arnuhu. Di desa itu sudah ada Hukum Adat setempat, yaitu Hukum Yatomat dan Hukum Balwirin. Hukum Yatomat yaitu hukum yang menuntut, sedangkan Hukum Balwirin adalah hukum yang melarang, yang dalam bahasa Kei juga disebut Hanilit, yang ditandai dengan Hawear.
Sewaktu
Kasdew dari Bali dengan rombongannya Tebtut, Atmaan, Kuding, Maari dan gadis
gadis Dit Sadat, Dit Renyar, Ubteni Dit, dan Dit Sakmas tiba di desa
Letvuan/Ohoivur. Untuk menguasai wilayah di Kei, maka Kasdew menugaskan untuk
mencari Arnuhu yang masih bujang di desa Danar untuk dijadikan suami anaknya, Dit Sakmas. Dit
Sakmas berangkat ke Dabran, atau desa Danar, membawa serta seekor kerbau. Ia
bertemu dengan Arnuhu dan menikah dengannya. Dalam perjalanannya, Dit Sakmas
sempat diganggu oleh pemuda-pemuda yang hidup di sekitar hutan Vatngan. Untuk
melindunginya atas peristiwa itu, maka sekembalinya Dit Sakmas ke Ohoivur/Letvuan
melalui jalan yang sama, maka ia diberi bekal sagu lempeng (sagu yang sudah
dibakar pada cetakan tanah liat yang disebut forna)
dan ikan asar fo (di Kei disebut ikan Sakuda) yang diisi dalam saloi (dalam bahasa Kei disebut yafar, yaitu semacam bakul anyaman dari bambu dengan
penutupnya) dan di atasnya (di atas bakul anyaman itu) diletakan Hawear sebagai tanda bahwa selama dalam perjalanan Dit
Sakmas tak boleh diganggu karena telah menjadi isteri orang, yaitu Arnuhu dari
Balrumlob atau desa Dabran, atau Danar.-
Hawear sebagai tanda
larangan sesuai ketentuan yang ditetapkan bersama, terakhir ditetapkan di Siran
Siryen Amalir Lor di desa Elar Lumngoran. Tempat ini adalah tempat di mana
kerbau Dit Sakmas dibunuh (pada peristiwa perkawinannya dengan Arnuhu) dan
ditetapkan sebagai awal penetapan Hukum Larvul Ngabal sebagai Hukum Adat Kei. Hukum ini menetapkan
tentang ketentuan martabat manusia, martabat rumahtangga, dan hak hak orang;
sehingga di mana Hawear ditempatkan, maka
di situ orang menjadi ingat bahwa ada larangan ketentuan Hukum Adat, yaitu
Hukum Larvul Ngabal………………..”.-
a. Dit Sakmas
“……….tibalah
seorang musafir yang dipercaya berasal dari Bali, bernama Kasdew yang mendarat
di teluk Sorbay di bagian barat pulau Kei Kecil. Kasdew kemudian kawin dan
mempunyai 4 orang anak, 3 lelaki dan 1 perempuan. Tebtut adalah putra sulung
yang kemudian menjadi Raja di Ohoivuur, sedangkan anak perempuan paling bungsu
bernama Dit Sakmas. Putri bungsu inilah yang kemudian kawin dengan seorang
tokoh ternama dan pembuat perahu piawai, Arnuhu, dari desa Danar di ujung
selatan bagian timur pulau Kei Kecil.
Dalam legenda
dikisahkan bahwa dalam perjalanannya untuk menjumpai Arnuhu, pertama kali Dit
Sakmas mengalami kegagalan karena semua barang perbekalannya habis dirampok di
tengah jalan sebagai akibat masih berlakunya hukum “rimba” Dolo (hukum hukum yang menjurus pada tindakan yang tidak
mengenal perikemanusiaan) waktu itu. Barulah pada perjalanan kedua, melalui desa
Wain di pesisir timur bagian tengah pulau Kei Kecil, Dit Sakmas berhasil
menjumpai dan akhirnya kawin dengan Arnuhu. Dalam perjalanan yang kedua ini Dit
Sakmas selalu menaruh daun kelapa putih (pucuk daun atau “tombak’ kelapa) dalam yafar (keranjang, seloi) barang-barang perbekalannya sebagai tanda
larangan bagi orang lain untuk
mengambilnya.
Di antara
barang-barang bawaan perbekalan Dit Sakmas dalam perjalanan tersebut adalah
seekor kerbau yang dinamakan kerbau siuw. Kerbau ini kemudian disembelih di desa Elaar-Ngursoin,
antara Wain dan Danar, yang dibagi-bagi menjadi 9 bagian untuk 9 perwakilan
kampung yang hadir saat itu. Dalam pertemuan di Elaar-Ngursoin inilah lahir
kesepakatan yang kemudian menjadi diktum Hukum Larwul, yakni pasal 1 – 4 hukum Larwul
Ngabal yang kita kenal saat ini. ………..”
Dalam
perkembangannya kemudian, ketentuan hukum Larvul tersebut menyebar melalui dua jalur. Pertama, dari
Ela’ar-Ngursoin ke Danar dan kemudian terus ke daerah Du (pulau Dullah) dan Duroa (pulau Dullah Laut)
di bagian utara gugus kepulauan Kei dan akhirnya tiba di Revav dekat Wain.
Kedua, dari Danar terus ke Ohoinangan di
bagian tengah pulau Kei Besar yang kemudian datang ke Watla’ar di bagian utara
pulau Kei Besar. Adalah seorang bernama Berin El dari Renfan di ujung utara pulau Kei Besar yang kemudian
datang ke Watla’ar mengambil gong (dadawad) dan terompet dari kerang laut besar (tavur solor) untuk
kemudian kembali ke daerahnya mengumumkan dan memberlakukan hukum Larvul.
b. Jangra
Adapun
asal-muasal dan perkembangan hukum Ngabal bermula dengan mendaratnya saudara Kasdew bernama Jangra di Lair Ohoilim atau Lair Enlim di pantai barat tengah pulau
Kei Besar. Di tempat inilah Jangra memotong ikan
paus (Ler)
dan dibagikan kepada warga Lim Itel atau Lor lim di pulau Kei Besar juga. Dalam
pertemuan inilah lahir kesepakatan yang kemudian menjadi hukum Ngabal, yakni pasal 5 – 7 hukum Larvul Ngabal yang dikenal saat
ini. Dalam pertemuan inilah lahir ungkapan Lim itel ni
kot entel, lor entel ni
hukum entel (Lor Lim mencakup tiga daerah/wilayah dengan tiga pasal
hukum).
Selanjutnya,
hukum Ngabal
ini menyebar dari Lair Ohoilim ke Nirun-Fer di bagian
selatan pulau Kei Besar dan akhirnya tiba di pulau Kei Kecil. Perkembangan
kedua hukum itulah ke seluruh kepulauan Kei yang akhirnya melahirkan kesatuan
hukum Larvul Ngabal yang dianut oleh seluruh masyarakat adat Kei saat ini.
Singkatnya, hukum Larvul Ngabal bagi masyarakat adat Kei merupakan suatu hukum
dwi-tunggal : hukum Larvul pada dasarnya
merupakan kaidah-kaidah hukum pidana, sementara hukum Ngabal merupakan
asas-asas hukum perdata.-
a.
Dit Sakmas
Dit Sakmas adalah satu-satunya Putri
Kasdew yang setiap kali tidak betah di rumah sehingga ia selalu disindir oleh
orangtua dan kakak-kakaknya dengan Arnuhu Suarubun, seorang terkenal terkemuka
disebut hala’ai di Danar Dab. Dengan
dasar sindiran orangtuanya itu, Dit Sakmas terjemahkan bahwa adalah bahasa
hukum yaitu orangtuanya telah mempersuntingkan dia dengan Arnuhu. Makanya Dit
Sakmas memutuskan untuk harus pergi bertemu Arnuhu. Perjalanan Dit Sakmas
pertama menuju Danar melalui pesisir timur. Dari Ohoivuur melewati Vuar El. Di
Vuar El ia berjumpa dengan seorang namanya Nara’aha Matanvuun Sutra Esomar.
Nara’aha langsung meminta Dit Sakmas agar keduanya kawin. Dit Sakmas menolak
permintaan Nara’aha dengan menjelaskan bahwa ia sudah dilindungi hukum – Wat i te lelan ain - dan Dit
Sakmas mengangkat Nara’aha menjadi saudaranya.
Olehnya maka
Nara’aha Matanvuun Sutra Esomar mengantar saudara angkatnya (Dit Sakmas) ke
kampung Wain dan bermalam. Paginya Dit Sakmas meneruskan perjalanan dari Wain
menuju Danar. Untuk bekal perjalanan Nara’aha Matan Vuun Sutra mengisi saloi Dit Sakmas sagu
lempeng. Sagu lempeng itu dinamakan manga bau taver wain. Sepanjang perjalanan ke Danar bekal sagunya
dicuri/diambil dari saloi-nya hingga sampai di Limngoran (Kol dirdir) bekal Dit
Sakmas habis dicuri.
Ia meneruskan perjalanan
sampai di Danar dan bertemu Arnuhu yang sedang sibuk mengerjakan perahu di
pasir pantai. Dit Sakmas menyapanya dan bertanya di mana tinggalnya Arnuhu dan
ia berada di mana sekarang. Arnuhu dengan menyembunyikan dirinya ia menjawab
bahwa orang itu berada di rumahnya. Lalu Arnuhu Suarubun menghantar Dit Sakmas
ke rumahnya, dipersilahkan Dit Sakmas masuk dan duduk di dalam. Arnuhu
berpura-pura keluar untuk mencari tuan rumah dan ia ke belakang rumah
membersihkan badan di sumur lalu masuk dari pintu belakang rumah berganti
pakaian. Sesudah itu Arnuhu pergi bertemu Dit Sakmas. Setelah itu Dit Sakmas
menjelaskan hal-ihwal yang menjadi alasan untuk ia datang bertemu Arnuhu.
Arnuhu menyapanya dan menyogoki Dit Sakmas dengan sirihpinang, sebagaimana
biasa diterimanya seorang tamu. Untuk diketahui Arnuhu dari kalangan tingkat
mana Dit Sakmas sebenarnya, Arnuhu membuat sirihpinang dalam tempat sirih (baan rit) atas dua bahagian. Bahagian
kanan baan rit diletakan daun
sirih berwarna kuning dan pinang berbiji besar (maneran narnar dan isu mel), sedang bahagian
kiri diletakan sirih biasa dan pinang biasa. Setelah sirihpinang disodorkan,
Dit Sakmas langsung mengangkat sirihpinang bahagian kanan, yaitu daun sirih
berwarna kuning.
Dengan adanya tanda
itu sudah menentukan bahwa Dit Sakmas dari kalangan mel-mel (bangsawan) maka Arnuhu Suarubun menerima Dit
Sakmas menjadi isterinya. Mereka hidup di Danar beberapa waktu lamanya, dan Dit
Sakmas ingin kembali mengunjungi orangtuanya di Ohoivuur. Arnuhu membuat bekal
Dit Sakmas dengan mengisi di saloi ikan Sakuda Asar (Fo ngon roror).
Perjalann Dit
Sakmas kembali ke Ohoivuur melalui bahagian tengah daerah Sitharnol kekuasaan
Rat Kanew. Sesampai di sesuatu tempat dekat Sitharnol ia dihadang dua orang
beradik-kakak Nar’aha dan Fanev Waurtahit asal kampung Ohoideryamlim. Menurut
penuturan bahwa saloi Dit Sakmas dibalik
oleh kedua beradik-kakak itu. Penuturan ini merupakan bahasa demi menjaga
kehormatan nama Dit Sakmas, namun dirinyalah yang diperlakukan.
Dit Sakmas datang
ke Sitharnol dengan keluh tangisan, menyampaikan kepada Rat Kanew perbuatan
perlakuan Nar’aha dan Fanev atas dirinya. Berdasarkan hukum (Babakain) yang berlaku Rat Kanew
memerintahkan rakyat Bibtetratsiw menangkap kedua pelaku itu dan membunuhnya.
Sesudah itu Rat Kanew menyuruh rakyat Bibtetratsiw pergi ke orangtua kedua korban
Tesu Evav Waurtahit di Ohoideryamlim, menuntut agar ia (orangtua si korban)
harus membuat harta untuk pulihkan perbuatan kesalahan anak-anaknya. Bila tidak
anak-anaknya akan dibunuh. Tindakan ini merupakan tipuan karena kedua pelaku
(Nar’aha dan Fanev) telah terbunuh, diikat pada tiang dan ditempatkan di Nuut Ai Num.
Tesu Evav Waurtahit bapa kedua korban
menyerahkan 3 (tiga) mas antara lain : Ngaruv Tesu, A Femat,
dan
A Selngatan, dengan memohon
agar kiranya anak-anaknya jangan dibunuh. Rakyat Bibtetratsiw kembali ke
Sitharnol membawa tiga mas diserahkan kepada Rat Kanew dengan menyampaikan
amanat pesanan dari Tesu Evav (orangtua si korban), balasannya dengan kata
sindiran terhadap Tesu Evav Waurtahit. Dari tiga mas ini Rat Kanew mengirim Ngaruv Tesu kepada Arnuhu Suarubun suami
Dit Sakmas dengan menyatakan bahwa mas itu adalah Mas Tebusan Darah Merah. Sedang dua mas lainnya yaitu A Femat dan A Selngatan
Rat Kanew meletakannya pada Luv Hukum
Babakain
di Sitharnol.
b.
Dit Sakmas
kembali ke Danar (Perjalanan kedua)
Sesampai Dit Sakmas di Ohoivuur ia
menceriterakan pengalamannya selama perjalanannya ke Danar dan kembali.
Perjalanan kedua ini ia mengikuti lagi jalur perjalanan pertama. Pada saloi-nya dilingkari daun kelapa (janur) menjadi sasi perlindungan bawaan Dit Sakmas. Juga
ia membawa seekor kerbau serta. Di atas punggung kerbau diletakan juga janur Faar Balwirin. Janur ini diambil
dari kelapa Nur Fad. Sebelum Dit
Sakmas berangkat ia mengatakan kepada orangtuanya bahwa bila ia wafat nanti
jenazahnya dikebumikan di kampung saudara angkatnya Nara’aha Matan Vuan Sutra
Esomar di Wain.
Selama
tengah perjalanan tidak ada gangguan pada Dit Sakmas. Sesampai di
Limngoran-Nguryen, kerbaunya disembelih dan dibagi atas 9 (sembilan) bahagian
untuk sembilan pimpinan desa. Yang hadir pada penyembelihan kerbau adalah 4
(empat) pimpinan terkemuka (hala’ai). Maka disebutnya Siw I Fak, dan masyarakatnya (Lor) dari kesembilan pimpinan itu disebut Lor Karbau Siw. Sesudah
terbaginya kerbau, pimpinan yang hadir mulai bersidang bermusyawarah mufakat
mengatur dan menyusun tingkat-tingat kesalahan dan pelanggaran.
Dilihat dari
perjalanan Dit Sakmas pertama ia sudah menemui beberapa permasaalahan antara
lain : Sindiran orangtua dengan seorang lelaki, dicubit diganggu oleh Nara’aha
Matan Vuan Sutra, kecurian bekalnya, mel-ren oleh Arnuhu, diperkosa oleh Nar’aha dan Fanev, dan
penganiayaan dan pembunuhan Nar’aha dan Fanev di Waurtahit. Maka atas
musyawarah mufakat sidang, tersusunlah 7 (tujuh) tingkat kesalahan[4] sebagai berikut:
1.
Lubak matler/ matko kabin – mengedipkan mata
Ngis kafir/ sis af – mencubit, bersiul
menggamai
A lebak – peluk dengan
sengaja
Tod es – tonda, menarik
Met tahit titu
–
mengganggu diatas meti/pantai laut
Temar u mur
– menusuk dgn ujung atau pangkal; busur
Lab ken lab sa
– salah kena
dengan tidak sengaja.
2. Bor Karu – merampok, mencuri
3. Foar bor, evyan
– memperkosa, menghamilkan
4. Haung hebang, fasuk fako – merencana berjanji, menghina
5. Taha tal ,fedan na
– menganiaya, membunuh
6. Mbub tal vaha wain en dit
tal tavunad – merusak anak kandung
Enval rir
siran – perbuatan antar adik-kakak
Wat I te lelan ain – merusak
isteri orang
7. Mel – ren – perkawinan antar kasta
Catatan lain dikemukakan oleh Ohoitimur[5] seperti
berikut :
a. Pembentukan Hukum Adat Larvul Ngabal
Kendati tiada kepastian tentang datum
pembentukannya, semua tradisi lisan secara serempak menghubungkan pembentukan
Hukum Adat Larvul Ngabal dengan Dit Sakmas, seorang tokoh sejarah Kei yang
leluhurnya diasal-usulkan dari pulau Bali (kerajaan Majapahit). Dalam abad
ke-14 kerajan Majapahit meluaskan kekuasaaannya di bawah pimpinan Gajah Mada,
sehingga Maluku - termasuk Kei – terhitung pula sebagai wilayah kerajaan
Majapahit. Akan tetapi pada tahun 1478 kerajaan termashyur itu runtuh sama
sekali ketika raja Kediri Giridrawardhana merebut kekuasaan. Pada waktu itulah
kerajan Majapahit menjadi kacau-balau dan rakyatnya tercerai-berai. ……………………………
Dalam arus transmigrasi tersebut
terdapatlah keluarga hala’ai (pemuka, pemimpin, kepala) yang bernama Kasdew dengan
isterinya Dit Rangil. Mereka memasuki teluk Sorbai di pantai barat Kei Kecil,
dan akhirnya singgah di pantai kampung Letvuan sekarang. Atas persetujuan
penduduk asli, mereka mendirikan satu kampung di suatu bukit yang agak tinggi,
dan diberi nama Ohoivuur (Ohoivur, yang berarti kampung di atas bukit). Terhadap
penduduk asli mereka menyatakan diri sebagai wakil Dewa yang datang dari pulau
dewata. Oleh karena itu semua persembahan kepada Dewa harus disampaikan melalui
hala’ai
Kasdew, yang mempunyai tiga orang anak, yakni Tebtut, Fadirsamai, dan Atman.
Sesudah
beberapa waktu, Kasdew kembali lagi ke Bali dan pulang ke Kei bersama rombongan
lain di bawah pimpinan hala’ai Jangra dan anaknya Dit Somar. Karena diserang angin
topan, perahu Jangra yang berlayar di sebelah selatan pulau Kei, terpaksa
memasuki selat Nerong dan mendarat di Lair-Ohoilim (Kei Besar). Dalam
perahunya, Jangra antara lain memuat tiga puluh tombak dari Bali. Sementara itu
perahu Kasdew bisa kembali dengan selamat ke Ohoivur.
Halai Kasdew diganti oleh putranya Tebtut. Tebtut inilah yang
menyatakan dirinya sebagai raja pertama di Kei dengan kedudukannya di Ohoivur.
Pada waktu itu sudah ada juga beberapa hala’ai yang berkuasa di kepulauan Kei, yakni Matilur di Ohoililir, Waer di Dian, Arnuhu di
Danar, Kaneuw di Yatvav, dan Jangra di Lair-Ohoilim. Tetapi hala’ai - hala’ai tersebut rupanya belum disebut raja dan hanya berkuasa
dalam daerahnya masing-masing. Baru pada waktu raja Tebtut hendak meluaskan
kekuasaannya, para halai tersebut mulai digerakkan menuju satu persatuan dalam
struktur kepemimpinan. Gerakan ini distimulir oleh Tebtut yang mengirim
putrinya, Dit Sakmas, untuk kawin dengan Arnuhu di Danar. Perjalanan Dit Sakmas
pergi-pulang Danar-Ohoivur merupakan babakan pertama dalam sejarah pembentukan
Hukum Adat Larvul Ngabal.
b. Perjalanan Dit Sakmas
Perkawinan dapat dipakai sebagai satu
strategi politik dalam ekspansi kekuasaan. Hal ini rupanya dipraktekan oleh
raja Tebtut dari Ohoivur yang mengirimkan putrinya Dit Sakmas untuk kawin dengan Arnuhu Suarubun
di Danar. Disertai oleh beberapa orang, Dit Sakmas berangkat menuju Danar di
ujung selatan pesisir timur Kei Kecil. Dalam perjalanan ini Dit Sakmas bertemu
dengan Naraha Matanvuun Sutra di Wain, yang karena terpesona oleh kecantikan
Dit Sakmas, berniat mempersuntingnya. Kehendaknya ditolah oleh Dit Sakmas,
dengan suatu ikatan perjanjian
persaudaran saja. Bahkan kepada Naraha Matanvuun Sutra, Dit Sakmas berjanji
agar kelak dikuburkan di daerah kekuasaannya (Wain). Sampai sekarang, tradisi
lisan rakyat menunjukan satu makam tua dekat kampung Wain sebagai makam dari
Dit Sakmas itu.
Setelah
Naraha Matanvuun Sutra memberikan sagu (bekal ini disebut manga taver Wain = sagu
pemuda Wain) sebagai bekalnya, Dit Sakmas lantas melanjutkan perjalananya dan
akhirnya bertemu dengan Arnuhu Suarubun di Danar. Keduanya segera kawin.
Sesudah perkawinan ini, Dit Sakmas masih mengadakan beberapa perjalanan
pergi-pulang Ohoivur-Danar untuk mengunjungi keluarga ayahnya, raja Tebtut.
Dalam perjalanan-perjalanannya itulah, Dit Sakmas selalu mengalami gangguan
dari penduduk asli yang ditemuinya. Perbekalan yang diangkut oleh seekor kerbau
(kelak terkenal dengan sebutan kerbau siuw = kerbau
sembilan) selalu dirampok. Akibat perampokan itu, maka dua orang dari Yatvav
yang bernama Farnev dan Naraha (putra-putra dari Sua Savav), dibunuh.
Peristiwa
perampokan itu dilaporkan kepada Tebtut. Untuk melindungi perbekalan Dit Sakmas
dalam perjalanannya yang kedua, Tebtut menyuruh orang membuat tanda larangan
yang ditempatkan di seputar bungkusan perbekalan puterinya. Tanda larangan itu
dibuat dari anyaman daun muda pohon kelapa (janur), dan disebut Hawear. Inilah tanda larangan pertama yang dikenal dengan nama Hawear Balwarin. H.
Geurtjens menlis : “Itulah tanda larangan pertama, yang dinamakan demikian
karena untuk pertama kalinya dipakai untuk melindungi permaisuri muda yang
berasal dari keluarga Bali”[6]
Yang
dimaksudkan dengan permaisuri muda itu adalah Dit Sakmas, sedangkan dengan
keluarga Bali dimaksudkan keluarga Tebtut. Dari nama Hawear Balwarin sebenarnya langsung jelas apa yang ditulis Geurtjens. Hawear berarti tanda
larangan yang bersifat melindungi hak milik seseorang. Balwarin terdiri dari dua kata Bal berarti Bali, dan warin berarti muda. Istilah Hawear Balwarin sering dipakai di
samping istilah Hawear Balwirin. Menurut tradisi lisan (wawancara dengan C. Labetubun,
Kepala Desa dan Tokoh Adat desa Ela’ar) kata Bal itu merupakan singkatan dari Balrumlob, yakni nama daerah pasir yang ditanami pohon kelapa yang
terletak di Danar. Wirin ialah kata bahasa Kei untuk daerah yang ditanami itu.
Jika orang membuat tanda larangan (Hawear), mereka selalu mengambil janur dari Wirin Balrumlob.
Berdasarkan
tradisi lisan ini, maka Hawear sebagai tanda larangan yang melindungi hak milik
seseorang, ternyata sudah dikenal oleh orang-orang Kei asli sebelum Tebtut
datang. Kami pribadi lebih cendrung untuk menerima kebenaran tradisi lisan ini,
mengingat bahwa sulit diterima Tebtut langsung menggunakan satu tanda larangan
yang sama sekali belum dikenal oleh orang-orang Kei asli. Lebih masuk akal
bahwa Tebtut mengambil alih tradisi Hawear yang sudah lama dikenal oleh orang-orang Kei. Isi yang
terkandung dalam Hawear balwirin adalah “milik
orang tetap milik orang, dan milik kita tetap milik kita = jangan mencuri” (hira ni ntub fo i ni, it did ntub fo it did).
c.
Penyebaran Hawear Balwirin : Pembentukan Hukum Adat
Larvul Ngabal
Peristiwa perampokan terhadap rombongan
Dit Sakmas ternyata cukup menghebohkan, baik bagi keluarga raja Tebtut maupun hala’ai - hala’ai di sekitar peristiwa itu terjadi. Tebtut sebagai raja
yang berpengaruh, mulai bertindak. Ia mau menertibkan masyarakat Kei dan
menghendaki agar seluruh masyarakat Kei mentaati secara konsekwen tradisi Hawear Balwirin itu.
Iapun mengundang para pemuka kampung yang berpengaruh (hala’ai).
Mereka berkumpul di Ela’ar-Ngursoin (di pantai timur Kei Kecil) dalam satu
rapat besar. Jumlah hala’ai yang hadir sebanyk 9 orang. Kepada mereka Hawear balwirin
diteguhkan sebagai hukum yang perlu ditaati dan dilaksanakan. Kemudian
dimaklumkan pula pasal-pasal hukum baru yang bertujuan memelihara kestabilan
kehidupan sosial dan kehidupan berumahtangga. “Tambahan” pasal-pasal itu
sebenarnya dapat dimengerti karena peristiwa perampokan itu sebetulnya
merupakan satu kekacauan sosial, dan juga merupakan satu gangguan terhadap anak
puteri dan isteri orang lain. Secara lengkap, tercetuslah hukum yang terdiri
dari 7 pasal itu, yaitu :
1. Uud entauk
atvunad
= kepala kita
bertumpu pada tengkuk kita
2. Lelad ain fo mahiling =
leher kita dihormati, diluhurkan
3. Ul nit envil atumud =
kulit membungkus badan kita
4. Lar nakmud ivud = darah tinggal tenang dalam perut kita
5. Rek fo mahiling = perbatasan (ambang abu) dihormati
6. Moryain fo kelmutun =
perkawinan/kemurnian harus dihormati
7. Hira ni ntub fo i ni, = milik orang tetap milik orang,
it
did ntub fo it did milik kita tetap
milik kita.
………………………………………………………………………………………………………………
Ketujuh pasal hukum yang
diumumkan dan diterima oleh kesembilan hala’ai itu, disebut hukum Larvul. Sebagai tanda meterai pemakluman hukum tersebut
disembelihlah kerbau pembawa bekal Dit Sakmas, yang dikenal dengan nama kerbau hungar nar (bertanduk
kemilau), atau kelak disebut pula sebagai kerbau siuw karena dagingnya dibagikan kepada sembilan (siuw) hala’ai
yang hadir. Darah dari kerbau ini dijadikan meterai pemakluman hukum, karena
itu hukum yang dimaklumkan disebut Hukum Larvul, berarti Hukum Darah Merah (lar = darah, vul = merah). Kesembilan halai yang berkumpul dan memproklamirkan hukum Larvul itu bersama-sama
membentuk satu kelompok yang kelak akan terkenal dalam masyarakat Kei sebagai
kelompok masyarakat Ursiuw (Ur = kelompok. hala’ai = kepala, siuw = sembilan).
……………………………………………….
Adapun kesembilan hala’ai yang berkumpul
itu berasal dari :
1.
Danar, mendapat kepala
2.
Ngursoin, mendapat
mata
3.
Ela’ar, mendapat gigi
4.
Mastur mendapat tanduk
5.
Ohoinol, mendapat perut (usus) besar
6.
Wain, mendapat hati/jantung
7.
Ohoider, mendapat empedu
8.
Marfuun, mendapat
ujung ekor
9.
Yatvav, mendapat tengkuk.
Ada pula dua hala’ai yang tidak hadir,
tetapi dikirim bagiannya, ialah :
10.
Uf, mendapat tulang betis
11.
Du, mendapat kulit.
Pembagian dan penerimaan daging
kerbau ini merupakan lambang penerimaan dan pengakuan hukum yang sama, yakni
hukum Larvul
itu.
Sesudah beberapa lama, puteri Arnuhu
dan Dit Sakmas yang bernama Bunte Nuhu Dit dibawa lari oleh Bomav, seorang hala’ai dari
Fer (Kei Besar). Bunte nuhu Dit akhirnya bisa kawin juga dengan Bomav yang
kemudian menjadi raja Fer. Raja Bomav inilah yang berinisiatif untuk
mengumpulkan lima hala’ai demi pemakluman hukum yang sudah diumumkan di Ela’ar oleh
9 hala’ai
dari Kei Kecil. Kelima hala’ai itu berasal dari Fer, Nerong, Uvat, Elraan (Ub Ohoilim),
dan Tebav/Yamlim (Weduar, Tutrean, Tamngil, Fer, Langgiar). Pertemuan diadakan
di Lair-Ohoilim, di mana tombak-tombak dari Bali (Ngabal) disimpan. Tombak-tombak itulah yang dijadikan meterai
proklamasi hukum, sehingga hukum itu disebut hukum Ngabal. Isi hukum Ngabal tidak berbeda dengan isi
hukum Larvul yang dimaklumkan di Kei Kecil.
Seperti kesembilan hala’ai
masyarakat Ursiuw membagi-bagikan kerbau hunga nar sebagai tanda
penerimaan hukum Larvul, para hala’ai yang berkumpul di
Lair-Ohoilim juga membagi-bagikan seekor ikan paus (dalam bahasa Kei disebut Lor) yang konon dibunuh
oleh orang-orang Lair-Ohoilim dengan tombak-tombak dari Bali. Karena itu
kelompok lima hala’ai tersebut dinamakan Lorlim. Pembagian ikan pus itu adalah sebagai berikut :
1.
Fer, mendapat kepala
2.
Nerong, mendapat perut
3.
Uvat, mendapat ekor
4.
Tutrean, mendapat sayap
5.
Elra’an, mendapat gigi
Demikian kiranya menjadi jelas bahwa
hukum yang “baru” itu pada akhirnya diterima dan diakui dalam dua kelompok
masyarakat Kei, yakni hukum Larvul untuk masyarakat Ursiuw dan hukum Ngabal untuk masyarakat Lorlim. Perpaduan antara
dua hukum yang sama isinya tetapi berbeda meterai pemaklumannya itu, terjadi
dalam proses perluasan kekuasaan Ursiuw dan Lorlim, serta meluasnya
pengaruh hukum itu sendiri pada waktu pengangkatan raja-raja di seluruh
Kei.-
---000---
March 26,
2014
[1] 1O. Labetubun BA, mantan Kepala Sekolah SMA Negri di Tual, dan mantan
Kakandepdikbud Kotamadya Ambon. Sekarang beliau telah pensiun dan bergiat menulis
tentang adat-kebudayaan Kei. Salah satu diantaranya adalah materi ini, yang
berupa bahan ketikan lepas sebanyak dua halaman yang tidak dipublikasikan
[2] J. P. Rahail, Larwul Ngabal Hukum Adat Kei, Yayasan Sejati Jakarta 1993, halaman 4 – 7.-
[3] A. J. Ngamel adalah Kepala Desa di desa Somlain-Kei Kecil. Dalam
sejarah raja-raja Kei, beliau berasal dari keturunannya Raja. Tulisannya berupa
diktat berjudul Larwul Ngabal Ursiw
Lorlim, Tual 1997, halaman 2 – 4.-
[4] Tujuh tingkat kesalahan ini yang disebut sasa sor fit, atau kesalahan
berlapis tujuh, atau kesalahan yang
terdiri dari tujuh bagian, yang terdapat dalam Hukum Larvul Ngabal, lihat Ohoitimur Yong MSC, Hukum Adat dan Sikap Hidup
Orangf Kei, KS Komunicanda Skolastik
MSC, Pineleng 1996, halaman 9 – 11.-
[5] Ohoitimur Yohanis, Beberapa Sikap Hidup Orang Kei Antara
Ketahanan Diri Dan Proses Perubahan (Tesis), Sekolah Tinggi Seminari
Pineleng-Manado, Pineleng 1983 halaman 51 – 55.-
Mohon infokan kalau Elraan tahun berapa berdirinya...?
BalasHapusMohon infokan kalau Elraan tahun berapa berdirinya...?
BalasHapusMohon maaf, setau saya yang mendapatkan bagian gigi pada pembagian ikan paus lorlim adalah Hila'ai Meljam Fak di desa Langgiar
BalasHapusSejarah yang tidak bersumber dari fakta akan melahirkan kebohongan sejarah.. Dari semua dongeng2 panjang tentang terbentuknya kei maka sudah pada tentunya harus dijelaskan sumber hidup yang menyaksikan atau mengetahui secara langsung peristiwa pembentukan itu.ataukah adanya tulisan sejarah atau peninggalan dalam bentuk prasasti yang menegaskan perjalanan sejarah kei atau tidak.. Semuanya hanya tom dan tad. Yg lahir dari versi berbeda2 yg pada tentunya sesuai keinginan sumber sejarah masing2.intinya tolong diluruskan perjalanan sejarah kei yg katanya dari bali ataupun dari jaman kerajaan majapahit yg tersebar di kei lewat pembuktian tad.. Agar keturunan anak cucu kei tahu bahwa benar asal usul kita dari sana. Jangan hanya mendongeng tanpa ada pembenaran sejarah yg ditinggalkan di jaman kerajaan majapahit yg smpai detik ini dpt dipakai sebagai argumen identitas diri kita.
BalasHapusSaya hormati pendapat Sdrku, maka tolong kemukakan apa yang benar yang Sdr tahu. Sebab apa yang saya tulis punya sumber sesuai dengan pendapat tokoh atau tulisan oleh para tokoh. Sdr bisa baca di kutipan end note tertulis.
Hapus