Rabu, 26 Maret 2014

Kutipan-Kutipan Sebagian dari Dokumen Historis Tentang Asal-Usul Hawear



Oleh: Pdt. DR. Nick Sedubun, M. Th, D. Th

 

Bapak O. Labetubun BA[1] menguraikannya seperti di bawah ini.

 “Di desa Balrumlob, atau desa tanah berpasir, yang terakhir kini disebut desa Danar, adalaha wilayah kekuasaan Rat Arnuhu. Di desa itu sudah ada Hukum Adat setempat, yaitu Hukum Yatomat dan Hukum Balwirin. Hukum Yatomat yaitu hukum yang menuntut, sedangkan Hukum Balwirin adalah hukum yang melarang, yang dalam bahasa Kei juga disebut Hanilit, yang ditandai dengan Hawear.  

Sewaktu Kasdew dari Bali dengan rombongannya Tebtut, Atmaan, Kuding, Maari dan gadis gadis Dit Sadat, Dit Renyar, Ubteni Dit, dan Dit Sakmas tiba di desa Letvuan/Ohoivur. Untuk menguasai wilayah di Kei, maka Kasdew menugaskan untuk mencari Arnuhu yang masih bujang di desa Danar  untuk dijadikan suami anaknya, Dit Sakmas. Dit Sakmas berangkat ke Dabran, atau desa Danar, membawa serta seekor kerbau. Ia bertemu dengan Arnuhu dan menikah dengannya. Dalam perjalanannya, Dit Sakmas sempat diganggu oleh pemuda-pemuda yang hidup di sekitar hutan Vatngan. Untuk melindunginya atas peristiwa itu, maka sekembalinya Dit Sakmas ke Ohoivur/Letvuan melalui jalan yang sama, maka ia diberi bekal sagu lempeng (sagu yang sudah dibakar pada cetakan tanah liat yang disebut forna) dan ikan asar fo (di Kei disebut ikan Sakuda) yang diisi dalam saloi (dalam bahasa Kei disebut yafar, yaitu semacam bakul anyaman dari bambu dengan penutupnya) dan di atasnya (di atas bakul anyaman itu) diletakan Hawear sebagai tanda bahwa selama dalam perjalanan Dit Sakmas tak boleh diganggu karena telah menjadi isteri orang, yaitu Arnuhu dari Balrumlob atau desa Dabran, atau Danar.-
Hawear sebagai tanda larangan sesuai ketentuan yang ditetapkan bersama, terakhir ditetapkan di Siran Siryen Amalir Lor di desa Elar Lumngoran. Tempat ini adalah tempat di mana kerbau Dit Sakmas dibunuh (pada peristiwa perkawinannya dengan Arnuhu) dan ditetapkan sebagai awal penetapan Hukum Larvul Ngabal sebagai Hukum Adat Kei. Hukum ini menetapkan tentang ketentuan martabat manusia, martabat rumahtangga, dan hak hak orang; sehingga di mana Hawear ditempatkan, maka di situ orang menjadi ingat bahwa ada larangan ketentuan Hukum Adat, yaitu Hukum Larvul Ngabal………………..”.-  

J.P. Rahail[2] mencatat sebagai beriku :
a.       Dit Sakmas
“……….tibalah seorang musafir yang dipercaya berasal dari Bali, bernama Kasdew yang mendarat di teluk Sorbay di bagian barat pulau Kei Kecil. Kasdew kemudian kawin dan mempunyai 4 orang anak, 3 lelaki dan 1 perempuan. Tebtut adalah putra sulung yang kemudian menjadi Raja di Ohoivuur, sedangkan anak perempuan paling bungsu bernama Dit Sakmas. Putri bungsu inilah yang kemudian kawin dengan seorang tokoh ternama dan pembuat perahu piawai, Arnuhu, dari desa Danar di ujung selatan bagian timur pulau Kei Kecil.
Dalam legenda dikisahkan bahwa dalam perjalanannya untuk menjumpai Arnuhu, pertama kali Dit Sakmas mengalami kegagalan karena semua barang perbekalannya habis dirampok di tengah jalan sebagai akibat masih berlakunya hukum “rimba” Dolo (hukum hukum yang menjurus pada tindakan yang tidak mengenal perikemanusiaan) waktu itu. Barulah pada perjalanan kedua, melalui desa Wain di pesisir timur bagian tengah pulau Kei Kecil, Dit Sakmas berhasil menjumpai dan akhirnya kawin dengan Arnuhu. Dalam perjalanan yang kedua ini Dit Sakmas selalu menaruh daun kelapa putih (pucuk daun atau “tombakkelapa) dalam yafar (keranjang, seloi) barang-barang perbekalannya sebagai tanda larangan  bagi orang lain untuk mengambilnya.
Di antara barang-barang bawaan perbekalan Dit Sakmas dalam perjalanan tersebut adalah seekor kerbau yang dinamakan kerbau siuw. Kerbau ini kemudian disembelih di desa Elaar-Ngursoin, antara Wain dan Danar, yang dibagi-bagi menjadi 9 bagian untuk 9 perwakilan kampung yang hadir saat itu. Dalam pertemuan di Elaar-Ngursoin inilah lahir kesepakatan yang kemudian menjadi diktum Hukum Larwul, yakni pasal 1 – 4 hukum Larwul Ngabal yang kita kenal saat ini. ………..”
Dalam perkembangannya kemudian, ketentuan hukum Larvul tersebut menyebar melalui dua jalur. Pertama, dari Ela’ar-Ngursoin ke Danar dan kemudian terus ke daerah Du (pulau Dullah) dan Duroa (pulau Dullah Laut) di bagian utara gugus kepulauan Kei dan akhirnya tiba di Revav dekat Wain. Kedua,  dari Danar terus ke Ohoinangan di bagian tengah pulau Kei Besar yang kemudian datang ke Watla’ar di bagian utara pulau Kei Besar. Adalah seorang bernama Berin El dari Renfan di ujung utara pulau Kei Besar yang kemudian datang ke Watla’ar mengambil gong (dadawad) dan terompet dari kerang laut besar (tavur solor) untuk kemudian kembali ke daerahnya mengumumkan dan memberlakukan hukum Larvul.

  b.      Jangra

Adapun asal-muasal dan perkembangan hukum Ngabal bermula dengan mendaratnya saudara Kasdew bernama Jangra di Lair Ohoilim atau Lair Enlim di pantai barat tengah pulau Kei Besar. Di tempat inilah Jangra memotong ikan paus (Ler) dan dibagikan kepada warga Lim Itel atau Lor lim di pulau Kei Besar juga. Dalam pertemuan inilah lahir kesepakatan yang kemudian menjadi hukum Ngabal,  yakni pasal 5 – 7 hukum Larvul Ngabal yang dikenal saat ini. Dalam pertemuan inilah lahir ungkapan Lim itel ni kot entel, lor entel ni hukum entel (Lor Lim mencakup tiga daerah/wilayah dengan tiga pasal hukum).
Selanjutnya, hukum Ngabal ini menyebar dari Lair Ohoilim ke Nirun-Fer di bagian selatan pulau Kei Besar dan akhirnya tiba di pulau Kei Kecil. Perkembangan kedua hukum itulah ke seluruh kepulauan Kei yang akhirnya melahirkan kesatuan hukum Larvul Ngabal yang dianut oleh seluruh masyarakat adat Kei saat ini. Singkatnya, hukum Larvul Ngabal bagi masyarakat adat Kei merupakan suatu hukum dwi-tunggal : hukum Larvul pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah hukum pidana, sementara hukum Ngabal merupakan asas-asas hukum perdata.-

Uraian lain lagi adalah seperti yang ditulis oleh A.J. Ngamel[3] :
a.       Dit Sakmas
       Dit Sakmas adalah satu-satunya Putri Kasdew yang setiap kali tidak betah di rumah sehingga ia selalu disindir oleh orangtua dan kakak-kakaknya dengan Arnuhu Suarubun, seorang terkenal terkemuka disebut hala’ai di Danar Dab. Dengan dasar sindiran orangtuanya itu, Dit Sakmas terjemahkan bahwa adalah bahasa hukum yaitu orangtuanya telah mempersuntingkan dia dengan Arnuhu. Makanya Dit Sakmas memutuskan untuk harus pergi bertemu Arnuhu. Perjalanan Dit Sakmas pertama menuju Danar melalui pesisir timur. Dari Ohoivuur melewati Vuar El. Di Vuar El ia berjumpa dengan seorang namanya Nara’aha Matanvuun Sutra Esomar. Nara’aha langsung meminta Dit Sakmas agar keduanya kawin. Dit Sakmas menolak permintaan Nara’aha dengan menjelaskan bahwa ia sudah dilindungi hukum – Wat i te lelan ain  - dan Dit Sakmas mengangkat Nara’aha menjadi saudaranya.   
Olehnya maka Nara’aha Matanvuun Sutra Esomar mengantar saudara angkatnya (Dit Sakmas) ke kampung Wain dan bermalam. Paginya Dit Sakmas meneruskan perjalanan dari Wain menuju Danar. Untuk bekal perjalanan Nara’aha Matan Vuun Sutra mengisi saloi Dit Sakmas sagu lempeng. Sagu lempeng itu dinamakan manga bau taver wain. Sepanjang perjalanan ke Danar bekal sagunya dicuri/diambil dari saloi-nya hingga sampai di Limngoran (Kol dirdir) bekal Dit Sakmas habis dicuri.
Ia meneruskan perjalanan sampai di Danar dan bertemu Arnuhu yang sedang sibuk mengerjakan perahu di pasir pantai. Dit Sakmas menyapanya dan bertanya di mana tinggalnya Arnuhu dan ia berada di mana sekarang. Arnuhu dengan menyembunyikan dirinya ia menjawab bahwa orang itu berada di rumahnya. Lalu Arnuhu Suarubun menghantar Dit Sakmas ke rumahnya, dipersilahkan Dit Sakmas masuk dan duduk di dalam. Arnuhu berpura-pura keluar untuk mencari tuan rumah dan ia ke belakang rumah membersihkan badan di sumur lalu masuk dari pintu belakang rumah berganti pakaian. Sesudah itu Arnuhu pergi bertemu Dit Sakmas. Setelah itu Dit Sakmas menjelaskan hal-ihwal yang menjadi alasan untuk ia datang bertemu Arnuhu. Arnuhu menyapanya dan menyogoki Dit Sakmas dengan sirihpinang, sebagaimana biasa diterimanya seorang tamu. Untuk diketahui Arnuhu dari kalangan tingkat mana Dit Sakmas sebenarnya, Arnuhu membuat sirihpinang dalam tempat sirih (baan rit) atas dua bahagian. Bahagian kanan baan rit diletakan daun sirih berwarna kuning dan pinang berbiji besar (maneran narnar dan isu mel), sedang bahagian kiri diletakan sirih biasa dan pinang biasa. Setelah sirihpinang disodorkan, Dit Sakmas langsung mengangkat sirihpinang bahagian kanan, yaitu daun sirih berwarna kuning.
Dengan adanya tanda itu sudah menentukan bahwa Dit Sakmas dari kalangan mel-mel (bangsawan) maka Arnuhu Suarubun menerima Dit Sakmas menjadi isterinya. Mereka hidup di Danar beberapa waktu lamanya, dan Dit Sakmas ingin kembali mengunjungi orangtuanya di Ohoivuur. Arnuhu membuat bekal Dit Sakmas dengan mengisi di saloi ikan Sakuda Asar (Fo ngon roror).
Perjalann Dit Sakmas kembali ke Ohoivuur melalui bahagian tengah daerah Sitharnol kekuasaan Rat Kanew. Sesampai di sesuatu tempat dekat Sitharnol ia dihadang dua orang beradik-kakak Nar’aha dan Fanev Waurtahit asal kampung Ohoideryamlim. Menurut penuturan bahwa saloi Dit Sakmas dibalik oleh kedua beradik-kakak itu. Penuturan ini merupakan bahasa demi menjaga kehormatan nama Dit Sakmas, namun dirinyalah yang diperlakukan.
Dit Sakmas datang ke Sitharnol dengan keluh tangisan, menyampaikan kepada Rat Kanew perbuatan perlakuan Nar’aha dan Fanev atas dirinya. Berdasarkan hukum (Babakain) yang berlaku Rat Kanew memerintahkan rakyat Bibtetratsiw menangkap kedua pelaku itu dan membunuhnya. Sesudah itu Rat Kanew menyuruh rakyat Bibtetratsiw pergi ke orangtua kedua korban Tesu Evav Waurtahit di Ohoideryamlim, menuntut agar ia (orangtua si korban) harus membuat harta untuk pulihkan perbuatan kesalahan anak-anaknya. Bila tidak anak-anaknya akan dibunuh. Tindakan ini merupakan tipuan karena kedua pelaku (Nar’aha dan Fanev) telah terbunuh, diikat pada tiang dan ditempatkan di Nuut Ai Num.
       Tesu Evav Waurtahit bapa kedua korban menyerahkan 3 (tiga) mas antara lain : Ngaruv Tesu, A Femat, dan A Selngatan, dengan memohon agar kiranya anak-anaknya jangan dibunuh. Rakyat Bibtetratsiw kembali ke Sitharnol membawa tiga mas diserahkan kepada Rat Kanew dengan menyampaikan amanat pesanan dari Tesu Evav (orangtua si korban), balasannya dengan kata sindiran terhadap Tesu Evav Waurtahit. Dari tiga mas ini Rat Kanew mengirim Ngaruv Tesu kepada Arnuhu Suarubun suami Dit Sakmas dengan menyatakan bahwa mas itu adalah Mas Tebusan Darah Merah. Sedang dua mas lainnya yaitu A Femat dan A Selngatan Rat Kanew meletakannya pada Luv Hukum Babakain di Sitharnol.

b.      Dit Sakmas kembali ke Danar (Perjalanan kedua)
       Sesampai Dit Sakmas di Ohoivuur ia menceriterakan pengalamannya selama perjalanannya ke Danar dan kembali. Perjalanan kedua ini ia mengikuti lagi jalur perjalanan pertama. Pada saloi-nya dilingkari daun kelapa (janur) menjadi sasi perlindungan bawaan Dit Sakmas. Juga ia membawa seekor kerbau serta. Di atas punggung kerbau diletakan juga janur Faar Balwirin. Janur ini diambil dari kelapa Nur Fad. Sebelum Dit Sakmas berangkat ia mengatakan kepada orangtuanya bahwa bila ia wafat nanti jenazahnya dikebumikan di kampung saudara angkatnya Nara’aha Matan Vuan Sutra Esomar di Wain.
Selama tengah perjalanan tidak ada gangguan pada Dit Sakmas. Sesampai di Limngoran-Nguryen, kerbaunya disembelih dan dibagi atas 9 (sembilan) bahagian untuk sembilan pimpinan desa. Yang hadir pada penyembelihan kerbau adalah 4 (empat) pimpinan terkemuka (hala’ai). Maka disebutnya Siw I Fak, dan masyarakatnya (Lor) dari kesembilan pimpinan itu disebut Lor Karbau Siw. Sesudah terbaginya kerbau, pimpinan yang hadir mulai bersidang bermusyawarah mufakat mengatur dan menyusun tingkat-tingat kesalahan dan pelanggaran.
Dilihat dari perjalanan Dit Sakmas pertama ia sudah menemui beberapa permasaalahan antara lain : Sindiran orangtua dengan seorang lelaki, dicubit diganggu oleh Nara’aha Matan Vuan Sutra, kecurian bekalnya, mel-ren oleh Arnuhu, diperkosa oleh Nar’aha dan Fanev, dan penganiayaan dan pembunuhan Nar’aha dan Fanev di Waurtahit. Maka atas musyawarah mufakat sidang, tersusunlah 7 (tujuh) tingkat kesalahan[4] sebagai berikut:
1.       Lubak matler/ matko kabin                       – mengedipkan mata
Ngis kafir/ sis af                                          – mencubit, bersiul menggamai
A lebak                                                          – peluk dengan sengaja
Tod es                                                             – tonda,  menarik
Met tahit titu                                                 – mengganggu diatas meti/pantai laut
Temar u mur                                                  menusuk dgn ujung atau pangkal; busur
Lab ken lab sa                                              – salah kena dengan tidak sengaja.
2.    Bor Karu                                                        – merampok, mencuri
3.    Foar bor, evyan                                              memperkosa, menghamilkan
4.    Haung hebang, fasuk fako                            merencana berjanji, menghina
5.    Taha tal ,fedan na                                          menganiaya, membunuh
6.    Mbub tal vaha wain en dit tal tavunad        – merusak anak kandung
       Enval rir siran                                                perbuatan antar adik-kakak
       Wat I te lelan ain                                           merusak isteri orang
7.    Mel – ren                                                        perkawinan antar kasta

Catatan lain dikemukakan oleh Ohoitimur[5] seperti berikut :

a.       Pembentukan Hukum Adat Larvul Ngabal

       Kendati tiada kepastian tentang datum pembentukannya, semua tradisi lisan secara serempak menghubungkan pembentukan Hukum Adat Larvul Ngabal dengan Dit Sakmas, seorang tokoh sejarah Kei yang leluhurnya diasal-usulkan dari pulau Bali (kerajaan Majapahit). Dalam abad ke-14 kerajan Majapahit meluaskan kekuasaaannya di bawah pimpinan Gajah Mada, sehingga Maluku - termasuk Kei – terhitung pula sebagai wilayah kerajaan Majapahit. Akan tetapi pada tahun 1478 kerajaan termashyur itu runtuh sama sekali ketika raja Kediri Giridrawardhana merebut kekuasaan. Pada waktu itulah kerajan Majapahit menjadi kacau-balau dan rakyatnya tercerai-berai. ……………………………
       Dalam arus transmigrasi tersebut terdapatlah keluarga halaai (pemuka, pemimpin, kepala) yang bernama Kasdew dengan isterinya Dit Rangil. Mereka memasuki teluk Sorbai di pantai barat Kei Kecil, dan akhirnya singgah di pantai kampung Letvuan sekarang. Atas persetujuan penduduk asli, mereka mendirikan satu kampung di suatu bukit yang agak tinggi, dan diberi nama Ohoivuur (Ohoivur, yang berarti kampung di atas bukit). Terhadap penduduk asli mereka menyatakan diri sebagai wakil Dewa yang datang dari pulau dewata. Oleh karena itu semua persembahan kepada Dewa harus disampaikan melalui halaai Kasdew, yang mempunyai tiga orang anak, yakni Tebtut, Fadirsamai, dan Atman.
Sesudah beberapa waktu, Kasdew kembali lagi ke Bali dan pulang ke Kei bersama rombongan lain di bawah pimpinan halaai Jangra dan anaknya Dit Somar. Karena diserang angin topan, perahu Jangra yang berlayar di sebelah selatan pulau Kei, terpaksa memasuki selat Nerong dan mendarat di Lair-Ohoilim (Kei Besar). Dalam perahunya, Jangra antara lain memuat tiga puluh tombak dari Bali. Sementara itu perahu Kasdew bisa kembali dengan selamat ke Ohoivur.
     Halai Kasdew diganti oleh putranya Tebtut. Tebtut inilah yang menyatakan dirinya sebagai raja pertama di Kei dengan kedudukannya di Ohoivur. Pada waktu itu sudah ada juga beberapa halaai yang berkuasa di kepulauan Kei, yakni  Matilur di Ohoililir, Waer di Dian, Arnuhu di Danar, Kaneuw di Yatvav, dan Jangra di Lair-Ohoilim. Tetapi halaai - halaai tersebut rupanya belum disebut raja dan hanya berkuasa dalam daerahnya masing-masing. Baru pada waktu raja Tebtut hendak meluaskan kekuasaannya, para halai tersebut mulai digerakkan menuju satu persatuan dalam struktur kepemimpinan. Gerakan ini distimulir oleh Tebtut yang mengirim putrinya, Dit Sakmas, untuk kawin dengan Arnuhu di Danar. Perjalanan Dit Sakmas pergi-pulang Danar-Ohoivur merupakan babakan pertama dalam sejarah pembentukan Hukum Adat Larvul Ngabal.  

b.      Perjalanan Dit Sakmas

       Perkawinan dapat dipakai sebagai satu strategi politik dalam ekspansi kekuasaan. Hal ini rupanya dipraktekan oleh raja Tebtut dari Ohoivur yang mengirimkan putrinya  Dit Sakmas untuk kawin dengan Arnuhu Suarubun di Danar. Disertai oleh beberapa orang, Dit Sakmas berangkat menuju Danar di ujung selatan pesisir timur Kei Kecil. Dalam perjalanan ini Dit Sakmas bertemu dengan Naraha Matanvuun Sutra di Wain, yang karena terpesona oleh kecantikan Dit Sakmas, berniat mempersuntingnya. Kehendaknya ditolah oleh Dit Sakmas, dengan suatu  ikatan perjanjian persaudaran saja. Bahkan kepada Naraha Matanvuun Sutra, Dit Sakmas berjanji agar kelak dikuburkan di daerah kekuasaannya (Wain). Sampai sekarang, tradisi lisan rakyat menunjukan satu makam tua dekat kampung Wain sebagai makam dari Dit Sakmas itu.
Setelah Naraha Matanvuun Sutra memberikan sagu (bekal ini disebut manga taver Wain = sagu pemuda Wain) sebagai bekalnya, Dit Sakmas lantas melanjutkan perjalananya dan akhirnya bertemu dengan Arnuhu Suarubun di Danar. Keduanya segera kawin. Sesudah perkawinan ini, Dit Sakmas masih mengadakan beberapa perjalanan pergi-pulang Ohoivur-Danar untuk mengunjungi keluarga ayahnya, raja Tebtut. Dalam perjalanan-perjalanannya itulah, Dit Sakmas selalu mengalami gangguan dari penduduk asli yang ditemuinya. Perbekalan yang diangkut oleh seekor kerbau (kelak terkenal dengan sebutan kerbau siuw = kerbau sembilan) selalu dirampok. Akibat perampokan itu, maka dua orang dari Yatvav yang bernama Farnev dan Naraha (putra-putra dari Sua Savav), dibunuh.
Peristiwa perampokan itu dilaporkan kepada Tebtut. Untuk melindungi perbekalan Dit Sakmas dalam perjalanannya yang kedua, Tebtut menyuruh orang membuat tanda larangan yang ditempatkan di seputar bungkusan perbekalan puterinya. Tanda larangan itu dibuat dari anyaman daun muda pohon kelapa (janur), dan disebut Hawear. Inilah tanda larangan pertama yang dikenal dengan nama Hawear Balwarin. H. Geurtjens menlis : “Itulah tanda larangan pertama, yang dinamakan demikian karena untuk pertama kalinya dipakai untuk melindungi permaisuri muda yang berasal dari keluarga Bali”[6]
Yang dimaksudkan dengan permaisuri muda itu adalah Dit Sakmas, sedangkan dengan keluarga Bali dimaksudkan keluarga Tebtut. Dari nama Hawear Balwarin sebenarnya langsung jelas apa yang ditulis Geurtjens. Hawear berarti tanda larangan yang bersifat melindungi hak milik seseorang. Balwarin terdiri dari dua kata Bal berarti Bali, dan warin berarti muda. Istilah Hawear Balwarin sering dipakai di samping istilah Hawear Balwirin. Menurut tradisi lisan (wawancara dengan C. Labetubun, Kepala Desa dan Tokoh Adat desa Ela’ar) kata Bal itu merupakan singkatan dari Balrumlob, yakni nama daerah pasir yang ditanami pohon kelapa yang terletak di Danar. Wirin ialah kata bahasa Kei untuk daerah yang ditanami itu. Jika orang membuat tanda larangan (Hawear), mereka selalu mengambil janur dari Wirin Balrumlob.
Berdasarkan tradisi lisan ini, maka Hawear sebagai tanda larangan yang melindungi hak milik seseorang, ternyata sudah dikenal oleh orang-orang Kei asli sebelum Tebtut datang. Kami pribadi lebih cendrung untuk menerima kebenaran tradisi lisan ini, mengingat bahwa sulit diterima Tebtut langsung menggunakan satu tanda larangan yang sama sekali belum dikenal oleh orang-orang Kei asli. Lebih masuk akal bahwa Tebtut mengambil alih tradisi Hawear yang sudah lama dikenal oleh orang-orang Kei. Isi yang terkandung dalam Hawear balwirin adalah “milik orang tetap milik orang, dan milik kita tetap milik kita = jangan mencuri” (hira ni ntub fo i ni, it did ntub fo it did).

c.       Penyebaran Hawear Balwirin : Pembentukan Hukum Adat Larvul Ngabal
       Peristiwa perampokan terhadap rombongan Dit Sakmas ternyata cukup menghebohkan, baik bagi keluarga raja Tebtut maupun halaai - halaai di sekitar peristiwa itu terjadi. Tebtut sebagai raja yang berpengaruh, mulai bertindak. Ia mau menertibkan masyarakat Kei dan menghendaki agar seluruh masyarakat Kei mentaati secara konsekwen tradisi Hawear Balwirin itu. Iapun mengundang para pemuka kampung yang berpengaruh (halaai). Mereka berkumpul di Ela’ar-Ngursoin (di pantai timur Kei Kecil) dalam satu rapat besar. Jumlah halaai yang hadir sebanyk 9 orang. Kepada mereka Hawear balwirin diteguhkan sebagai hukum yang perlu ditaati dan dilaksanakan. Kemudian dimaklumkan pula pasal-pasal hukum baru yang bertujuan memelihara kestabilan kehidupan sosial dan kehidupan berumahtangga. “Tambahan” pasal-pasal itu sebenarnya dapat dimengerti karena peristiwa perampokan itu sebetulnya merupakan satu kekacauan sosial, dan juga merupakan satu gangguan terhadap anak puteri dan isteri orang lain. Secara lengkap, tercetuslah hukum yang terdiri dari 7 pasal itu, yaitu :
1. Uud entauk atvunad                         = kepala kita bertumpu pada tengkuk kita
2. Lelad ain fo mahiling                        = leher kita dihormati, diluhurkan
3. Ul nit envil atumud                           = kulit membungkus badan kita
4. Lar nakmud ivud                             = darah tinggal tenang dalam perut kita
5. Rek fo mahiling                                 = perbatasan (ambang abu) dihormati
6. Moryain fo kelmutun                         = perkawinan/kemurnian harus dihormati
7. Hira ni ntub fo i ni,                           = milik orang tetap milik orang,
    it did  ntub fo it did                                milik kita tetap milik kita.  
………………………………………………………………………………………………………………      
Ketujuh pasal hukum yang diumumkan dan diterima oleh kesembilan halaai itu, disebut hukum Larvul. Sebagai tanda meterai pemakluman hukum tersebut disembelihlah kerbau pembawa bekal Dit Sakmas, yang dikenal dengan nama kerbau hungar nar (bertanduk kemilau), atau kelak disebut pula sebagai kerbau siuw karena dagingnya dibagikan kepada sembilan (siuw) halaai yang hadir. Darah dari kerbau ini dijadikan meterai pemakluman hukum, karena itu hukum yang dimaklumkan disebut Hukum Larvul, berarti Hukum Darah Merah (lar = darah, vul = merah). Kesembilan halai yang berkumpul dan memproklamirkan hukum Larvul itu bersama-sama membentuk satu kelompok yang kelak akan terkenal dalam masyarakat Kei sebagai kelompok masyarakat Ursiuw (Ur = kelompok. halaai = kepala, siuw = sembilan).
 ……………………………………………….
Adapun kesembilan halaai yang berkumpul itu berasal dari :
1.       Danar,      mendapat kepala
2.       Ngursoin, mendapat mata
3.       Ela’ar,       mendapat gigi
4.       Mastur     mendapat tanduk
5.       Ohoinol,   mendapat perut (usus) besar
6.       Wain,       mendapat hati/jantung
7.       Ohoider,  mendapat empedu
8.       Marfuun, mendapat ujung ekor
9.       Yatvav,    mendapat tengkuk.
Ada pula dua halaai yang tidak hadir, tetapi dikirim bagiannya, ialah :
10.   Uf,           mendapat tulang betis
11.   Du,          mendapat kulit.
Pembagian dan penerimaan daging kerbau ini merupakan lambang penerimaan dan pengakuan hukum yang sama, yakni hukum Larvul itu.
        Sesudah beberapa lama, puteri Arnuhu dan Dit Sakmas yang bernama Bunte Nuhu Dit dibawa lari oleh Bomav, seorang halaai dari Fer (Kei Besar). Bunte nuhu Dit akhirnya bisa kawin juga dengan Bomav yang kemudian menjadi raja Fer. Raja Bomav inilah yang berinisiatif untuk mengumpulkan lima halaai demi pemakluman hukum yang sudah diumumkan di Ela’ar oleh 9 halaai dari Kei Kecil. Kelima halaai itu berasal dari Fer, Nerong, Uvat, Elraan (Ub Ohoilim), dan Tebav/Yamlim (Weduar, Tutrean, Tamngil, Fer, Langgiar). Pertemuan diadakan di Lair-Ohoilim, di mana tombak-tombak dari Bali (Ngabal) disimpan. Tombak-tombak itulah yang dijadikan meterai proklamasi hukum, sehingga hukum itu disebut hukum Ngabal. Isi hukum Ngabal tidak berbeda dengan isi hukum Larvul yang dimaklumkan di Kei Kecil.
Seperti kesembilan halaai masyarakat Ursiuw membagi-bagikan kerbau hunga nar sebagai tanda penerimaan hukum Larvul, para halaai yang berkumpul di Lair-Ohoilim juga membagi-bagikan seekor ikan paus (dalam bahasa Kei disebut Lor) yang konon dibunuh oleh orang-orang Lair-Ohoilim dengan tombak-tombak dari Bali. Karena itu kelompok lima halaai tersebut dinamakan Lorlim. Pembagian ikan pus itu adalah sebagai berikut :
1.       Fer,         mendapat kepala
2.       Nerong,  mendapat perut
3.       Uvat,       mendapat ekor
4.       Tutrean,  mendapat sayap
5.       Elra’an,   mendapat gigi
       Demikian kiranya menjadi jelas bahwa hukum yang “baru” itu pada akhirnya diterima dan diakui dalam dua kelompok masyarakat Kei, yakni hukum Larvul untuk masyarakat Ursiuw dan hukum Ngabal untuk masyarakat Lorlim. Perpaduan antara dua hukum yang sama isinya tetapi berbeda meterai pemaklumannya itu, terjadi dalam proses perluasan kekuasaan Ursiuw dan Lorlim, serta meluasnya pengaruh hukum itu sendiri pada waktu pengangkatan raja-raja di seluruh Kei.-   

---000---
March 26, 2014



[1] 1O. Labetubun BA, mantan Kepala Sekolah SMA Negri di Tual, dan mantan Kakandepdikbud Kotamadya Ambon. Sekarang beliau telah pensiun dan bergiat menulis tentang adat-kebudayaan Kei. Salah satu diantaranya adalah materi ini, yang berupa bahan ketikan lepas sebanyak dua halaman yang tidak dipublikasikan
[2] J. P. Rahail,  Larwul Ngabal Hukum Adat Kei,  Yayasan Sejati Jakarta 1993, halaman 4 – 7.-
[3] A. J. Ngamel adalah Kepala Desa di desa Somlain-Kei Kecil. Dalam sejarah raja-raja Kei, beliau berasal dari keturunannya Raja. Tulisannya berupa diktat berjudul Larwul Ngabal Ursiw Lorlim, Tual 1997, halaman 2 – 4.-

[4] Tujuh tingkat kesalahan ini yang disebut sasa sor fit, atau kesalahan berlapis tujuh, atau kesalahan yang terdiri dari tujuh bagian, yang terdapat dalam Hukum Larvul Ngabal, lihat Ohoitimur Yong MSC,  Hukum Adat dan Sikap Hidup Orangf Kei,  KS Komunicanda Skolastik MSC, Pineleng 1996, halaman 9 – 11.-
[5] Ohoitimur Yohanis,  Beberapa Sikap Hidup Orang Kei Antara Ketahanan Diri Dan Proses Perubahan (Tesis), Sekolah Tinggi Seminari Pineleng-Manado, Pineleng 1983 halaman 51 – 55.-
6 H. Geurtjens, Uit Een Vreemde Wereld, halaman 181.-

5 komentar:

  1. Mohon infokan kalau Elraan tahun berapa berdirinya...?

    BalasHapus
  2. Mohon infokan kalau Elraan tahun berapa berdirinya...?

    BalasHapus
  3. Mohon maaf, setau saya yang mendapatkan bagian gigi pada pembagian ikan paus lorlim adalah Hila'ai Meljam Fak di desa Langgiar

    BalasHapus
  4. Sejarah yang tidak bersumber dari fakta akan melahirkan kebohongan sejarah.. Dari semua dongeng2 panjang tentang terbentuknya kei maka sudah pada tentunya harus dijelaskan sumber hidup yang menyaksikan atau mengetahui secara langsung peristiwa pembentukan itu.ataukah adanya tulisan sejarah atau peninggalan dalam bentuk prasasti yang menegaskan perjalanan sejarah kei atau tidak.. Semuanya hanya tom dan tad. Yg lahir dari versi berbeda2 yg pada tentunya sesuai keinginan sumber sejarah masing2.intinya tolong diluruskan perjalanan sejarah kei yg katanya dari bali ataupun dari jaman kerajaan majapahit yg tersebar di kei lewat pembuktian tad.. Agar keturunan anak cucu kei tahu bahwa benar asal usul kita dari sana. Jangan hanya mendongeng tanpa ada pembenaran sejarah yg ditinggalkan di jaman kerajaan majapahit yg smpai detik ini dpt dipakai sebagai argumen identitas diri kita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya hormati pendapat Sdrku, maka tolong kemukakan apa yang benar yang Sdr tahu. Sebab apa yang saya tulis punya sumber sesuai dengan pendapat tokoh atau tulisan oleh para tokoh. Sdr bisa baca di kutipan end note tertulis.

      Hapus