Kamis, 15 Mei 2014

LAPORAN BUKU DIETER BARTELS[1]



Oleh: Pdt. Nicodemus Sedubun, M. Th

Pendahuluan

Untuk membantu memahami uraiannya, maka Laporan Buku ini akan dikemukakan dengan sistematika seperti berikut :
  • Pendahuluan
  • Pela dan Agama Nunusaku
  • Pela dalam Perspektif Ekonomi, Agama, Politik dan Hikmatnya
  • Respons Penulis

 

Tentang Buku

Buku Guarding The Invisible Mountain : Intervillage Alliances, Religion Syncretism And Ethnic Identity Among Ambonese Christians And Moslems In The Moluccas (Thesis Doctor of Philosophy) menampilkan sebuah upaya penelitian antropologis oleh Dieter Bartels, tentang pela sebagi lembaga adat di wilayah Maluku Tengah pada tahun 1977. Selain itu ada juga seorang peneliti lainnya, Frank Cooley menulis sebuah Culture Report, berjudul Ambonese Adat : A General Description di tahun 1962. Dengan menyebutkan tahun 1962 dan tahun 1977 ini berarti dengan sengaja penulis hendak mengingatkan pembaca bahwa kedua penelitian ini, dengan semua data tentang pela, adalah fakta kondisi sebelum terjadinya malapetaka dalam sejarah kehidupan masyarakat adat di Maluku yaitu Kerusuhan bernuansa SARA tahun 1999 – 2005. Baiklah  kita telusuri saja apa yang ditemukan oleh kedua peneliti ini.

Awal Hadirnya Pela (Bartels : 34-55)
Bartels menemukan bahwa pela mulai muncul dari tradisi ikatan hidup masyarakat suku asli Alifuru di pedalaman pulau Seram. Jika seseorang hendak masuk menjadi anggota suku, maka harus ada pertukaran darah di antara dia dengan suku yang hendak dimasukinya, supaya menjadi satu ikatan. Darah kedua belah pihak itu dicampur menjadi satu dan diminum sebagai tanda sumpah setia. Pandangan mereka tentang hidup dan mati ada dalam sebuah hubungan sebab akibat.
Terkenal dalam hidup mereka seorang pahlawan adat wanita bernama Rapie Hainuwela yang dipercaya lahir dari satu buah kelapa. Kelahirannya membawa berlimpah-limpah kekayaan alam seperti gong dan barang-barang porselin (tembikar) bagi penduduk pedalaman Seram. Kemudian ia dibunuh oleh orang-orang Alifuru dalam sebuah upacara tarian-menari, tubuhnya dipotong menjadi beberapa bagian dan ditanam. Dari bagian-bagian tubuhnya yang terkubur itu tumbuh akar umbi-umbian, yang menjadi tanaman makanan yang sangat berguna bagi ketahanan hidup orang Alifuru.
Kematiannya adalah awal dari hidup baru dan menjadi periode di mana pembunuhan manusia adalah dasar bagi kelanjutan kemakmuran hidup manusia dan semua tumbuh-tumbuhannya. Kepala manusia mulai menjadi alat dari kekuatan yang menjamin hidup makmur dan sejahtera. Ia menjadi dasar yang selalu harus dipenuhi ketika orang Alifuru ingin mencapai sesuatu bagi hidupnya. Hal ini nampak dalam tari-tarian tradisional terkenal daerah Seram Maru-Maru atau Maku-Maku.[2]
Sejak peristiwa pebunuhan Rapie Hainuwela, maka upacara-upacara orang alifuru selalu membutuhkan kepala manusia sebagai dasarnya. Ini mutlak diperlukan bagi kelangsungan hidup dengan segala krisisnya : bencana alam, epidemi penyakit, kegagalan berkebun dan berbagai bentuk kesukaran hidup lainnya. Mereka memahami bahwa, kegagalan dan bencana yang menimpa mereka juga disebabkan oleh salah satu kepala dari warganya yang sudah diambil oleh kelompok lain. Oleh karena itu, balas dendam harus dilakukan supaya kondisi hidup pulih. Akibatnya, perdamaian di antara para pemburu kepala di kelompok-kelompok Alifuru di pedalaman Seram, tidak pernah bisa permanent. Permusuhan di antara mereka berlangsung terus-menerus. Untuk itu diperlukan sistem aliansi di antara mereka. Sistem ini bukan hanya untuk perkara balas dendam, tetapi sangat penting bagi sebuah pertahanan yang menjamin kondisi hidup sehari-hari. Contohnya desa Lohi, yang berpindah ke tepi kali/sungai Tala wilayah petuanan desa Hunitetu. Tempat tinggal mereka yang baru ini kemudian hari dinamai desa Lohi-Tala,[3] mereka menjalin persaudaraan dengan desa Hunitetu supaya terhindar dari keganasan perburuan kepala.
Bartels menemukan bahwa pela bukan hanya sebagai sebuah sistem pertahanan, dari serangan pemburu kepala dan serangan lainnya dari desa-desa yang tidak punya hubungan persaudaraan dengan mereka. Tapi pela juga merupakan sebuah sistem penyerangan untuk terhindar dari serangan pemburu kepala. Kepala yang didapat dalam perburuan akan dibagikan kepada desa-desa peserta perburuan. Si yang pulang ke kampungnya dengan membawa kepala dipandang sebagai pahlawan yang ditandai dalam upacara mengikat kain pinggang merah, cidako, dan dipasang gelang hitam oiale wakote,
Fungsi pela juga untuk mengakhiri perang antardesa. Biasanya peperangan antara dua desa atau lebih berpusat pada dua kapitan-nya saja, yang menjajal kehebatannya, terutama kekuatannya magisnya. Warga kedua kelompok atau desa menonton. Kapitan yang menang dihormati, sedangkan yang kalah segera mencari upaya bersekutu dengan desa yang kapitannya menang, lalu mereka menjalin ikatan pela. Contoh antara desa Makariki di teluk Elpaputih dengan desa Saleman di daerah Taniwel.
Selain ikatan pela ada juga ikatan sejenis yang pribadi sifatnya, yang disebut hatipalane, yaitu ikatan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dari desa berbeda. Tujuannya untuk menyenangkan warga rekan pela laki-laki yang datang berkunjung. Hubungan ini untuk berdagang dan teman menari maru-maru atau maku-maku. Jaringan hatipalane bermanfaat untuk melengkapi sistem pela dalam mempertahankan ikatan-ikatan personal yang menjamin keselamatan.
Ada hubungan ikatan personal lain, yang disebut hasulie’elai, yaitu ikatan antara dua orang untuk menjalin pertemanan. Keduanya bersumpah bahwa mereka akan selalu membantu, baik dalam suasanan perang maupun dalam suasana damai, bahkan maut sekali pun. Selain itu, dalam ikatan pela ada juga ikatan persekutuan suku atau marga atau fam. Misalnya hubungan antara kapitan fam Wairisal dari desa Ameth dengan kapitan fam Manusama dari desa Abubu. Ada juga persahabatan seketika yang menjadikan ikatan pela. Contoh kasus Guru jemaat Mateus Purimahua dari desa Sahulaw dengan dua kapitan dari fam Saparuane bernama Walosane Ila dan Kasiale Ila. Ketika bertemu di hutan, Mateus merasa takut dan terancam lalu berteriak dengan suara keras “wake” dan menyodorkan sisirh-pinag. Kedua pihak memakannya bersama-sama dan membentuk ikatan pela.
Dalam ikatan pela mula-mula, seorang kapitan punya kekuatan magis, memutuskan permusuhan dengan jago perang pasukan musuh, dan berkuasa memutuskan apakah bersekutu dengan musuh atau mengikat perdamaian. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa persekutuan pela sebenarnya terbentuk dari ikatan pribadi-pribadi pemimpin perangnya (kapitan) yang kemudian diikuti oleh para pengikutnya

Pengertian dan Asal-Usul Pela (Bartels 1977 : 56-66)
Cooley menjelaskan bahwa pela adalah sebuah ikatan pertemanan atau persahabatan di antara satu desa dengan beberapa desa, yang diikat oleh leluhr untuk mengemban tugas yang suci dan khusus (Cooley 1962 : 71-72). Bartels menemukan bahwa ada banyak sekali kata atau kata-kata yang berkaitan dengan pela. Di antaranya : pela dalam dialek pribumi Maluku, yang berarti persekutuan, perserikatan, liga dan persaudaraan. Di sini, kata pela berarti persekutuan antara desa-desa pribumi. Pela dalam penger-tian ini menjadi cap nama yang eksklusif sekali. Selain itu, ada juga beberapa pengertian lain.  Pela dalam bahasa asli Seram berarti harus diakhiri, sudah pada akhirnya, misalnya dalam bagian kalimat  Papelae tuae ……….” berarti “(Mari) minum sageru (sejenis minuman beralkohol dari sadapan pohon enau atau kelapa) ……………… (sebab semua perkara, kesukaran dan masaalah sudah diselesaikan)”.
Di pulau Nusalaut, ada kata pelania, berarti harus diakhiri. Di desa Kailolo di pulau Haruku ada kata “pelaya” berarti “sudah” atau “habis.” Di Amahai ketika mengakhiri perseteruan di antara dua pihak yang bermusuhan biasa diakhiri dengan bahasa daerah “sou-sou pelania” artinya semua janji diakhiri. Di Huamual, pela berarti “sudah’ atau “teman terpercaya.” Pengertian ini berkaitan dengan tujuan dari sistem ikatan dalam persekutuan pela. Kata pela atau pela-pela berarti “diakhiri” berkaitan dengan upacara inisiasi kakehan, dengan memberikan tato akhir kepada seseorang setelah ia mengucapkan kata “pela,” yang menandakan berakhirnya upacara penerimaan anggota baru dengan memberikan cincin dan cidako sebagai tanda ikatan persaudaraan. Pela-pela yang berkaitan erat dengan tato di kakehan, juga sebanding dengan bel-bel atau bel-jan (Kei), balbela (Fordata-Tanimbar) atau kida bela (Tanimbar). Semua contoh-contoh bahasa daerah di atas menekankan pada fakta bahwa perseteruan atau peperangan telah berakhir. 
Ada ahli (Stresemann 1923 : 417) yang mengatakan bahwa dasar bentuk pela berasal dari  penyebaran kata Melayu-Polinesis dari kata “bela” yang berarti “teman” atau “ sahabat, yang banyak ditemukan di Maluku Tenggara, Aru dan Maluku Tenggara Barat. Di pulau Wokam di kepulauan Aru, ada kata ”bela,” di Banda-Elat (Kei Besar) ada “belano,” kata bel untuk “tea bel” di kepulauan Kei, di Tanimbar ada “bela” untuk kata kombinasi “kida-bela,” yang berarti  sahabat.” Menurut ahli lain (Drabe 1932 : 13 dan 43), kida-bela punya pengertian yang sebanding sama dengan istilah pela. Ia  mengatakan bahwa pela dalam bahasa Paulohi di pulau Seram, berarti “membatasi” atau “merintangi,” yang sama artinya dengan pela dalam bahasa tanah yang dipakai oleh komunitas Muslim Ambon dan Lease. Di suku Naulu, dikenal “pena” yang berarti “jangan” atau “dilarang,” yang berarti dilarangan untuk masuk ke daerah netral dalam perang (batas tanah). Simbol tanda itu adalah matakau, yang dalam bahasa suku Seram, Wemale, disebut “wate.” Karena itu jika terjadi ancaman, maka dengan menyuarakan atau berteriak “wake,” “wate” atau “wake ou” berarti berarti “jangan potong kepalaku” dan juga bisa berarti “menjauhlah” atau “tetap (ada/berdiri) dibatas.”
Selain itu ada juga larangan dalam pela, yang berkaitan dengan pelestarian sumber alam yaitu sili (desa Ahiolo), siri (desa Kamarian) di jazirah Tala. Di jazirah Sapalewa ada “tosi” atau “tasi” yang berarti “bersumpah” yang sama dengan istilah “sasi” atau “membuat kesepakatan.” Bagi orang Seram, sasi berarti memberikan waktu istirahat tertentu bagi berburu hewan, memetik hasil hutan, dan mengolah hasil laut. Sasi berarti bersumpah yang erat kaitannya dengan “wake,’ “pela,” “inu wake,” “unu wape.” “Inu pela” berarti “minum persaudaraan” yang sesungguhnya menunjuk kepada minum dari sumpahan matakau.
Dari pengertian kata- atau kata-kata di atas, Bartels menyimpulkan bahwa ada hubungan di antara pela sebagai nama ikatan persekutuan (tato sebagai tanda kakehan), persaudaran dan berakhir. Sebab rekan pela saling memperlakukan rekannya sebagai saudara. Tetapi maknanya adalah “tanda,” “tanda lengkap,” “tanda larangan,” “penataan” dan “bersumpah.” Tentang asal-usulnya, pela berasal dari tiga daerah, yaitu : pertama yang asli dari orang Alifuru di pulau Seram. Ikatan pela ini bermula dari perburuan kepala dan perang antar kelompok, suku atau desa. Suku atau desa yang terancam keamanannya akan berupaya membentuk ikatan pela dengan desa lain. Biasanya, desa atau desa-desa yang lemah akan bergabung dengan desa yang lebih kuat untuk mendapatkan perlindungan keamanan. Pemimpin perangnya disebut kapitan. Ia punya kekuatan magis yang mampu mengalahkan lawan.  Perang yang terjadi biasanya di antara dua kapitan, dengan memakai senjata tajam dan kekuatan magisnya. Kapitan yang menang menjadi pemimpin dan kelompoknya ditakuti. Kapitan yang kalah, bersama kelompoknya akan berusaha untuk mencari perlindungan kepadanya. Biasanya upaya mencari perlindungan ini berakhir dengan ikatan sumpah pela, yang saling melindungi dan membantu dalam situasi aman maupun perang. Syarat lainnya adalah tidak boleh ada perkawinan di antara kedua kelompok dan keturunannya. Sumpah ikatan pela di antara kedua belah pihak berpusat pada minum darah bersama. Biasanya darah seorang dari anggota kelompok yang kalah diambil dan dicampur lalu diminum bersama, mulai dari kapitan-nya kemudian diikuti oleh anggota kedua kelompok.  Ikatan pela asli suku Alifuru di pedalaman pulau Seram ini tidak mengenal kanibalisme dan balas dendam. Tentang waktunya pembentukannya tidak diketahui secara pasti. Tapi sangat mungkin ia terbentuk jauh sebelum kedatangan pengaruh kekuasaan dari kesultanan Ternate dan Tidore sebelum abad ke lima belas.         
            Kedua, pela dari ikatan antara desa Hitu dengan Kerajaan Islam Ternate yang beragama Islam. Setelah kehadirannya, ikatan pela ini berkembang menjalin persaudaraan dengan desa-desa yang beragama non-Muslim di pulau Ambon dan di pulau Seram. Orientasi ikatan pela ini lebih menekankan pada aspek ekonomi, khususnya perdagangan cengkih.
Pembentukan pela ini di kemudian hari bersatu demi keamanan bersama melawan penjajah. Inti yang menjadi dasar ikatan pela mereka berpusat pada sumpah matakau, sebuah sumpah yang dinyatakan di atas media mesiu dan kepala peluru yang di rendam dalam air atau sageru (sari air nira dari pohon enau atau kelapa) lalu mencelupkan semua senjata tajam dan moncong senjata api, kemudian campuran itu diminum bersama sebagai tanda ikatan pela.
Ikatan pela ini sangat kuat dengan kanibalisme dan upaya balas dendam, seperti yang ditunjukan dalam beberapa desa dalam ikatan pela di Leitimor. Waktu pembentukannya adalah pada masa kedatangan pertama bangsa Eropah, Portugis di abad ke lima belas. Pela ini terbentuk pada masa setelah Sultan Zainulabidin, yang berkuasa mulai sekitar tahun 1495. Penetapan waktu ini bisa diterima bertolak dari pemakain kepala peluru, yang menyatakan bahwa senjata api dan pelurunya baru dikenal pada masa penjajahan. Sebelumnya, orang Alifuru atau penduduk pribumi Maluku, khususnya penduduk di Maluku Tengah : pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease, hanya mengenal senjata tradisional seperti panah, anak panah, parang dan tombak.
Ketiga, ikatan pela dari satu keluarga yang datang dari Papua. Mereka tinggal di desa Hatumete, Seram selatan. Keluarga ini punya lima anak, tiga anak laki-laki : Temanole, Simanole dan Silaloi; dan dua anak perempuan : Nyai Intan dan Nyai Mas. Anak laki-laki yang tua, Temanole, menetap di desa Tamilou, anak laki-laki kedua, Simanole, menetap di desa Sirisori dan anak laki-laki yang ketiga, Silaloi, menetap di desa Hutumuri. Kedua anak perempuannya, seorang yang bernama Nyai Intan, kawin dengan Bakarbessy di desa Wa’ai dan seorang saudaranya yang lain bernama Nyai Mas, kawin dengan Manuhutu di desa Haria. Kemudian, lima desa ini Tamilow, Siri-Sori, Hutumuri, Wa’ai dan Haria menjadi satu ikatan pela-gandong. Karena mereka adalah saudara se-gandong, atau sekandung, maka tidak boleh ada kawin di antara keturunannya. Ikatan pela ini berpusat dalam janji setia seorang saudara dengan saudara-saudara lainnya dengan melukai tangan dan meminum darah bersama, lalu mengucapkan janji persaudaraan. Waktu pembentukan pela-gandong ini adalah pada masa penjajahan Portugis, yaitu sekitar abad ke lima belas.
Tentang jenis pela, Bartels menyebut ada tiga jenis pela (Bartels 1977 : 181-190), yaitu pela keras atau pela batu karang, pela tempat sirih (pela longgar) dan pela gandong. Di Ambon, pela keras juga disebut pela tuni (bahasa Ambon, tuni berarti keras). Berbeda dengan Bartels, Cooley menyebut hanya ada dua jenis pela saja yaitu pela batu karang dan pela tempat sirih (Cooley 1962 : 72-74). Pela-gandong dimasukannya ke dalam ikatan pela keras, sebab di dalamnya dilarang kawin di antara angota-anggotanya. Penulis lebih setuju memakai pembagian menurut uraian Bartels, karena ia lebih rinci dan mudah dipahami.
Tiga jenis pela itu seperti berikut ini : pertama, pela keras. Disebut demikian, karena ikatannya yang sangat keras dengan dasar sumpah yang tidak boleh dilanggar. Inti ikatannya ada pada minum darah bersama, yang mengikat mereka sebagai saudara. Darah yang diambil berasal dari mengorbankan salah satu anggota (terutama) kelompok yang kalah perang. Karena mereka telah menjadi bersaudara, maka tidak boleh ada perkawinan di antara keturunannya. Masuk dalam ikatan pela ini adalah pela tumpah darah dan pela batu karang. Pela tumpah darah terbentuk dari perang antara dua belah pihak yang berakhir dan diikuti dengan mengorbankan salah satu anggotanya. Darah korban anggota itu diminum oleh pemimpin dan anggota kedua belah pihak dan ditegaskan dengan sumpah sebagai saudara di antara keduanya. Pela batu karang bermula dari bantuan material berupa bantuan ekonomi, tentara dan peralatan perang. Kuatnya ikatan ini di samakan dengan batu karang, maka dinamakan pela batu karang.  Kedua, pela longgar, yang dasar ikatannya longgar. Ikatan pela ini juga disebut pela tempat sirih, sebab dari proses berjumpa dan ditandai dengan saling mengajukan sirih-pinang dan dimakan, lalu kedua belah pihak sepakat untuk menjalin ikatan persaudaraan. Di ikatan pela ini, anggotanya boleh kawin dengan desa pela-nya. Ketiga, pela-gandong, yang ikatan pela-nya terjadi karena ada hubungan bersaudara kandung, karena itu dilarang kawin di antara keturunannya.

Pela dan Agama Nunusaku (Bartels 1977 : 278-323)
Sinkretisme Dalam Islam dan Kristen
Bartels menyebutkan bahwa ada hubungn pela dengan sistem kepercayaan tradisional yang membentuk dasar bagi kehidupan sosial dan budaya masyarakat Ambon, baik agama Islam maupun agama Kristen. Keduanya telah terbentuk cukup lama dengan sentuhan dampak budaya lokal, yang disebutkan sebagi sinkretisme. Pengaruh ini merupakan sebuah perkembangan yang menyata dalam hubungan pela di wilayah Maluku Tengah : pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease.
            Terlihat bahwa tidak ada kesulitan berarti dalam menyerap kedua agama itu. Memang ada konflik di antara agama baru dengan sistem tradisional yang tidak secara serentak melumpuhkan keberadaan kuasa supernatural yang diyakini ada dalam adat dengan semua tata hukumnya.  Tapi, ada ketakutan dalam masyarakat jika adat dilampaui, maka akan ada sanksi. Sebab, roh jahat juga sama ‘nyata’ dan memiliki kuasa menghancurkan yang dapat menimpa masyarkat yang tidak setia kepada tata adat.
 Di sini unsur tradisional dipahami dalam istilah-istilah Kristen dan Islam sebagai sistem kepercayaan. Ia mempertahankan keutuhan gejala tradisonal dan mengatasi masaalah konflik kepercayaan. Hal ini juga terjadi dalam kombinasi dua konsep budaya yang berbeda yang harus ditafsirkan ulang sampai pada akhirnya akan mendapatkan arti asli dalam konteks yang baru, yakni konteks hidup agama. Namun selama unsur tradisional itu masih dipandang berguna, maka ia dipakai sebagai sebuah nilai dalam konteks budaya baru, yaitu pusat keyakinan agama, Islam dan Kristen.  Kedua agama ini berhasil menghancurkan pandangan dunia budaya. Tapi ia tetap bagian dari budaya tradisonal dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh totemisme, yang dipahami berisi larangan. Tetapi ia terus dijalani sekalipun yang meyakininya tidak bisa menjelaskan makna dasarnya secara baik.
            Selain totemisme, tetapi ada juga larangan atas makna budaya trasdisional tertentu yang sampai sekarang masih tetap bisa lestari. Nilai-nilai dan makna budaya tradisonal itu masih tetap ada sebab ia merujuk kembali kepada leluhur, nenek moyang. Ikatan keyakinan ini yang tetap melembagakan adat tabo ini, dan nampaknya ia terus hidup berkelanjutan. Salah satu contoh misalnya dalam tari cakalele, sebuah tari perang yang dahsyat, yang menampilkan ritual konteks perang dan perburuan kepala. Pengikisan arti terjadi dalam tari cakalele sebab sekarang tidak ada lagi perburuan kepala dan perang antardesa. Tapi lewat tarian itu, dengan ritual ke gunung menghadap leluhur, telah menyimpulkan makna perang dan perburuan kepala tersebut. Sebab si yang menghadap leluhur, mengekspresikan permohonan perkenaan mereka untuk pelaksanaan tarian tersebut. Sekarang ini tarian cakalele makin kehilangn kesakralannya, sebab ia telah menjadi sebuah media pertunjukan bagi turis saja. Peserta penarinya bisa dengan mengundang turis atau siapa saja hadirin pada acara tersebut. Ia lebih bermakna sukacita dan syukur dalam kebersamaan. Ada juga upacara lain yang mengalami pengikisan arti, yaitu pengguntingan rambut, yang kemudian di tanam di tanah. Orang yang melakukan upacara ini meyakini bahwa melaluinya, ia tidak akan mudah sakit kepala.
Di masyarakat Muslim, ada keyakinan terhadap jin yang adalah roh jahat. Bagi yang tidak meyakini bahwa ada roh jahat, maka selama itu juga ada transformasi roh. Dalam agama Kristen, pemahman ini bisa disamakan dengan setan atau iblis.  Transformasi lain adalah pada kepercayaan tradisional terhadap upu lanite, tuhan langit, yang menciptakan seluruh dunia melalui persesuaian dengan rekannya bumi (tapele). Keyakinan atas perannya mesti dihidupkan dalam pelaksanaan tuntutan adat. Masyarakat Ambon menyamakan keberadan upu lanite dengan Tuhan. Mitos penciptaan dalam cerita upu lanite di pandang ada kesamaan dengan cerita Penciptaan dunia yang terdapat di dalam Alkitab dan Al-Qur’an. Keyakinan peran upu lanite yang berkaitan dengan pelaksanaan adat dalam perang dan perburuan kepala dalam hubungan dengan pemahaman agama Islam dan Kristen, menghadirkan pemahaman tersendiri. Apapun pemahamannya, tapi agama tetap menolakannya. Sekali pun demikian, tapi kelanjutan dan ketergantungan hidup bagi penganutnya, terus berlangsung. Sebagai perbandingan ada pemahaman kontroversial pada zaman Belanda bahwa untuk mendapatkan bangunan yang tahan berumur panjang, maka diperlukan pendasarannya yang berupa kepala manusia yang ditanam di bawah bangunan tersebut.
            Upaya rasionalisasi agama terhadap nilai-nilai adat berupa membawa kepercayaan, adat dan lembaga adat ke dalam harmoni atau kecocokan baru. Banyak kali terjadi ketidakcocokan dan konflik interes di agama Islam dan Kristen. Upaya ini tanpa disengaja terjadi. Di Kristen pola ini ditemukan dalam pemisahan “gereja” dan “negara” terutama mengenai kepemimpinan politik yang legitimasinya banyak pada adat. Sementara di gereja, legitimasi itu diakui dari Tuhan. Di lain pihak, di Islam, tidak ada perbedaan antara agama dan politik yang memperkecil konflik antara agama dan adat. Peran imam dan modin berjalin dengan struktur adat. Dalam perjalanan waktu, upaya menjalin harmoni ini sama artinya degan agama adat atau adat yang di-Islamkan. Sebab dalam kepercayaan, ritual dan kelembagaan Islam telah diberi arti adat yang menghilangkan arti adat yang sesungguhnya. Ini sebuah jalan pembribumian Islam. Pengikisan arti dalam mencari harmoni juga terjadi dalam agama Kristen dengan apa yang disebut sebagai ”Agama Ambon” yang melarang orang luar ikut di dalamnya. Tercatat orang Cina Protestan di Ambon tidak ber-gabung dengan gereja Ambon (GPM).
            Dalam upaya mencari harmoni itu terlihat bahwa dalam Islam, sinkretisme dilihat sebagai pertentangan ide dan bukan pada orang. Di agama Kristen, pertentangannya pada kekuatan adat yang harus diubah dan disortir menjadi perubahan baru untuk menjadi keyakinan dan melakukan perbuatan Kristen. Terlihat misalnya dalam perkawinan, yang masih dilakukan secara adat tapi harus ditambah dengan ibadah secara Kristen. Contoh lain adalah membayar mahar yang dipraktekan. Menurut pemahaman orang Kristen Ambon, ketaatan itu sejajar juga dengan Perjanjian Lama, Kejadian 24.
Upaya mencari harmoni yang akhirnya menjadi pemahaman yang sinkretis juga terlihat dalam membenarkan keberadaan lembaga adat seperti dalam cerita membayar kewajiban kepada kaisar. Orang Kristen Ambon menyamakan adat dengan Hukum dunia dan leluhur dengan kaisar. Dengan demikian petugas adat dapat menghindari hak-hak gereja yang menurut mereka tidak perlu dilakukan. Karena itu kita tidak heran jika banyak kali Pendeta menganggap bahwa praktek adat itu ‘kafir.’ Padahal ia tidak langsung menyentuh kegiatan gereja. Contohnya pelaksanaan Ibadah Tiga malam setelah seseorang wafat. Peristiwa ini menurut adat dilakukan supaya arwah si mati tenang pada tempatnya. Tapi ada pandangan Kristen yang menyamakannya dengan tiga hari setelah kematian Tuhan Yesus dan kebangkitan-Nya. Selain itu, dalam pelaksanaan acara-acara adat, biasanya Pendeta bertindak dalam menutup upacara adat dengan berdoa mohon kahadiran berkat Tuhan atasnya. Ada raja yang mengeluh dan berkata “Untuk apa ada doa Pendeta menutup upacara adat, sebab bukankah pertemuan adat sudah ditutup dengan cara adat sendiri ? Mungkin masih kurang bumbu sehingga perlu ditambah garam” ? Di sini terlihat upaya pengikisan adat yang terjadi menurut penafsiran Kristen.
            Akibat dari upaya-upaya seperti di atas itu, terjadi ketegangan pemahaman antara adat dan kekristenan. Misalnya dalam upacara panas pela, ada yang melihatnya sebagai wadah yang efektif bagi pelayanan Gereja. Tapi ada juga yang melihatnya sebagai wadah untuk membentengi kemajuan perkembangan Islam. Tapi ada juga pemahaman yang mengatakan bahwa lewat wadah ini, misi Kristen bisa lebih diperkenalkan. Memang pertentangan terhebat antara pemahaman Kristen dan adat terletak pada pemahaman tentang penyerahan diri. Di adat, penyerahan diri adalah kepada kekuatan roh leluhur, sedangkan dalam pemahaman Kristen penyerahan diri itu hanya kepada Tuhan dan tidak boleh kepada pihak lain. Akibat pertentangan ini, maka praktek adat selalu dilihat sebagai lawan dari praktek ibadah Kristen dank karena itu ia harus dihancurkan. Demikian yang terjadi selama penjajahan. Ia merupakan sebuah warisan pemahaman misi yang diteruskan juga oleh gereja. Contohnya, dalam kasus pelanggaran perkawinan di antara warga se-pela. Dalam kasus ini, maka mereka pasti dihukum oleh kuasa leluhur. Dalam pemahaman Kristen, di kasus ini leluhur tidak punya kuasa apa pun. Sebab upu lanite, tuhan langit, tidak pernah bersekutu dengan kuasa Tuhan. Tapi masyarakat tetap meyakini akan hukuman yang terjadi akibat melanggar tuntutan adat, sebab mereka sering mendapat penglihatan dalam mimpi tentang kehadiran leluhur. Jadi, orang Kristen tetap melayani dua tuan : Tuhan dan leluhur. Menurut pemahaman ini, dengan melakukan kesetiaan seperti itu, maka potensi hukuman dari leluhur dan juga dari Tuhan, bisa mudah dihindari.
Upaya menghadapi ketegangan di atas itu bisa juga dilihat hubungannya dengan pemahaman bahwa pembentukan pela, yang didasarkan dengan keterlibatan leluhur itu, juga terjadi menurut rencana Tuhan. Leluhur bertindak menurut hikmah dari Tuhan, sebab dalam pengesahan pela, Tuhan dipanggil sebagai saksi atas pengukuhan itu. Pemahaman seperti ini ada, baik di agama Islam maupun di agama Kristen. Di desa-desa pela yang dalam pemahamannya telah menolak campur tangan leluhur, dalam acara panas pela, ada juga yang meniup tahuri (kulit siput, simbol memanggil roh leluhur). Menurut mereka kataatan seperti itu hanya perbuatan simbolis saja untuk memenuhi adat. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa perlakuan seperti itu mesti dijalankan supaya menjaga jangan ada ketegangan dengan Pendeta di Jemaat/desa itu. Terlihat di sini bahwa pela telah ditafsir ulang menurut makna Kristen. Begitu juga dengan kehebatan kapitan yang sudah disamakan dengan tanda mujisat di dalam Alkitab. Bartels menegaskan bahwa Pemimpin gereja di Maluku juga kelihatannya terbuka kepada upaya partisipasi kekristenan dalam kegiatan pela dan panas pela. Seperti misalnya kegiatan panas pela antara desa Ameth di pulau Nusalaut dengan desa Soahuku di pulau Seram, yang dilaksanakan di dalam gereja Soahuku. Tata sumpah pela juga tidak dilakukan menurut tata adat dengan bahasa tua (bahasa tanah), tapi cukup dengan doa yang meminta perkenaan Tuhan hadir untuk memberkati ikatan pela mereka. Jadi, dapat dikatakan bahwa di hampir semua desa Kristen, pela telah mengalami pengkristenan.
Uraian di atas menampilkan bahwa pola persaudaraan Kristen di tengah masyarakat adat, atau pela, tidak relevan dalam wilayah politik. Sebaliknya bagi masyarakat Islam ikatan persau-daraannya sangat kuat.


Agama Nunusaku : Inti dari Identitas Orang Ambon
Cerita ini berpusat pada pembunuhan seorang gadis bernama Hainuwele, tepatnya Rapie Hainuwele, seorang pahlawan budaya perempuan, yang digambarkan sebagai pemberi barang-barang berharga, seperti piring-piring Cina dan berbagai gong. Sesudah ia memberikan semua barang itu, penduduk Nunusaku membunuhnya dan dari tubuhnya tumbuh berbagai umbi akar : talas dan ubi, yang menjadi makanan pokok. Dewa kematian, Mulua Satene, yang hidup di tengah-tengah masyarakat, marah dan memutuskan untuk menetap di gunung lain, yang hanya bisa didatangi manusia ketika mereka sudah mati. Sebelum ia pergi, ia membagi masyarakat ke dalam kelompok Patasiwa dan Patalima.
Orang Ambon sering menyamakan mitos Nunusaku dengan Firdaus (taman Eden) yang berpindah ke sana dan menjadi pusat semua manusia. Pohon Beringin, tempat hinggap tiga ekor burung, dipandang sebagi mewakili Sem, Ham dan Jafet, yang adalah bapak semua manusia. Gunung Nunusaku diyakini sama dengan gunung Ararat, tempat kandasnya Bahtera Nuh. Bahkan ada yang percaya bahwa di Nunusaku pengadilan terakhir akan terjadi. Gunung yang hilang dan perlindungan payung awan-awan dan pohon Beringin di Nunusaku, diyakini sebagai asal usul orang Ambon-Lease dan juga mencakup kehadiran agama Islam dan Kristen sebagai agama transenden, atau agama yang tidak kelihatan. Agama yang tidak kelihatan ini disebut agama Nunusaku, atau lebih tepat disebut agama Ambon. Agama Nunusaku juga disebut agama adat, yang disamakan antara kepercayaan kepada leluhur dan kepercayaan kepada agama, baik Kristen maupun Islam.

Pengertian dan sifat-sifat Agama Nunusaku
Agama Nunusaku adalah agama etnis yang mencakup keturunan, bahasa, kebudayaan, roh leluhur, harta benda, tanah dan berbagai gejala di lingkungannya. Agama Nunusaku tidak membatasi penganutnya dan karena itu ia tidak mengklaim keberadaannya sebagai satu-satunya kebenaran. Tiap individu punya perbedaan kepercayan, tapi itu tidak berarti jika ia tidak berkaitan dengan pusat agama etnisnya. Karena itu, agama Nunusaku adalah agama hukum, yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan. Perintah dan larangan itu menentukan hubungan para penganutnya dengan tata kosmis (roh leluhur) dan penganutnya dengan melaksanakan semua kewajiban kultisnya di dalam masyarakat.
Orang Ambon masih merupakan kelompok etnis yang terdiri dari leluhur, Tuhan, roh, tanah dan alam secara umumnya. Agama masih menyerap setiap aspek kehidupan, baik dalam hubungan dengan tuntutan adat maupun dengan tuntutan hidup sosial, agama, ekonomi, dan lain-lain. Isi, makna dan akhir dari agama Nunusaku berpusat dalam masyarakat Ambon sendiri. Ia berkaitan erat dengan kekhasan masyarakat Ambon dalam identitas, kelangsungan hidup, kebaikan hidup dan  harmoni dalam agama Kristen dan Islam, menyangkut keseluruhan masyarkat dan kebudayaannya. Akan tetapi perlu diingat bahwa Agama Nunusaku itu “tidak kelihatan” seperti tempat suci Gunung Nunusaku, yang juga dipelihara dengan teguh oleh agama Islam dan agama Kristen.

Pela Sebagai Pusat Kultis dan Kendaraan bagi Agama Nunusaku
            Bagaiamana orang Kristen dan Islam Ambon bisa menjaga keutuhan nilai dan identitas suci Agama Nunusaku, sebab ia tidak punya sturuktur, organisasi, pemimpin dan tempat ibadah ?? Bahkan orang tidak sadar sedang dan selalu mempraktekkannya. Kendaraan Agama Nunusaku adalah pela. Pela juga adalah pusat kultis agama Ambon itu. Sebab pela adalah simbol kesatuan yang menyatukan masyarakat dalam perbedaan-perbedaannya, agama Islam dan Kristen, ke Nunusaku. Institusi pela membarui, mengisi dan memulihkan hubungan persaudaraan yang terpusat ke Nunusaku.  Keterpusatan ini terlihat misalnya dalam kasus berikut : ketika tentara RMS Kristen melarang teman gerilyawannya supaya jangan menghancurkan mesjid Hualoi, mereka bukan berpijak pada dasar ikatan pela-nya, tapi pada prinsip ikatan Agama Nunusaku. Begitu juga ketika pemuda Muslim Batumerah menolak berperang melawan pela-nya, Passo, mereka memandang tinggi persaudaraan melebihi ikatan agama. Ketika orang Islam dan Kristen berdoa di gereja atau mesjid, mereka memperingati dan mendemosntrasikan persatuan dan kebersamaannya di hadapan Tuhan. Semua itu adalah kedalaman tindakan keagamaan, yang tercermin dalam Agama Nunusaku
Pela adalah pengikat terkuat yang menyatukan orang Muslim dan orang Kristen. Ia adalah lembaga yang tetap menuntun dan menjadi aturan yang menghubungkan kedua belah pihak itu. Sebab di dalamnya ide persaudaraan selalu diuji. Dari sisi ekonomi, hubungan pela denga membantu sesama agamanya, Islam dan Kristen, entah membangun gereja atau mesjid, ini semua terjadi karena ada satu pernyataan kesepakatan di dalam ikatan pela. Bukan karena ikatan khusus yang ada di antaranya saja, seperti ikatan pemahaman yang sama dalam pemahanan agama. Contoh lain yang lebih luas lagi, seperti berikut : Orang Kristen Ambon di Belanda dan di Jakarta selalu setia mengirim bantuan sejumlah uang kepada saudara pela Muslimnya di Ambon, untuk membuktikan kelangsungan kesepakatan hidup mereka sebagai bagian tak terpisahkan dengan masyarakat Ambon. Sekalipun mereka sudah masuk dalam generasi ketiga dari orangtuanya, tapi perlakuan seperti itu dibuat untuk menunjukan bahwa mereka masih tetap bagian dari masyarakat Ambon, masyarakat pela Ambon.
Dalam pelaksanaan Pela dan upacra panas pela, disitu sebenarnya muncul nilai-nili ikatan dan keterpusatan hidup kepada Agama Nunusaku. Di dalamnya nilai-nilai keagamaan dan keper-cayaan kepada Agama Nunusaku diperkuat kembali dan selalu dipelihara.

Pela  Dalam Perspektif Agama, Ekonomi, Politik dan Hikmatnya

Hubungan Islam-Kristen (Bartels 1977 : 222-226)

Warga desa Islam dan warga desa Kristen menyadari perbedaan mereka dalam hubungan agama, tapi mereka menyadari juga bahwa ikatan pela bisa menjadi jembatan untuk menghubung-kan mereka. Di dalamnya perbedaan dalam melaksanakan keharusan agama dihormati, baik yang Kristen maupun yang Islam. Terutama dalam upacara pembaruan pela, di mana semua saudara pela harus hadir. Hal yang dilarang seperti makan babi dan tari-tarian yang tidak ada di desa Islam, mereka harus menyatakan hormatnya. Demikian juga orang Kristen harus melakukannya tanpa harus menyinggung perasaan saudara Muslimnya. Di acara yang berkaitan dengan kegiatan pela, saudara Muslim bisa ikut tarian yang hanya ditunjukan sebagai tanda partisipasinya. Dalam pentahbisan gereja dan mesjid, peluncuran arumbae baru, pengresmian baileu baru, sunatan dan acara-acara keagamaan lainnya, partisipasi semua saudara pela harus hadir. Pada masa penjajahan Belanda, anak-anak Islam tidak diperkenankan untuk mengikuti sekolah Belanda. Untuk bisa ikut, maka mereka menjadi anak piara di keluarga-keluarga Kristen, terutama yang punya hubungan pela, supaya mereka bisa mengikuti pendidikan bemutu itu. Hanya saja keluarga bapak piara-nya mesti menjaga makanan haram, babi.
Contoh hubungan pela dalam perbedaan agama ini diceritakan dalam perang Republik Maluku Selatan. Waktu itu ada perintah dari atas untuk memusnahkan mesjid desa Hualoi. Tentara yang dikirim ke desa Hualoi adalah yang dari Bo’oi, Kariu dan Aboru. Ketika tiba di desa Hualoi dan mereka mengatakan bahwa mesjid itu bukan hanya milik orang Hualoi. Tapi milik semua warga desa yang terhisab dalam ikatan pela mereka. Akhirnya mesjid desa Hualoi tidak dimusnahkan. Pasukan itu pulang tanpa merusakan mesjid. Ada contoh lain lagi, seperti berikut : Beberapa tahun berselang ada pertikaian antara mahasiswa Institut Teologia Protestan GPM dengan siswa SMA Muhamdiyah, yang bangunan kampus dan sekolahnya berdampingan. Waktu itu ada sedikit kobaran politik yang dimainkan elit Islam di kota Ambon. Setelah mendengar ketegangan itu, warga desa Batumerah yang seluruhnya Muslim, bersiap untuk menyerang mahasiswa Isntitut Teologia Protstan. Tapi raja Batu Merah keluar dan menyapa orang banyak itu dan mengatakan bahwa jika mereka hendak pergi menyerang, maka itu sama saja dengan pergi menyerang saudara pela mereka yang Kristen Protestan di desa Passo. Akhirnya perlahan-lahan mereka bubar. Beberapa hari kemudian, konflik antara mahasiswa dan siswa itu pun reda secara perlahan.
Bartels menjelaskan bahwa pela itu pluralis agama. Kondisi ini terutama ketika kedatangan pertama pela dari Maluku Utara di jasirah Leihitu di mana desa-desa anggotanya ada yang Islam, ada yang Kristen dan ada yang masih Kafir (belum beragama, Bartels 1977 : 103-108w). Sejak awal pembentukannya diketahui bahwa corak pluralis agama dalam pela adalah alami saja. Tapi dalam perkembanganya, corak pluralis ini juga berguna untuk menghindari perpindahan agama, atau mualaf baru ke Islam, dan baptisan baru ke Kristen.
Pela dalam perspektif ekonomi terbukti bahwa kebutuhan ekonomi, terutama hidrat arang. Khususnya sagu yang banyak di pulau Seram, bahan ini sangat membantu desa-desa se-pela di pulau Ambon dan pulau-pulauLease. Kondisi ini menjadi penting ketika harga cengkih jatuh pada masa Hongitochten dan harga beras yang mahal. Kondisi seperti ini membuat masyarakat di pulau Ambon dan pulau-pulau Lease pergi mengolah sagu di pulau Seram. Hasil olahan sagu dibagi, sepertiganya untuk tuan pemilik dusun sagu atau sagu maanu dan dua pertiganya untuksi pengolah (Bartels 1977 : 140-142). Dalam hubungan dengan monopoli ekonomi oleh Hongitochten-Belanda, tercatat bahwa desa-desa pela pernah bersekutu dan berperang melawan kebijakan Belanda itu.
 Dalam perspektif politik, semula ikatan pela yang pluralis (etnis, suku dan agama) itu bersatu dengan berbagai upaya menggalang kekuatan untuk melawan penjajah, baik Portugis, maupun Belanda. Indikasi ini dominan pada masa Hongitochten dengan upaya monopoli perdagangan rempah-rempah cengkih dan pala. Perlawanan yang terbesar adalah dalam perang Pattimura (Bartels 1977 : 134-139).[4] Identitas pluralis agama yang adalah citra ikatan pela, di giring ke aras politik dan dimainkan dengan baik oleh Belanda. Terbukti bahwa ada beberapa ikatan pela yang semula melawan penjajah, kini berbalik memihak penjajah dengan alasan penganutan agama yang sama, agam Kristen. Desa-desa Kristen dalam ikatan pela memihak Belanda, sedangkan desa-desa Islam dalam ikatan pelanya, tetap memihak kesultanan Ternate (Bartels 1977 : 130-132). Dalam kenyataannya, orang-orang Ambon Kristen “dianakmas-kan” oleh Belanda dengan masuk serdadu (KNIL) dan menjadi pegawai. Orang Islam sangat sulit mendapat kesempatan ini. 
(Tambahan penulis) Politik pemecah-belah ini, nampaknya berjalan terus sebagai bom waktu bagi kehidupan beragama dan ikatan pela di Maluku Tengah: pulau Ambon, pulau Seram dan pulau-pulau Lease. Ada klaim sepihak, yang sangat keras ketika Kerusuhan pecah di Ambon-Maluku, bahwa Kristen itu asing, penjajah (Belanda-musuh Negara Kesatuan RI, identik dengan separatis RMS), sedangkan Islam itu Nasionalis-pembela Negara Kesatuan RI. Dikotomi ini kelihatan masih bergulir menjadi bola politik lokal sesaat di Maluku.
Hikmat ikatan pela terpusat pada isi sumpahnya yang memangil roh leluhur untuk datang melihat, menyertai dan mengesahkan ikatan pela atau upcara panas pela itu Bartels 1977 : 230-236). Representasi leluhur ditandai dengan mengundang langit dan bumi atau bulan dan bintang menjadi saksi ikatan pela atau upacara panas pela dilaksnakan. Dengan pengesahan oleh rohleluhur yang diwakili oleh tokoh adat, atau raja atau seorang kapitan, maka seluruh peserta upacara itu terikat di dalamnya. Mereka harus saling menghormati, melindungi dan saling menolong dan sekaligus menjaga larangan yang ada dalam ikatan pela. Minum darah dan janji sumpah matakau hanyalah media dalam inti upacara. Tapi yang terpenting, adalah isi sumpah dan kehadiran roh leluhur.

Respons Penyunting
Ikatan hidup pela di antara penduduk desa-desa di Maluku Tengah, tepatnya di pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease bermula dari fakta interaksi hidup penduduk asli Alifuru di pedalaman pulau Seram. Dari mereka pela berkembang dan menyebar ke pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Dari uraian yang dikemukakan Bartels dan ditambah dengan beberapa dari Cooley, ada beberapa resume yang dapat dikemukakan, seperti berikut :
1.      Menurut asal-usulnya, pela berasal dari tiga daerah, yaitu :
o   Pela dari penduduk asli Alifuru di pedalaman pulau Seram. Ikatan pela ini bermula dari perburuan kepala yang mengakibatkan desa yang merasa terancam keamanannya akan berupaya membentuk ikatan pela dengan desa lain. Biasanya, desa yang lemah akan bergabung dengan desa yang lebih kuat. Jalinan persaudaraan antardesa dalam ikatan pela di kategori ini berorientas pada perburuan kepala dan perang.
o   Pela dari Maluku Utara. Pela ini terbentuk dari ikatan antara desa Hitu dengan Kerajaan Ternate yang beragama Islam. Setelah kehadirannya, ikatan pela ini berkembang menjalin persaudaraan dengan desa-desa yang beragama non-Muslim di pulau Ambon dan di pulau Seram. Orientasi ikatan pela di kategori ini menekankan pada aspek ekonomi. Aspek lain yang tidak tegas kelihatan (diperlihatkan oleh para peneliti) adalah aspek dawah Islam. Sebab di mana-mana kecenderungan kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan yang bercirikan agama (Islam, Kristen), selain menekankan aspek politik, selalu membawa misi mengagamakan daerah jajahan atau daerah afiliasinya menurut agama yang dianut. Sekali pun demikian harus diakui bahwa ada motivasi pembentukan pela dengan ikatan desa-desa campuran agama, Islam-Kristen, demi keamanan bersama.
o   Pela dari Irian. Ikatan pela ini bermula dari satu keluarga yang menetap di Hatumete, di pulau Seram bagian selatan. Ia punya lima anak, tiga laki-laki dan dua perempuan. Anak laki-laki yang tua menetap di Tamilou, anak laki-laki kedua menetap di Sirisori dan anak laki-laki yang ketiga menetap di Hutumuri. Kedua anak perempunnya, seorang kawin di desa Wa’ai dan seorang lagi kawin di desa Haria. Ikatan pela saudara kandung, kakak-adik, ini di Ambon disebut pela-gandong, yang lebih dikenal dengan sebutan gandong saja.
2.      Jenis pela ada tiga, yaitu :
o    Pela keras. Inti ikatannya ada pada minum darah bersama, yang mengikat mereka sebagai saudara. Karena mereka telah menjadi bersaudara, maka tidak boleh ada perkawinan di antara keturunannya.
o    Pela longgar. Ikatan pela ini sering juga disebut pela tempat sirih. Disebut begitu sebab dari proses berjumpa dan ditandai dengan saling mengajukan sirih-pinang dan dimakan, lalu kedua belah pihak sepakat untuk menjalin ikatan persaudaraan. Di ikatan pela ini, anggotanya boleh kawin dengan desa sepela-nya.
o   Pela-gandong, yang ikatan pela-nya terbentuk karena ada hubungan bersaudara kandung, karena itu dilarang kawin di antara keturunannya
3.      Pela menurut aslinya, tidak berkembang menjadi bertambah jumlahnya, sebab tidak ada perburuan kepala dan perang. Penganutan agama lewat kesusksesan misi dan dawah mematikan perkembangan ikatan pela tradisional Alifuru di pedalaman pulau Seram.
4.      Pela mengandung aspek sosial sekuriti dan pelestarian lingkungan. Secara politis, keamanan kelompok adalah penting untuk menjalani kehidupan ke depan. Perkembangan pela bermula dari pentingnya rasa aman dari kecurigaan terhadap pendatang orang asing, perburuan kepala dan kepentingan ekonomi. Di bidang ekonomi, sasi adalah bagian dari upaya keamanan dan kesejahteraan hidup angota-anggotanya
5.      Pela modern, atau pela di saman modern ini, yang mulai kehilangan daya ikatnya sebab ia hanya menjadi arena unjuk ornamen dan goyang badan saja. Terlihat jelas bahwa revitalisasi pela bukan oleh ikatan internal anggota-anggotanya. Tapi ia dimobilisasi secara eksternal dan elitis. Kepentingan ekonomi gengsi dan glamor telah merampas ‘kepolosan’ ikatan pela yang mestinya apa adanya dan merakyat. Di Maluku, pela menjadi komoditas turisme dan menjadi kendaraan formalisme pemerintah. Dengan sendirinya pesta biaya besar dan mahal akan berlangsung ketika satu iven panas pela harus diadakan. Pemilik dan penikmat utama dan terdekatnya, masyarakat desa, bisa jadi hanya menonton hakekat ikatan hidupnya berpameran.
6.      Ikatan pela terutama bermotivasi pada kepentingan hidup, bukan langsung berlingkup pada manusia dan alam. Pertanyaan ini penting menjadi wacana akademis teologis, sebab dewasa ini sangat terasa mahalnya manfaat keselamatan universal seluruh ciptaan Tuhan. Sejarah mencatat bahwa ketika manusia mengklaim dirinya sebagai sentral hidup, maka eksploitasi dan penghancuran sumber hidup (sumber alam, potensi manusia dan pandangan-pandangan hidup) yang berisi keselamatan itu goncang. Karena itu, mencari makna hidup di dalam ikatan pela dalam benturan perkembangan zaman adalah penting.
7.      Keberadaan pela sebelum 1999, tragedi kemanusiaan di Maluku-Kerusuhan SARA, dan 1999 ke masa depan mau jadi apa? Masih eksisi atau sudah lunglai terinjak oleh pesatnya kemajuan Iptek dan teknologi ?? Dan masih banyak lagi pertanyaan tentang isi filosofinya bagi kehidupan pemiliknya, masyarakat Maluku, dan penikmatnya, semua manusia, sekarang dan ke masa depan.
====nseb====



[1] Tulisan ini dibuat sebagai syarat Paper Kerja untuk penyiapan kelanjutan Studi S-3 pada Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta September 2008.
[2] Penulis mulai mengenal tarian Maku-Maku atau Maru-Maru sewaktu masih menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Teologia GPM (STT GPM) ketika kami melaksanakan kegiatan Turmat Mahasiswa (turun ke Jemaat) bulan November – Desember 1979 di Klasis Telutih, di Kecamatan Tehoru dan Kecamatan Werinama di Seram bagian selatan. Kegiatan ini biasanya kami lakukan di tiap akhir tahun, sebagai bagian dari Program Pengenalan Jemaat Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologia GPM Ambon untuk sedapatnya bisa melaksanakan Turmat ke semua Klasi di GPM. Lebih dalam lagi penulis mengenal tarian ini ketika betugas sebagai Pendeta di Jemaat GPM Kamal, Klasis Kairatu, Seram Barat dari tahun 1988 - 1997. Secara garis besar tarian ini berbentuk tarian antara kelompok-kelompok terpisah kemudian melingkar bersambungan dengan pusatnya pada api unggun yang menyala di tengah-tengah keramaian tarian itu. Padahal sesungguhnya tarian itu di lakukan sebab ada sebuah sukacita bahwa kemakmuran yang dihayati sebagai tanda kesuburan dan keberhasilan bagi kegiatan berburu di hutan, ladang dan kebun sudah pasti terwujut hasilnya karena dasarnya sudah ada di tengah-tengah sukacita itu, yaitu kepala manusia. Tarian ini disebut maku-maku bagi suku asli wemale dan maru-maru bagi suku asli Alune.
[3] Penulis keberatan dengan paparan Bartels ini sebab desa yang ada di tepi kali Tala adalah desa Tala di sebelah timur ibukota Kecamatan, Kairatu ; sedangkan desa Lohia-Tala (dari Lohi-Tala) terletak di sebelah barat ditepi kali Nala. Bukan kali Tala. Rupanya Bartels berpegang pada cerita warisan masyarakat saja, tanpa melihat peta yang sebenarnya.
[4] Penulis mendapat kesan bahwa Bartels sangat berhati-hati dalam mengulas Perang Pattimura dan kurang tegas menampilkan motivasi dan heroism perang itu. Sebab ada aspek persatuan warga desa-desa di pulau-pulau Lease dan hebatnya pertahanan di pantai Waisisil, di kota Saparua. Alasannya bisa dimengerti sebab aspek-aspek ini bukan kompetensi beliau dengan penlitiannya. 

1 komentar:

  1. Hobi Judi Ayam ? Dan Ingin Pasang Taruhan Sabung Ayam Pakai Linkaja ?
    Klik Saj Link Disamping ini » http://bolavitaonline.over-blog.com/2019/09/taruhan-sabung-ayam-pakai-linkaja.html

    Agen Linkaja88 Sudah berdiri sejak 2013 dibawah naungan Bolavita Sebagai Bandar pusat Judi Online Di Indonesia.
    Aman & Terpercaya..

    Selain menyediakan Judi Online menggunakan Linkaja, Linkaja88 juga menyediakan berbagai jenis transaksi judi online yang sangat lengkap. Antara Lain adalah Ovo, Gopay, Dana, Sakuku, Bank Jenius BTPN, Bank Kalbar, Bank BTN, Dan Semua Jenis Rekening Bank Lainnya di Indonesia.

    Minimal Transaksi Deposit & Withdraw 50ribu.
    Link Pendaftaran : http://bit.ly/daftarlinkaja
    Link Layanan Live Chat (24 Jam Online) : https://bit.ly/2VD8fER
    Link Layanan Whatsapp (24 Jam Online) : https://bit.ly/31SZvwy

    BalasHapus