Rabu, 26 Maret 2014

Memahami Konteks; Sebagian Kebudayaan Buru


Oleh: Pdt. DR. Nicodemus Sedubun, M. Th, D. Th
Pengantar
            Kekayaan konteks pelayanan Gereja di wilayah pelayanan Gereja Protestan Maluku (GPM) bagaikan mutu manikam berbagai bentuk kebudayaannya. Sampai saat ini GPM menanggapi medan konteks itu secara berbeda.[1] Sikap berbeda itu dapat disebut berstandar ganda terhadap kekayaan bentuk-bentuk kebudayaan lokal. Nampaknya ia lahir dari polise pemahaman pelayanan di konteksnya. Maksudnya, GPM menganut polise pemahaman sentralisasi visi dan disentralisasi prakarsa dalam menata pelayanannya; di aras Sinode dan Klasis, berpusat visi sentral pelayanan dan di aras Jemaat menyebar disentralisasi prakarsa pelayanan. Konsep polise ini pun masih dapat didebatkan sebab wacana dan praktek pelayanan GPM berbasis di Jemaat. Jemaat adalah konteks prima GPM bervisi dan berprakarsa.
A.     Falsafah Hidup dan Kerifan Lokal Buru[2]
1.      Asal-usul nama pulau Buru
Dalam bahasa daerah, pulau Buru disebut bipolo, yang berasal dari dua suku kata yaitu bia dan polon. Bia berarti papeda, sejenis makanan asli orang Buru (juga orang pulau Ambon, pulau-pulau Lease, pulau Seram dan pulau Aru), yang terbuat dari endapan pati remasan hasil pangkur isi batang sagu. Orang di luar Maluku, seperti orang Jawa, menyebutnya bubur sagu. Bahan dasar endapat pati sagu disebut sagu manta (sagu mentah, sagu yang masih mentah). Untuk membuat papeda, sagu mentah harus dilumatkan dalam air, disaring dan diteduhkan selama beberapa menit sampai mengendap. Kemudian airnya dibuang dan tinggal pati sagu. Untuk membuat papeda, sagu itu dicampur lagi dengan air lalu diaduk sambil menjaga kekentalannya. Jangan terlalu diberi terlalu banyak air, nanti adukannya encer. Jika terlalu encer, papeda yang dihasilkan juga encer dan tidak nyaman memakannya. Sementara itu air panas sudah dididihkan. Larutan sagu kental tadi terus diaduk supaya sagu jangan mengendap. Jika mengendap, papeda yang dihasilkan akan berbiji gumpalan putih. Jadi ketika air panas mendidih hendak di tuangkan ke dalam larutan sagu, larutannya harus terus diaduk. Setelah air panas dituangkan ke dalam wadah larutan sagu, adukan dihentikan dan menunggu beberapa detik sampai larutan yang semula berwarna putih-sagu berubah menjadi kecoklatan lalu diaduk dengan semacam sendok besar yang terbuat dari kayu, disebut aru-aru.
Polon, artinya getah, atau perekat yang melekatkan. Konon ketika orang pertama datang di pulau buru, waktu itu baru usai banjir besar yang membuat becek di mana-mana. Tanah tempat berpijak berwarna kecoklatan seperti warna papeda dan kaki orang yang menginjaknya melekat tertanam ke dalam tanah. Dari penuturan di atas, sebutan bipolo menjadi falsafah atau pandangan tentang ikatan hidup orang Buru adalah erat mengikat seperti papeda. Ketika dimakan, ia terasa sejuk, nyaman dan menyatukan antara rasa, cipta dan kedamaian. Pulau Buru sering juga disebut dengan istilah bumi bipolo.

2.      Kearifan lokal Buru.
Kerifan lokal Buru dikenal dengan sebutan kai-wait, wali dawen. Kai berarti adik dan wait berarti kakak. Wali berarti ipar dan dawen berati konyado. Sebenarnya kata mejemuk wali-dawen mengandung satu arti saja, yaitu ipar.[3] Karena sebutan lokal yang umum di pulau Ambon, pulau-pulau Lease, pulau Seram dan pulau Buru untuk ipar adalah konyado. Sebutan konyado yang berarti ipar, sebenarnya berasal dari pulau-pulau Lease, khusunya di pulau Saparua. Penyebarannya terjadi karena proses perkawinan penduduk antar pulau di mana seorang ipar dari pulau Lease memanggil ipar-nya yang bukan orang Lease konyado, sehingga mempengaruhi mereka saling memanggil ipar dengan konyado. Untuk hubungan di antara ipar, baik ipar dari garis hubungan kandung seorang suami dengan saudara-saudara isterinya dan juga dengan isteri atau suami dari saudara-saudara kandungnya. Misalnya saudara-saudara laki-laki dan perempuan dari isteri suami “A” akan memanggil saudara-saudara laki-laki dan perempuan suami “A” sebagai ipar mereka dan sebaliknya.
Pemahaman hubungan hidup seperti di atas dalam ikatan hubungan hidup orang Maluku disebut hidup orang bersaudara atau hidup orang basudara. Jadi, hubungan orang basudara Buru adalah seperti hubungan hidup seorang adik dengan kakaknya. Seorang tokoh adat Buru yang juga tokoh pemuda Buru,[4] menjelaskan bahwa sebutan kai-wait, adik-kakak, bermula dari keretakan hubungan di antara seorang adik dengan kakaknya menyangkut pemilikan tanah. Untuk menjaga keutuhan hubungan di antara adik-kakak, hubungan itu diikat dengan janji bahwa mereka adalah bersaudara dan berasal dari satu orangtua, ayah dan ibu, yang menghendaki mereka hidup bersama dalam menikmati warisan tanah dari orangtuanya. Hubungan itu berkembang melintasi perkawinan menjangkau ipar dan juga di antara sesama ipar dengan ipar yang lain dalam satu hubungan asal kai-wait sebagai adik-kakak.
Kearifan lokal kai-wait yang menegaskan hubungan hidup orang buru yang seperti adik-kakak mengartikan ikatan kekeluargaan itu terhisab dalam tiga ikatan, yaitu: pertama, silsilah. Hidup orang basudara Buru berkembang menurut garis keturunan. Artinya, dari keturunan keluarga “X” semua anak-anaknya terikat dalam hubungan hidup kai-wait sebagai adik-kakak. Kedua, asal-usul. Seorang informan[5] mengatakan bahwa hubungan hidup kai-wait juga menyebar dalam awal mula orang buru hidup di suatu tempat. Di kemudian hari mereka menyebar dan berdomisili di suatu tempat baru. Ia melanjutkan bahwa ada juga pembentukan hubungan kai-wait itu dalam sebuah peristiwa sejarah yang melandasi pengkuhan hubungan hidup di antara mereka sebagai adik-kakak. Ketiga, bentukan hubungan hidup kai-wait yang lain terjadi karena perkawinan. Dari hubungan perkawinan, misalnya “X” seorang laki-laki atau perempuan asli Buru dan kawin dengan orang bukan Buru. Anak-anaknya dan orang tua serta saudara-saudara kandung dari isteri atau suami bukan Buru juga masuk dalam ikatan hubungan kai-wait sebagai orang basudara Buru.
B.      Beberapa Tradisi Adat Buru[6]
1.      Tradisi toho wae.
Secara harafiah toho wae berarti masuk ke air atau berendam di air. Toho berarti turun, masuk atau berendam dan wae berarti air. Ritual ini adalah sebuah inisiasi adat Buru, yang dilakukan kepada anak-anak berusia dua belas tahun ke atas, atau anak-anak berusia remaja menjelang dewasa. Inisiasi berpuncak pada sirkumsisi atau sunat adat Buru. Sebelum sunat, seorang “Guru” melakukan ritual adat dengan doa adat dalam bahasa Buru. Setelah itu, ia melanjutkan tahapan ritual yang berikutnya. Anak-anak yang hendak disunat, harus berendam di kali yang airnya mengalir. Lamanya berendam tergantung dari “Guru” yang melaksanakan ritual awal sampai proses sunat dan pengobatannya. Berendam di air yang mengalir dipahami membawa sisa-sisa kotoran hidup atau membersihkan bagian tubuh vital, kemaluan, sehingga hidupnya ke masa depan akan baik. Berendam juga dipahami sebagai cara untuk melemaskan otot-otot kemaluan yang akan dipotong. Seorang tokoh adat mengatakan bahwa sunat tidak hanya dikenakan kepada anak-anak laki-laki, tetapi juga diterapkan kepada anak-anak perempuan.[7]
Sunat adat Buru memakai pisau tradisional berupa kulit bambu tipis bagian luar. Bambu yang dipakai bukan sembarang bambu, tetapi bambu yang oleh orang Maluku Tengah disebut loleba. Kulit luar bambu loleba dapat digunakan sebagai tali pengikat dan banyak kali dipakai untuk menganyam atap. Bambu loleba juga dapat dipakai sebagai bahan dasar membuat berbagai anyaman, seperti nyiru, ayakan, bakul, keranjang, topi, dan beberapa barang tradisional lainnya. Caranya, kulit potongan luar bambu loleba dibelah setipis mungkin dan hasilnya adalah kulit tipis yang yang sangat tajam, setajam sembilu. Masyarakat Maluku Tengah menyebutnya hahesi. Ia di rendam di air mengalir sebelum fajar sekitar jam 4 pagi. Saat mengambil loleba dan berjalan ke tempat merendam hahesi, harus sendirian dan tidak boleh diketahui orang atau bertemu orang di jalan. Menurut keyakinan masyarakat Buru, “kerahasiaan” itu merupakan syarat bagi keberhasilan, kemanjuran dan kesucian ritual. Kesucian ritual berkait erat dengan perjalanan hidup orang yang disunat. Biasanya jika orang itu tertimpa banyak kegagalan misalnya saat mencari pekerjaan, sakit-sakitan dan kesialan lainnya, kondisi negatif itu dihubungkan dengan kekhusukan selama melakukan ritual toho wae. Jika malapetaka misalnya kekeringan, banjit atau penyakit menimpa desa, maka biasanya penyebabnya juga adalah ketidak beresan dalam melakukan  ritual sunat.
Obat yang dipakai setelah disunat adalah obat tradisional Buru, disebut barut. Obat ini berupa kikisan bagian belakang pelepah enau yang menggantung ke arah tanah. Enau ini oleh masyarakat lokal Buru disebut tanaman paku-paku, yang daunnya tidak bisa dimakan sebagai sayur. Sebab ada tanaman sejenis yang daunnya bisa dimasak sebagai sayur. Tanpa campuran bahan lain, barut, direkatkan ke daerah luka bagian yang disunat sampai sembuh. 
Disebut sunat adat, sebab ritual ini menjadi alat pemersatu ikatakan kekeluargaan masyarakat. Ia adalah sebuah identitas bagi suku atau masyarakat asli Buru. Masyarakat asli Buru yang mendiami pesisir pantai dan sudah berbaur dengan penduduk migran lain dari Buton, Bugis, Makasar dan penduduk lain dari Maluku, ada yang masih mempertahankan tradisi toho wae. Tetapi ada juga yang sudah meninggalkannya. Bagi penduduk asli Buru yang memganut Islam, sunat adat sudah diambilalih dengan melakukan sunat agama secara Islam. Bagi penduduk asli Buru yang beragama Kristen, toho wae ditanggapi dengan dua sikap; ada yang menerima tradisi ini dan ada juga yang mengabaikannya saja. Di beberapa desa Protestan, Pendeta di Jemaat itu melarang tradisi ini. Latar penolakkannya bahwa Tuhan Yesus sudah disunat sekali untuk selamanya menggantikan kita, sehingga tradisi yang ada bertentangan dengan iman Kristen. Dampak dari sikap menolak seperti ini mengakibatkan masyarakat asli melaksanakan tradisi toho wae secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi.[8] Selama beberapa hari sampai seminggu, anak-anak remaja menjelang dewasa di desa mengungsi untuk mengikuti ritual tersebut. Setelah melewati masa penyembuhan, baru mereka muncul lagi di desa.
Bagi masyarakat di desa Protestan yang Pendeta di jemaat itu menerima tradisi toho wae, ritual itu dapat dilaksanakan saja. Kepala adat, yang biasanya berperan sebagai “Guru,” akan mengundang Pendeta untuk mendoakan ritual tersebut dengan harapan supaya semua pelaksanaannya berjalan lancar. Di desa-desa seperti ini, peserta tradisi toho wae dengan mudah dapat dikenal. Anak-anak usia remaja menjelang dewasa yang memakai kain sarung adalah mereka yang baru selesai melaksanakan ritual tersebut dan sedang menjalani masa penyembuhannya.
Menurut informasi, tradisi toho wae sudah ada jauh sebelum Islam masuk di Buru. Ia sangat kuat sekali dipertahankan oleh penduduk asli Buru yang tidak tersentuh oleh Islam terutama di daerah pegunungan danau Rana. Sampai hari ini penduduk pada desa-desa di sekitar danau Rana masih teguh melaksanakannya. Informasi lebih jauh menyebutkan bahwa tradisi ini bukan sebuah ritual berkaitan dengan adat. Artinya sunat adat Buru tidak berkaitan dengan praktek agama asli Buru. Ia lebih menekankan pada sisi kesehatan dan kebersihan tubuh, baik laki-laki maupun perempuan, yang dimulai sejak usia remaja sampai akil-balig. Toho wae, adalah sunat untuk kesehatan dan dapat disebut juga sebagai cara mendapatkan kenikmatan hubungan seks. Ada pandangan orang tertentu yang berpendapat bahwa ketika bersetubuh dengan kelamin yang disunat, terasa lebih nyaman dan nikmat. Bagi kebersihan tubuh, ada pendapat yang mengatakan bahwa orang yang tidak disunat biasanya menyimpan kororan dibalik gulungan kulit kemaluannya. Kotoran itu menimbulkan rasa tidak nyaman ketika berhubungan intim.
Sebuah kisah terjadi di tahun 2000, ketika Konflik sosial Kristen-Islam masih pecah di Ambon. Selama itu jika ada seseorang yang tidak dikenal masuk di lingkungan kelompoknya, entah Kristen atau Islam, maka orang itu akan ditelusuri identitasnya secara cermat. Si yang tidak dikenal itu akan ditanyakan informasi dan mencari bukti identitas dirinya, terutama agama yang dianut. Jika lingkungan kelompok itu Kristen, maka orang yang mendatangi atau masuk ke lingkungannya haruslah orang Kristen dan demikian juga dengan lingkungan kelompok Islam. Kelompok Kristen menangkap seorang asing yang masuk di lingkungannya. Setelah melewati beberapa tahap ‘pemeriksaan’ mereka menanyakan dia dan membuktikan bahwa benar ia seorang Kristen. Ketika ia hendak meninggalkan mereka tiba-tiba seorang pemuda yang agak ragu meminta agar mereka memeriksa tanda fisik tubuhnya. Setelah diperiksa, mereka menemukan bahwa dia seorang yang disunat. Semua orang di kelompok itu geram sebab menurut mereka ia membohong. Namun, ia berkeras mengaku bahwa ia seorang Kristen. Anggota kelompok dengan marah sambil memukul menyela: “Tapi (tetapi) ose (anda) sunat (disunat).” Kekerasan baru berhenti ketika seorang di antara kelompok Kristen itu bertanya: “Ose (anda) orang mana (berasal dari mana)”? Ia menjawab: “Beta (saya) orang Buru.” Anggota kelompok Kristen itu serentak menegur teman-temannya supaya berhenti menyiksa dia dan menjelaskan bahwa semua laki-laki orang Buru itu disunat termasuk dirinya. Kemudian ia dengan rela mempersilahkan teman-temannya membuktikan sendiri dengan memeriksa diri fisiknya.
2.       Tradisi Tafo Futan
Adat tafo futan, adalah tradisi melarang hidup perselingkuhan di antara orang yang sudah menikah dengan isteri/suami atau sebaliknya, di antara orang yang sudah menikah dengan bujangan dan di antara orang sesama bujang (lihat Kej. 20:14). Ada penetapan denda dengan jumlah uang tertentu (Rp 7.000.000). selain itu, ada slau yaitu lenso adat yang diikatkan pada kelamin pria yang berselingkuh sebagai tanda ia tidak mengulanginya lagi. Bagaimana dengan perempuan yang juga menikmati selingkuh ? Tidak ada sanksi yang dikenakan kepadanya. Selama ini dikehui bahwa bentuk sanksi atas kasus itu hanya dikenakan kepada pihak laki-laki.
Menurut norma adat Buru, laki-laki dewasa yang membuat pelanggaran seksual terhadap perempuan lain, ia diberi sanksi dengan memakai slau. Laki-laki dewasa dimaksud adalah seorang bujang atau pun seorang yang sudah menikah dan perempuan korban juga adalah seorang bujang dewasa ataupun yang sudah menikah. Slau adalah lenso adat Buru biasanya disebut juga sebagai lenso kapala (kepala), yang diikat sebagai destar di kepala. Lenso adat ini sebagai tanda persekutuan adat dalam masyarakat adat Buru. Kepala adat bertugas meIetakkan slau dengan mengikatkannya pada kemaluan laki-laki yang melakukan pelanggaran tersebut. Ikatan slau membungkus alat kelaminnya.
Ada yang bertanya: “Apakah benar penerima sanksi adat itu taat mengenakan slau? Pertanyaan ini menarik sebab slau jauh tersembunyi dalam bungkusan pakaiannya. Namun demikian, pada umumnya menurut penuturan orang Buru, tokoh adat dan para orangtua di desa akan tahu pasti, ia sedang memakainya atau melepaskannya. Selama ini belum dijumpai ada penerima sanksi adat itu merlepaskannya. Sebab ada waktu tertentu ia “diperiksa.”
3.      Sihit atau Sasi Adat  
Sihit  dilaksakan sama seperti yang ada di berbagai daerah di Maluku. Sebagai tanda larangan adat, sihit merupakan tanda perlindungan atas hak hidup seseorang atau sebuah desa dengan petuanannya. Ada sihit yang ditangani oleh perangkat desa dengan ritual adat. Dalam prakteknya ritual adat memakai bahasa adat, bahasa tua Buru dengan mengangkat atau memakai simbol benda tertentu. Benda tanda biasanya berbeda terkait lahan benda atau obyek yang akan di-sihit. Jika obyeknya adalah dusun kelapa dan meti, dipakai tanda dari daun kelapa muda (janur). Jika obyek lain, dipakai tanda silang dengan bahan bambu, kayu atau daun kayu.
Selain itu ada juga sihit yang dilakukan oleh Gereja. Ia di doakan di Ibadah Minggu dengan membawa benda sebagai tanda sihit. Benda itu bisa berupa botol berisi air dengan ikatan kain berwarna tertentu. Tanda itu dipancang di sekitar tempat larangan. Ada juga yang menempatkannya di dekat arah jalan dengan maksud supaya mudah diketahui.

----------nseb---------



[1] Belum tegas terlaksana respons para Pelayan GPM melihat kekayaan bentuk dan isi kebudayaan yang ada di konteks pelayanannya, baik pada aras Sinode, Klasis dan Jemaat. Misalnya, ada Pelayan yang menerima praktek sunat yang umum ditemui di masyarakat Buru, tetapi ada juga yang menolaknya. Yang menerima memahami bahwa prkatek itu adalah sebuah penghargaan dan pelestarian ikatan moral masyarakat lokal, sedangkan yang menolak melihat praktek itu adalah perbuatan kafir dan bertentangan dengan iman Kristen. Menurutnya, Tuhan Yesus sudah disunat sekali untuk selamanya mewakili orang beriman.  
[2] Wawancara dengan tokoh masyarakat Buru Bapak E. Hukunala, 8 Juli 2012.-
[3] Wawancara dengan Pdt. Hany Thenu, 10 Desember 2013
[4] Wawancara dengan Pdt. Vecky Lesbata, 14 November 2012.
[5] Wawancara dengan Bapak J. Lesnusa, 12 Dersember 2012
[6] Sanny Gloria Kainama; Laporan Vikaris di Jemaat GPM Waenalut Klasis Buru Selatan, GPM, Ambon 2012, halaman 13 - 17
[7] Wawancara dengan Pdt. Jopy Teslatu, 4 Desember, 2013
[8] Wawancara dengan Pdt. Angky Teslatu, 2 Desember, 2013


4 komentar: